Chapter 14
Selamat datang di chapter 14
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like me
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Past lives couldn’t ever hold me down
Lost love is sweeter when it's finally found
—Børns; Past Lives
____________________________________________________
“Lega, Kev?” tanya Jameka ketika memperhatikan Kevino mendongak, mengerjap-ngerjapkan mata sebelum mendesah.
Senyum malu-malu melekuk di bibir pria itu kala membalas tatapan Jameka dari pantulan cermin wastafel di hadapannya. Tangan wanita yang berdiri di sampingnya tersebut sigap mengulurkan tisu yang kemudian diterimanya. “Iya lega. Thanks, Jame.”
Jameka menunjuk-nunjuk. “Tapi jadi merah gitu, Kev.”
Setelah mengeringkan dirinya, Kevino menginjak bagian bawah tong sampah yang terletak di bawah wastafel. Ia melemparkan tisu tepat sasaran sambil menjawab, “Nggak apa-apa. Entar juga balik normal lagi.”
“Beneran nggak mau pakai ini?” tawar Jameka yang sekarang ganti mengulurkan sebuah botol plastik kecil kepada Kevino. Sedangkan tangan kirinya sejak tadi sibuk memegangi kemeja pria itu.
“Nggak usah. Mau proses alami aja.”
“Tapi, kan, kamu nyetir abis ini. Pakai ini aja.” Jameka mendorong-dorong botol tadi di depan dada bidang telanjang Kevino. Bulir-bulir keringat yang tergelincir turun satu per satu di permukaan kulit pria itu membuat aroma parfum maskulinya menajam.
Jameka tidak akan menjadi pribadi munafik bahwa Kevino memang sangat seksi. Otot-otot tubuh pria itu pun terbentuk sempurna. Setiap pergerakannya memicu tarikan otot dan Jameka tahu dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menghasilkan tubuh semaskulin ini.
“Haha .... Kamu kayak istri lagi maksa suaminya aja.”
Senyum miring spontan terakit di bibir Jameka. “Bukan kayak istri lagi maksa suaminya. Tapi ini sikap normal bagi siapa aja, kok. Lagian nggak lucu entar kalau ditanya-tanyai Tante Bianca.”
“Nggak mungkin bundaku tanya-tanya. Paling dikira ya capek kerja.”
“Tapi, kan ..., kamu dari kondominiumku, Kev. Tahu, kan, gimana pikiran orang tua? Apalagi kita udah sama-sama dewasa. Berduaan, loh, kita. Lawan jenis, sama-sama normal.”
“Emang kenapa kalau kita udah sama-sama dewasa terus berduaan di kondo?” tanya Kevino pura-pura polos.
“Idih! Sok polos,” cibir wanita itu.
“Iya, percaya ..., kamu udah pro,” balas Kevino dengan senyum geli.
“Pro apaan? Promosi?” kelit Jameka.
“Hmm .... Siapa yang sok polos sekarang?”
“Udahlah, Kev.” Jameka berusaha menghentikan topik mereka dan kembali mendorong-dorong botol kecil itu. “Ini, pakai aja.”
Masih sedikit cekikikan tanpa suara, Kevino akhirnya menyerah dan menerima botol kecil tersebut dari Jameka. “Ya, ya, ya .... Oke, aku pakai. Cewek selalu menang kalau adu debat.”
“Kamu aja yang cemen,” ledek Jameka.
“Kamu mana bisa dilawan?”
“Jelas, dong. Aku, kan, bos. Bos mana bisa dilawan?”
“Omong-omong aku juga bos gantiin Bang Erlang.”
“Aku mekanik, nih, ceritanya?”
“Nggaklah .... But, taming the boss.”
Jameka tidak lagi memperhatikan Kevino lantaran merentangkan kemeja pria itu ke arah berlawan dari sang pemilik. “Ini juga kayaknya nggak tertolong. Kamu, sih. Ngapain tadi buru-buru? Jadi basah gini, kan?”
“Namanya juga udah nggak tahan, Jame.”
“Iya juga, sih. Kalau gitu coba aku cariin baju ganti. Seingatku ada kaus item adikku.” Dulu Jameka menginap di apartemen Jayden untuk menemani adek laki-lakinya yang sedang galau itu. Ia ingat betul tidak membawa baju ganti. Jadi, dengan seenak jidat dan sekenanya, Jameka mengambil sembarang baju di lemari Jayden yang notabene menyimpan kaus hitam seluruhnya. Namun, ia tidak sengaja membawanya pulang ke kondominium.
“Maaf ngerepotin, Jame.”
Jameka mengibaskan tangan kiri. “Santai aja.”
Kevino lagi-lagi menatap Jameka melalui pantulan cermin. Dilihatnya wanita itu berjalan tanpa alas kaki keluar kamar mandi. Cara jalan yang agak aneh menurut Kevino dan ia tahu penyebab pastinya. Setelah sosok Jameka menghilang, ia meletakkan botol kecil di sebelah keran wastafel. Ia lalu bercermin, menatap pantulan dirinya yang tersenyum tipis.
Sungguh wanita yang menarik, pikir Kevino. Ia tak menyangka image yang ditampilkan Jameka bisa berkebalikan dengan sifat asli wanita itu. Bila dilihat dari luar, orang pasti akan berpikir Jameka cantik, tetapi seperti tidak peduli pada apa pun atau siapa pun selain diri sendiri. Riasan Jameka memang agak tebal, tetapi cocok. Gayanya acuh tak acuh, tetapi ternyata sangat perhatian.
“Gawat.” Kevino bermonolog, lalu membatin, dari ngusulin jalan pas weekend, sekarang ini. Tangannya pun menutupi matanya. Bayangan di cermin saat ini menunjukkan senyumnya ditarik lebih lebar, yang mengiringi gelengan pelan kepalanya. “She’s lovely,” gumamnya lagi. Kemudian ia mendesah. “Tapi dia ada potensi hamil sama cowok lain.” Senyuman itu sekarang berubah masam. “Gimana, nih? Stop atau trabas aja?”
Menggeleng samar sekali lagi karena merasa mulai ngawur, Kevin melepaskan tangan yang menutupi matanya. Ia akhirnya mengambil botol pemberian Jameka, membaca sekilas aturan pakai yang tertera pada labelnya, kemudian meneteskan cairan tersebut ke matanya yang memerah.
Kevino mengerjap-ngerjap ketika Jameka masuk kamar mandi lagi. Ia terkesiap melihat wanita itu sudah mengenakan sandal rumah cokelat gelap mirip bulu boneka beruang. Kelihatan sangat nyaman daripada stiletto hitam dengan bantalan merah mentereng yang tadi dipakai kerja dan keliling PIM. Dengan rambut dikucir cepol, leher jenjang Jameka yang dialiri keringat tipis jadi lebih menonjol.
Selain cantik, Jameka memang seksi. Lekuk-lekuk tubuhnya berada di tempat yang tepat. Bibir bergincu merah terang menambah kesan seksi. Lebih-lebih penampilan Jameka sekarang, yang baru perdana dilihat Kevino. Ia pasti masih betah menatap wanita itu lama-lama jikalau atensinya tidak berpindah ke kaus hitam bergambar dewa kematian putih memegang sabit yang diulurkan Jameka.
“Ini kausnya, Kev.”
“Iya, makasih.” Kevino meletakkan botol di dekat keran wastafel dan mengambil kaus dari Jameka. Ia pun mengenakan pakaian tersebut, tak sadar sedari tadi gerakannya diperhatikan Jameka, persis seorang istri menunggu suaminya berpakaian.
“Cukup juga kamu pakai. Kirain kegedean,” komentar Jameka.
“Iya.” Kevino mengebut-ngebut kaus itu untuk melihat diri sendiri di cermin. “Heran aja kelilipan bulu mata sampai bisa seperih ini,” cetusnya yang berusaha berbasa-basi agar fokusnya tidak ke mana-mana. Bukannya apa. Kevino pria normal yang berpikir leher Jameka merupakan sasaran empuk untuk dicumbu.
Gawat kuadrat, pikir Kevino. Degup jantungnya mulai gedebag-gedebug tidak karuan. Ini pasti efek bahasan soal “dua orang dewasa berlawanan jenis, yang normal, di kondominium Jameka menurut para orang tua.” Well, sebaiknya ia cepat-cepat keluar dari sini supaya tidak melakukan hal-hal di luar nalar.
“Emang, sih. Aku juga sering gitu. Apalagi kalau pas hapus maskara. Sering banget kelilipan bulu mata yang jatuh. Makanya selalu sedia obat tetes mata,” cerita Jameka yang membuat dirinya sendiri heran kenapa malah membagi informasi tersebut, hampir retorik. Sadar dengan hal ini, Jameka cepat-cepat beralih ke topik inti. “Tapi mendingan, kan? Daripada aku tiup-tiupin di depan pintu tadi?” Ia bersama Kevino pun keluar kamar mandi menuju ruang tamu minimalisnya.
“Better setelah ditetesin obat. Thanks. Ya udah, aku pulang dulu, Jame.”
“Eh, ini kemeja sama jasmu.” Jameka mengambilkan kemeja basah yang dibungkus kresek, sementara jas Kevino dibiarkan begitu saja. Kedua pakaian tersebut sudah ia masukkan goodie bag, yang diletakkan di sofa ruang tamu.
Dengan spontan, Kevino berbaik menghadap Jameka untuk menerimanya. “Oh, iya lupa. Sekali lagi, thanks.” Kemudian ia mengekori Jameka berjalan ke pintu depan.
“Harusnya aku yang bilang makasih banget, Kev.”
“Kalau cuma nganterin pulang itu bukan apa-apa.”
“Bukan cuma soal itu,” bantah Jameka cepat-cepat. Kalau soal mengantarkan Jameka pulang, Tito pun selalu melakukannya. Kadang-kadang juga Lih.
“Terus?” tanya Kevino benar-benar tidak mengerti.
“Makasih karena udah nolongin aku tadi. Kamu gandeng dan ngerangkul aku biar nggak jatuh di depan lift tadi.”
Kevino mengangguk-angguk. “Oh ..., itu juga bukan apa-apa. Refleks aja.”
“Whatever it is, I wanna say thank you,” jawab Jameka yang praktis menyentuh perutnya.
Pandangan Kevino mengarah ke sana. Darah yang mengumpul di satu pusat membentuk badai gairahnya kontan menyebar kembali akibat ada yang seolah-olah menyentil hatinya. Baru saja ia tertarik pada wanita itu—bahkan tersulut gairah, tetapi ia sudah dihantam kenyataan yang tak sejalan.
Yah, mau bagaimanapun, pria yang menanamkan benih itulah pemenangnya. Siapalah Kevino bagi Jameka? Hanya anak kolega Papa Jameka yang dijodohkan dengan wanita itu. Sementara, bukankah urusan hati seharusnya tidak ada unsur pemaksaan? Akan tetapi, bukankah Jameka bilang tidak ada perasaan apa pun kepada si penanam benih?
Bingung dan tak ingin mereka-reka, Kevino lalu menatap Jameka lagi sembari menyunggingkan senyum. “I get it,” bisiknya, “well, see you soon.”
Ketika Kevino baru memegang gagang pintu, Jameka menahan lengannya. Kehangatan tangan wanita itu mendebarkan hatinya. “Kev, tunggu.”
Pria itu kembali menoleh Jameka. “Ya? Ada yang ketinggalan lagi?”
Pegangan di lengannya dilepas Jameka. Kevino sedikit kecewa sebab kehangatan yang dibagi pemilik paras ayu itu di kini sirna. Jantungnya berubah jadi lebih bisa dikendalikan.
“Enggak. Em ....” Sambil berpikir, Jameka menggigit bibir bawah. Atensi Kevino terpusat pada itu dan degup jantungnya kembali menabuh lebih cepat ketika mendengar Jameka berujar, “Mumpung kamu di sini, aku mau ngomong sesuatu.”
Penasaran, Kevino pun bertanya, “Apa itu?”
Lagi dan lagi Kevino menelan ludah ketika memperhatikan Jameka menggigit bibir bawah sebelum berujar, “Sebenarnya aku juga bingung ngomongnya kayak gimana, takut denger respons kamu. Tapi kamu harus tahu sebelum kita ke dokter kandungan. Soalnya kamu udah setuju nganterin aku ke sana. Maksudku, biar kamu nggak kaget.” Jameka menjelaskan berbelit-belit. Namun, saat memperhatikan sebelah alis Kevino naik, ia melanjutkan, “A-aku pernah keguguran.”
Kevino berkedip beberapa kali. Kerutan di alisnya makin menjadi-jadi. Selain itu ia juga resmi menghadap Jameka sepenuhnya. Keheranannya kian bertambah kepada wanita ini yang memang penuh kejutan, yang kali ini lumayan dahsyat. Ia jadi tidak yakin harus merespons bagaimana selain, “Aku turut prihatin, Jameka.”
Sementara itu dengan ragu-ragu, Jameka bertutur, “Maksudnya, entar waktu ke dokter kandungan pasti ditanya-tanyai udah pernah hamil atau belum. Nah, aku nggak mau kamu kaget waktu di sana kalau aku cerita pernah hamil. Tapi, kamu kelihatan syok sekarang.” Ia tersenyum masam.
“Ya, pasti,” aku Kevino. Kendati demikian, ia masih berusaha berpikir positif. “Tapi aku nggak mau menghakimi.” Sejujurnya pernyataan itu lebih diperuntukkan bagi dirinya sendiri, untuk menghibur diri, untuk meredakan denyut di hatinya.
Tenang, Kev. Perasaanmu baru muncul, masih dangkal. Bisa ditinggal kapan aja. Nggak sulit, kok, batinnya mengingatkan.
Di waktu yang sama Jameka berpikir itu sikap yang disukainya dari Kevino. Ia jadi lebih percaya, tidak merasa kikuk lagi. “Makasih. Aku beneran nggak tahu lagi mesti gimana. You have a positive vibe. That’s why I chose you to tell.”
Apakah itu berarti sesuatu? Ataukah justru tanda bahwa ia harus segera mundur?
Sekali lagi digempur kebingungan, Kevino memutuskan ingin segera pergi dari sana sebelum ada tambahan kejutan lagi. Sayangnya, mulutnya tidak bisa diajak kerja sama dan malah berimpulsif bertanya untuk menuntaskan rasa penasarannya. “Potensi kehamilanmu yang sekarang, sama kayak cowok sebelumnya? Apa one night stand juga?”
Sumpah demi apa pun, Kevino ingin meninju mulutnya yang lancang. Bukankah itu privasi Jameka? Namun, wanita itu yang memulainya, bukan?
Untungnya Jameka berpikir itu pertanyaan terwajar yang dilontarkan Kevino. Jameka pun sudah menduganya sebelum berpikir seribu kali untuk menceritakan keadaannya yang sebenarnya barusan. Kemurungan praktis membelenggunya, mengiringi kepalanya yang menggeleng samar. Sapasang iris mata cokelat gelap Jameka yang tidak mampu menatap Kevino mulai berkaca-kaca. “Different man,” bisiknya. Tangan kanannya memeluk lengan kirinya. Ia kemudian menatap Kevino lekat-lekat. “Please .... Don’t judge me. Mereka bener-bener beda cerita.”
Kevino bertambah syok. Jadi, sudah ada dua pria yang menghamili Jameka. Ia nyaris ingin meninju pintu di belakangnya, tetapi menahan diri sekuat tenaga dan berusaha bersikap normal.
Jameka jelas wanita red flag yang harus dijauhi, tetapi sisi positif benaknya tak mengizinkan berpikir seperti itu. Ada keinginan untuk mengetahui detail setiap pria Jameka lebih dulu. Baru ia bisa memutuskan tindakan apa yang harus diambil selanjutnya; apakah ia akan membiarkan rasa penasarannya terhadap Jameka berkembang menjadi rasa suka hingga meningkat ke level sayang? Atau justru harus menghentikannya sekarang juga?
Kevino membuat catatan dalam hati. Seandainya berhenti mengagumi Jameka pun, ia tidak akan mengingkari janjinya menemani wanita itu ke dokter kandungan.
Jadi, Kevino mengusulkan, “Wanna tell me the complete story?”
Napas berat berembus dari mulut dan hidung Jameka. Kevino sudah terlanjur tahu. Jadi, Jameka akan menuntaskannya. “Namanya River Devoss. Orang Amerika. Kami dulu udah tunangan dan rencananya mau nikah kalau urusan Heratl udah beres dan stabil. He was actually my first man and I thought he would be my last man standing. But ....”
“He left you?” tebak Kevino agak sengak, tak habis pikir. Seorang Jameka ditinggalkan? Pria itu pasti sudah tidak waras dan tentunya akan menyesal!
Tebakan Kevino hampir menerjunkan air mata Jameka. Namun, ia berusaha keras untuk tidak menangis dan lanjut menceritakan semuanya sampai tuntas. “But, I don’t blame you If you think he was a jerk and I was stupid sampai bisa ngasih semuanya ke dia. Yes, I was so stupid. Tapi dia bukan cowok berengsek.”
“Gimana ceritanya cowok yang hamilin terus ninggalin kamu bukan cowok berengsek?” bantah Kevino agak ketus dan iri kepada River. Rupanya seperti itu cara Jameka mencintai seorang pria. Penuh totalitas. Bisakah itu menjadi Kevino? Nah, dari mana lagi perasaan ini muncul?
“Enggak, Kev. Dia emang agak kasar waktu itu. Terus .... Akhirnya aku keguguran. Dan nggak selang lama dia minta putus.”
“Jameka ....”
Panggilan Kevino yang bertujuan untuk menghentikan cerita wanita itu tidak mempan. Jameka tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan, “Awalnya aku nggak tau kenapa dia minta putus. Maksudku kalau dia ngerasa bersalah karena udah bikin aku keguguran, nggak perlu minta putus. Aku juga sempat mikir dia berengsek, cowok nggak bertanggung jawab. Aku juga mikir dia mungkin selingkuh, udah nemu cewek yang lebih daripada aku. Aku juga instrospeksi diri, apa yang salah dari aku—”
“Kamu nggak salah apa pun dalam hal itu,” sambung Kevino.
“Emang nggak ada yang salah dariku. Tapi dia bukan cowok berengsek. Dia ngerasa bersalah udah pasti tapi dia nggak selingkuh.”
“Terus kenapa dia ninggalin kamu?”
Bagian ini yang paling menyesakkan dada. Dengan ketegaran yang berusaha tetap dimilikinya, Jameka berbisik, “Dia habis jatuh dari kuda kesayangannya terus pendarahan otak. Kondisinya terus memburuk. Dan ..., kamu pasti tahu ke mana akhir cerita ini.”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa
And it’s a lot to me
Bonus foto Jameka Michelle
Dan Kevino Eclipster
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 12 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro