Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

Selamat datang di chapter 21

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Darah lebih kental daripada air

Kata orang
____________________________________________________

“Jameka.”

Jameka mendesah, memejamkan mata sejenak, menunduk, lalu mendongak. Dalam hati ia berdoa semoga air matanya tidak terjun bebas ke pipinya. Karena jujur saja, panggilan pria itu mendesirkan darah Jameka. Bagai mantra yang menahan tubuhnya agar tak bergerak ke mana pun. Padahal ia tak cukup sanggup untuk merespons panggilan River Devoss dalam bentuk apa pun, kecuali tingkat kepedihan.

“Jika aku meminta padamu untuk tinggal, apa kau akan tinggal?”

Butuh waktu beberapa detik untuk menguatkan tekat dan mengumpulkan tenaga agar bisa menghadap River. Pria itu berdiri beberapa jengkal di depan Jameka.

Selama ini Jameka dikenal sebagai wanita tanpa ekspresi. Untuk kali ini, River sangat jelas bisa membaca raut wajah Jameka. Tidak hanya itu, tatapan matanya pun menceritakan segalanya kepada pria itu.

Wanita berambut cokelat gelap panjang tersebut menggigit bibirnya yang bergetar saat menjawab tegas pertanyaan River. “Kau tahu aku tak bisa, Riv.”

“Kau bisa. Kau akan selalu bisa. Yang kau perlukan hanya memilihku.”

Jameka praktis kesal. Ia tahu siapa pria itu. Apa arti pria itu baginya. Cincin berlian sederhana, tetapi indah dan elegan yang melingkari jari manisnya menandakan betapa seriusnya River ingin menaikkan tingkat hubungan mereka.

Namun, Jayden Wilder berada di belahan benua lain sedang sekarat dan satu-satunya yang Jayden miliki adalah Jameka. Jadi, bagaimana mungkin Jameka akan memilih River sementara Jayden sendirian menghadapi sukumpulan malaikat yang mungkin sewaktu-waktu hendak menjemput nyawanya? Kenapa River tidak pengertian sama sekali?

“Kau seharusnya tahu mana yang lebih penting bagiku saat ini. Walau kalian belum pernah berkenalan atau bertemu, tapi adikku nantinya juga akan menjadi keluargamu. Keluarga kita. Tolong jangan memperkeruh suasana. Kita baik-baik saja, Riv.”

Rasanya seperti baru saja mendapat serangan jantung. River Devoss kelabakan. Ia lantas mencari-cari alasan. Menemukan satu yang cocok
—tentang apa yang baru saja dialaminya di North Salem Stable, dalam keraguan ia mengaku, “Tapi, aku juga membutuhkanmu. Saat ini kaulah yang paling kubutuhkan.”

Sekali lagi Jameka menyiuk. “Tolong mengertilah, Riv. Kau di sini bersama keluargamu. Mereka menyayangimu dan selalu ada untukmu. Aku tahu kau merindukanku, tapi setidaknya kau baik-baik saja. Adikku baru saja kecelakaan dan kondisinya kritis.”

“Baik-baik saja,” ulang River pilu.

“Kau bisa ikut denganku kalau kau mau.”

“Aku tak yakin bisa.”

Jameka menggeleng-geleng pelan. “Ya sudah. Kalau begitu biarkan aku pergi. Ini urgent.” Ia lanjut memasukkan baju-bajunya ke koper, memeriksa paspor dan identitasnya.

Dengan tatapan nanar, River kembali memohon. “Aku membutuhkanmu sekarang, Bae.”

Kegiatan Jameka berhenti. Ia menatap River kembali. “Please .... Don’t be so childish, Riv. Kau tahu adikku sendirian. Kau tahu kondisi keluargaku. Ayahku mengusir adikku dan aku satu-satunya keluarga yang masih berhubungan dengan Jayden. Kalau kau tak bisa ikut, tolong doakan saja yang terbaik. Agar adikku cepat sembuh, agar aku bisa cepat ke sini. Tapi aku janji akan meneleponmu sesering yang kubisa,” tekan Jameka yang lantas menggeret koper dan keluar penthouse pria itu. Ini pertarungan batin terberat yang pernah ia alami.

Namun, jawabannya sudah pasti. Jayden suadara kandungnya, sementara River baru calon suaminya. Jayden sedang kritis, sementara River baik-baik saja. Merindukan seseorang memang menyesakkan dada, tetapi tidak sampai taraf melukai fisik, bukan? Jameka harus berpikir logis.

Taksi daring yang dipesan Jameka telah menunggunya di lobi gedung penthouse River yang terletak di New York. Butuh setengah jam bagi Jameka untuk tiba di bandara John F. Kennedy. Bagai digelayuti martil, amat berat langkah yang Jameka tempuh hanya untuk memenuhi panggilan penerbangan. Ia nyaris kembali berlari keluar bandara ke tempat River ketika melakukan boarding. Ia ketakutan akan semuanya; hubungannya dengan River yang sedikit merenggang karena perdebatan mereka yang agaknya belum mencapai mufakat, dan terutama kondisi adiknya. Di pesawat pun ia tak bisa beristirahat.

“Ya ampun, sumpah lo kayak kuntilanak!” Wajah Tito ngeri melihat Jameka yang baru keluar dari pintu kedatangan. Pria itu menelisik penampilan Jameka dari atas hingga bawah. Itu bukan Jameka yang biasanya. Versi normal Jameka seperti wanita berkelas, sedangkan ini tidak. Wanita itu kini lebih mirip orang tersesat dengan jiwa tidak penuh.

Yang mengabarkan tentang kondisi Jayden kepada Jameka memang bukan Tito. Namun, pria itu yang secara otomatis berinisiatif menjemputnya di bandara Heathrow.

“Gue bukan mau ke kondangan! Maklumin aja kalau penampilan gue berantakan! Tolol banget, sih, lo!” Jameka memaki sambil mendorong kopernya yang nyaris menubruk pria itu. “Nih, bawain!”

“Buset. Udah kayak budak korporat aja gue!” Dengan ogah-ogahan, Tito akhirnya mengambil koper Jameka lalu mengekori wanita itu mirip hewan piaraan mengikuti majikan.

“Gimana keadaan adik gue, To? Ada perkembangan?” tanya Jameka sendu setelah mereka di mobil. Sambil mengetik pesan kepada River guna mengabarkan dirinya telah tiba di Heathrow, ia duduk di sebelah Tito yang mengemudi. Syukurlah jalanan tidak macet sehingga laju mobil bisa sat-set.

“Ya kayak gitulah.” Bukan malas menjelaskan, tetapi Tito sendiri sejujurnya juga bingung harus memulai dari mana. Pikirannya pun sedang rumit.

Pesan yang dikirim Jameka, belum dibalas River. Itu bukan sesuatu yang bagus. Sebab tak peduli seberapa sibuknya pria itu, pesan atau panggilan dari Jameka selalu menjadi prioritas. Jameka kembali dirundung kegamangan. Ada apa sebenarnya dengan River?

Jameka mulai kesal lagi. Really, Riv? You did this to me? Don’t be so childish, Bae, batin Jameka.

Kala tiba di rumah sakit, Tito tidak sempat membukakan pintu untuk Jameka. Wanita itu sudah keluar sendiri. Sedangkan ia mengambil rokok dan menyulutnya supaya ketegangan dalam dirinya bisa berkurang. Ia pun menyusul Jameka yang rupanya berhenti di depan lobi.

Jameka memeluk diri sendiri lantaran tiba-tiba menggigil. Ia takut sekali menghadapi ini, tetapi pilihan telah ia ambil dengan sikap praktis dan paling masuk akal. Mengesampingkan perasaan amat berat sewaktu meninggalkan River yang berwajah memohon serta merajuk bak anak kecil.

Namun, ada sesuatu yang janggal dengan River. Pasalnya pria itu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jameka amat pusing memikirkan semuanya.

“Lo nggak apa-apa, Yang Mulia Ratu? Lo pucet,” tanya Tito yang kemudian lekas-lekas menancapkan ujung rokok di pasir atas tong sampah. Ada peringatan dilarang merokok tertempel di dinding. Selanjutnya ia melepas jumper abu-abu gombrongnya.

“Gue takut, To. Gue takut,” cicit Jameka. Ia tidak melawan, malah cenderung tak sadar sewaktu Tito memakaikan jumper-nya. Walau beraroma nikotin, tetapi kehangatan segera menyelimuti tubuh Jameka.

Pria itu merapikan jumper yang dipakai Jameka. Ia juga merapikan rambut wanita itu, sedikit menyugar bagian depan yang tertiup angin. “Nggak apa-apa. Adik lo bakal baik-baik aja,” cetus Tito serius. Kalimat itu pun ia suntikkan pada diri sendiri. “Ayo,” ajaknya.

Langkah Jameka masih ragu-ragu. “Bentar, gue takut.”

“Gue juga. Tapi kita harus hadapin ini sama-sama. Adik lo butuh kita. Ayo.”

Tito mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Jameka. Ia tidak menyangka. Rupanya selain jumper, tangan pria itu juga dapat membagi kehangatan. Ia tahu River pasti tak akan terima dengan ini; siapa yang terima saat tunangannya digandeng pria lain? Namun, mana mungkin Jameka bisa berpikir? Yang ia lakukan hanya membalas genggaman tangan Tito agar berani menemui Jayden.

***

Apa yang akan River katakan saat Jameka dalam keadaan pelik seperti ini? Apakah River akan meminta Jameka bersama Kevino dengan menunda mengecek ke dokter kandungan? Ataukah memastikan ke dokter kandungan lebih dulu sebelum leluasa bersama Kevino; dengan catatan ia tidak hamil?

Jameka menenggelamkan diri dalam bak mandi yang sudah ia taburi garam mandi dan sabun busa aroma kesukaannya. Lilin-lilin aroma terapi beraroma sama juga sudah ia nyalakan supaya menambah ketentraman.

Gelembung-gelembung udara yang diembuskan melalui hidung Jameka mulai muncul ke permukaan, lalu meletup-letup. Selama beberapa detik ia menenggelamkan diri, daun telinganya dibelai oleh dering ponsel samar yang terletak di pinggiran bak mandi, jauh dari lilin-lilin.

Kepala Jameka kembali timbul ke permukaan. Sambil mengusap wajah agar pandangan tidak kabur oleh air, Jameka meraba dan menggapai alat komunikasi tersebut. Ia cukup terkejut ketika melihat siapa yang menelepon. Otaknya melarang mengangkatnya, tetapi jarinya lebih dulu menggeser tombol terima dan mengaktifkan pelantang.

“Maksud lo apa ngomong kayak gitu ke Carissa?” Itu kalimat pertama yang diucapkan Tito kala sambungan terhubung. Nada Tito yang menggema di seluruh penjuru kamar mandi memang tidak membentak, malah terkesan santai, tetapi Jameka yakin pria itu sedang kesal padanya. Ia pun tak menyangka dalam waktu beberapa hari ini Carissa baru membicarakannya dengan Tito.

Jameka lantas memilih pura-pura tidak tahu-menahu dengan berbalik tanya, “Omongan apaan?”

Tito tersenyum mengejek. “Nggak usah pura-pura. Carissa barusan nelepon gue. Katanya lo bilang ada cewek yang berpotensi hamil anak gue gara-gara gue one night stand sama cewek itu.”

Jameka memang bukan tipe wanita yang suka meminta seorang pria menebak-nebak isi hati dan kepalanya. Namun, kali ini ia tak bisa bicara terus terang. Terlalu banyak harapan dan risiko yang akan ditanggung bilamana Jameka membahas potensi kehamilannya. Terutama menyangkut Tito.

Jameka harus mengenali medan dulu sebelum memulai pertempuran. Ia harus melihat situasi dulu sebelum memutuskan sesuatu yang akan ia perbuat dengan semua ini, terutama bagaimana jawaban awal Tito. Jadi, lagi-lagi Jameka bertanya balik. “Lo ngerasa nggak loh?”

“Ya kagaklah. Gue kagak nananina sama cewek mana pun selama kerja di Heratl sama lo. Yang pinter dikit kalau ngarang.”

Oh, rupanya seperti itu? Terus yang waktu itu apa? Main karambol? Dasar berengsek!

Hati Jameka berdenyut nyeri. Ingin sekali ia memaki-maki pria itu, tetapi tenaganya sungguh tak ada. “Coba inget-inget dulu. Kali aja lo lupa. Kebanyakan, sih.”

“Kagak. Justru karena gue udah nggak pernah lagi, makanya inget banget.

Dasar berengsek kuadrat! Tito memang sampah! maki Jameka dalam hati lagi.

Jameka berbaik hati memberi petunjuk. “Kali aja lo mabuk terus nggak sadar ngelakuin?”

Kagak. Gue tahu batas alkohol gue. Dan selama kerja di Heratl, gue kagak pernah mabuk. Minum, sih, iya. Tapi nggak pernah sampai mabuk.”

Akhirnya Jameka agak ngotot. “Ya udah, kalau enggak ngerasa ya santai ajalah. Nggak usah kayak cewek ngelabrak cewek lain.”

“Lo kalau cemburu bilang, nggak usah ngefitnah orang.”

“Cemburu? Ngefitnah orang?” Jameka spontan tertawa nyaring lantaran merasa geli dengan kalimat Tito. “Yang bener aja, To. That’s impossible.”

“Nothing impossible, Yang Mulia Ratu Jameka. Terus ngapain lo fitnah-fitnah gue kalau nggak cemburu gara-gara gue deketin Carissa?”

“Gue ngomong kenyataan, kok. Mana ada gue cemburu. Sama Carissa lagi.” Yang levelnya lebih tinggi gitu nggak adakah? Jameka praktis kembali kesal dibanding-bandingkan dengan Carissa.

“Kalau nggak cemburu, terus siapa cewek yang berpotensi gue hamilin? Kasih tahu namanya. Paling dia ngaku-ngaku doang. Ngapain juga dia ngomong ke lo, bukan ke gue? Kan, kagak ada hubungannya sama lo.”

Tentu saja Jameka ngeles. “Ya adalah pokoknya yang ngomong ke gue. Tahu kali kita udah kayak keluarga. Makanya dia ngomong ke gue.” Ia lalu memancing, “Emangnya lo mau tanggung jawab kalau dia beneran hamil?”

“Kenapa gue mesti tanggung jawab, Jameka? Gue, kan, nggak hamilin siapa pun. Emangnya siapa cewek itu? Kenapa ngomongnya ke lo? Bukan ke gue langsung?” ulang Tito.

Paten. Tito memang berengsek, tidak bisa diharapkan sama sekali. Jameka benar-benar sakit hati dibuatnya dan berharap tak hamil anak kadal sawah satu ini. Dan Jameka tak sengaja menyuarakan isi hatinya dengan pelan.

“Takut kali dia ngomong sama lo. Soalnya lo berengsek, sih.”

Tito malah tertawa. Astaga naga .... Kenapa jadi lo yang nyolot, Jameka? Harusnya, kan, gue.”

“Tahulah!”

“Kalau gitu tolong bilangin ke cewek itu, suruh langsung ngomong ke gue aja.”

“Ogah banget!”

Jameka menutup telepon secara kasar dan memaki-maki. Namun, berikutnya entah kenapa air matanya mengalir. “Lo berengsek sumpah, To!”

Sekelebat bayangan River melintas di pikiran Jameka. Lalu kenangan mereka mengalir lagi, terutama saat insiden keguguran dulu. Seandainya tak dicegah, River hampir bersujud di kaki Jameka dan pria itu menumpahkan air matanya.

Jari-jari Jameka menari lincah di atas layar ponsel untuk mencari foto-fotonya bersama River. Ada satu folder khusus yang ia gunakan untuk menyimpan foto-foto tersebut. Dan yang paling Jameka sukai ialah foto River memeluk sembari menciumnya saat makan malam di restoran kesukaan pria itu di New York.

Mr. Thunder Devoss pernah memotret Jameka bersama River tampak belakang di North Salem Stable. Tangan kanan River menarik tali kekang kuda kesayangannya bernama Aztec. Sedangkan tangan kirinya menggandeng Jameka. Rencananya mereka akan membawa Aztec ke pedok.

Sejak River pergi, Jameka memang rajin menangis. Namun, sejak malam Jameka mabuk dan berakhir seranjang bersama Tito, ia sudah tidak begitu sering menangis. Sebab sibuk dengan masalah baru.

Jameka melihat-lihat lagi fotonya bersama River. Lalu ia beralih membaca chat dari pria itu. Jameka meletakkan ponsel di pinggiran bak lalu menenggelamkan diri. Setelah oksigen di paru-parunya habis, Jameka muncul ke permukaan, membilas diri hingga bersih, selanjutnya berpakaian serta mengeringkan rambut.

Jameka mengemasi barang-barangnya di satu koper kecil. Tak lupa membawa dan menyematkan kembali cincin pemberian River, ia mengirimi pesan ke Kevino sebelum menggeret kopet itu keluar dari kondominium.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo

Kelen luar biasa

And it’s a lot to me

Bonus foto Jameka Michelle

River Devoss

Kevino Eclipster

Tito Alvarez

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 9 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro