Chapter 18
Selamat datang di chapter 18
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like me
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Orang yang sering mengganggumu adalah orang yang mencintaimu
—Someone in some where
____________________________________________________
Dering ponsel tanda panggilan masuk dari Jameka membentuk senyum lebar di wajah Tito. Sambil cekikikan lantaran puas telah berhasil membuat Jameka murka, Tito sengaja membiarkan panggilan itu lebih lama. Namun, sebelum nada dering tersebut habis, Tito mengangkatnya.
“What’s up?” tanya Tito dengan nada pura-pura datar. Padahal ia tertawa tanpa suara. Tangannya nyaris menepuk-nepuk lutut. Sekarang pun ia menendangi kerikil di sekitar trotoar jalan Banbury Summertown yang berdebu dan dipadati pejalan kaki. Rokoknya yang masih meyala terjepit di antara bibir merah tuanya. Dua orang anggota klan Davidde yang ditugaskan Jayden menjemput Tito di bandara Heathrow mengikuti pria bertato itu dengan jarak agak jauh.
Sambil membagi asap nikotin ke udara Oxford yang panas, Tito kemudian menjauhkan ponsel dari telinga ketika Jameka berteriak, “Kadal sawah .... Bener-bener lo yeee!”
Kembali cekikikan, Tito pura-pura menghardik, “Apa, sih? Nggak jelas lo.” Banyak toko berderet di sepanjang jalan itu. Kaca depan pertokoan tersebut memamerkan refleksi Tito yang masih melebarkan senyuman.
“Nggak usah pura-pura bego! Bego beneran baru tahu rasa! Lo resek banget sumpah!”
Tito ganti pura-pura ber-cak. “Yang Mulia Ratu Jameka, kalau kangen bilang aja. Nggak usah marah sampe teriak-teriak kayak gini.”
•••
Jameka melongo. Amarah yang sempat naik hingga mencapai ubun-ubun pun turun lagi berganti kebingungan. Ada jeda beberapa detik yang digunakan Jameka untuk mencerna kalimat Tito. Ah, pasti si kadal sawah ini sedang berkelit agar tidak terkena amukannya. Jameka yakin itu.
Oleh sebab itu, Jameka membalas, “Lo kesurupan apa mabuk kecubung? Mana ada ceritanya gue kangen lo!”
Lalu dengan santainya Tito menjawab, “Ya diada-adainlah .... Gitu aja, kok, repot.”
Sekali lagi Jameka berkata sengit akibat amarahnya yang kembali bangkit. “Apa-apaan, sih, To? Gue—”
“Ya gue minta maaf belum ngabarin, soalnya baru sampai. Eh ..., ternyata lo udah kangen. Terus telepon gue duluan. Ya udah,” sela Tito.
“Tito! Gue nggak kangen lo! Tujuan gue nelepon lo itu—”
“Iya, soalnya kangen gue, kan?” serobot Tito lagi mirip angkot ugal-ugalan di jalan macet yang diklakson pengendara-pengendara lain. Namun, kalah dengan ibu-ibu penguasa jalanan yang pasang sen kiri, tetapi belok kanan. “Gue paham. Gue juga kangen lo, kok, Sayang. Banget malahan,” imbuhnya.
Jameka kembali melongo dan entah kenapa jantungnya malah berdebar-debar sampai bulu kuduknya berdiri. Otaknya membentuk persepsi bahwa Tito merindukannya, merindukan ibu dari calon anaknya. Itu berarti ada sejumput harapan untuk memberitahu Tito tentang kehamilamnya.
Tunggu, kenapa jadi ngawur gini, sih? maki Jameka kepada diri sendiri. Mana mungkin Tito akan mau bertanggung jawab jika ia hamil? Iya, kan?
Jameka lantas menggeleng dan mengembalikan emosinya. “Lo gila apa edan, sih, To? Kesambet apaan, sih?”
“Kesambet setan budek.”
Gggrrr!
Seharusnya Jameka sudah bisa menduga hal ini. Berbicara dengan Tito sama halnya menguras lautan alias percuma bin sia-sia bin tak berguna. Yang ada malah dapat menyedot begitu banyak tenaga, makan hati, dan memperparah mental. Kadang-kadang pria itu menularkan kegilaannya kepada Jameka.
“Udahlah terserah! Lo emang paling nyebelin sejagad raya!” maki Jameka.
“Ya ampun, nggak nyangka lo sekangen ini sama gue sampai ngambek banget kayak gini. Entar, deh. Gue izin adek lo biar balik cepet. Sabar ya, Sayang.”
Sumpah? Ini Tito kenapa, sih?
Sekali lagi Jameka merinding dengan jantung berdebar-debar seperti baru saja melihat hantu. Namun, Jameka berpikir ini lebih seram daripada melihat hantu langsung. Jameka harus ingat, Tito itu womenizer. Bukti nyatanya sekarang ini. Di saat mendekati Clarissa, Tito juga memanggil “Sayang” seringan bulu kepada Jameka. Sudah jelas, kan?
Jameka menjauhkan ponsel untuk memelototi alat komunikasi tersebut. Rasa kesal yang tadi melambung tinggi kini berganti ngeri seutuhnya. Ia bergidik lalu tanpa ba-bi-bu memutus sambungan telepon. Ia bahkan nyaris melempar benda tersebut ke meja gara-gara saking terkejutnya atas perkataan Tito.
Jameka mengusap-usap kedua lengan. Sepertinya ia butuh cenayang untuk mengusir setan budek yang bersemayam di tubuh Tito. Lalu tiba-tiba bola lampu menyala di atas kepala Jameka mirip di film-film kartun, pertanda sebuah ide melesak ke dalam benaknya. Jameka lantas bergegas menghubungi resepsionis untuk berbicara kepada Carissa.
“Bu, Carissa, kalau ada kiriman bunga atau apa pun khusus dari inisial K.E. nggak perlu lapor asisten saya. Tolong langsung bawa ke ruangan saya aja. Kalau asisten saya tanya-tanya jawab aja itu perintah dari saya.”
“Baik, Ibu Jameka,” jawab Carissa patuh.
“Terima kasih.”
Setelah sambungan itu terputus, Jameka memelototi ponsel sambil menunjuk-nunjuk. “Heh kadal sawah! Kali ini lo kagak bisa usil! Sono puas-puasin di Inggris! Gue juga mau puas-puasin nge-date sama Kevino! Dan sekarang gue mau nikmantin vegan cookies dari camer gue!”
•••
“Istri lagi—loh, ditutup?”
“Dasar si Bambang!” desis Jameka menanggapi keluhan Papanya setelah adik laki-lakinya memutus panggilan video. “Pengantin baru, biasalah. Pasti mau bercocok tanam,” sindirnya, “istrinya mau dimonopoli sendiri.”
“Kamu kapan nyusul, Nak Jame?” celetuk Tante Amanda yang tak lain adalah mertua adik laki-lakinya.
Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Semua keluarga Jakarta kini berkumpul di mansion Allecio untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada istrinya Jayden yang tinggal di Summertown. Mereka sepakat menggunakan ponsel Tante Amanda sebagai media panggilan video.
“Kapan apa ini, Mi? Bercocok tanam?” celetuk Brian yang berdiri di belakang Bella.
“Hush! Kamu ini, Bri! Udah mau jadi bapak, kok, ngomongnya suka nggak direm!” tegur Tante Amanda sambil menampol pelan lengan anak laki-laki tirinya itu, “nyusul nikahlah! Masa bercocok tanam!”
“Jewer aja kalau perlu, Mi. Kebiasaan, tuh,” gumam Baldwin kepada Tante Amanda. Anak laki-lakinya itu memang agak sukar dinasihati. Kalau istrinya yang turun tangan, sering kali manjur.
Di sebelah Bella duduk, Karina masuk obrolan dengan menanggapi perkataan Tante Amanda soal Jameka. “Bau-baunya, sih, bentar lagi Kak Jame nyusul, Tan.” Sambil menaik-turunkan alis, ia menghadap Bella untuk meminta persetujuan ibu hamil itu. “Iya, kan, Kak Bel?”
Bella ikut mengompor-ngompori. “Bener. Tuh, liat aja lehernya.”
Jameka refleks menata rambut ke depan supaya menutupi leher. Sebab semua orang yang duduk di meja makan panjang di tepi kolam renang di mansion ini tengah melihatnya.
Jameka melirik mereka bergantian. “Apa, sih? Cuma digigit nyamuk. Bella, tuh, suka ngada-ngada,” kelitnya yang berusaha menjaga ekspresinya agar tetap datar. Padahal pipinya hampir naik dengan garis bibir nyaris tertarik ke atas membentuk senyum rikuh.
Sejujurnya Jameka ingin menghapus tanda itu sebelum berangkat ke kantor tadi. Sayangnya ia masih enggan. Itu tanda dari Kevino-nya.
“Ngada-ngada apaan? Gue tahu perbedaan digigit nyamuk sama digigit manusia, ya,” bantah Bella.
“Nyamuknya cowok, ya, Kak Jame?”
Jameka pura-pura melihat kuku-kukunya yang dicat merah muda, yang membuatnya terlihat bak wanita lembut, bukan tegas dan garang. “Brian nggak usah ikut-ikutan. Resek lo.”
“Nyamuknya yang namanya Kevino, bukan?”
Mendengar nama itu disebut-sebut, semua orang kontan melihat Allecio. Bella dan Karina mengiyakan. “Tahu, nggak, Om. Kemarin kami ketemu sama Nyamuk Kevino di PIM,” cerita Bella heboh.
“Iya, sama camer Kak Jameka juga, deh. Namanya Tante Bianca,” timpal Karina.
Bukannya marah lantaran tahu leher anak perempuannya diberi tanda kepemilikan oleh seorang pria, Allecio malah mengkonfirmasi kebenaran dari informasi yang disampaikan Bella. “Oh, ya bener berarti. Itu Nyamuk Kevino.”
Allecio terkadang merasa amat putus asa dengan umur Jameka yang sudah memasuki 30 tahun lebih, tetapi masih melajang sebab kerap kali menangisi pemuda bernama River. Jikalau hickey di leher anaknya ialah suatu pertanda Jameka mulai membuka hati untuk pria lain, terutama untuk melupakan River, atau syukur-syukur bisa ke jenjang lebih tinggi sampai menikah nanti, Allecio pasti sangat senang. Itu jauh lebih baik ketimbang melihat anak perempuannya bersedih terus-menerus.
Kini semua orang menyimak topik tentang Kevino. Sementara Lih mengamati mereka sambil menyomot kue ulang tahun di meja makan. Toh, ia sudah tahu tentang tanda merah keunguan di leher Jameka dan Kevino Eclipster yang mengirimkan bunga serta parsel kue tadi pagi.
Brian mengikuti Lih, tetapi sembari tertawa-tawa. Sedangkan suami Karina hanya tersenyum lantaran tak ingin menertawakan bosnya yang dikerjai habis-habisan oleh keluarganya.
“Siapa itu Kevino, Al?” Akhirnya rasa penasaran membuat Tante Amanda menodong penjelasan kepada Allecio. Lengan baju polo putih pria sepuh itu sampai nyaris ditariknya.
“Iya, Om. Siapa, sih?” Brian ikut-ikut.
“Sabar .... Sabar ...,” kata Allecio sembari mengangkat kedua tangan untuk memberi isyarat semuanya agar tenang.
“Pa, jangan aneh-aneh, dong,” mohon Jameka.
“Ya elah! Biasanya galak, giliran soal Nyamuk Kevino jadi merah banget mukanya! Hahaha! Kak Jame ..., Kak Jame,” ledek Brian. Semua orang ikut menggoda Jameka.
“Apaan, sih. Norak semuanya!” balas Jameka, “kayak nggak pernah pacaran aja!”
“Cie ... Salting, cie ...,” goda Karina yang menowel-nowel pipi Jameka.
Jameka menepis tangan usil Karina. “Kar, stop please ....”
“Omong-omong, gue belum pernah pacaran,” pungkas Lih secara mengejutkan yang kemudian mengundang semua orang untuk menggoda pria itu. Jameka sejenak merasa lega karena terselamatkan.
Tante Amanda pun menasihati. “Makanya jangan cuek-cuek jadi cowok, Lih. ”
“Lih, jangan cuma pasrah jadi cowok. Harus punya effort, dong.” Gantian Karina menasihati Lih.
Kemudian perkataan Allecio kembali memecah tawa mereka dan menambah bahan menggoda Jameka. “Nyamuk Kevino itu anak dari temen kita namanya Davis Eclipster. Yang punya Utama Raya itu, Man, Win,” terang Allecio bangga.
“Oh, anak si Davis. Makanya nama Bianca kayak nggak asing. Ternyata bener istrinya Davis,” tanggap Baldwin kepada besannya itu. “Seru nanti kalau kamu besanan sama dia juga. Kita bisa kumpul-kumpul terus.”
“Itulah, Win. Padahal awalnya aku nyodorin Nyamuk Kevino ini, Jameka nggak mau. Eh .... Lama-lama mereka jalan sendiri. Tadi sore aja Nyamuk Kevino telepon aku, katanya mau minta izin ngajak Jameka ke Bandung. Ke rumah Davis sama Bianca,” jelas Allecio, merasa bangga acara perjodohannya berhasil. Ia sekarang tak terlalu khawatir mengenai pendamping hidup Jameka.
Sementara itu Jameka protes, “Papa! Too much information, Pa. Ya ampun, Papa ....” Sumpah demi apa pun, Jameka amat rikuh sampai-sampai harus menutupi wajahnya yang sudah panas.
Di waktu yang sama, orang-orang makin semangat menggoda Jameka.
Karina sontak menyoraki. “Oh ternyata gitu ceritanya. Cocok, sih, Kak Jame sama Nyamuk Kevino. Gas puol ....”
Bella mengusulkan, “Tenang, Kak Jame. Gue siap jadi tim vendor wedding.”
“Apaan, sih? Beneran norak, deh!” tangkis Jameka.
“Jadi bener mitos dapet buket bunga wedding. Waktu itu Kak Jame dapet buket bunga,” komentar Bella.
Karina menyetujui sekaligus bimbang. “Oh iya bener. Eh, tapi itu, kan, gara-gara Bang Tito nyebur kolam. Kayaknya dia nggak mau buket bunganya ikutan kecebur, akhirnya dia ngelempar bunganya. Terus Kak Jame yang dapet.”
Kenapa pula sekarang jadi membahas Tito? Jameka spontan meredupkan senyuman. Ia menarik napas, tak mau uring-uringan lagi lantaran mengingat pria bertato itu. Syukurlah bahasan Karina dan Bella mengenai Tito segera berhenti.
Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, mereka lantas bubar. Karina dan Pak Zavi izin langsung pulang karena tidak tega meninggalkan buah hati mereka. Sedangkan yang lainnya menginap di mansion Allecio, termasuk Lih.
Setelah bersih-bersih dan bersiap tidur, Jameka mengambil ponsel. Ada pesan masuk dari Kevino. Dengan semangat, ia membuka pesan tersebut
Kevino Eclipster:
Aku udah sampai Jakarta, langsung istirahat soalnya besok ada rapat pagi. Tapi besok aku pengin jemput kamu. Jadi nginep di mansion Om Alle?
Jameka Michelle:
Selama kamu nggak capek atau repot, aku nggak masalah. Dan ya, aku nginep di rumah Papa.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada balasan. Jameka berpikir Kevino mungkin sudah tidur. Ia tidak heran, ini sudah nyaris fajar menyingsing dan pesan tersebut dikirim hampir tengah malam tadi. Ia menguap, tanda juga sudah mengantuk dan ingin lekas tidur. Besok pun jadwalnya padat. Namun, baru saja ia meletakkan ponsel di nakas, ada sebuah pesan masuk. Jameka tersenyum dan berpikir itu pasti balasan dari Kevino. Sayang sekali dugaannya keliru. Bukan Kevino yang mengirim pesan balasan, melainkan Tito.
Tito Alvarez:
Lo nggak ada cita-cita kangen gue lagi gitu?
“What the hack is going on?” umpat Jameka pelan, “sumpah, kadal sawah satu ini kenapa, sih?”
Seharusnya Jameka tidak memedulikan pesan nyeleneh Tito. Namun, entah kenapa tangannya gatal kalau tidak membalasnya. Ia bahkan tanpa sadar secara berapi-api membalas pesan tersebut.
Jameka Michelle:
Lo masih kesurupan setan budek?
Tito Alvarez:
Belum tidur lo? Bukannya acara ngucapin ultahnya udah kelar dari tadi? Kangen gue, ya? Nungguin kabar gue ya? Sorry, Sayang. Tadi gue bantu-bantu adik lo dulu.
Untuk kesekian kalinya dalam sehari, Jameka dibuat melongo dan merinding disko oleh Tito.
Jameka Michelle:
To, lo sakit apa gimana?
Tito Alvarez:
Iya, gue sakit malarindu sama lo. Makasih udah perhatian sama gue. Tapi dengan kita berkabar kayak gini, udah bisa dikit ngobatin kangen.
Jameka Michelle:
To, berobat, gih. Lo nggak waras.
Tito Alvarez:
Lo yang bikin gue nggak waras, Sayang.
Kalau lo nggak kangen gue, biarin gue yang kangen lo.
Jameka berpikir Tito bisa saja sedang bermain-main, bisa juga tidak. Ada banyak sekali jenis kerinduan. Ada yang rindu melakukan hal bersama, rindu makanan yang sudah lama tak dimakan, merindukan musik yang sudah lama tak didengar atau merindukan kehadiran seseorang yang spesial. Seorang teman juga bisa merindukan temannya yang lain. Seorang keluarga wajar bila merindukan anggota keluarganya yang lain. Lalu termasuk jenis apakah kerinduan Tito padanya? Keluarga, teman, atau apa? Tidak mungkin Tito merindukannya dalam konteks asmara seperti halnya pria merindukan wanita yang dicintainya, bukan?
Mendesah jengkel, Jameka lantas memutuskan untuk membalas Tito dengan gurauan. Ia harus tetap waras. Karena lama-lama mengobrol dengan Tito bisa membuatnya ikut gila.
Jameka Michelle:
Gue emang ngangenin bagi semua orang dan spesies di bumi.
Tito Alvarez:
Iya, percaya. Makanya gue beneran kangen lo. Nggak bercanda, Sayang.
Jameka Michelle:
Sinting. Mana gue percaya? Udah berapa cewek yang lo bilangin kangen?
Tito Alvarez:
Cuma lo doang.
Jameka refleks memegang perut dan memejam. Ini tidak mungkin. Pasti Tito juga mengatakan hal serupa kepada Carissa. Lebih baik ia segera menyelamatkan wanita itu dari kadal sawah ini. Dan lebih baik ia tidur sekarang daripada pusing menanggapi candaan Tito yang makin lama kian menjumpalitkan jantungnya.
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa
And it’s a lot to me
Bonus foto Jameka Michelle
Kevino Eclipster
Tito Alvarez
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Senin, 27 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro