Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 40

Selamat datang di chapter 40

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Warning! Yang darah tinggi dilarang baca ini! Takut tensinya makin naik!

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Bagaimanapun, tindakan tentu lebih bisa dipercaya ketimbang omongan. Pandai bicara, tetapi tidak bertindak sama saja dengan omong kosong.”

—Jameka Michelle
____________________________________________________

“Pakai ini atau ini, ya?” Jameka bermonolog sembari membeberkan beberapa baju di kasur.  Ia mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu, berpikir keras untuk memasangkan atasan dan bawahan yang bagus, tetapi tidak berlebihan. Dirasa sudah menemukan yang pas, ia mengambil sepatu hak tinggi di lemari koleksinya yang cocok dengan pakaian tersebut.

Selain bingung soal baju dan sepatu yang akan dikenakan, Jameka juga dilema memilih antara harus memoles lipstik merah darah atau warna kalem yang mirip bibirnya. Sambil bercermin, ia mengenakan bando putih bertelinga kelinci merah muda yang dibelikan Tito di pertokoan Summertown, Oxford, tahun lalu.

“Kayaknya yang warna bibir aja. Glossy lips emang paling bener. He gonna like it.” Lagi-lagi Jameka ngomong sendiri. Di akhir kalimat ia mengumandangkannya dalam bentuk bisikan.

Sejak River jatuh dari kuda, sakit, meninggal, dan masa setelah itu, Jameka jarang mendapatkan kualitas tidur layak dan pola hidupnya berantakan. Ia sering tidur larut malam karena insomnia. Belum lagi harus dipusingkan soal Heratl. Berbeda dengan tadi malam; ia bisa tidur nyenyak dan bangun pagi. Lalu dengan semangat menyala-nyala menjalani rutinitas pagi teratur. Seperti dirinya dulu. Berkat Tito, Jameka merasa mendapatkan hidupnya kembali.

Bila dipikir-pikir, lucu juga Jameka tidak merasa sedih karena hubungannya dengan Kevino baru saja berakhir atau setelah dokter mendiagnosanya menderita PCOS. Dan, lagi-lagi Jameka menemukan jawaban itu semua berkat Tito Alvarez, pria yang dicintainya kini.

Jameka menatap pantulan dirinya yang tersenyum di cermin. Riv, I think I’m finding my Mr. Right. Kamu nggak perlu khawatir lagi.” Ia mengucapkannya dengan bahagia, tak ada rasa sedih lagi ketika mengingat River.

Setelah menyemprot parfum yang dibelikan Tito di Summertown tahun lalu—bersama bando bertelinga kelinci itu, Jameka memasukkan barang-barang ke tas, termasuk jaket kesayangan Tito yang ia kenakan semalam. Untuk berjaga-jaga, barangkali Tito menjemputnya naik motor Lih. Oleh karna itu, hari ini ia juga mengenakan celana bahan hitam, bukan rok pensil seperti biasanya.

Jameka melicinkan baju sebelum memakai sepatu. Kemudian ia mematut diri di cermin sekali lagi, merapikan ikal-ikal rambutnya yang dikucir tinggi mirip kucir ciri khas Ariana Grande. Barulah ia turun ke lobi.

Biasanya Tito datang lebih awal. Selagi menunggu Jameka berdandan, pria itu menyibukkan diri mencomot-comot makanan di kulkas Jameka. Tak jarang pula Jameka sengaja membuat dua porsi sarapan untuk dirinya dan Tito. Bedanya mereka tidak sarapan bersama karena ingin menggunakan waktu seefisien mungkin. Beberapa kali Tito juga menyuplai kulkas Jameka dengan beberapa butir telur sebagai tambahan protein hewani sarapannya.

Untuk kali ini, Jameka ingin menjadi pihak yang menunggu Tito. Jameka belum sarapan, tetapi berpikir akan mengajak Tito pergi ke tempat makan yang sejalan ke Heratl. Masih ada cukup waktu.

Sepuluh menit pertama, senyum Jameka masih tetap utuh. Tungkai-tungkainya yang memakai Christian Louboutin hitam klasik mulai terasa agak pegal. Namun, bila duduk di sofa depan resepsionis, ia tak akan bisa melihat kendaraan Tito datang dan pria itu pasti akan langsung parkir di basemen, lalu naik ke lantai unit kondominiumnya. Jadi, ia memilih mempertahankan diri dengan berdiri di dekat pintu utama gedung.

Dua puluh menit berikutnya, tungkai-tungkai Jameka mulai memberikan peringatan untuk duduk. Ia yakin ketika melepas sepatu, tungkai-tungkainya pasti merah. Namun, rasa sakit itu hilang sama sekali kala Jameka melihat mobil Tito memasuki palang pembatas pintu masuk. Secara praktis, Jameka menggerakkan kaki-kakinya ke depan lobi secepat mungkin. Lalu ia melambai-lambai. Mobil itu pun membunyikan klakson pertanda menangkap sinyal Jameka dan mengarah ke lobi, bukan ke parkiran.

Mobil Tito berhenti di depan dan sekuriti yang dikenal baik oleh Jameka tersenyum padanya seraya membukakan pintu depan untuknya.

“Terima kasih,” ucap Jameka yang kemudian dengan ceria menyapa Tito. “Selamat pa—” Senyum Jameka langsung lenyap begitu menyadari bukan Tito yang mengemudikan Civic ini. “Bujang?” tanyanya mulai resah, “Tito nggak ngasih tahu lo kalau hari ini lo diganttin dia?” Dengan enggan, ia mengenakan sabuk pengaman.

“Tito udah ngasih tahu, tapi dia ada urusan. Jadi, hari ini gue yang jadi asisten lo lagi, Yang Mulia,” balas Lih sembari melajukan mobil keluar gedung dan bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalan raya. Sebenarnya ia juga tidak memiliki semangat untuk bekerja di Heratl. Namun, ia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik.

“Urusan apa? Kok, dia nggak ngasih tahu gue?” ulik Jameka. “Disuruh si Bambang ke Inggris?” tebak Jameka yang berusaha berpikir positif. Pasalnya, adiknya itu suka sekali memanggil Tito maupun Lih secara mendadak atau tanpa aba-aba. Tiba-tiba dibelikan tiket dan harus segera berangkat dengan penerbangan tercepat. Mungkin kalau ada teknologi teleportasi, Jayden akan menggunakan itu untuk menjemput Tito dan Lih bagai induk kucing yang memungut anak-anaknya.

“Carissa masuk rumah sakit. Semalem habis jatuh dari tangga basecamp.”

“Tangga basecamp?” ulang Jameka syok. Debar jantungnya mulai menunjukkan peningkatan lantaran pikiran positifnya sudah diserbu hal-hal negatif. Seperti: kenapa ia lupa sama sekali soal Carissa yang notabene pacarnya Tito? Kendati menurut Jameka amat wajar bila seorang pacar pergi ke tempat tinggal pacarnya, kenapa Carissa ada di basecamp tadi malam? Kapan tepatnya? Apakah setelah Tito mengantarnya pulang?

“Jadi, sekarang lagi nungguin Carissa. Kakinya retak. Sama ada lecet di tangan, ada memar juga. Tapi nggak parah,” lanjut Lih. Ia ingin menceritakan kejadian semalam, tentang Tito dan Carissa yang ribut-ribut. Termasuk Tito yang memutuskan hubungan dengan Carissa karena suara mereka keras. Dan suatu kebetulan Lih ada di dekat tangga. Namun, ia urung melakukannya. Selain sifat pendiamnya, Lih juga yakin Jameka tak akan tertarik dengan hubungan percintaan Tito.

“Kasihan banget Carissa.” Hanya itu respons yang dapat diberikan Jameka. Karena hatinya tiba-tiba seperti dilubangi kala menyadari satu hal. Rupanya petualangan dirinya bersama Tito kemarin, tidak berarti apa pun bagi pria itu.

Bisa-bisanya gue mikir Tito beneran jatuh cinta sama gue, batin Jameka yang melihat ke luar jendela. Harusnya ia ingat bahwa Tito itu seorang wonenizer. Mulutnya pandai bicara, lebih-lebih untuk memikat lawan jenis. Ibu-ibu arisan yang makan di Pak Man kemarin juga sampai agak kepincut dengan Tito. Padahal hanya dipuji sedikit.

Tapi dia udah tobat, batin Jameka lagi. Lalu benak Jameka kembali mengingatkan bahwa tobatnya Tito hanya ditujukan untuk Carissa. Dengan bukti pria itu pacaran dengan Carissa dan sekarang menunggu wanita itu di rumah sakit. Ingat, Tito tidak pernah meresmikan hubungannya dengan wanita mana pun. Hanya dengan Carissa.

Lantas kemarin itu apa? Ekspresi wajah Tito ketika mengatakan perasaannya tampak amat meyakinkan bagi Jameka. Pria itu bahkan tersipu dan tidak menuntut Jameka percaya maupun harus menerimanya.

Jameka dirundung gundah gulana. Apa Tito hanya berusaha menghiburnya karena baru saja diputuskan Kevino dan didiagnosa mengidap PCOS? Bila itu yang dilakukan Tito, pria tersebut telah melakukannya dengan amat baik. Jameka tidak lagi bersedih. Lebih dari itu, Jameka jatuh cinta pada Tito.

“Jang, makan siang nanti kita jenguk Carissa.”

“Gimana kalau lo aja? Soalnya semalem gue udah ikut nganter Carissa ke rumah sakit,” pinta Lih dengan nada memohon.

Jameka menatap pria itu dan menghela napas lantaran mengerti. Pasti berat bagi Lih. Harus bekerja di tempat yang tidak disukainya, dituntut beradaptasi dengan cepat, dan sekarang diminta menemani Jameka menjenguk Carissa—di saat semalam Lih sudah ikut mengantar ke rumah sakit. Lih tak akan suka direpotkan dengan hal seperti ini lagi.

“Ya udah, entar gue ke sana ngajak Fifian aja. Tolong pesenin buket bunga aja buat Carissa.”

“Oke.”

“Sama tolong pesenin taksi online.”

“Oke.”

“Thanks, Jang.”

“Sama-sama.”

♪♪♪

“Makasih, ambil aja kembaliannya, Pak,” pungkas Jameka kepada sopir taksi daring yang telah mengantarnya ke rumah sakit tempat Carissa dirawat. Sopir tersebut kembali berterima kasih. Setelah ia dan Fifian turun, mobil itu segera pergi.

Meski sudah diberitahu Lih perihal letak kamar inap Carissa, tetapi Jameka dan Fifian tetap pergi ke resepsionis dulu untuk menanyakan kepastiannya. Setelah mendapatkan informasi lengkap dengan petunjuk jalan, termasuk akses lift, mereka ke sana.

“Saya juga baru tahu jam sepuluh tadi, Bu. Untungnya ada Pak Tito yang langsung gercep bawa Carissa ke rumah sakit ditemenin Pak Lih. Waktu kami teleponan tadi, kata Carissa, Pak Tito yang ngabarin keluarganya, beliin tiket pesawatnya ke sini, pokoknya semuanya yang ngurus itu Pak Tito. Bener-bener beruntung Carissa dapet pacar kayak Pak Tito,” cerita Fifian ketika mereka di dalam lift.

Hati Jameka makin tidak karuan. Ingin sekali ia menjejali mulut sahabat Carissa ini menggunakan buket bunga di tangannya agar diam. Kata-katanya sungguh menusuk hati. Namun, tentunya tidak ia lakukan.

“Begitu ya, Bu Fifian,” balas Jameka dengan hati setenang air keruh.

Sejak masuk sampai jam makan siang tadi, Jameka tidak terlalu fokus bekerja karena memikirkan Tito. Ia berdalih pada diri sendiri untuk mematikan ponsel karena harus bekerja, bukan untuk menghindari telepon dari Tito—jikalau pria itu memang menelepon. Kenyataannya tidak seperti yang diharapkan Jameka yang sok ingin ngambek. Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Tito. Ternyata sekarang ia sudah tahu jawabannya. Pria itu sibuk mengurus segala keperluan Carissa dan keluarga wanita itu. Benar-benar pacar idaman, sepeti kata Fifian.

“Bu Jameka nggak ngajak Pak Kevino ke sini? Setau saya Pak Kevino juga kenal Carissa. Waktu itu Bu Jameka, Pak Kevino, Pak Tito, Carissa, sama kembarannya Pak Kevino pernah makan malam bareng, kan?” tanya Fifian.

“Oh, dia ada kerjaan,” jawab Jameka sekenanya, tetapi tidak menyalahkan Fifian. Yang wanita itu tahu, Jameka masih bersama Kevino. Jameka juga tidak ingin menceritakan bentuk hubungannya dengan Kevino.

“Dengar-dengar Bu Jameka mau nikah sama Pak Kevino, ya?”

“Kata siapa?” tanya Jameka balik dan cukup kaget. Dari mana gosip itu berasal?

“Kata Carissa.”

Mungkin karena Carissa melihatnya menangis sambil menggenggam beberapa tespek, makanya bisa menyimpulkan demikian, pikir Jameka sederhana.

Jameka ingat betul Carissa menenangkannya, dan memintanya untuk menelepon wanita itu bila Kevino tidak mau bertanggung jawab; bila hasilnya tidak sesuai keinginan Jameka. Namun, Jameka tidak menelpon Carissa walau Kevino telah memutuskan hubungan. Yang dilakukan Jameka malah mengajak pacar Carissa pergi, menjadi anak SMA, dan lebih parahnya lagi, jatuh cinta pada pacar Carissa. Jameka merasa menjadi pemeran antagonis di sini.

“Apa lagi yang Bu Carissa ceritain?” korek Jameka yang sebenarnya khawatir Carissa menceritakan soal tespek itu pasa Fifian.

“Cuma itu doang, sih, Bu.”

Jameka menghela napas, tetapi Fifian tidak mendengarnya lantaran suara tersebut tertutup oleh dentingan lift yang menandakan mereka telah tiba di lantai tujuan. Keduanya pun keluar dan berbelok ke kanan, kemudian mencari-cari ruang rawat inap Carissa.

Setelah mendapat penanganan di ruang IGD, melakukan CT scan serta beberapa tes lain, dan dokter tidak menemukan sesuatu yang berbahaya kecuali keretakan pada tulang kering kaki kanan Carissa serta beberapa lebam, juga beberapa jam dilakukan diobservasi, Carissa dipindah ke ruang rawat inap.

“Ini dia ruangannya, Bu,” tunjuk Fifian kepada Jameka.

Fifian mengetuk pintu. Beberapa detik berikutnya seorang pria paruh baya membukanya sedikit. Jameka tertegun, tak mampu bergerak, dan masih mematung di tempatnya berdiri kala tak sengaja melihat ke dalam.

Walau hanya melalui pintu yang dibuka sedikit, Jameka bisa melihat Tito duduk di sebelah ranjang Carissa. Tangan pria itu digenggam Carissa yang sedang menangis sambil menggeleng-geleng. Tito masih mengenakan seragam SMA dilapisi jumper abu-abunya kemarin. Tudung jumper itu dikenakan sehingga wajahnya tidak terlihat karena posisinya menyamping. Mereka tidak sadar ada tamu, atau tepatnya mungkin tak peduli.

Saking paniknya dia sampai nggak sempet ganti baju, batin Jameka miris.

Betapa irinya Jameka kepada Carissa karena bisa dicintai Tito seperti itu. Bagaimanapun, tindakan tentu lebih bisa dipercaya ketimbang omongan. Pandai bicara, tetapi tidak bertindak sama saja dengan omong kosong. Jameka dapat jelas melihat perbedaan itu. Tito lebih mengambil tindakan untuk melakukan apa pun demi kebaikan Carissa. Sedangkan kepadanya? Tito hanya memberikan omongan.

Bagaimana dengan petualangan mereka kemarin? Apa itu bukan berupa tindakan? Namun, mereka benar-benar lupa Tito pacaran dengan Carissa. Ataukah hanya Jameka?

Lamunan Jameka tersentak oleh suara pria paruh baya yang menyambutnya dan Fifian. Dengan spontanitas yang tak perlu diperintah otaknya, Jameka memposisikan diri menyamping, tidak ingin melihat ke dalam atau dilihat dari dalam. Ia cukup menyesal datang kemari. Jika bukan karena bentuk moral sebagai atasan dan dirinya kenal dengan Carissa secara pribadi, Jameka tak akan sudi kemari. Lebih-lebih bila disuguhi pemandangan seperti ini.

Salah Jameka. Semuanya salah Jameka sendiri. Kenapa ia datang ke basecamp setelah dari dokter kandungan dan diputuskan Kevino? Kenapa ia memiliki ide cosplay jadi anak SMA bersama Tito? Dan kenapa ia jatuh cinta pada Tito Alvarez? Kepada pria yang sudah memiliki pacar? Jameka bukan tipe wanita seperti itu. Namun, bersama Tito, kenapa ia bisa berbuat demikian? Ia harus sadar bahwa Carissa bukan wanita-wanita yang pernah dijajal Tito. Dan Jameka tak menjadi nomor satu lagi melebihi wanita-wanita jajakan Tito. Posisinya sudah bergeser digantikan Carissa.

Kemarin Tito pasti hanya berbuat baik. Tito pasti menyayanginya seperti keluarga. Ungkapan jatuh cinta pria itu .... Jameka tidak bisa berpikir jernih.

Sekali lagi, dengan perasaan kacau, Jameka berusaha fokus pada apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia ingin kabur, tetapi sudah terlambat. Jadi, ia harus melaluinya. Maka dari itu, ia kembali fokus pada pria paruh baya yang—notebene ayah Carissa, sedang menjabat tangan Fifian. Pria itu lantas beralih ke Jameka.

“Dan ini?” tanya ayah Carissa dengan sopan.

“Ini Bu Jameka, Pak. Atasan kami.” Fifian dengan sopan mengenalkan mereka.

“Jameka?” panggil seseorang kepada Jameka.

Jameka yang menjabat tangan ayah Carissa, Fifian, dan ayah Carissa pun menoleh ke sumber suara tersebut yang rupanya berasal.

“Kevino?”

____________________________________________________


However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

Kevino Eclipster (santuy dulu nggak sih?)

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Minggu, 24 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro