Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 32

Selamat datang di chapter 32

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

It’s hard to wait for something you know might never happen, but it’s even harder to give up when you know it’s everything you want.

Anonymous

____________________________________________________

Bilamana susunan kata yang terangkai menjadi kalimat bisa membunuh, mungkin saat ini Jameka sudah mati. Ia merasa udara di sekitar berkurang drastis, sehingga menyebabkan dirinya kesulitan bernapas. Bagai ikan menggelepar di tanah tandus yang mencari air. Seiring dengan suasana di meja itu yang kontan menegang.

Dengan jantung yang berdetak sepuluh kali lipat melebihi kinerja normal, Jameka melihat Kevino. Pria itu yang semula menguyah dan memandang makananya spontan berhenti.

Ya Tuhan .... Semoga Kevino nggak lagi cocokologi sesuatu, harap Jameka. Hal terakhir yang ia inginkan ialah membuat Kevino kecewa dan berakhir meninggalkannya. Beruntungnya Carissa menyelematkan dirinya dengan memecah keheningan.

“Udahlah, Ayang. Jangan dibahas lagi. Itu juga salah sangka doang, kan? Pasti itu cuma cewek gila yang ngaku-ngaku kamu hamilin. Aku nggak mau mikir lagi. Aku nggak mau kita berantem gara-gara itu.” Carissa mengusap-usap lengan Tito. Merasa senang karena dirinya dibela pria itu. Rasa cemburunya terhadap Jameka tadi sudah hilang sama sekali.

“Ya udah ayo lanjut makan. Semuanya udah clear, kan?” ajak Gavino yang tak sabar menyantap escargot pesanannya.

Sisa makan malam berakhir dengan lancar. Namun, Jameka menyadari perubahan pada diri Kevino. Kekasihnya itu tampak lebih pendiam daripada tadi dan tak menatapnya sama sekali. Kegamangan menyelimuti Jameka bagai kegelapan menyelimuti langit. Seperti gumpalan awan kelabu sebelum hujan dan terjadi angin topan yang bisa memporak-porandakan segalanya. Jameka berharap makan malam kali ini tidak akan merusak segala hal yang telah mereka bangun bersama.

Kegamangan Jameka terus bertambah saat sepanjang perjalanan menuju kondominiumnya, Kevino tetap diam. Kendati tak suka berbasa-basi, Jameka berusaha memecah keheningan. “Baby, minggu ini jadi ke Bandung nggak?”

“Kayaknya nggak bisa,” jawab Kevino tanpa melihat Jameka. Padahal selama pacaran, tak pernah sekalipun pria itu bersikap begitu dingin kepada Jameka.

“Ada agenda dadakan?” tanya Jameka lagi. Pura-pura tak peka dengan perubahan sikap Kevino. Sayangnya, tak mudah bagi Jameka ketika Kevino hanya bergumam. Itu membuat Jameka makin tidak nyaman. Ia lantas berusaha terus untuk mencairkan suasana. “Kalau gitu kita bisa atur ulang agenda ke Bandung. Aku bakal usahain nyediain jadwal.”

Tidak ada jawaban dari Kevino. Jameka menjadi amat bingung. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Ia tidak menyukai ini. Jadi, dengan sisa keberanian yang dimilikinya, ia memutuskan untuk bertanya, “Is everything all right—kenapa kita berhenti di apotek?” Mobil menepi di bahu jalan dan Jameka melihat Kevino membuka kunci pintu.

Pria itu hanya menjawab, “Tunggu di sini bentar.”

“Baby, tunggu. Aku ikut.”

“Tunggu di sini bentar,” tekan Kevino yang kemudian turun. Meninggalkan sejuta pikiran dalam benak Jameka.

Jujur saja Jameka tidak siap saat Kevino kembali. Pria itu memang tampak membeli sesuatu, tetapi Jameka tidak tahu apa itu sebab Kevino memasukkannya ke saku celana. Semoga bukan alat uji kehamilan seperti yang dipikirkannya. Semoga bukan. Ia sudah merasa bebas dari tekanan alat itu sejak terakhir kali mereka membahas kondisinya. Tidak sanggup bila ia harus melakukannya lagi sekarang. Hubungan mereka baik-baik saja. Jameka tidak ingin merusak itu atau ia akan berakhir tua dan sendirian.

Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Pagani Kevino terparkir di basemen gedung kondominium Jameka. Normalnya, Kevino akan membuka kunci mobil dan membukakan pintu untuk Jameka. Selanjutnya Kevino akan mengantarnya sampai ke unitnya. Pengecualian untuk kali ini. Pria itu lebih memilih berdiam diri selama beberapa saat sebelum bertanya pada Jameka.

“Tito orangnya?”

Sumpah, Jameka ingin lari saja dari pertanyaan sulit ini, dari harapannya yang tidak terkabul. Kevino terlampaui cerdas, peka, dan intuisinya tepat. Sikap yang cocok bagi seorang pemimpin kharismatik. Tak heran juga pria itu cocok menjadi pemimpin Utama Raya Pulp and Paper yang sebentar lagi akan ditinggalkan untuk fokus membangun start up sendiri.

Sayangnya Jameka tidak bisa kabur ke mana pun. Sekujur tubuhnya seolah-olah diolesi lem super kuat sampai melekat erat dan bertahan di kursi. Namun, sebisa mungkin ia berpura-pura tak tahu. “Orangnya apa?”

“One night stand yang bikin kamu jadi kelimpungan.” Itu pernyataan. Bukan pertanyaan yang bisa dijawab dengan hal sebaliknya.

“T-tapi dia bilang enggak,” bantah Jameka dengan suara pelan dan terbata-bata lantaran gugup sekaligus takut. Karakternya sebagai wanita kuat, apalagi sebagai seorang pemimpin, jadi tidak terlihat. Ia lebih mirip tikus kecil yang meringkuk di pojokan.

“Kenapa nggak cerita kalau dia orangnya?”

Baru kali ini Kevino menatap Jameka. Dan ia merasa akan pingsan karenanya.

“Kenapa?” ulang Kevino dengan suara tenang, tetapi dalam cahaya temaram lampu basemen, tatapan pria itu menjelaskan segalanya. Bahwa Kevino kecewa pada Jameka.

“Aku takut ngecewain kamu,” ungkap Jameka. “Waktu di Samarinda kamu udah emosi banget dan aku nurutin kamu buat menghindari dia selain makan malam ini,” lanjutnya.

“You know, lebih baik aku kecewa di awal daripada baru tahu sekarang, Jameka. Kayak awal-awal dulu. Kamu cerita tentang dirimu sejujur-jujurnya.”

“Tapi dia bilang enggak, Kev,” tekan Jameka.

“Dan kamu percaya?”

Jameka tidak langsung menjawab. Ia melempar pandangan ke samping. Beberapa mobil lalu lalang dengan jarak tak beraturan. Beberapa pasangan turun dari kendaraan, melewati mobil mereka, menuju lift.

Jameka menggigit pipi bagian dalam untuk menenangkan diri. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengungkapkan yang sejujur-jujurnya. “All right. I’ll tell you the truth. Pada malam keluargamu datang dan Papa ngejodohin kita, aku nggak terima karena masih belum bisa move on dari River. Lebih-lebih, dengan Papa yang ngejelek-jelekin River. Tapi aku nggak bisa nyalahin Papa karena emang aku nggak cerita soal River. Bahkan aku nggak cerita soal namanya. Papa cuma tahu River itu cowok yang bikin aku nangis. Udah gitu aja.”

“Tapi kalian tunangan, Jameka. Kamu sama River. Kenapa Om Alle sampai nggak tahu?” sela Kevino yang tak habis pikir.

“Resminya emang belum. Tapi seluruh keluarga River tahu aku nerima lamaran River. Dan dulunya keluargaku kacau banget. Papa nikah lagi, Jayden diusir dari rumah dan aku kabur ke Belanda. Kacau pokoknya. Makanya aku belum sempat cerita ke keluargaku soal River ngelamar aku atau ngenalin River sendiri. Termasuk ke Papa sama Jayden.”

Kevino menarik napas berat, tetapi tidak berkomentar. Jadi, Jameka melanjutkan, “Aku emang rencananya mau kabur lagi dengan nikah sama River. Rumahku rasanya kayak neraka waktu itu. Tapi itu dulu. Sekarang kami baik-baik aja. Papa baikan sama Jayden. Jadi, waktu Papa ngejelekin River, you know ..., rasanya campur aduk. Di satu sini aku nggak terima, pengin marah sama Papa. Di sisi lain, keluarga kami baru aja bisa dikatakan normal. Maksudku, gimanapun, sebelum itu, aku pernah anggap River sebagai rumah.”

Lagi-lagi Jameka berhenti sejenak untuk mengamati reaksi Kevino yang rupanya sedang menunggunya menyelesaikan ceritanya. Maka, ia kembali melanjutkan, “Jadi, aku langsung telepon Tito, tanya dia lagi di mana. Dan kebetulan dia lagi di kelab sama Lih. Terus aku langsung nyusul ke sana. Jujur aja, setiap hal yang nyangkut River, aku langsung kacau.

“Aku nggak suka minum, kayak yang udah aku jelasin tadi pas makan malam. Tapi malam itu aku lagi butuh efeknya. Biar aku lupa kalau River itu udah nggak ada. Rumahku udah nggak ada. Udah nggak ada yang bisa aku ajak ngobrol secara nyaman. Meski itu adikku sendiri. Dan kebetulan Jayden baru nikah terus bulan madu. Belum lagi masalah Heratl. It was frustrating.”

“So, you were drunk,” simpul Kevino yang mulai tahu detail ke mana alur cerita ini akan mengarah.

“Ya. Aku ngerokok sambil mabuk, padahal udah dilarang Tito. Lih nggak pengin ikutan urusanku dan pergi. Terus aku maksa pesen vodka ke bartender. Sedangkan Tito cuma minum bir dan dia nggak mabuk sama sekali. Pikirku, mumpung ada Tito yang bisa angkut aku mabuk. Kayak yang dia bilang tadi.

“Dia emang tukang angkut temen yang lagi mabuk. Jadi, dia nggak pernah mabuk. Tapi aku nggak cerita Tito aku lagi kenapa. Dia juga nggak tahu sama sekali soal River—River emang lebih mirip tunangan simpananku daripada tunangan yang bisa dikenalin ke keluarga atau temen.” Jameka menjelaskan secara detail agar Kevino mengerti.

“Dan kamu yang mabuk jadi nananina sama Tito?” tebak Kevino masih dengan nada setenang tadi, tetapi Jameka amat yakin pria itu memendam kekecewaannya.

“Sebenernya aku nggak ingat persisnya kayak gimana. Tapi pas bangun, Tito udah di sebelahku gitu aja, di kasur kondominiumku, nggak pakai baju sama sekali. Ralat, kami nggak pakai baju. Dia meluk aku, aku meluk dia.” Menuju kalimat terakhir, suara Jameka makin memelan.

Sedangkan Kevino praktis mengusap wajah kasar. “Tapi itu nggak menjamin kamu udah nananina sama dia.”

“Ya, aku tahu. Tapi waktu aku tanya ‘To, lo pakai kondom, nggak?’ karena aku takut banget ke depannya bakal hamil. Dan keguguran yang pernah aku alami itu bikin aku trauma banget. Tito jawab enggak, Kev. Gimana aku nggak langsung mikir macem-macem? Setelahnya juga dia nggak ada omongan apa pun. Nggak pernah bahas ini sama sekali.

“Tito bersikap seolah-olah kami emang nggak nananina. Dia bersikap biasa aja. Maksudnya biasa aja, tuh, emang dia celomes, nyebelin dari dulu. Dan aku bilang ke Carissa tentang cewek yang kemungkinan dihamilin Tito, ya biar Carissa nggak dikadalin Tito. Karena Tito womenizer. Kamu juga bisa lihat, kan? Carissa selalu mikir positif tentang Tito. Carissa itu naif tapi tulus. Masa aku tega nggak ngasih tahu ini? Tapi akhirnya malah blunder sendiri. Seolah-olah aku ngefitnah Tito.”

“Kamu yakin nggak ngada-ngada?”

Itu pertanyaan yang wajar, tetapi tetap saja Jameka merasa sakit hati. “Aku hampir gila karena ini dan kamu ngeraguin aku, Kev?”

“Bukannya gitu. Tapi tadi Tito juga kayak yakin banget kamu salah sangka sama dia.”

Mereka diam sebentar. Lagi-lagi karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Aku juga berharap kamu nggak pernah nananina sama Tito, apalagi sampai hamil anak dia,” gumam Kevino tegas, “makanya aku mikir mungkin bisa aja kamu keliru. Mungkin kita bisa long lasting relationship.”

Jantung Jameka seperti ditarik ke perut. Apa maksud dari kalimat terakhir Kevino? Apakah pria itu mengajaknya putus? Jameka tidak siap.

Berhubung takut mendengar kalimat lanjutan Kevino, Jameka buru-buru berkata, “I think I’m tired. Mau istirahat dulu. Nggak usah nganterin aku nggak apa-apa. Aku ngerti, kok, ini sulit. Kita lanjut ngobrol lain kali, ya.”

Sebelum Jameka membuka pintu, Kevino mencegahnya. “Jameka, mau nyoba pakai ini?” pinta pria itu sembari mengeluarkan tiga alat uji kehamilan berbeda merek dari sakunya.

•••

“Dokter Gavino selesai praktek jam berapa?”

“Setengah jam lagi selesai, Pak,” jawab resepsionis rumah sakit tempat Gavino praktek sebagai dokter spesialis syaraf. “Tapi maaf. Untuk saat ini jadwal pasiennya sudah penuh. Sebaiknya kalau mau periksa daftar online dulu aja, Pak,” usulnya.

“Oh, gitu.” Kevino mengangguk-angguk supaya cepat dan resepsionis tidak bertanya-tanya lagi.

Masalahnya kembaran Kevino sama sekali tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Kevino tahu, selain mengganti jadwal sif malam yang digunakan untuk makan malam kemarin, Gavino pasti amat sibuk di rumah sakit. Namun, situasinya saat ini sedang amat mendesak. Sehingga ia mencoba bertemu kembarannya dengan cara lain. Yaitu dengan menunggu jadwal praktek Gavino selesai. Semoga saja kembarannya itu tidak ada jadwal lain setelahnya.

Dengan cemas Kevino duduk di kursi tunggu bersama pasien-pasien lain. Kebanyakan dari mereka lansia yang jalannya bungkuk. Beberapa dari mereka malah mengajaknya mengobrol. Tak jarang juga yang menceritakan masalah kesehatan. Mulai dari A sampai dengan Z. Sampai pada akhirnya jadi berobat ke rumah sakit ini, ke Dokter Gavino Eclipster. Kevino sama sekali tidak mendengarkan mereka dan hanya mengiyakan si pencerita sebab sibuk dengan kegundahannya sendiri.

Sayangnya tak seberuntung itu. Jadwal praktek Gavino yang harusnya selesai setengah jam lalu, ternyata hanya estimasi belaka. Pekerjaan Gavino jauh lebih lama dari dugaan Kevino. Bila ditotal, Kevino harus menunggu lebih dari satu setengah jam untuk bertemu kembarannya sendiri. Ia harus melewatkan jam makan siang dan mengabari orang kantor kalau akan datang terlambat.

“Tumben ke sini?” tanya Gavino yang belum melepas snelli dengan bordir namanya di dada sebelah kiri.

“We need to talk,” jawab Kevino, masih dengan wajah cemas.

Melihat gestur itu, senyum Gavino menjadi luntur. “Ayo ke ruangan gue. Tapi gue cuma waktu bentar sebelum ikut operasi.”

Kevino bergegas mengikuti Gavino ke ruangan dokternya yang tak jauh dari poli dokter spesialis syaraf. Tanpa diperintah atau dipersilakan, Kevino langsung duduk di kursi depan meja kerja Gavino.

“Kenapa muka lo gitu? Dari semalem gue rasa. Sebelum pulang makan malam muka lo udah kayak orang stres,” tebak Gavino yang terheran-heran. “Nggak mungkin karena kerjaan, kan? Kita, kan, beda bidang. Nggak mungkin lo minta saran ke gue soal bisnis, tahu apa gue soal itu?”

Sebenarnya Kevino tidak suka membagi kisah cintanya dengan Gavino, tetapi kali ini ia sudah merasa buntu. Jadi, dengan ragu ia bertanya, “Gav, gimana kalau misalnya Jameka hamil?”

“Ha? Yang bener aja, Kev!”

“Pelanin suara lo!” bisik Kevino dengan nada emosi.

“Gila lo! Kenapa nggak pakai kondom atau kontrasepsi lain?”

Masalahnya, Kevino tidak pernah beradu keringat secara dewasa dengan Jameka selain bercumbu di kamar mandi hotel di Samarinda. Itu pun harus berhenti gara-gara petugas hotel yang diutus Tito mengantar makanan. Ia ingin sekali berkata itu bukan ulahnya Jameka bisa hamil, tetapi harga dirinya melarang. Bagaimanapun, sekarang posisinya Kevino adalah pacarnya Jameka. Apabila Jameka hamil, sudah pasti setiap orang akan menuding ke arahnya.

“Gue, kan, cuma bilang misalnya!”

“Kev, lo, kan, pacarnya. Lo, kan, cinta dia, atuh. Kenapa nggak lo lamar dulu, nikah dulu baru lo begituan nggak pakai kondom nggak masalah?”

Kevino malah jengkel. “Gav, gue bilang kalau misalnya!”

“Tapi kalau ngomong misalnya, berarti kemungkinannya tinggi, dong?”

Rasanya Kevino ingin menggebrak meja dan menyingkirkan berbagai alat peraga medis Gavino. “Tapi gimana cara tahu kemungkinan Jameka hamil itu tinggi? Maksud gue, dia nggak ada gejala muntah-muntah. Berarti dia bisa aja nggak hamil, kan?”

Gavino dengan senang hati menerangkan, “Kev, hamil itu gejalanya nggak selalu muntah-muntah. Ada cewek yang kalau hamil emang nggak kayak hamil. Nafsu makannya biasa aja dan nggak ngidam, nggak mual atau muntah juga. Jadi, itu nggak bisa dijadiin patokan. Tapi lo tahu, nggak, kapan terakhir kali dia menstruasi?”

Dengan lemas, Kevino menjawab, “Lebih dari dua bulan lalu. Ini masuk bulan ketiga. Semalem gue sama dia ngecek kalender menstruasinya.”

“Shit,” umpat Kevino pelan sambil menggeleng-geleng. “Coba suruh Jameka tes pake testpack.”

“Udah semalem. Tapi kami maju-mundur. Nggak siap sama hasilnya.”

Gavino kontan dongkol. “Lo goblok atau tolol, sih, Kev? Bikinnya aja seneng, giliran kayak gini aja bingung. Tapi nggak ada pilihan lain selain dicek dulu, Kev.”

“Iya, tapi—”

“Nggak usah tapi-tapian, banyak alasan, atuh. Lagian ini sebenernya, mah, simpel, Kev. Lo cinta Jameka, Jameka juga cinta lo. Kalian bisa nikah dulu baru begituan bebas nggak pakai kondom. Mau punya anak langsung atau nunda dulu terserah kalian aja. Gue tahu lo serius dan bucin banget sama Jameka, effort lo banyak banget buat dia. Udah ngajak dia ke rumah kita juga, kan? Lo nyusul ke Samarinda di tengah kesibukan lo. Bunda juga suka dia. Papanya juga suka sama lo. Adiknya juga welcome sama lo, kan?

“Nggak kayak lo sama mantan-mantan lo dulu yang selalu lo cuekin. Buat Jameka, lo bahkan sampai mohon-mohon ke gue buat nyediain waktu luang biar bisa makan malam, biar Jameka nggak salah paham sama gue dan Levronka. Semalem itu jadwal gue jaga lo, Kev. Tapi demi lo, gue tukar sif dari siang ini. Tapi sorry, kali ini gue cuma bisa bantu ngasih saran lebih baik Jameka segera cek ke dokter kandungan. Lebih cepet lebih baik, Kev. Biar nggak makin runyam.”

Dicerca kembarannya seperti itu membuat Kevino berniat membeberkan hal sebenarnya. Namun, sebelum terjadi, tiba-tiba pintu ruangan Gavino diketuk-ketuk dan seorang wanita berbaju setelan scrub marun mengingatkan jadwal operasi Gavino.

“Nah, sekarang gue harus operasi dulu,” kata Gavino. Mereka sama-sama berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. “Saranku nggak usah lama-lama. Hamil nggak hamil, lamar aja, Kev. And good luck, Brother.”

Kevino terpaksa keluar ruangan itu. Ia tidak tahu apakah betul keputusannya kemari. Sebab bukannya tenang, Kevino malah mendapat ceramah dari saudara kembarnya. Ia berjalan loyo ke parkiran mobil, tetapi tidak langsung kembali ke kantor. Melainkan duduk dulu di sana sambil menggulung-gulung layar ponsel guna menggali informasi lebih dalam tentang seputar kehamilan.

Kemudian tiba-tiba Jameka mengirim pesan. Pompa jantung Kevino langsung mirip orang dikerja singa saat membaca satu kata pesan yang dikirim Jameka, lengkap dengan fotonya.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo

Kelen luar biasa

And it’s a lot to me

Bonus foto Jameka Michelle

Tito Alvarez (Santuy dulu nggak sih)

Kevino Eclipster (Lama-lama gue hancurin dunia ini)

Gavino Eclipster

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 17 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro