Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27

Selamat datang di chapter 27

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“A good friend will help you move. But a best friend will help you move a dead body.”

—Jim Hayes
____________________________________________________

“Mau ke mana lo?”

Pertanyaan itu muncul dari belakang punggung Tito yang berasal dari Lih.

Tanpa memecah fokus pada kegiatan memasukkan beberapa pakaian ke koper, Tito menjawab, “Mau balik ke Inggris.”

Balik ke Inggris? Dari mata setengah melek gara-gara masih mengantuk, Lih yang menguap lebar praktis memelotot dan dilanda kebingungan. Ia pun kembali bertanya, “Bukannya lo pesen tiket buat besok? Kok, jadi pagi-pagi buta gini?”

“Perubahan jadwal.” Lagi-lagi Tito tidak menatap Lih. Kali ini suaranya agak turun, tetapi sedikit ketus.

Beberapa menit lalu Tito masih tak mengeri kenapa rencananya membuntuti Jameka bisa melenceng. Mulanya memang berjalan mulus, sampai mobil Kevino tiba-tiba berbelok ke kiri dan tertutup mobil lain. Kondisi kendaraan yang agak padat di jalan tol waktu itu tak bisa digunakan Tito untuk mengejar mobil sport tersebut.

Alhasil, Tito gagal membuntuti mobil Kevino dan memutuskan untuk langsung ke kondominium Jameka. Ia mengantuk, butuh tidur karena beberapa hari tak mendapat kualitas tidur baik, tetapi pikirannya tak bisa berhenti berjalan sebab Jameka tak kunjung pulang.

Tito menunggu dan terus menunggu. Hingga akhirnya dini hari menjelang, Jameka baru pulang. Itu membuat kepala Tito bagai disiram air mendidih. Aneka spekulasi negatif tanpa permisi melesak dan bernaung dalam benaknya, yang akhirnya ia tumpahkan seluruhnya kepada Jameka. Ia pun tak mengerti kenapa hanya dengan omongan itu, Jameka bisa menangis. Padahal bahasa yang digunakan Tito merupakan bahasa sehari-hari mereka. Dan Jameka bilang ia keterlaluan. Keterlaluan.

Sekarang Tito mulai berpikir kegagalan itu pastilah terjadi akibat rencana yang disusun tergesa-gesa dalam waktu mepet. Sehingga tidak sempat membuat rencana cadangan, dengan perhitungan matang atas hambatan-hambatan yang mungkin dilalui.

Sementara, Lih yang sedari tadi memperhatikan Tito—tidak menyadari suasana hati pria itu yang muram—sibuk memendam kejengkelan. Selain dibangunkan pagi-pagi buta, menerima fakta Tito pergi ke Inggris lebih lama juga menjadi buah kekecewaan tersendiri bagi Lih. Itu berati Lih harus lebih lama menjadi asisten Jameka. Kegiatan balap liar yang menjadi gairah hidup Lih kembali tertunda dan lanjut dikuasai Arga. Ini tidak adil, tetapi mana mungkin Lih berani menolak?

Jadi, Lih menurut ketika Tito memintanya memberi tumpangan ke bandara. Untungnya sambil menunggu Tito selesai mengemasi baju ke koper, ia menyeruput kopi kaleng di kulkas—entah persediaan siapa—dan merokok sebentar. Matanya pun jadi lumayan segar, lebih melek, dan otaknya lebih jreng.

Di tengah perjalanan dan di antara lagu-lagu R&B yang disetel ramah telinga, Tito tiba-tiba bertanya, “Menurut lo, kenapa cewek nolak cowok?”

“Ha?” Otak Lih memang sudah bisa dipekerjaakan. Namun, pertanyaan ajaib yang terlontar dari mulut seorang penggemar perempuan seperti Tito kepada seseorang yang tak pernah pacaran sekalipun seperti dirinya hanya mampu membuat Lih terbengong-bengong. Sukar dicerna oleh Lih.

Jangankan pacaran, dekat dengan seseorang saja Lih belum pernah. Walau dunia balapan sering kali menjadikannya berinteraksi dengan lawan jenis, bukan berarti Lih tanpa pikir main comot sana-sini seperti Tito. Malah Lih agak ngeri dengan gadis-gadis yang berada di dunianya. Rata-rata mereka selalu mengarah ke sesuatu yang negatif. Lih ingin seperti Jayden; jatuh cinta dan dicintai gadis baik-baik, walau ia juga tak munafik dirinya sendiri bukan tergolong pria baik-baik.

Mungkin suatu saat nanti ia akan memulai kisahnya sendiri, pikir Lih.

“Menurut lo kenapa cewek nolak cowok?” ulang Tito tanpa mendeteksi kebingungan dan lamunan Lih.

“Mana gue tahu?” jawab Lih jujur.

Bukannya berhenti, rupanya pertanyaan dari Tito terus berlanjut. Ia bahkan asyik ngedumel sendiri. “Gara-gara berengsek? Itu terlalu umum. Dari dulu juga dia tahu gue berengsek. Yang nggak dia percayai, gue udah tobat. Apa gara-gara bau? Perasaan gue pakai kolonye terus, jadi nggak mungkinlah. Apa gara-gara ngerokok? Dia tahu gue ngerokok dari orok, dia juga ngerokok meski sekarang nggak pernah lihat dia ngerokok. Nggak bangetlah.”

Tito menggosok dagu. “Apa gara-gara beda visi misi, ya? Tapi visi misi apa anjir? Kayaknya bukan, deh. Apa jangan-jangan gara-gara beda keyakinan? Gue yakin, sedangkan dia enggak? Gitukah? Hm .... Bisa jadi. Atau gara-gara gue jelek? Tapi katanya cinta nggak mandang fisik. Hm ..., bentar .... Ya ..., simpel aja. Berarti dia nggak cinta gue. Tapi kenapa dia nggak cinta gue dan malah cinta si Bang Ke?!”

“Berengsek! Bikin kaget aja!” umpat Lih. Sebelah tangannya terlepas dari kemudi untuk mengurut dadanya yang berdenyut keras gara-gara tiba-tiba Tito memukul dasbor. “Lo kenapa dah?” tanyanya yang sedikit menoleh Tito. Pria itu rupanya menaikkan kaki dan menyilangkannya di kursi dengan tangan bersidekap, serta tatapan tajam ke arah depan.

Lagi-lagi Tito ngedumel, “Gara-gara lo, sih, Jang!”

“Loh, kok, gue? Lo masih marah soal mie ayam kemarin sore? Itu, kan, Pak Man yang ngasih sambel sesuai sama pesanan lo kayak biasanya. Kok, jadi gue? Lo sendiri yang ngasih mie ayamnya ke gue. Yang beli mie ayamnya juga si Arga. Bukan gue.”

Tito menatap tajam Lih. “Kenapa jadi mie ayam, sih?”

“Terus apaan anjir?”

Tatapan Tito kembali mengarah ke jalan. Nadanya kini kembali normal, tidak emosi. Ia berdeham sekali sebelum bertanya, “Yang Mulia Ratu aman, Jang?”

Lih makin heran. Ditanya apa, dijawab apa? “Aman. Kemarin seneng banget mau ketemu camer. Kenapa emangnya?”

Dasar Lih kurang ajar! Sekali lagi Tito menggebrak dasbor dan membuat Lih terlonjak. Tidak hanya itu, Tito juga membuka jendela dan mengumpati pengendara lain.

“Eh! Lo gila, ya!” maki Lih yang kemudian menarik lengan Tito dan lekas-lekas menutup kaca jendela Tito serta menguncinya agar Tito tidak bisa melakukan hal di luar nalar lagi. “Untung nggak ada mobil yang tiba-tiba lewat! Lagian lo nggak lihat di belakang kita ada mobil polisi?”

Dan panjang umur. Baru saja dibicarakan, mobil polisi yang berpatroli dan tepat berada di belakang mereka segera menyalip serta meminta mereka untuk menepi.

“Ah, kacau!” umpat Lih lagi. Kejengkelannya bertambah gara-gara Tito yang bertampang merengut malah cuek bebek.

Lih terpaksa menepi, mematikan musik, dan membuka jendela kaca mobil untuk mempersilakan pria berseragam polisi bertutur, “Selamat pagi, boleh saya lihat surat izin mengemudi dan STNK-nya?”

Dengan hati dongkol, Lih mengambil surat-suratnya dan memberikannya pada polisi itu. Pria berseragam tersebut pun lantas membaca sekilas, mengangguk-angguk, lalu mengembalikannya pada Lih. Kemudian Lih mendapat pertanyaan lanjutan. “Apa teman Anda dalam pengaruh alkohol?”

“Enggak, Pak,” jawab Lih jujur.

“Kenapa kepalanya sampai dikeluarin dari jendela dan maki-maki pengendara lain?”

“Dia lagi cosplay jadi anjing herder, Pak. Cuma lidahnya kurang melet-melet aja,” gerutu Lih yang untungnya tidak didengar siapa pun. “Untung dia nggak cosplay jadi kuda lumping makan beling. Kalau sampai iya, gue jadiin pertunjukan debus.”

Lalu tanpa disangka-sangka, Tito dengan pandangan kosong lurus ke depan mirip orang kesurupan, malah bertanya nyaring. “Bapak pernah patah hati nggak?”

•••

“Sial! Absurd banget hidup gue. Mana dapat ceramah sepuluh menit penuh lagi,” decak Lih. Sekali lagi ia bersyukur polisi tadi tidak memborgol dan memasukkan mereka ke sel. Melainkan seakan-akan dapat membaca ke mana arah pembicaraan Tito dan hanya berceramah panjang kali lebar sama dengan luas. Tentang larangan penumpang yang membahayakan diri sendiri dan pengendara lain. Kemudian mereka dipersilakan melanjutkan perjalanan.

Lih kemudian menoleh sedikit ke Tito. “Lo kenapa dah? Bekalang ini aneh banget. Nggak mungkin lagi patah hati, kan? Yang ada lo malah bikin cewek-cewek patah hati. Tapi itu tadi alibi bagus biar kita dilepasin polisi.”

Tentu saja Tito tidak akan mengakuinya pada Lih dan malah berbalik tanya, “Menurut lo, gue salah nggak kalau ngatain Yang Mulia Ratu pantes ditinggal River—”

“Lo apa, To?” sela Lih yang kadar kekagetannya sudah mencapai puncak. “Lo bilang Yang Mulia Ratu pantes ditinggal River?”

“Iya. Orang Yang Mulia ribet gitu. Yang inilah, yang itulah,” jawab Tito yang kadar kejengkelannya tiba-tiba muncul lagi gara-gara mengingat penolakan Jameka. “Pastilah dia ditinggal. Wajar, kan?” tekannya.

Lih mengembuskan napas, lalu dengan tenang bertanya, “To, lo nggak baca berkas River Devoss yang dikasih Bos?”

“Kagaklah. Ngapain gue baca?”

“Oh, pantes lo bisa bilang kayak gitu ke Yang Mulia Ratu Jameka. Gue udah baca, To. Jadi gue justru bersyukur sekarang Yang Mulia sama cowok barunya. Udah move on dari River Devoss.”

Tatapan Tito berubah tajam dan dari nadanya pun terdengar jelas tidak suka. “Kagak tahu aja cowok barunya itu berengsek, Jang. Yang Mulia Ratu bentar lagi juga paling ditinggalin. Mana mereka habis nananina lagi.”

“Itu, kan, urusan Yang Mulia Ratu. Badan, badan dia. Kenapa jadi lo yang sewot? Btw, kok, lo tahu Yang Mulia Ratu habis nananina?”

“Dia sama cowoknya baru pulang subuh, Jang. Ngapain aja coba kalau nggak nananina dulu di tempat cowoknya?”

“Itu, kan, lo. Jangan disama-samainlah. Belum tentu Yang Mulia Ratu kayak gitu.” Lih lanjut menebak-nebak, “Lo tahu mereka habis nananina dari buntutin Yang Mulia Ratu kayak kapan hari?”

Lagi-lagi Tito tidak mengakuinya secara gamblang pada Lih dan lanjut ngedumel, “Gue merasa gagal nggak bisa menuhin perintah Bos buat jaga Yang Mulia Ratu. Udah gue peringatin juga jangan jadi cewek murahan, apalagi sama cowok berengseknya itu. Eh, dia malah nampar gue terus nangis. Padahal gue khawatir dia ditinggal habis digarap gitu.”

“Mulut lo parah, To! Bisa gawat kalau Bos tahu. Bisa suram beneran hidup lo.”

Bukannya takut dengan Jayden, Tito malah nyolot, “Kok, sekarang jadi lo yang marah, Jang? Lo naksir sama Jameka?”

“Udah gila lo! Gue ikutan marah karena mulut lo parah! Gue emang nggak pernah pacaran, tapi tahulah cewek-cewek yang sering nongkrong di tempat balapan aja, yang sering gonta-ganti pasangan gara-gara dibuat taruhan, bakal ngamuk kalau dikatain murahan. Apalagi Yang Mulia Ratu yang notabene udah kita anggap sebagai keluarga? Parah lo, To! Beneran parah!” maki Lih sambil menggeleng-geleng karena tak habis pikir. Sial betul pagi-pagi buta ia sudah mengeluarkan energi yang begitu banyak untuk berbicara, berurusan dengan polisi, dan lain-lainnya. “Kalau mau ngingetin, nggak kayak gitu juga caranya bego!”

Lih menyadari perkataannya kelihatan masuk ke dalam Tito sebab tak ada yang keluar dari mulut pria itu. Tito jadi merenung. Sehingga Lih melanjutkan, “Menurut gue cowoknya Yang Mulia Ratu nggak berengsek, kok. Orangnya caring, gue lihat sendiri act of service dia ke Yang Mulia Ratu itu top banget. Hubungan mereka juga kayaknya serius kayak Bos sama Mel dulu sebelum nikah. Yang Mulia Ratu udah ke rumah camer juga, kan? Om Alle juga setuju banget. Udah sama-sama dapet lampu ijo dari kedua belah pihak keluarga. Mungkin mereka lagi ngerencanain kapan tanggal nikahnya.”

Dasar Lih sialan!

Hati Tito sakit, cuy, mendengar itu. Sudah ditolak, ditampar, ini malah diguyur tsunami fakta dari orang paling meyakinkan. Ia protes, tetapi nadanya lemah dengan kalimat yang sama. “Lo mah kagak tahu keberengsekan si Bang Ke, Jang.”

“Ya tapi itu bukan urusan gue juga, sih. Mau dia berengsek atau enggak, itu pilihan Yang Mulia Ratu. Yang jelas dari kacamata gue, cowok itu orang baik. Nggak mungkin kayak yang lo bilang tadi. Orangnya bucin banget sama Yang Mulia Ratu. Jadi, lo nggak perlu khawatir. Yang perlu lo lakuin cuma minta maaf ke Yang Mulia Ratu, To. Gimana-gimana juga dia udah kayak saudara kita. Malah lo kata-katain. Untung cuma ditampar, kagak ditendang selangkangan lo pake sepatu hak tinggi lancipnya itu. Untung juga ini si Bos kagak tahu.”

Tentu saja Tito ngeyel. “Ya justru itu gunanya gue, Jang! Gue nggak pengin Yang Mulia Ratu salah pilih lagi kayak si River itu sampai bikin dia galaunya minta ampun.” Kemudian Tito beralasan, “Entar gue juga yang ribet. Disuruh-suruh Bos lagi.”

Gantian Lih yang tidak membalas omongan Tito. “Btw, soal River tadi, gue saranin lebih baik lo baca berkas itu terus minta maaf ke Yang Mulia Ratu.”

Ck! Minta maaf? Kenapa Tito harus minta maaf? Kenapa Lih selalu menyuruhnya minta maaf kepada Jameka? Semua yang dikatakan Tito benar. Dan untuk apa ia harus membaca berkas itu apabila Lih bisa menceritakannya? Jadi, ia meminta agak sedikit memaksa Lih. “Ya udah, ceritain inti dari berkas itu.”

Mumpung kemarahannya berdampak pada Tito, Lih bertutur, “Sorry, gue lagi kesel sama lo. Jadi, cari aja sendiri.”

Masalahnya, Tito tidak tahu berkas itu ada di mana atau siapa yang terakhir kali memegang dan kemudian menyimpannya. Ia memang ingat tahun lalu Jayden pernah meminta salah satu anggota klan Davidde untuk mencari tahu siapa tentang siapa sebenernya River Devoss hingga bisa membuat Jameka kelimpungan dalam sebuah berkas, sebelum ia diberi mandat menjaga Jameka. Namun, Tito tidak pernah membaca berkas tersebut yang rupanya dibaca oleh Lih.

Setelah urusan Tito selesai di Inggris, ia diam-diam meminta waktu bersantai pada Jayden untuk mencari tahu sebab penasaran. Meskipun bosnya itu berkata, “Katanya lo udah tobat? Kok, mau kelayapan? Tobat betulan apa tobat-tobatan?” tetapi Tito memberikan senyum.

Lalu dengan ragu-ragu, Tito bertanya pada Jayden. “Oh, ya. Lo masih punya berkas River Devoss nggak, Bos?”

Walau pelan, tetapi Tito bisa merasakan embusan napas berat Jayden. Bukan karena amarahnya terpacing—logikanya bila seorang pria menyakiti hati kakak perempuannya, sang adik pasti ingin membunuh pria itu. Dan tatapan Jayden bukan tatapan ingin membunuh, melainkan tatapan pedih, campur ironi, dan miris. Pria itu pun berbalik tanya, “Kakak gue galau lagi gara-gara dia?”

“Enggak, sih. Cuma iseng aja.”

“Iseng?” Nada Jayden agak meninggi. “Jujur aja kalau Jameka lagi galau. Lo emang sahabat kakak gue juga, tapi nggak perlu ditutup-tutupi dia lagi galauin River lagi, To.”

“Kagak, Bos. Beneran kagak. Gue nggak kong kalikong sama Yang Mulia Ratu, kok.”

“Tapi emang susah kayaknya nggak ngegalauin River Devoss, To.” Jayden berbicara tanpa menatap Tito. Tatapan pria itu bahkan menerawang ke satu poros dan suaranya terdengar jauh.

“Kenapa emangnya?” tanya Tito yang makin penasaran.

Jayden menipiskan bibir dan menyembunyikan kedua tangannya yang mengepal di balik saku celana kerja. “Kebetulan kita mau ke New York, ke acara adiknya River. Entar lo bisa nyari info di sana.”

“Kenapa nggak lo yang ceritain aja garis besarnya?” Itu jauh lebih sederhana, bukan?

Jayden tidak langsung menjawab seolah-olah menimbang-nimbang kata-kata apa yang akan dikeluarkan dari mulutnya. “Lebih baik lo cari tahu sendiri.”

Berengsek! umpat Tito dalam hati. Kenapa semua orang menyuruhnya mencari tahu cerita Jameka dengan River? Kenapa semua orang mendadak bersikap seperti ini padanya? Menutup-nutupi siapa sebenarnya River? Apa yang janggal? Apa salahnya?

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo

Kelen luar biasa

And it’s a lot to me

Bonus foto Tito Alvarez

Lih Gashani

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Minggu, 4 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro