Chapter 29
Selamat datang di chapter 29
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like me
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Tanpa sadar, kita pernah bodoh demi seseorang
—Tanpa nama
____________________________________________________
“Nggak dipersilakan masuk? Kok, malah ngelamun?”
Jameka kembali ke kenyataan dan memandang Kevino. “Oh, ayo masuk. Aku cuma kaget kamu tiba-tiba dateng. Kirain masih di Bogor.” Ia memang beralasan untuk menutupi pikirannya tentang Tito, tetapi itu merupakan sebuah kejujuran. Setelahnya ia menggeser tubuh agar Kevino bisa masuk.
Seharusnya Jameka senang Kevino datang, bukan? Namun, kenapa ia malah merasa tidak sepenuhnya demikian? Tito masih memenuhi kepalanya. Terutama tatapan terluka pria itu. Jameka merasa ikut bertanggung jawab.
“Aku ngelarin kerjaan lebih cepet biar bisa nyusul. Aku takut kamu ngilang lagi.” Menghilang tanpa kabar dan satu-satunya informasi yang didapat ialah Jameka ada di New York—entah bagian mana, merupakan peristiwa yang membuat Kevino nyaris gila. Maka dari itu ia tak ingin mengambil risiko lagi. Selagi tenaga dan waktunya masih ada, ia akan berusaha bersama Jameka.
“Aku nggak ke mana-mana. Aku juga ngasih kabar lagi di mana, di kamar hotel nomor berapa, kan? Buktinya kamu bisa sampai sini.” Dengan hati mencelos, Jameka berjalan ke meja kopi, menghidu mawar-mawar merah tersebut sebentar sebelum menaruhnya di sana. “Mau kopi atau teh?”
Dari belakang, Kevino melingkarkan lengan-lengannya di tubuh Jameka. “I want you, Baby. Not a cup of coffee or tea,” balasnya sambil membubuhkan bibir di pundak Jameka. Parfum yang berbeda dengan wangi enak yang lain. Sepertinya Jameka memang hobi mengoleksi parfum. Sambil menenggelamkan kepala di ceruk leher Jameka, ia berpikir kapan-kapan akan memberi Jameka parfum.
Jameka menyukai Kevino. Sungguh. Namun, entah kenapa kali ini agak sedikit berbeda. Ia malah lebih ingin menyibukkan diri membuat kopi dibandingkan balas memeluk pria itu. Ia bahkan membelokkan topik. “Jadi, gimana proyeknya? Lancar?”
Syukurlah, dengan semangat, Kevino melepaskan diri dari Jameka dan berdiri di samping wanita itu, dengan punggung menempel di meja kopi. Kevino pun berkata sambil bersidekap dan senyum yang tak luput dari bibirnya. “Good news. Kebun teh itu akhirnya dijual ke kami dan penduduk sekitar mau kerja sama buat UMKM.”
“Wow, congratulations.” Untuk yang satu ini, reaksi Jameka jujur tanpa dibuat-buat, tanpa ditutup-tutupi. Ia sungguh bangga pada Kevino dan merasa senang atas kesuksesan pria itu. Meski dimulai dari nol, karier pria itu lancar. Kendati tentu saja sudah mendapatkan privilege modal dari orang tua.
“Makanya aku buru-buru ke sini. Nggak sabar cerita kamu.”
“Ada teknologi yang namanya ponsel, Baby.”
“Ada teknologi yang namanya pesawat juga, Baby. Nggak enak kalau nggak ketemu langsung.”
Jameka mulai menciptakan kebohongan di atas logika. “Padahal kamu bisa telepon aku dulu. Untung aku nggak ke mana-mana. Langsung balik kamar. Itu pun baru sampai, belum sempat bersihin muka dan lain-lain. Kalau aku belum di sini, kamu pasti bingung aku lagi di mana, kan?”
Senyum Kevino sedikit memudar mendengar nada tak suka Jameka. Ia menatap Jameka agak lama. Memperhatikan wanita itu sibuk menuang air ke thermo pot. Ada apa dengan wanita itu? “Namanya bukan surprise, dong, kalau ngasih tahu? Emangnya kamu nggak suka aku dateng?”
Apakah Jameka keterlaluan? Sambil memegang colokan, ia spontan menatap Kevino. “Bukannya gitu .... Aku seneng kamu dateng.” Harusnya, tambah Jameka dalam hati. Harusnya!
“Tapi? Pasti ada tapinya, kan?” Kevino mengambil alih colokan thermo pot dari tangan Jameka dan meletakkannya di meja. Ia menarik wanita itu agar duduk di kasur bersamanya. “Tapi kenapa, Baby?”
Jameka tidak tahu kenapa. Namun, ia harus mengutarakan sebuah alasan paling masuk akal. “Nggak ada tapi-tapian.” Harusnya. “Aku cuma iri sama kelancaran proyekmu. Sedangkan urusanku di sini belum jelas. Tadi sempat ada kendala juga, tapi udah berhasil kami atasi. Sedangkan negosiasinya besok. Memang udah ada adikku yang jago negosiasi, seenggaknya bisa diandalin. Tapi aku tetep gugup. Soalnya ini krusial banget. Penentu kemajuan Heratl. Gimana kalau mereka nggak mau diajak kerja sama?”
Dari mana Jameka belajar berakting? Dari mana ia belajar menyusun kebohongan di atas kebohongan lain? Jameka tidak tahu. Perasaannya aneh semenjak melihat tatapan terluka Tito tadi. Padahal seharusnya ia tak memikirkan Tito. Demi Neptunus! Pria itu telah menyakiti hatinya walau sudah meminta maaf.
Kevino menghela napas sambil mengusap-usap punggung Jameka. “Kamu pasti bisa. Aku percaya kamu bisa. Proyekku juga awalnya seret. Perizinannya sulit, negosiasinya alot, makanya sampai bolak-balik ke Bogor.”
“Really?” bisik Jameka lebih kepada diri sendiri untuk sesuatu yang lain. Apakah salah Jameka bila wajah yang ditampilkan Tito seperti melihat dunia ini runtuh?
Bukan, itu bukan salah Jameka, kan? yakinnya pada diri sendiri.
“Iya, tapi setelah berusaha akhirnya bisa. Kuncinya aku nyari celah yang mereka butuhin. Aku berusaha ngasih sebisaku. Yang jelas, harus yang nggak banyak ngeluarin biaya di saat modalku terbatas. Lama-lama mereka mau karena lihat prospeknya progresif,” jawab Kevino gamblang.
Jameka mengangguk-angguk. “Oh, ternyata gitu. Kirain lancar-lancar aja. Well, ada kamu di sini aku lebih tenang.” Harusnya. “Tapi aku ..., maksudku, kamu pasti capek langsung nyusul ke sini. Sedangkan besok masuk kerja.”
Sudah pernah Kevino ingatkan pada diri sendiri bahwa dulu ia memang cuek. Namun, berhubung tak ingin kehilangan Jameka, ia harus mengambil langkah khusus, dengan effort lebih banyak. “Lihat kamu capeknya ilang. Soal besok, aku balik Jakarta naik pesawat terakhir nanti malem.”
Pengorbanan Kevino tak main-main dan Jameka jadi merasa tidak enak. Pria itu sudah jauh-jauh kemari, dengan waktu yang tak seberapa lama, tetapi digunakan untuk menemuinya. Seharusnya Jameka tidak menjadi jahat dengan malah memikirkan Tito, bukan ? Kevino ada di depannya, dengan tindakan nyata. Apa lagi yang perlu Jameka pikirkan?
“Sebenernya aku dadakan ke sini. Nggak ada persiapan apa-apa. Pas tahu kabar kebun tehnya jadi dijual, aku cuma mikir masih ada waktu sekian, mungkin kita bisa ketemu,” tambah Kevino.
Jameka jadi makin tak enak. Pada waktu yang bersamaan ia juga terharu ada pria seperti Kevino. Menggeleng, ia berbisik, “You shouldn’t do it.”
Tangan Kevino membelai rambut Jameka. “But, I did. Apa aku harus balik lagi ke Jakarta?”
“No, of course not. Aku seneng kamu di sini,” yakin Jameka. Selain untuk Kevino, juga untuk dirinya sendiri. Ia senang Kevino di sini. Harus senang! “Selain masalah perusahaan, aku cuma jadi nggak tahu mesti gimana.” Jameka menunduk, tidak berani menatap Kevino. “I mean, you’re so good. Sedangkan aku—”
Perkataan Jameka terhenti oleh ciuman lembut Kevino. Kedua tangan pria itu menakup wajah Jameka dan memaksa Jameka agar menatapnya. Kevino takut Jameka merusak suasana dengan membahas soal kondisi perutnya yang ada calon bakal bayi atau apa pun itu. Biarkanlah ia memiliki Jameka walau seandainya hanya sebentar.
“Look at me. Don’t say anything. I’m here for you. Jangan mikir apa pun selain aku, Baby.”
Kevino cerdas, memperlakukan Jameka dengan manis, dan yang paling penting takut kehilangannya. Apa yang Jameka butuhkan lagi selain itu? Jadi, ia berusaha menyingkirkan segala pikirannya tentang Tito dengan memejamkan mata ketika tangan Kevino menyusup ke belakang kepalanya lalu menariknya lebih mendekat. Kevino memagut bibirnya secara lembut dan penuh kehati-hatian. Perlakuan manis lainnya. Jameka harus menikmatinya. Kevino pria sempurna.
Jameka balas melingkarkan lengan di leher pria itu. Irama dan intensitas ciuman mereka meningkat. Indra pengecap pria itu menuntut, menjelajah, dan mengajak Jameka menari bersama. Secara perlahan, tetapi kuat, Kevino menuntun Jameka rebahan. Pria itu kemudian menjulang di atasnya.
“I miss you,” bisik Kevino lembut. Wajahnya membayang tepat sejengkal di atas wajah Jameka.
“I miss you too.”
Kevino kembali menurunkan wajah untuk membubuhkan bibir di bibir Jameka. Lalu menurunkan ciuman ke leher wanita itu. Jameka kembali memejam, berusaha hanyut dan menerima. Jangan mikir apa pun selain aku, Baby. Ia mengulang-ulang kata-kata Kevino agar lebih melekat erat pada dirinya. Kevino kekasihnya, pria yang mencintainya, Jameka tidak harus memikirkan apa pun selain mereka.
“Sejauh mana yang boleh?” tanya Kevino yang sedikit menyingkap kerah kemeja oranye pucat Jameka. Lalu ia mengisap dan menggigit kecil leher Jameka, agar meninggalkan bekas, tanda kepemilikannya.
Beri dia hadiah, Jameka. Bikin seneng Kevino, titah otaknya. Effort-nya sebanyak itu buat lo. Dikit aja nggak apa-apa.
“Aku bakal bilang stop kalau kejauhan. Tapi tolong pelan-pelan. Burn me slowly,” pungkas Jameka.
Persetujuan dengan syarat itu berdampak positif bagi Kevino. Dengan masih menyusurkan hidung serta mulutnya di leher Jameka, tangan pria itu menarik bagian bawah kemeja Jameka yang dimasukkan ke rok hingga terlepas. “I will burn you slowly, Baby,” bisiknya sebelum menyusupkan tangan ke balik kamisol untuk menyentuh perut wanita itu, lalu perlahan merayap ke atas hingga berhenti tepat di bawah tali penutup dadanya.
“Oh!” Tidak ingin munafik, diberi stimulasi ganda menjadikan Jameka mulai rileks. Cambang pria itu yang bergesekan dengan kulit lehernya mulai menyulut badai gairah. Sehingga ia tidak bisa menahan erangan erotis yang keluar dari mulutnya.
“Terlalu jauh?” bisik Kevino dengan jarinya yang memainkan pinggiran penutup dada Jameka. Sengaja menggoda wanita itu di saat dirinya sendiri mulai terbakar oleh gairah.
Sambil mengusap rambut Kevino, Jameka menukas, “Belum.”
Merasa mendapat lampu hijau setelah mendengar napas Jameka mulai terengah-engah dan erangan erotis demi erangan erotis Jameka, Kevino makin berani mengambil langkah maju. Tangannya makin naik, lalu hinggap di salah satu dada Jameka. Ia agak menekannya. Mereka tak pernah sejauh ini sebelumnya. Jadi, Kevino memastikan sekali lagi. “Apa terlalu jauh?”
“Belum.”
Kevino bangkit, mengendorkan dasi dan melepasnya. Kemudian ia melepas jas dan kemejanya lalu membuang semuanya sembarangan. Berikutnya ia menuntun Jameka duduk agar bisa melepas kemeja dan kamisol wanita itu. “You can stop me anytime you want,” kata Kevino.
Jameka merawa wajib memberi hadiah Kevino atas usaha pria itu datang ke mari di sela-sela kesibukan. Jadi, ia menggeleng. “I still don’t wanna stop you.”
Dengan tatapan tulus Kevino kembali meraih wajah Jameka untuk mencium wanita itu. Kalo ini lembut sekali. “I love you, Baby. I love you.”
“Ya, I know.” Beri dia hadiah, Jameka. “How about shower together?”
Tentu saja ide itu disambut Kevino dengan tangan terbuka, dengan suka cita. “Ayo,” ajaknya yang kemudian menarik Jameka sampai berdiri. Sambil berciuman dan berjalan ke kamar mandi, ia membantu Jameka melepas rok pensil wanita itu.
Jameka juga membantu Kevino melepas ikat pinggang pria itu dan tertawa kecil saat sebelah lubang celana Kevino tersangkut di kakinya. “Burn me slowly, Baby,” bisik Jameka, supaya Kevino tak bertingkah konyol karena terlalu bersemangat menerima hadiah yang akan diberikan Jameka.
Kevino menendang celana kerja dan sepatu serta kaus kakinya. Bersamaan dengan Jameka yang meninggalkan stiletonya di depan pintu kamar mandi. Jameka menyalakan pancuran dan Kevino mendorong pelan dirinya sampai berhenti bersandar di dinding kaca kamar mandi. Jameka melingkarkan lengan-lengannya di leher Kevino untuk menyambut bibir pria itu yang menginvasi bibirnya.
“Oh!” Desahan Jameka menggema saat Kevino kembali menekan dadanya yang masih terbungkus penutup.
Kevino membimbing tangan Jameka ke pusat gairahnya. “Terlalu jauh?” bisik pria itu di tengah rinai air pancuran. Jameka bisa merasakan Kevino, tahu pria itu sudah sangat siap. Suara Kevino bahkan serak.
“Belum.”
Kevino kembali menekuri leher Jameka serta kembali menciptakan tanda merah keunguan di sana. Ia menurunkan ciuman ke dadanya sementara tangannya meraih pengait bra Jameka dan melepasnya. Terengah-engah, Jameka membantu Kevino meloloskan diri dari penutup dadanya. Ia sebenarnya agak malu karena hanya mengenakan bra polos, bukan yang lebih menggoda. Namun, Kevino tampaknya tak mempermasalahkan itu.
“Gorgeous,” bisik Kevino sebelum menunduk dan menancapkan mulut ke sebelah keindahan tubuh Jameka yang ia kagumi. Sebuah pertanda bagus puncak dada wanita itu menegang. Ia pun memilin sebelahnya.
Jameka mendongak sambil melepas erangan erotis dan menekan kepala pria itu. “Oh!”
“Terlalu jauh?” tanya Kevino yang melepas mulutnya untuk menatap Jameka. Mata wanita, sama seperti dirinya.
“Belum.”
Rupanya mereka sama-sama menginginkan, pikir Kevino. Masih sambil memberi stimulasi pada puncak dada Jameka secara perlahan—sesuai permintaan wanita itu, tetapi kuat, serta secara bergiliran, Kevino lantas berbisik, “Aku bawa pengaman yang kamu beli kapan hari.”
Namun, sebelum Jameka menjawab, bel kamar berdentang. Jameka tersentak kaget dan pria itu menghela napas sambil mengerang. “Biar aku yang bukain,” usul Kevino yang lantas mencium Jameka sejenak.
Kevino melepas Cavin Klein-nya sebelum melilitkan handuk bersih di sekitar pinggangnya. Sambil terengah dan menutupi dadanya, Jameka memperhatikan Kevino mengeringkan kaki, lalu keluar kamar mandi.
Hadiah yang akan Jameka berikan kepada Kevino memang hanya sampai di sini. Siapa pun si tamu itu, ia berterima kasih karena dapat menghentikan Kevino tepat waktu.
•••
Sambil merokok, Tito menghela napas. Tatapannya jatuh pada kartu hitam yang sedari tadi dibolak-baliknya. Ada beberapa cap bibir dari lipstik bekas ciuman Jameka di sana. Sudah agak luntur, tetapi masih bisa dikenali. Ia menyedot rokok lebih dalam dan menghela napas kemudian menatap sekitar. Restoran hotel ini mulai dipadati pengunjung yang akan makan malam.
Kala melihat Jayden datang bersama Nicolo, Tito menyimpan kartu itu ke dalam saku lagi. Tak lama kemudian Zafi datang sambil memegang ponsel, kelihatan sedang melakukan panggilan video dengan Karina dan anak laki-laki mereka.
“Tumben dateng duluan,” sindir Jayden yang kemudian mengambil kotak rokok Tito di meja. “Bagi satu ya,” pintanya.
“Ya, ambil aj—uhuk-uhuk!” Tito buru-buru menyudut rokok ke asbak dengan sebelah tangan menepuk-nepuk dada.
“Napa lo?” tanya Jayden santai sambil menyulut rokok.
Sebelum Tito menjawab, Karina di sambungan panggilan video lebih dulu bersuara. “Kak Jameka ..., sama siapa itu? Bang Kevino, ya, Pa?”
Baru saat itulah semua yang ada di meja mereka kompak melihat ke pintu masuk penghubung antara bagian restoran bebas asap rokok dan khusus perokok. Jameka dan Kevino masuk ke ruang khusus perokok di mana mereka semua telah berkumpul untuk makan malam bersama sambil sedikit membahas proyek.
Wanita dalam balutan sweter kasmir abu-abu yang dipadukan rok tutu selutut itu celingukan sebelum akhirnya pandangannya berhenti di Jayden yang mengangkat tangan. Tito muak melihat Kevino dengan langkah percaya diri mengangguk kepada Jameka dan mempersilakan wanita itu berjalan lebih dulu.
“Jay, kenalin, ini Kevino,” kata Jameka kepada Jayden.
Adiknya berdiri untuk menyambut Kevino. “Jayden, adiknya Jameka. Adiknya Kak Jameka,” balas Jayden yang mengubah panggilannya karena mendapat pelotoyan dari Jameka.
“Kevino, pacar Jameka.”
Tito melengos. Ingin rasanya kabur dari acara makan malam ini, tetapi apa alasannya? Tak mungkin ia bilang kepada Jayden kalau sedang terbakar api cemburu, kan?
Jameka lantas mengenalkan Kevino pada Nicolo, Zafi—yang diiringi teriakan dari Karina sebelum memutus panggilan teleponnya, dan yang terakhir Tito.
“Tito,” balas Tito acuh tak acuh kemudian duduk kembali. Ia pun mengambil rokok dan menyulutnya lagi.
Jayden mempersilakan, “Duduk aja, Bro.”
Jameka memilih duduk di sebelah Jayden. Jadi ia diapit oleh adiknya dan kekasihnya. Sementara posisi Tito di sebelah Zafi, tepat di depan Jameka.
“Jay, gue ikut ngemil-ngemil aja, ya? Entar soalnya mau jalan-jalan bentar sama Kevino,” pungkas Jameka kepada Jayden.
“Bentar tapi pulangnya subuh,” sindir Tito sambil meringis dan mengembuskan asap rokok.
Mulai nih, manusia satu ini? Perasaan tadi udah minta maaf, sempet ngerasa nggak enak juga gara-gara lihat tatapannya, sekarang mulai ngajak perang? Jameka berdeham. “Kenapa? Lo mau ikut?” tanyanya berusaha santai. “Tapi sorry, To. Gue sama Kevino mau nge-date. Ngerti nge-date, kan?”
“Hah! Ogah!” balas Tito setengah mendengkus, setengah tertawa.
“Mending lo telepon Carissa, deh. Bisa sayang-sayangan. Daripada jadi obat nyamuk gue sama Kevino,” balas Jameka.
“Telepon Carissa itu wajib, pagi, siang, sore, malem. Kok, lo ngatur?”
“Siapa juga yang ngatur? Gue cuma ngusulin.”
“Nggak usah ditanggepin, Bro. Mereka emang gitu dari dulu. Btw, kapan dateng?” tanya Jayden kepada Kevino agar Tito dan Jameka tidak lanjut bertengkar. Tentunya ia sudah hafal sikap keduanya. Kalau sedang bertemu, pasti adu mulut.
“Tadi siang. Tapi malam ini mau langsung balik Jakarta,” jawab Kevino yang masih bingung dengan sikap Jameka dan Tito. Mirip musuh bebuyutan.
“Kok, cepet?”
“Nggak tahan lama. Cupu,” cemooh Tito lagi. Walau tanpa suara, tetapi Jemeka tahu jelas gerak bibir pria itu. Sehingga, Jameka langsung menendang kaki Tito menggunakan hak tingginya yang lancip. “Aduh!” gumamnya.
“Rasain!” maki Jameka yang tanpa suara.
Sementara itu Kevino melanjutkan, “Iya, besok ada rapat pagi. Ini tadi cuma nyempetin mampir ke sini. Kangen Jameka soalnya udah nggak ketemu lama.”
“Kangen apa minta jatah?” sindir Tito lagi.
“To, jangan bikin gue malu, ya!” bentak Jameka yang emosinya sudah tidak dapat dibendung lagi.
“To, telepon pacar lo sana,” titah Jayden untuk menengahi keduanya.
Tito tentu ngeyel. “Kagak, gue cuma mau ingetin. Lo kalau mendesah nggak usah kenceng-kenceng, Jameka. Didenger orang, kan, nggak enak. Gue sampai merinding, makanya langsung minta tolong pihak hotel buat nganterin makanan pesenan lo tadi.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa
And it’s a lot to me
Bonus foto Jameka Michelle
Kevino Eclipster
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 4 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro