Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 35

Selamat datang di chapter 35

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Saya pikir jatuh cinta selalu mengejutkan, bukan?”

—Josh Dallas
____________________________________________________

Salah besar Jameka mengakui hal tersebut kepada Tito. Terutama saat ia menjumpai Tito dalam mode kalem. Karena, bukan empati, simpati, atau hal positif lain yang ia dapatkan dari pria itu. Melainkan olokan. Sebab Tito telah kembali ke setelan pabrik.

“Rasain! Gue udah bilang dari dulu! Lo malah bandel! Rasain sendiri sekarang! Mampus nggak lo?!” maki Tito penuh semangat, lalu berpamitan, “gue mau beli es jeruk cekek dulu! Selamat bergalau ria, Sayangku!

Sumpah Jameka syok. Dirinya yang semula dilanda kesedihan, dalam hitungan detik suasana hatinya berubah 180 derajat jadi kesal sekali.

“Tito ...!” Jameka menjerit-jerit sambil beranjak dari kasur. Semua umpatan keluar dari mulutnya seraya mengambil bantal dan guling yang kemudian dilemparkan ke Tito. “Tito Kadal Sawah .... Sini lo! Gue gebukin lo sampai bonyok!”

Sayang sekali. Untuk kesekian kalinya, Jameka meleset. Bantal dan guling yang melayang hanya menghantam pintu yang ditutup agak kencang oleh Tito.

Tidak ingin putus asa semudah itu. Dengan penuh semangat, Jameka mengejar Tito. “Tito ...! Sini gue bilang!” panggilnya dengan suara menggelegar.

“Jang ..., tolongin gue, Jang! Gue dikejar kuntilanak merah yang lagi ngamuk!” teriak Tito.

Mendengar kegaduhan yang dibuat Jameka dan Tito, Lih terkaget-kaget sampai nyaris melempar es jeruk cekeknya yang masih sekali sedot. Dan belum sempat ia diberi jeda waktu untuk mencerna keadaan, daun telinganya sudah dibelai oleh suara-suara langkah kaki cepat yang menuruni tangga.

“Sini gue bilang! Dasar kadal sawah!” pekik Jameka sembari membawa sebelah stiletto-nya yang siap diterbangkan ke Tito. Syukur-syukur bagian tumit lancip tinggi itu bisa tepat sasaran mengenai muka Tito.

Tito berlari ke belakang sofa yang diduduki Lih sambil mengintip-intip Jameka. “Ogah! Ngapain gue nyamperin lo? Dapet gebuk pula! Ogah banget! Hiii! Baru tahu kuntilanak merah bisa muncul siang bolong gini. Atau jangan-jangan lo bukan kuntilanak merah, Jame. Tapi sundel bolong!”

“Tito!” pekik Jameka lagi yang sudah berhenti di depan sofa tempat Lih duduk. Pria pendiam itu sontak angkat tangan. “Minggir, Jang!” titah Jameka.

“Oke, Yang Mulia Ratu,” jawab Lih patuh. Dengan senang hati tanpa disuruh pun, ia pasti akan minggir. Sayangnya, ia tidak bisa ke mana-mana. Kemeja bagian punggungnya ditarik-tarik Tito untuk dibuat tebeng perlindungan. “Gue kagak ikut-ikutan, ya, To! Minggir!” pinta Lih agak jengkel.

Dan Tito tidak mematuhi perintah Lih. “Bentar, Jang. Jangan minggat dulu. Lindungi gue dari nenek sihir itu dulu.”

“Tito kurang ajar!” teriak Jameka yang masih berusaha menangkap Tito, tetapi terhalang Lih. Akhirnya ia melempar stiletto dan lagi-lagi meleset. “Argh! Gara-gara lo, sih, Jang! Meleset, kan ...! Minggir sono!”

Tuh, kan, jadi gue lagi yang kena. Dari tadi juga berusaha minggir ini, batin Lih.

“Hiii! Sumpah ini creepy banget!” cicit Tito yang makin rajin berlindung di belakang Lih.

Bisa-bisanya gue jatuh cinta sama cegil alias cewek gila macem Jameka Michelle, batin Tito tak karuan. Ia memang baru pertama kali mengalami sindrom merah jambu seperti ini. Sehingga baru memahami bahwa rupanya cinta tidak memandang apa pun; tidak memandang fisik, tempat, waktu, umur, tidak juga melihat-lihat keadaan.

Meski Tito dikejar-kejar Jameka—dalam arti sebenarnya, bukan kiasan bagi istilah percintaan—layaknya pencuri dikejar polisi, tetapi kabar baiknya Jameka sudah putus dengan Kevino. Bukankah itu semakin memperjelas langkah yang akan Tito ambil selanjutnya?

Berhubung sedikit melamun, pertahanan diri Tito jadi melemah. Cengkraman tangan Tito di kemeja bagian punggung Lih pun terlepas. Lih buru-buru pergi meninggalkan Tito bersama Jameka yang masih menjelma jadi banteng yang siap menyeruduk bendera merah.

Jameka yang merasa memiliki kesempatan bagus sontak naik sofa dan berteriak, “Rasain ini kadal sawah!”

Di teras depan, Arga bersama teman-temannya yang masih duduk-duduk praktis menghentikan nyanyian serta genjrengan gitar sebab mendengar teriakan samar-samar. Mereka saling berpandangan dan memasang pendengaran setajam mungkin. Untuk memastikan apa yang terjadi sebenarnya dan siapa yang berteriak-teriak di cuaca terik ini. Ketika Lih keluar dari pintu utama dengan tergesa-gesa, Arga dan lainnya refleks memelotot, tanda mengerti situasi.

“Aduh! Gawat! Pasti Yang Mulia Ratu Jameka tantrum gara-gara Bang Tito,” celetuk Arga sambil bergidik ngeri. Ia dan teman-temannya hafal betul kejadian seperti ini lantaran kerap terjadi.

“Cabut, yok! Cabut kita!” ajak semua orang yang duduk di sana.

Arga mengangguk-angguk cepat dan nyaris melempar gitar ke kursi rotan. Ia memang terburu-buru, tetapi masih sempat-sempatnya mengambil gorengan dan gelas es jeruknya sebelum lari terbirit-birit menyusul teman-temannya.

***

“Ssshhh! Pelan-pelan, Jameka!” desis Tito sembari meringis dan menggerak-gerakkan punggungnya yang diolesi minyak gandapura oleh Jameka. Tepat di daerah lebam-lebam hasil karya wanita itu dengan bogem.

“Sorry, sengaja, To,” jawab Jameka sengak, “masih untung gue cuma nonjokkin punggung lo pakai tangan doang. Lemparan gue meleset, sih.”

“Cegil sadis—aduh! Sakit, Jameka!” Agar tidak terkena gebukan Jameka lagi, Tito berguling ke kasur dengan posisi tengkurap. Beruntungnya Jameka melepaskannya. “Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai itu tumit stiletto lo nancep di punggung gue.”

“Bukannya lo masokis? Suka yang sadis-sadis kayak gitu?”

“Kagaklah? Kocak lo!” maki Tito, “dapet kenikmatan kagak, babak belur iya. Sakit semua kayak gini.”

“Sesuai omongan gue, kan?”

“Dasar cegil!” olok Tito pelan yang rupanya diabaikan Jameka sebab wanita itu sedang sibuk sendiri.

Setelah menutup minyak gandapura, Jameka mengelap tangan menggunakan tisu yang terletak di meja kerja. Sayangnya ternyata aroma minyak tersebut yang khas masih menempel. “Lo punya tisu basah nggak, To?” tanya Jameka, celingukan ikut mencari-cari.

“Tisu ajaib, noh, di laci meja kerja.”

“Iyuh! Emang manusia satu ini kagak bisa diharepin!” Untuk membuang tisu kering bekasnya, Jameka berjalan ke tempat sampah di sebelah meja kerja yang terletak di dekat pintu kamar. Setelah tenaganya dikeluarkan sia-sia gara-gara dibuat emosi dan menggebuki Tito, sepertinya ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk ke kamar mandi.

“Bukannya lo biasanya bawa begituan di tas?” Kebetulan tas Jameka teronggok di karpet sebelah kasur, tepat di sebelah Tito. Jadi, tanpa seizin Jameka—karena sudah terbiasa juga, masih dengan posisi tengkurap, ia menggapai tas tersebut secara ogah-ogahan.

Kepala Jameka menoleh cepat sekali sewaktu mendengar zipper tasnya dibuka Tito. Ia pun buru-buru mencegah, “To, biar gue aja yang am—”

Sayangnya terlambat. Jameka sontak berhenti bicara lantaran melihat Tito sudah duduk tegak. Kedua alis pria itu berkerut dalam, dengan tatapan mata betul-betul memperhatikan beberapa alat uji kehamilan dengan hasil positif di tangannya.

“Lo hamil, Jame?”

Mendapat pertanyaan yang dilafalkan dalam nada serak, berat, dan dalam dari Tito, jantung Jameka berdebar-debar. Ia yakin organ pemompa darah tersebut akan keluar seandainya tidak ada tulang rusuk yang melindunginya.

“Enggak, To,” jawab Jameka lemah tanpa memandang Tito lantaran teringat lagi hasil pemeriksaan dokter tadi dan kejadian setelahnya.

“Enggak gimana? Semua testpack ini positif, Jameka. Lo hamil sama siapa? Katanya lo nggak nananina sama Si Bang Ke? Lo bohongin gue?”

Tentu saja Jameka menyangkal, “Nggak kayak gitu, To. Gue beneran nggak hamil. Nggak bohong. Serius.”

Tito tidak mempercayai Jameka karena buktinya jelas-jelas ada di tangannya. “Nggak usah bohongin gue demi ngelindungin si Bang Ke, Jameka!” desisnya.

“Gue nggak ngelindungin Kevino, To!” tekan Jameka.

Tito tidak menggubris dan terus mengoceh, “Dan sekarang lo malah diajak putus. Bangsat, tuh, cowok!”

Jameka menyiuk, nadanya pun kembali rendah saat menjawab, “Sebenernya bukan putus. Tapi cuma istirahat.”

“Halah! Cuma cewek goblok yang percaya kata-kata itu. Padahal itu cuma alasan si Bang Ke doang! Lo jangan mau dibodohin sama dia!” Sambil berbicara, Tito beranjak untuk mengenakan kausnya.

“Bukan kayak gitu, To,” sangkal Jameka. Mencoba tidak tersinggung dengan makian Tito. Sebab ia mulai panik ketika melihat Tito mencari-cari sesuatu dan menemukan kunci mobil di atas nakas sebelah kasur. “Lo mau ke mana?” tanya Jameka khawatir.

“Udah jelas, kan, gue mau ke mana? Pakai nanya lagi.”

“Ke Kevino? To, jangan, To .... Jangan berasumsi sendiri. Dengerin gue dulu. Gue bakal ceritain semuanya.” Jameka sengaja berdiri di depan pintu untuk menghalangi Tito. “Lagian lo nggak tahu di mana dia.”

“Cerita apa lagi? Ini udah jelas banget kebrengsekan si Bang Ke. Buka mata lo lebar-lebar! Nggak usah belain dia, Jameka! Dan gue bisa nyari dia dengan cara apa pun!”

Jameka menahan dada Tito yang sudah memegang gagang pintu di belakangnya. Ia mendongak untuk menatap sepasang iris gelap pria itu. “To, beneran gue nggak hamil. Gimana mau hamil juga? Gue aja nggak nananina sama Kevino atau sama siapa pun. Gue juga barusan dari rumah sakit ibu dan anak sama Kevino buat periksa. Hasilnya gue nggak hamil.”

“Tapi semua testpack lo hasilnya positif, Jameka,” kata Tito dengan nada ditekan-tekan. Penjelasan Jameka mustahil baginya.

“Itu false positif gara-gara ada PCOS yang bisa ganggu keseimbangan hormon.”

Tito kontan menghentikan aksinya mencoba membuka pintu. Ia menunduk guna menatap lekat kedua netra Jameka yang berkaca-kaca untuk mencari letak kebohongan di sana. Namun, tidak menemukannya. “PCOS?” gumamnya yang kemudian meneguk ludah. Kemarahannya terhadap Kevino berganti menjadi kekhawatiran terhadap Jameka.

“Iya, dokter bilang ada kista di ovarium gue. Dan itu harus dioperasi, To. Efeknya macem-macem. Termasuk gangguan kelancaran menstruasi dan gue ngerasain itu. Gue pikir nggak PMS selama tiga bulan itu karena hamil. Ternya bukan. Ada efek yang lebih parah. PCOS bisa bikin cewek obesitas sampai mandul.”

“Dan setelah tahu kabar itu, si Bang Ke malah ngajak lo break up?” bisik Tito dengan urat-urat kemarahan yang sudah bermunculan lagi di pelipisnya. “Selagi nada gue masih pelan, minggir, Jameka. Jangan halangin gue. Gue nggak bisa lihat lo digiin! Si Bang Ke keparat itu harus gue kasih pelajaran.”

“To, please .... Jangan, To.” Kedua tangannya yang berada di dada Tito melemah. Entah kenapa ia malah tidak bisa menahan tangis. Tak peduli seberapa ganas ia memukuli Tito lantaran kesal, tetapi melihat kepedulian pria itu yang begitu besar terhadapnya, air matanya lolos begitu saja.

“Jameka,” panggil pria itu berubah lirih, bingung. Kedua tangannya pun naik ke wajah Jameka dan mendongakan wanita itu. “Jangan nangis.”

“Terus gimana? Gue mesti ngapain? Asli gue capek, To. Sumpah gue capek. Makasih banget Lo mau peduli sama gue. Tapi, please .... Jangan nambah-nambahin pikiran gue dengan masalah baru. Which is, lo yang mau hajar Kevino,” mohon Jameka, “dan karena itu gue pengin tidur di sini. Kamar lo nyaman banget. Gue jadi bisa tidur nyenyak .... Setelahnya gue pasti bisa berpikir logis lagi. This isn’t just a place. Banyak tempat lebih bagus daripada kamar ini. Ada kamar adik gue juga di sini. But, your room seems like home to me, and I don’t know why?”

Apa sesungguhnya maksud Jameka? Apa boleh debar jantung Tito jadi secepat ini?

Tito mengusap air mata wanita itu menggunakan kedua ibu jarinya. Ia tidak lagi ingin berkomunikasi lewat verbal sebab takut kata-kata yang keluar dari mulutnya malah makin memperderas air mata Jameka. Oleh karena itu ia hanya menarik Jameka ke dalam pelukannya, menyediakan tempat bersandar. Tak peduli detak jantungnya yang kencang akan didengar Jameka.

“Meski dokter bilang sembilan puluh persen operasi kecil pengambilan kista selalu sukses dan terapi pasca itu bisa meningkatkan kesuburan, tapi tetep aja gue takut, To. Selain itu gue juga ngerasa bersalah sama Kevino karena pernah ngira gue hamil anak lo. Karena gue pernah ngira kita nananina sebelum Kevino jadi pacar gue dii malam gue mabuk. Tiap hari gue beli testpack. Pengin tahu hasilnya positif atau enggak. Sampai Kevino mergokin gue dan gue harus ngaku.

“Kevino nerima karena anggap itu kesalahan masa lalu gue yang nggak sengaja nananina sama lo gara-gara mabuk. Awalnya juga gue ngecek pakai testpack emang selalu negatif. Kevino juga nyaranin ke dokter kandungan buat mastiin. Tapi gue takut. Takut lo nggak ngakuin anak kita—kalau misalnya gue beneran hamil. Gue tahu lo, kan, womanizer. Jadi gue maju mundur terus. Sampai akhirnya gue beraniin ngecek dan hasilnya positif.

“Kevino kayak orang yang habis dijatuhi bom. Lo bayangin aja. Gimana perasaan cowok lihat ceweknya hamil anak cowok lain. Tapi nggak bisa ngelakuin apa-apa karena itu sebelum dia jadi cowoknya. Makanya dia nganterin gue ke dokter kandungan langsung. Dan ternyata gue nggak hamil. Malah nemu kista ovarium yang harus dioperasi. Dapet kabar jelek bertubi-tubi kayak gitu nggak cuma gue yang capek, To. Kevino juga. Walau gue sedih banget, tapi gue berusaha memaklumi dia yang ngajak break,” cerita Jameka panjang lebar, tetapi tak ada satu pun yang dipotong Tito.

Suara wanita itu berdengung lantaran tertahan oleh dada Tito. Namun, ia dapat menangkap maksudnya dengan jelas.

Sorry udah bikin lo kelabakan dengan sikap gue,” bisik Tito.

“Gue juga salah nggak langsung konfirmasi ke lo. Takut lo nggak ngaku. Makanya sampai bikin alibi cewek lain.”

“Nggak apa-apa. Dasarnya kita sama-sama salah,”  Jameka bergumam dan Tito lanjut meminta izin. “Boleh gue ngusap kepala lo, Jameka?”

Jameka tak bisa berkata-kata dan hanya mengangguk. Ia bahkan mengeratkan pelukannya pada Tito. Tubuh tegap pria itu terasa melindunginya. Aroma parfum Tito amat segar, ditambah usapan di kepalanya membuat Jameka lebih tenang. Ia bersyukur sekali ada Tito yang selalu ada dan peduli padanya. Ia jadi membayangkan bagaimana seandainya Tito tidak ada. Jameka pasti sudah gila.

“Lo tahu, nggak? Kenapa gue ngusap-usap kepala lo?” tanya Tito.

“Biar gue tenang.”

“Bukan. Tapi buat nyari ada pakunya atau enggak,” jawab Tito sambil cekikikan.

“Tito ...! Lo pikir gue kuntilanak? Argh ...! Kesel banget! Padahal gue udah hampir terharu, To!” rengek Jameka sembari menepis tangan Tito di kepalanya. Sekarang ia merasa konyol sekali karena menangis sambil tertawa. Dan siapa yang hanya bisa berbuat seperti ini kepadanya kalau bukan si kadal sawah bernama Tito Alvarez?

Menyadari hal tersebut, jantung Jameka mendadak mengentak tiga kali lipat melebihi normal. Ini bukan rekasi yang diduganya. Lalu ia mengusap air mata dan berhenti sebelum akhirnya merengek, “To ...! Mata gue perih kena minyak gandapura, To!”

Tito menganga, sebelum akhirnya berjongkok dan tak bisa menahan tawanya karena melihat Jameka mengucek-ngucek mata sambil jingkrak-jingkrak mirip bayi takut badut. Ia terpingkal-pingkal lebih dulu sambil menggebuki lutut, barulah membantu membawa Jameka ke kamar mandi dan mengguyurkan air ke wajah wanita itu.

“Tolol! Jangan kenceng-kenceng nyiramnya! Gue kelabakan!” protes Jameka sembari menyipratkan air ke wajah Tito yang masih tertawa. Lalu Jameka kembali menjerit-jerit, “Tambah semriwing, To!”

Tito yang tak kuat menahan tawa sampai berjongkok dan menepuk-nepuk pinggiran wastefel. “Hahaha! Kocak lo, Jame!”

“Bantuin! Jangan ketawa dulu!”

“Hahaha!”

“Tito! Semriwing, To! Semriwing!”

____________________________________________________

However thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo-typo perusak ketampanan naskah, I appreciate it.

Well, Bonus foto Jameka Michelle

Kelen kubu mana gaes?

Kevino Eclipster?

Atau

Tito Alvarez?

See you next chapter teman-temin

With Love
👻👻👻
©®Chacha Prima

Sabtu, 1 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro