Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 38

Selamat datang di chapter 38

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

We will be a lovely goat couple in another universe.”

—Tito Alvarez
____________________________________________________

“Udah siap?” tanya Tito begitu mendengar langkah-langkah kaki Jameka menuruni tangga. Bertepatan dengan dirinya yang baru saja selesai menali sepatu.

Tito mendongak, menatap Jameka yang sudah berdiri di depan sofa yang ia diduduki. Mereka spontan saling berpandangan untuk menilai penampilan masing-masing.

“This isn’t bad, right? Kita masih cocok jadi anak SMA,” komentar Jameka dengan pipi yang sejak tadi naik terus. Dengan bangga, ia berkacak pinggang sebelum berputar pelan untuk menunjukkan penampilannya pada Tito.

Tito mengangguk, cukup puas dengan Jameka yang tak berdandan sama sekali. Wajah wanita itu bersih, mulus, mengilat, tanpa kerutan pertama tergerusnya usia, dengan bibir merah natural yang seakan-akan baru saja dicium. Namun, Tito tidak ingin mengisi pikirannya dengan hal-hal kotor. Bagaimanapun, mereka sedang berlagak jadi anak SMA. “Lo kelihatan lebih muda beberapa tahun kalau nggak pakai mekap kayak gini, Jameka. Masih cocok banget pakai seragam ini,” pujinya tulus. “Dan gue bercanda. Emang belum ada kerutan di wajah lo.”

“Ya emang! Gue, kan, masih SMA sekarang!” seru Jameka percaya diri guna menutupi kerikuhannya yang bertambah akibat pujian Tito yang bertambah. “Ayo berangkat!” Dengan semangat menyala-nyala bagai api baru disulut, ia menggamit lengan pria itu yang sudah bangkit dari sofa. Mereka pun berjalan keluar.

“Kita mau ke mana dan ngapain aja? Gue nurut sama lo, Yang Mulia Ratu Jameka Michelle.”

Tawa kecil mengudara dari mulut Jameka. Masih seriang tadi, ia membeberkan, “Gue udah bikin beberapa rencana. Pertama-tama kita ke Pak Man dulu ngisi perut. Jujur gue laper banget belum makan. Abis itu ke Dufan, nyoba beberapa permainan kayaknya seru, deh! Terus kita bisa nonton, dan pulangnya ke warteg langganan lo yang katanya buka dua puluh empat jam itu.”

Rencana-rencana Jameka terdengar sempurna bagi Tito. Selayaknya anak SMA yang berpacaran sehabis pulang sekolah. Tito tidak ingin berharap atau mengutarakan pikirannya, takut Jameka lari atau ngambek lagi. Paling penting, ia tidak ingin ditolak; sudah cukup hatinya sakit akibat penolakan Jameka, lalu ujung-ujungnya mereka tidak jadi pergi. Dan Tito akan berakhir menelan pil kekecewaan kembali. Jadi, ia harus belajar dari pengalaman.

Namun, setelah ditelaah lebih dalam, ada yang kurang pas dari rencana Jameka. Untuk mengantisipasinya, Tito memperingatkan, “Kayak lo mau aja ke warteg? Terakhir kali kita ke sana, lo nangis-nangis minta balik ke mobil gara-gara penjualnya goreng ikan. Lo ngatain gue jahat gara-gara makan ikanlah, ikan berhak hiduplah, apalah. Jadi, lebih baik yang lain aja. Gue bakal ikutin lo jadi kambing lagi.”

Jameka kembali mengudarakan tawa kecil. “Nggak apa-apa, kali ini gue bakal nahan itu demi lo. Biar lo jadi singa, bukan kambing!”

“Demi gue jadi singa?” ulang Tito pura-pura syok. “Terharu banget gue,” sarkasnya. “Ya udah kita ke warteg. Awas aja kalau nanti nangis-nangis minta pulang gara-gara penjualnya goreng ayam!”

“Kagak .... Gue janji bakal nahan. Kagak nangis. Gue bakal ngumpet di ketek lo kalau nggak tahan.”

“Beneran, ya. Bau minyak Gandapura hasil karya lo, nih!” Tito menyodorkan badannya untuk menggoda Jameka, ingin melihat ekspresi jijik wanita itu. Yang rupanya tidak dihiraukan oleh wanita itu.

Jameka lebih tahan banting oleh godaan candaan Tito. Wanita itu kukuh berjanji sekaligus meledek, dengan tawa masih melekuk di bibirnya. “Bener, To. Ini demi lo. Biar lo nggak jadi kambing yang mesti ikut gue makan sayur terus.”

Ekspresi Jameka sama sekali tidak mengecewakan Tito. Pria itu justru ikut tertawa. “Pengertian banget, Sayangku. Alright, we will be a lovely goat couple in another universe,” celoteh Tito seraya mengusap-usap puncak kepala Jameka.

“Ih! Jangan diacak-acak, dong! Entar rambut gue berantakan!” protes Jameka serta menepis tangan Tito. “Lagian kenapa harus jadi kambing, sih? Kenapa nggak singa aja?”

“Gue pengin lihat muka lo jadi kambing!” Bukannya dan merapikan rambut Jameka. Tito malah lebih semangat mengacak-acak rambut wanita itu lebih parah daripada tadi, lalu kabur sambil menjulurkan lidah.

“Tito! Jail banget! Dasar kambing congek!” teriak Jameka sebal, tetapi ikut tertawa, dan berlari mengejar Tito.

♪♪♪

Jabang bayi lanang wedok!” sebut Pak Man dengan logat Jawa kentalnya sambil mengurut dada. “Mbak Jameka sama Mas Tito, kok, pakai seragam SMA?” tanya pemilik kedai mie ayam dan bakso solo itu lantaran benar-benar kaget ketika melihat mereka melintas di depan gerobak birunya, naik Vespa kuning Lih.

Setelah berhenti di bawah pohon tak jauh dari gerobak biru, Jameka melepas helm lalu menghampiri Pak Man. “Gimana, Pak? Masih pantes, kan?” tanyanya yang kemudian melepas jaket tudung Alan Walker hitam favorit Tito yang dikenakannya, dan tidak sadar memeluknya erat-erat. Persis selama perjalanan dari basecamp menuju kemari. Bedanya ini jaket. Sedangkan tadi ia memeluk pinggang Tito sekaligus mencuri-curi aroma kolonye khas pria itu, bukan wangi minyak Gandapura. Karena rupanya Tito sudah menyempatkan diri menyabuni punggungnya sampai kinclong supaya aroma minyaknya hilang.

Sedari tadi pun, pipi Jameka—yang bersemu merah—terus naik akibat pikirannya dipenuhi ekspresi Tito saat mengutarakan perasaan kepadanya. Sampai lupa bahwa Pak Man di sebelahnya sedang merespons ucapannya.

“Pantes, Mbak. Masih pantes. Mas Tito juga masih pantes pakai seragam SMA. Tatonya juga dihilangin. Jan ...., pangling tenan Pak Man, Mbak ....”

Jameka otomatis melihat Tito yang melepas jumper abu-abu longgar dan menyampaikannya di jok sembarangan. Pria itu mengambil ransel dari gantungan bawah setir sebelum mencangklongnya.

“Sama, saya juga pangling sama Tito,” balas Jameka yang lumayan bangga telah membantu menutupi seluruh tato-tato Tito—menggunakan alas bedak high covered yang dibeli khusus untuk warna kulit agak gelap Tito—yang tidak bisa ditutupi menggunakan seragam.

“Bener-bener bikin pangling semua. Mbak Jameka tambah cuantik puol, Mas Tito juga tambah muanis, Mbak ....”

Jameka lebih fokus pada pujian Pak Man untuk Tito dibandingkan pujian yang ia dapat dari pria paruh baya yang sudah dikenalnya sejak lama tersebut. Berhubung tidak ingin terlihat menyetujui pendapat Pak Man tentang Tito, Jameka memilih topik lain. “Tito tadi kelaparan, tuh, Pak. Sama pengin es jeruk cekek dari tadi. Tolong dibikinin ya, Pak.”

Pak Man menghentikan kegiatannya menata mangkok untuk mengacungkan jempol kepada Jameka. “Siap, Mbak. Kayak biasanya, kan? Mie ayam tanpa ayam buat Mbak Jameka sama mie ayam bakso buat Mas Tito?”

“Iya, Pak.”

“Hahaha! Pak Man ini masih ndak habis pikir. Tiap kali Mbak Jameka ke sini pesen mie, selalu paling unik sendiri. Mie ayam ndak pakai ayam. Jadinya, kan, mie doang?”

“Nggak apa-apa, Pak. Jangan lupa es jeruknya dua, ya?”

“Beres, Mbak.”

Setelah memesan dan melihat Tito berjalan menuju gerobak biru, Jameka mencari tempat duduk kosong yang kebetulan ada di dekat ibu-ibu yang berpakaian sama. Mereka mengenakan atasan merah jambu mencolok dan bawahan hitam. Warna baju dan bawahan memang seragam, tetapi semuanya mengenakan gaya baju berbeda-beda. Mereka sepertinya habis menghadiri acara arisan. Mereka pun merapatkan beberapa meja supaya bisa bersama. Obrolan mereka cukup keras, tetapi Jameka sama sekali tidak terganggu sebab sibuk mengarahkan netra dan rungunya kepada Tito.

Pria itu mengambil garpu untuk mencomot sebutir pentol yang lantas dimakannya, sembari bercakap-cakap dengan Pak Man yang mengiris sawi. Mereka membicarakan alasan mengenakan seragam SMA. Tito beralibi ada acara kantor. Pak Man mengangguk-angguk paham. Setelah menelan makanannya, Tito tersenyum lagi dan tanpa sadar Jameka mengeratkan pelukan di jaket Tito sampai kepalanya telungkup di meja.

Setelah menyadari bahwa ia telah resmi jatuh cinta pada pria itu, Jameka makin mirip remaja betulan. Pipinya bersemu merah terus dan jantungnya tak bisa berjalan sesuai ritme normal. Dan detak itu kini berpacu lebih cepat kala Tito menghampirinya.

Tito tidak langsung duduk di sebelah Jameka, melainkan berhenti untuk memuji penampilan ibu-ibu yang duduk di sebelah mereka.

Outfit-nya keren, Bu-Ibu,” pungkas Tito dengan senyum bangga dan disambut ramai oleh ibu-ibu. Bahkan ada yang sampai memberitahu Tito tentang acara yang baru saja dihadiri mereka, yang lanjut ingin makan mie ayam dan bakso di sini.

Itu bukan peristiwa langka yang baru dijumpai Jameka. Sudah amat sering Tito melakukan hal tersebut di mana pun bersama Jameka. Terutama saat mereka makan—kecuali di tempat vancy. Tito memang supel dan humble. Mengajak bicara semua kalangan yang ditemuinya tanpa pandang bulu. Bahkan tak jarang anak kecil yang bermain layang-layang di dekat basecamp. Tak jarang juga Tito memberikan beberapa lembar uang pada mereka, menyuruh mereka sekolah yang pintar, sampai lulus, dan melarang mereka jadi anak nakal.

Dalam kondisi biasa, Jameka selalu akan memutar bola mata malas. Namun, dalam kondisi tak biasa ini, ia tidak melakukannya. Sejak detik ini, ia jadi amat menyukai atmosfer di sekelilingnya, terutama ketika sedang bersama Tito. Ia menyukai mengobrol dengan Tito, bercanda dengan pria itu, ia bahkan menyukai cara Tito menyempatkan diri berpamitan pada rombongan ibu arisan, Pak Man, serta semua pegawai yang bekerja di kedai ini.

Setelah makan, mereka melanjutkan petualangan ke Dufan untuk menjajal beberapa permainan ekstrem. Jameka dan Tito menjerit-jerit saat menaiki roller coaster. Mereka mual, tetapi tidak sampai muntah.

“Ini pasti gara-gara kita habis makan,” tutur Tito sambil memegangi perut, sama seperti Jameka.

Wanita itu pun menyetujui Tito. “Iya, ini pasti gara-gara kita habis makan. Makanya perut kita rasanya kayak diaduk-aduk. Untung kagak muntah.”

“Kita beli minuman segar dulu aja buat ngilangin mual,” ajak Tito.

Lagi-lagi Jameka menyetujui usulan Tito dan lagi-lagi dengan penuh semangat menggamit lengan pria itu. Tak jarang juga Tito menggandengnya. Dan amat lucu bagi Jameka yang merasa digandeng Tito nyaris membuatnya pingsan. Padahal mereka sudah tidak asing dengan gandengan.

Setelah menghabiskan lemon madu segar dan membeli topi kembar, mereka menaiki gondola sebelum pergi ke Sea World. Momen-momen menyenangkan itu tentunya tak lupa mereka abadikan di ponsel. Kebetulan ponsel Tito baterainya habis, jadi terpaksa menggunakan ponsel Jameka. Berhubung tidak ingin diganggu atau dipusingkan dengan kerjaan atau apa pun, Jameka mengatur ponselnya dalam mode pesawat.

Ketika matahari telah hampir tenggelam, mereka lanjut menonton film komedi campur horor sambil makan berondong jagung serta minum soda. Berikutnya mereka menjalankan agenda terakhir makan di warteg langganan Tito. Pria itu pun bercakap-cakap dengan ibu pemilik warteg.

“Habis ada acara di kantor. Disuruh cosplay jadi anak sekolah. Ya udah kami pakai seragam SMA aja. Malah ada yang pakai seragam SD sama SMP tapi udah kumisan,” kilah Tito kepada ibu tersebut setelah menunjuk-nunjuk lauk mana saja yang ingin ia dan Jameka makan. Alasan itu sama dengan yang diberikan Tito kepada Pak Man.

“Oh, pantesan .... Tapi masih cocok, loh,” puji wanita paruh baya tersebut setelah tawanya lepas lantaran membayangkan anak SD dan SMP berkumis. Ia lantas memerintah kepada pegawainya untuk membuatkan es teh manis untuk Tito dan Jameka.

Untungnya warteg langganan Tito tidak ada siaran langsung acara masak-memasak di depan Jameka.

“Masaknya nanti mulai jam tiga. Persiapan buat orang sarapan. Kalau jam segini ngeracik bumbu dulu. Biar nanti enak masaknya, tinggal cemplang-cemplung,” terang ibu pemilik yang tentunya amat melegakan Jameka.

Berbeda dari respons Jameka. Pria itu malah mengeluh, “Yah, padahal udah nyiapin ketek buat persembunyian Yang Mulia Ratu Jameka.”

“Iyuh!” Jameka pura-pura memencet hidung dan menghindar.

Namun, Tito merasa bangga kepada wanita itu yang tidak protes sedikit pun makan di warteg. Kata Jameka terong balado dan tempe oreknya juara. Tito juga merasa Jameka banyak tertawa dan lebih peduli. Seperti dengan cekatan mengambil tisu kering untuknya atau memesankannya es teh lagi, atau mengambilkan kerupuk.

Setelah menghabiskan makanan mereka hingga ludes, Tito membayar semuanya dan mereka berjalan ke Vespa kuning Lih. “Mau pulang?” tanya Tito.

“Nggak pengin pulang, tapi gue udah cukup capek,” jawab Jameka sembari mengenakan jaket Tito sebelum lanjut mengenakan helm yang disodorkan pria itu.

Helm tersebut milik Tito, sedangkan helm Lih dipakai Tito. Jameka yang memilihnya demikian dan Tito tidak ingin ribut menolak atau mencari tahu alasannya. Barangnya dipakai wanita yang dicintainya, kenapa Tito harus protes? Ia justru merasa bangga dengan itu. Artinya Jameka lebih nyaman memakai barangnya, kan? Apa tidak jingkrak-jingkrak hati Tito?

“Oke, kita pulang,” kata Tito yang sudah mengenakan jumper dan helmnya sendiri, lalu menaiki motor seraya menyalakannya. “Mau gue antar pulang ke mana ini?”

“Ke kondo aja,” balas Jameka sewaktu naik di jok belakang. Tak lupa tangannya melingkari pinggang Tito. Jameka tidak bisa melihat pria itu menarik bibirnya ke atas membentuk senyum.

“Nggak ke kamar gue?” tawar Tito yang lekas-lekas menambahkan kalimatnya agar Jameka tidak salah paham. “Entar gue tidur di sofa depan TV kayak biasanya kalau lo jadi penguasa sana.”

“Nggak, deh. Gue pulang aja,” tolak Jameka. Sekarang rasanya ia tidak sanggup tidur di kamar Tito karena gugup. Bagaimana kalau malam-malam ia menyelinap keluar kamar dan mencium pria itu yang terlelap dalam tidurnya?Jameka menggeleng untuk mengenyahkan pikiran melantur itu. Lagi pula ia benar-benar lelah.

Beruntungnya Tito tidak memaksa dan hanya mengiyakan. Jameka merasa pria itu selalu menurutinya hari ini. Khususnya setelah mereka melakukan rencana-rencana Jameka. Tidak ada genderang perang yang disulut pria itu yang bisa membuat Jameka marah atau emosi. Oleh karenanya, Jameka menjuluki hari ini merupakan Setengah Hari Tito Penurut.

Ketika Tito mengeratkan pelukan Jameka sebelum melajukan motor, Jameka nyaris menyandarkan kepala di punggung pria itu, tetapi urung. Meski tahu Tito tidak akan menolak karena Setengah Hari Tito Penurut, hanya saja ia agak malu. Entah kenapa terkena sindrom merah jambu bisa membuatnya malu-malu begini, benar-benar persis remaja tanggung yang baru merasakannya.

Jameka pernah jatuh cinta pada River Devoss, bahkan pria itu merupakan cinta pertamanya yang paling membekas dan selamanya tak akan pernah bisa dihilangkan dalam ingatannya. Kecuali Jamkes amnesia. Namun, itu jelas jenis cinta yang berbeda dengan Tito. Jameka jatuh cinta dengan River dengan sikap dewasa dan logis, serta diperlakukan secara dewasa, seperti kebanyakan pasangan pada umumnya di New York.

Namun, tidak dengan Tito. Ia jatuh cinta karena pria itu Tito Alvarez. Karena pria itu sudah terbiasa ada di hidupnya, membuatnya merasakan berbagai perasaan. Dan Tito selalu ada untuknya dalam kondisi apa pun, seburuk apa pun. Tanpa sadar, Jameka lebih mengeratkan pelukan, tetapi tidak sampai membuat Tito kesulitan bernapas. Mungkin Tito juga telah mendengar jantung Jameka yang berdegup kencang dan Jameka tidak lagi peduli. Hatinya benar-benar berbunga-bunga.

Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol apa saja yang ditemui di jalan. Mengomentari pengendara jalan, cara berpakaian, cara menyetir, hingga helm perusak ketampanan yang dipakai salah satu pengendara.

Ketika berhenti di lampu merah, Tito melepas tangannya dari satu setir untuk meletakkan tangan itu di kedua punggung tangan Jameka yang melingkari pinggangnya. Seperti menahan tangan Jameka tetap di sana. Seolah-olah Jameka adalah dunianya, pegangan hidupnya. Pria itu juga memutar tubuh beberapa derajat agar bisa melihat Jameka sepenuhnya sambil menceritakan anekdot.

Mereka kembali tertawa lepas, bak hidup tanpa beban. Mereka melupakan asal usul, latar belakang, dan status percintaan. Mereka hanya menjadi diri sendiri, hanya saja dalam balutan seragam SMA.

____________________________________________________

Kira-kira Jameka bakal dibungkus Tito nggak, nih? 😆😆😆

However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez

Simulasi Tito dan Jameka jadi kambing di universe lain

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Jumat, 22 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro