Chapter 2
Selamat datang di chapter 2
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hope you enjoy anda love this story as well
❤❤❤
______________________________________________
Konspirasi alam semesta yang apik seolah tidak mengizinkan mereka berjalan berdampingan di bumi yang sama
—Taming the Boss
______________________________________________
“Yakin gue kagak usah turun?” tanya Tito sewaktu mobilnya sudah berhenti di mansion papanya Jameka.
“Enggak, gue lagi pengin berduaan sama bokap,” jawab wanita itu, menuruti kata papanya.
“Yah ... padahal lagi pengin makan gratis,” gumam Tito yang tidak digubris Jameka.
Kedua netra pria itu menelisik ke luar jendela mobil. Bangunan bergaya Italy ini tampak sepi dan gelap. Hanya bagian sayap kanan yang menyala, sementara ruang-ruang lain lampunya sengaja dipadamkan. Gemericik air mancur di kaskade depan pintu masuk juga tidak lagi menyambut. Ini akibat pengurangan jumlah pekerja dan penghematan daya super.
Mulanya Tito sempat menyampaikan pendapat lebih baik menjual atau menyewakan mansion super megah ini dan pak Allecio bisa tinggal di kondominium Jameka. Sementara itu, ia dan Jameka bersama seluruh karyawan Heratl akan mengurus perusahaan perabot pintar tersebut agar bisa bangkit kembali. Namun, sang ayah dan anak kompak menolak dengan alasan banyak kenangan yang bersemayam di sini. Jadi, solusi terbaik saat ini adalah berhemat.
Tito kembali fokus pada Jameka yang mengambil tas dan blazer di jok tengah—lagi-lagi ia berhasil meyakinkan wanita itu untuk duduk di depan.
“Lo nggak usah bukain pintu gue, Kadal,” pungkas Jameka sembari menggerakkan kepala supaya kucirnya jatuh ke punggung. Barulah membuka pintu dan meluncur turun.
Dengan segera kaca mobil pintu tersebut diturunkan Tito agar bisa melihat Jameka. “Ya udah. Gue cabut dulu, Yang Mulia Ratu,” pamitnya, melambai singkat dan menutup kaca kembali setelah mendapat jawaban dari wanita itu.
“Besok lo jemput di sini aja. Hati-hati. Makasih.”
Setelah memastikan Civic putih Tito bergerak keluar pagar, Jameka membalik tubuh 180 derajat untuk masuk. Rasa penasaran jenis pembicaraan apa yang akan dilontarkan papanya sampai-sampai harus datang ke sini sendirian segera menggerogoti dirinya lagi. Namun, tidak lama sebab orang yang dipikirkan tiba-tiba sudah muncul.
“Akhirnya kamu dateng, Jame,” sambut papanya yang terlihat lega bersama salah satu maid di foyer depan. “Mbak, tolong bawa ini ke kamarnya Jameka,” titah Allecio kepada maid tersebut.
Jameka pun memberikan blazer dan tasnya. Lantas mengikuti langkah papanya ke area kolam renang yang dihias sedemikian rupa. Ia rasa, ini terlalu berlebihan untuk ukuran acara makan malam berdua.
Sambil menggamit lengan papanya, Jameka mengernyit pertanda bingung. “Ada apaan sih, Pa? Sampai dihias-hias begini? Kita harus hemat loh, Pa. Ngobrolnya kan bisa sambil makan malem di dalem.”
Tangan Allecio mengibas santai. “Nggak usah dipikirin, ini cuma sekali.”
“Lagian—” Belum rampung Jameka bicara, kedua indra pengelihatannya segera menangkap beberapa orang yang duduk melingkari meja makan di bawah gazebo dekat kolam renang itu. Secara tidak langsung menjawab serta menimbulkan pertanyaan baru baginya. “Loh, kok ada banyak orang?”
“Entar Papa jelasin. Ayo gabung dulu.”
Meski mengganjal, tetapi Jameka menurut. Papanya menarik kursi untuknya supaya bisa duduk secara anggun bak wanita berkelas dengan tata krama baik. Sedangkan beberapa orang memperhatikan ayah dan anak tersebut dengan sambuntan senyum hangat.
Jameka melirik seorang wanita paruh baya dengan dandanan modis, pria paruh baya yang kelihatan berumur lebih tua dari wanita itu, dan seorang pria yang kelihatan lebih muda darinya, tetapi berwajah dingin walau jelas tidak ada ketertarikan memandangnya.
“Ini dia anakku yang namanya Jameka, Vis. Kakaknya Jayden,” terang Allecio kepada pria paruh baya yang duduk di hadapannya. Kemudian menoleh ke Jameka. “Jame, ini pak Davis Eclipster yang punya Utama Raya Paper and Pulp. Perusaan yang dulu pernah Papa rekomendasikan buat kerja sama jadi mitra Heratl. Terus ini istrinya pak Davis, dan ini anak ... kedua atau ketiga ini?” lanjut Allecio, cenderung mengingat-ingat sembari bertanya demikian.
Istri Davis sontak mengelus punggung putranya yang kelihatan agak risi. “Yang kedua, Pak Al. Namanya Kevino. Sebenernya dia kembar, tapi lahir duluan sebelum Gavino. Jadi urutannya: Erlang, Kenivo, Gavino, sama Satria. Semuanya cowok,” terangnya disertai senyum bangga.
Berbeda dengan yang sedang dibangga-banggakan. Dari duduknya, Jameka bisa menangkap dengkusan pelan dan senyum miring Kevino.
“Nggak apa-apa, Ma. Kan jadinya Mama yang paling cantik di keluarga kita,” puji Davis sambil menatap istrinya penuh cinta.
“Ah, Papa bisa aja. Entar kalau punya menantu, juga tambah banyak yang cantik,” balas wanita paruh baya itu sembari memegangi sebagian pipinya karena rikuh.
“Tapi bagi Papa, tetep Mama yang paling cantik.”
Ini acara makan malam apaan sih? Sampai-sampai kagak ngebolehin si Kadal ikutan? Perasaan ajang pamer kemesraan doang, batin Jameka mulai dongkol.
“Kalian ini udah tua masih kayak baru nikah kemarin aja,” sahut Allecio yang membuat Davis bersama istrinya mengudarakan tawa malu-malu kucing. Persis remaja tanggung terkena sindrom merah jambu sedang kepergok orang tua macam Allecio.
Davis pun membenarkan. “Itulah hebatnya istriku, Al. Masih bisa bikin aku jadi kayak gini.”
Mbeeekkk ....
Suara kambing mengembek sontak memenuhi otak Jameka ketika melihat Davis mendapat cubitan perut mesra oleh istrinya.
Ya ... ya ... serah Anda aja, Om, batin Jameka sambil menyasarkan pandangan ke kukunya yang dicat merah darah.
“Percaya, Vis. Ngomong-ngomong ... ayo ... silakan dimakan. Jangan sungkan-sungkan,” ajak Allecio disertai gerakan tangan menunjuk-nunjuk menu makan malam di meja.
“Wah spesial nih menunya, Ma,” gumam Davis kepada istrinya. Kemudian berbicara dengan putranya. “Kev, ini makanan kesukaanmu loh, gule kambing.”
Tanpa tedeng aling-aling, Jameka praktis memejam sebentar untuk menghalau ingatan wajah kambing-kambing yang merumput dengan bahagia. Bagaimanapun, gule itu sudah tidak berbentuk hewan ternak dengan golongan penghasil susu terbaik itu. Hanya berupa potongan-potongan dadu. Ketiban untung, ia tidak melihat tulang-belulang ruminansia[3] itu dalam kuah gule. Membayangkannya saja sudah ngeri sendiri. Hiii ....
Sekali lagi Jameka melihat Kevino yang hanya nyengir singkat lalu menerima semangkok gule yang diulurkan mamanya. Berikutnya wanita itu sedikit tersentak mendapati piringnya diisi nasi merah oleh Allecio.
“Kalau Jameka ini vegetarian, jadi harus ada menu khusus,” cerita Allecio sebelum mengambilkan orechiette brokoli untuk Jameka.
“Gaya hidup sehat kan penting, Pak Al,” timpal istri Davis dengan senyum riang.
“Betul, Al,” sahut Davis.
Bah, belum tahu aja kalau gue ngerokok. Sehat bener gaya hidup gue. Jameka menjawab dalam hati ketika papanya mengudarakan tawa yang dibuat-buat.
“Ngomong-ngomong, Jameka sekarang jadi CEO Heratl ganttin Jayden,” cerita Allecio, jelas bernada bangga.
“Wah ... kebetulan, Al. Erlang juga kayaknya pengin bangun start up sendiri. Yang cabang di Brooklyn pengin diganti jadi apa gitu namanya.”
“Gemilang, Pa,” timpal istrinya Davis.
Lalu dengan senang hati, pria paruh baya itu melanjutkan ceritanya kepada Allecio. “Nah, itu. Berhubung Erlang pengin lepas dari Utama Raya Paper and Plup, Kevino yang bakalan aku minta jadi CEO-nya.”
Ini apa-apaan sih? Tadi mesra-mesraan, sekarang kok pada bangga-banggain anak masing-masing? Bukan kompetisi kaleee, batin Jameka kesal. Namun, tetap takzim memakan brokolinya.
Yah, seandainya ada Tito. Pasti pria supel itu bisa menimpali obrolan para tetua—meski dengan celometannya yang tidak bermanfaat, tetapi bisa mendongkrak suasa menjadi lebih baik.
Mengingat pria itu menggoda pemilik warteg, Jameka jadi penasaran. Kira-kira mamanya Kevino ini akan dirayu Tito juga tidak ya? Kalau iya, akankah pria bertato itu bersaing sengan sang suami?
Hm ... menarik.
Sembari makan, obrolan-obrolan para orang tua terus mengalir. Jameka dan Kevino hanya diam, sengaja tidak ingin menguping tentang cerita-cerita lama mereka yang sebenarnya sudah keduanya dengar berulang kali, tetapi terus diulang-ulang. Seakan tidak ada rasa bosan. Seolah kejadian-kejadian yang para tetua alami baru terjadi beberapa detik lalu.
Hingga perkataan penting Allecio kali ini tertangkap oleh kedua rugu Jemeka. “Begini, Jame ... maksud Papa mengundang keluarga pak Davis selain untuk makan malam, kami juga pengin kamu bisa kenalan sama Kevino. Yah ... syukur-syukur kalian bisa berjodoh.”
Oh! Akhirnya Jameka tahu maksud papanya tidak ingin Tito menemaninya. Rupanya ada perjodohan yang dibalut acara makan malam. Kuno sekali dan tidak berkelas.
Emosi Jameka naik setingkat lebih tinggi. Dari dogkol, kesal, kini memasuki taraf ingin protes dengan berbagai pertanyaan yang berlarian di kepalanya ; kenapa jadi seperti ini? Bukankah sebulan lalu Jameka—didukung penuh oleh adiknya—sudah mengatakan kalau masih asyik quirky alone? Jameka juga ingat betul Jayden pernah mengingatkan papa mereka kalau ia bisa mencari jodoh sendiri. Tidak perlu menggunakan acara perjodohan.
Dahulu, papanya kebelet punya menantu dari wanita yang dicintai Jayden, sekarang dari Jameka. Sungguh memusingkan. Jameka benar-benar tidak bisa mereka-reka jalan pikiran papanya.
Oke, umur Jameka memang sudah lewat kepala tiga. Untuk ukuran wanita yang tinggal di Indonesia, memang itu seperti aib keluarga. Namun, ada alasan kenapa ia bisa sampai seperti ini. Ia pernah hampir menikah dengan River. Sangat disayangkan, konspirasi alam semesta yang apik seolah tidak mengizinkan mereka berjalan berdampingan di bumi yang sama. Alias tidak berjodoh.
Napas berat yang tersembus pelan mengiringi garpu dalam genggaman Jameka yang sontak diletakkan piring secara perlahan. “Pa—” Wanita itu terpaksa menghentikan protes sebab kakinya disenggol kaki Allecio.
“Dicoba dulu, Jame.” Allecio lalu melihat satu per satu penghuni meja makan. “Iya kan?” lanjutnya meminta persetujuan dari semua orang.
Para orang tua jelas mengangguk antusias bin girang. Jameka pun melihat Kevino yang masih makan gule kambing. Seolah makanan itu merupakan unsur terpenting dari segala aspek yang ada di sekelilingnya.
Aneh, pikir Jameka. Kevino ini jelas kelihatan dingin, auranya juga pembangkang. Namun, kenapa pria itu sama sekali tidak protes? Atau memang tidak bisa? Lalu apa yang harus diperbuatnya?
Hingga acara makan malam selesai, Kevino hanya menjawab seadaanya dan mau-mau saja diminta mulai menjalin hubungan dengan Jameka. Sedangkan wanita itu selalu berkilah, menolak dengan cara halus. “Sekarang saya masih berpusing-pusing ria ngurus Heratl. Mungkin nanti kalau saya sudah bisa meng-handle Heratl, Pa, Om, Tante.”
“Oh, santai aja, Nak Jame. Pendekatan dulu aja pelan-pelan,” jawab istrinya Davis. Jelas tidak paham maksud omongan Jameka dan beralih ke Kevino, “Ya kan, Kev?”
Pria itu baru mengangkat wajah dari mangkok gule yang sudah ludes lalu menjawab mamanya. “Atur aja, Ma.”
Eh! Mana bisa gitu! Enak bener kalau ngomong! Jameka memaki dalam hati.
______________
[3] mamalia yang memiliki bentuk kuku belah dua dan berlambung empat (sapi, kambing, domba, babi dan rusa)
“Pa, aku kan udah bilang, kalau masih asyik sendiri ke Papa. Jadi, Papa nggak perlu repot-repot buat jodohin aku,” protes Jameka setelah keluarga Davis Eclipster sudah meninggalkan mansion.
Mendengar itu, Allecio menghentikan langkahnya masuk rumah untuk menjawab putrinya. “Jame, Papa udah tua, Nak. Papa khawatir sama kamu.”
Dari wajah dan nada datar, Jameka berubah mengernyit. “Khawatir karena umurku? Nggak perlu khawatir, Pa. Entar kalau jodohku udah dateng, aku pasti bakalan nikah kok. Dan kalau Papa ngiranya dengan perjodohan ini Heratl bisa dapet sokongan dana, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pa. Aku nolak.”
“Pikiranmu kok sama kayak adikmu?”
Oh, rupanya Jayden juga berpikir seperti dirinya? Baguslah kalau begitu. Ia jadi penasaran, apakah Tito dan sahabat-sahabatnya akan sependapat?
“Nah, tuh. Si Bambank aja sampai mikir gitu. Mungkin orang lain juga bakal mikir gitu. Kenapa aku nggak boleh mikir gitu juga, Pa? Lagian, Papa ini aneh-aneh deh.”
Wajah Allecio jelas berubah kecewa. “Papa ini udah tua, Nak. Papa cuma pengin lihat anak-anak Papa nikah didampingi Papa. Demi Tuhan, nggak ada maksud Papa buat jadiin kamu alat biar Heratl dapet sokongan dana dari Utama Raya.”
“Tapi aku—”
“Jame, jangan pikir Papa nggak tahu kamu baru putus sama cowok yang namanya River. Sampai nangis terus-terusan. Kamu pikir, Papa nggak sedih lihat kamu kayak gitu?”
Degh!
Satu hantaman kencang tak kasat mata tanpa tedeng aling-aling menumbuk ulu hati Jameka. Hingga rasanya sangat sakit ketika merasakan setiap detak yang dihasilkan. Ia pun diam seribu bahasa.
“Coba kamu ceritain River itu siapa?”
Jameka menunduk. “Maaf, Pa. Aku belum siap. Kalau udah siap, aku bakalan cerita kok. Tapi please ... jangan libatin dia sama perjodohan Papa. Jangan tuduh dia macem-macem.”
Satu decakan lolos di bibir Allecio. “Gimana Papa nggak nuduh River macem-macem kalau lihat kamu nangis-nangis kayak gitu gara-gara dia terus?” tuntut Allecio. “Kamu ini putri Papa yang tegar. Tapi gara-gara River—”
“Pa,” potong Jameka, “pokoknya nggak kayak yang Papa pikir kok. Intinya aku sama dia putus baik-baik. Papa nggak perlu khawatir.”
“Kalau baik-baik itu nggak bakal putus, Jame.”
Aku juga maunya gitu, Pa! Kalau bisa aku juga pengin sama River terus!
Alih-alih meneriakkan kegusaran hatinya mengenai River, Jameka memilih memejam dan mengeluarkan napas berat. Sehingga papanya kembali membuka suara.
“Papa heran. Nggak kamu, nggak Jayden, nggak ada yang punya niatan cerita River ke Papa,” cerca Allecio.
“Maksudnya Jay nggak cerita ke Papa? Emang dia tahu semuanya soal River?”
“Tahu, buktinya adikmu ngelindungi kamu sama River kan? Papa yakin kalian sekongkol. Herannya lagi, kok mau-maunya Jay sekongkol dari cowok yang udah bikin kamu nangis,” tuduh Allecio dengan ada sangat serius sehingga membuat jantung Jameka berdetak lebih cepat. Suhu badannya juga sontak menurun. Sungguh, ia berusaha tegar untuk bahasan topik sensitif ; River Devoss.
Sementara itu benakknya masih bertanya-tanya: Jayden yang tahu? Adiknya tahu? Namun, kenapa tidak mengatakan apa pun padanya? Dan kalau Jayden tahu, itu berarti secara otomatis Tito juga tahu.
Jameka memejam sambil menggeleng. Benar-benar!
Jameka menatap papanya kembali selama beberapa saat. Otaknya berperang melawan batin dengan segala kecambuk tentang River. Papanya jelas tidak ingin dilawan kali ini. Jadi, apa daya? Ia menjawab dengan nada pelan. “Aku juga lagi usaha lupain dia, Pa.”
“Makanya, Jame. Papa nyodorin Kevino ke kamu,” bisik Allecio dengan nada penuh penekanan, dengan tangan bebas berkekspresi.
Jameka mengerjap beberapa kali sembari menggeleng. “Maaf, Pa. Kita bahas ini lain kali aja. Aku mau pulang ke kondo dulu. Aku butuh mikir soal semua ini.”
Tanpa mengidahkan papanya, wanita itu berjalan ke kamarnya, dengan cepat mengambil blezer dan tas, lantas naik taksi.
Di tengah perjalanan ke komdominium, tiba-tiba Jameka merasa tidak ingin sendirian lantaran takut menyiksa diri dengan membuka semua memori tentanh River.
Ia berpikir ingin pergi ke rumah sahabatnya bernama Bella, tetapi yakin wanita hamil itu tak ingin ia bebani dengan perkara ini. Ingin pergi ke rumah Karina, tetapi yakin wanita itu sedang sibuk mengurus bayi. Ingin menelepon Jayden, tetapi pasti sibuk.
Apa boleh buat?
Jameka lantas menggeser-geser layar ponsel untuk menelepon Tito. Pada dering kelima, pria itu baru mengangkatnya. Dan hal yang pertama kali ia dengar adalah suara musik yang menggedor-gedor gendang telinga.
“Di kelab mana lo?” tuduh Jameka to the point.
“Kenapa emang, Yang Mulia?” balas Tito. Kendati berteriak untuk mengalahkan suara musik yang bertimpang tindih, tetap saja Jameka kesulitan menangkap maksudnya.
“Kagak kedengeran lo ngomong apaan. Gua WA aja. Baca dan bales cepet!”
Telepon ditutup sepihak oleh Jameka. Tak ingin membuang waktu barang sedetik pun, ia lantas megirim pesan ke Tito.
Jameka Michelle:
Di kelab mana lo?
Tito si Kadal Sawah:
Rahasia. Entar lo razia. Berape urusannya. Ada apaan? Gue kagak mau ngerespons kalau urusan pekerjaan. Capek cuy.
Decakan sebal Jameka lolos tanpa penyaring. Kurang ajar memang si Kadal Sawah ini! Berani-beraninya!
Jameka Michelle:
Gue mau gabung minum-minum. Share loc, sekarang!
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks jug yang udah vote dan komen, juga beneri typo
Kelen ngeten pun 👍
Bonus foto:
Jameka Michelle
River Devoss
Tito Alvarez
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 7 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro