Chapter 12
Selamat datang di chapter 12
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like me
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Orang asing mengira aku pendiam, temanku mengira aku asyik, sahabatku mengetahui bahwa aku gila
—Tanpa Nama
____________________________________________________
“Beliin ini aja yang banyak,” canda Karina sembari menunjuk berderet-deret kotak pengaman berbagai merek dan ukuran di rak salah satu gerai toko di PIM. Baby sitter yang mendorong kereta bayi—di mana buah hati ibu muda itu sedang tidur nyenyak pascatantrum—mengikutinya ke mana pun ia melangkah.
“Karina .... Parah amat lo. Persis Bang Tito,” timpal Bella sembari mengambil botol minyak kayu putih di rak sebelah.
Sewaktu trimester pertama, morning sickness Bella sangat parah. Suaminya lantas coba-coba memberinya minyak kayu putih yang memang digadang-gadang menjadi aroma terapi. Rupanya efeknya tidak main-main. Aromanya yang khas menenangkan dan membuat Bella rileks. Bagian terpenting, bisa menangkal mualnya.
Sejak saat itu pula Bella kecanduan membau minyak kayu putih. Dan, berhubung persediaannya sudah menipis, jadi wanita bergaun ibu hamil warna oranye pucat dan bersandal ceper itu membeli beberapa botol untuk persediaan.
“Emang Bang Tito ngapain?” tanya Karina tanpa melihat Bella sebab sibuk membaca komposisi bahan kimia di tisu penghapus riasan sebelum mengambil salah satu yang cocok dengan kulitnya.
Seorang pramuniaga di dekat Bella mengulurkan keranjang kecil. Mengode pada wanita berbadan dua itu supaya meletakkan botol-botol minyak kayu putih di sana. Dengan sikap serta senyum ramah, wanita berumur kira-kira dua puluhan tahun itu juga menawarinya membawakan keranjang.
“Makasih,” ucap Bella diselingi senyum kala memasukkan botol-botol itu ke keranjang. Kemudian ia menjawab Karina. “Oh, iya lupa. Lo kan, kagak nginep di rumah Papa Kak Jame waktu resepsi. Jadinya lo kagak tahu.” Bella pun menoleh ke Jameka yang berdiri di dekat kasir, tepat sebelah rak obat-obatan. “Tanya aja Kak Jame. Iya, kan, Kak?”
“Iya,” jawab Jameka dengan nada dan raut muka datar. Padahal jantungnya degebag-gedebug tidak karuan. Entah karena ia tanpa sadar hampir meminta tolong apoteker mengambilkan alat uji kehamilan di etalase di depannya atau sejak Bella menyebut-nyebut nama Tito.
Namun, setelah Jameka pikir-pikir lagi, semuanya juga berkaitan dengan Tito. Memang sialan kuadrat kadal sawah satu itu. Tidak peduli pagi, siang, sore, malam, hujan, angin, petir, halilintar, kemarau, badai, jauh ataupun dekat, tetap saja sangat ahli menjadi beban pikiran bagi Jameka.
Jika bukan karena Tito telah menanamkan benih ke rahimnya, pasti Jameka baik-baik saja sekarang. Oh! Demi Neptunus! Ia harus segera menuruti saran Kevino ke dokter kandungan. Sayangnya, nyalinya belum terkumpul semua untuk melaksanakan niatan itu. Ia butuh seseorang untuk menguatkannya dan satu-satunya orang yang mengetahuinya ialah Kevino.
Voilà!
Kenapa nggak minta temenin Kevino aja ya? Kali aja dia mau, pikir Jameka yang tiba-tiba agak riang. Maka dari itu, mumpung ingat sekaligus menunggu para sahabatnya membayar belanjaan mereka masing-masing, Jameka segera mengambil ponsel dengan niat ingin membuat janji dengan Kevino. Namun, panjang umur, pria itu lebih dulu mengirim pesan dan bertanya di mana ia berada. Jameka segera membalas pesan tersebut. Ia ingin menunggu pesan balasan dari Kevino agar bisa melanjutkan obrolan tentang pergi ke dokter kandungan, tetapi pria itu tidak membalas lagi.
Berhubung para sahabatnya sudah menyelesaikan transaksi mereka, Jameka terpaksa kembali memasukkan ponsel ke tas. Beberapa menit kemudian, mereka dan baby sitter anak Karina lantas mulai memutari gerai demi gerai guna mencari kado yang cocok untuk Melody.
“Parfum ini kayaknya oke, deh,” usul Jameka sembari membau Very Sexy Night Victoria Secret di kertas pencoba yang diulurkan pramuniaga.
Bella kontan memencet cuping hidungnya. “Sorry, Kak Jame. Gue kagak tahan nyium baunya,” bisiknya supaya pramuniaga itu tidak tersinggung. Lalu ia segera mengubek tas guna mencari minyak kayu putih yang tadi dibelinya.
“Biasa bumil,” celetuk Karina kepada sang pramuniaga. Ia pun mengambil kertas pencoba dari Jameka dan membaunya. “Kalau menurut gue, ini lebih cocok buat lo, Kak Jame. Mana nama parfumnya juga begindang. Udah kayak mencerminkan diri lo banget, nih.”
Pramuniaga itu menyetujui perkataan Karina. Dengan senyum ramah yang sudah dilatihnya, ia menukas, “Benar, Kak. Kakak cocok banget kalau pakai parfum ini.”
Hm .... Dasar penjual! Semuanya pasti dibilang cocok untuk semua orang!
Jameka tidak langsung memberi respons sebab pikirannya melalang buana ke saldo rekeningnya yang kian menipis. Kondisi ini mengharuskannya ekstra berhemat. Oleh sebab itu Jameka menolak dengan mencari alasan paling masuk akal. “Parfum gue masih ada. Lagian sekali-kali Melody itu pakai parfum kayak gini. Masa bau vanila mulu?”
Gantian Karina yang tidak setuju. “Siapa tahu Kak Jay emang suka bau vanilanya Mel. Jadinya pengin nyicip terus gitu, kan .... Duh ...! Pengantin baru ....”
Putaran bola mata malas menyertai gelengan Jameka. Mulutnya pun mencebik. “Susah emang kalau udah bucin,” gumamnya yang rupanya didengar Karina.
“Setiap orang itu pasti bakal bucin pada waktunya,” cetus wanita bergaun putih selutut itu sok bijak.
Jameka langsung nyengir kuda. “Sejak kapan lo jadi quotis kayak gini, Kar?”
“Kadang-kadang aja, sih,” balas Karina di sela-sela ringisan tipisnya.
Bella yang sudah mengolesi pelipis menggunakan minyak kayu putih pun ikut nimbrung. “Daripada bahas pengantin baru yang pasti lagi bucin banget itu ..., gue lebih penasaran siapa cowok lo, Kak Jame.”
Mendengar topik tersebut disenggol Bella, Karina jadi penasaran juga. “Iya. Siapa, sih? Lo kagak pengin koar-koar pamerin cowok gitu, Kak Jame?”
Jujur saja, didesak seperti itu oleh kedua sahabatnya membuat Jameka agak risi. Jadi, sebisa mungkin ia menghindar. “Idih, ngapain kalian kepo?”
“Gimana nggak kepo? Dari zaman gue masih SMA, kuliah, nikah, sampai punya bayi, lo kagak pernah ngomongin lagi deket sama cowok,” terang Karina, “kayak independent women banget. Saking bangetnya, tuh, sampai kelihatannya cowok bukan lagi jadi prioritas lo. Kayak cuma lo jadiin nomor sekian gitu, deh.”
Yang tak Karina dan Bella sangka-sangka, Jameka malah menyetujui omongan Karina. “Ya emang.” Sembari mangangkat bahu ringan, ia lanjut memilih-milih botol parfum. “I can’t buy myself flowers .... Write my name in the sand ....”
“Ya elah ..., malah nyanyi,” hardik Karina gemas. “Nggak mungkin lo nggak punya cowok, kan?”
Jameka berhenti. Tanpa menatap Karina, ia menjawab santai. “Kenapa nggak mungkin? Bisa aja, kan? Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini.”
“Serius lo nggak punya cowok?” tanggap Bella dengan wajah tak percaya. Begitu juga dengan pramuniaga dan baby sitter Karina.
“Tahu sendiri kerjaan gue lagi hectic banget dan itu jelas jadi prioritas gue setelah bokap. Pusinglah intinya. Syukur-syukur ini bisa luangin waktu jalan-jalan sama kalian.” Lagi-lagi balasan Jameka sangat santai. Ia bahkan sambil mengambil contoh parfum lain dan membaunya.
Padahal kenyataannya Jameka tidak hanya pusing memikirkan soal permintaan nyeleneh Papanya perihal Kevino dan Heratl yang di ambang kebangkrutan. Melainkan juga dengan Tito yang mengambil andil paling banyak ke dalam dirinya. Seandainya malam itu ia tidak teler, pasti sekarang beban pikirannya tidak bertambah berat berkali-kali lipat. Sayangnya semuanya sudah terlanjur terjadi. Jameka harus menghadapi kenyataan dengan gagah berani.
Pikiran Jameka disela oleh suara embusan napas Karina yang terdengar agak keras. Selain itu ia juga melihat ibu satu anak tersebut sudah berkacak pinggang mirip model empirik emak-emak siap memarahi anaknya yang bandel.
“Ya emang, sih. CEO mana juga yang kerjanya ungkang-ungkang kaki doang di saat kayak gini? Lo pasti kerja keras, Kak Jame. Tapi sepengalaman gue, seindependen-independennya gue dulu, punya sandaran itu bisa bikin gue agak nyantai dikit. Beban-benan gue jadi agak ringan. Paling enaknya tuh, ada yang menyemangatin juga. Ya emang keluarga pasti ngasih dukungan. Tapi beda tahu rasanya. Dan gue pengin lo juga bisa ngerasain pengalaman kayak gitu.” Karina lalu mencari bala bantuan Bella. “Iya, kan, Kak Bell?”
“Bener banget yang diomongin Karina, Kak Jame,” balas Bella yang makin rajin mengoles minyak kayu putih di pelipis sampai matanya agak pedas. Ia pun menyipit, memperhatikan Jameka menggeleng pelan.
“Ya ampun, omongan kalian itu udah kayak emak-emak banget tahu,” ledek Jameka.
Karina segera pasang badan untuk membela diri. “Ya emang gue udah emak-emak. Tuh, buntut gue udah satu.” Dagunya ia arahkan ke putranya yang masih tidur lelap di stroller.
Sedangkan Bella juga berkata serupa dengan Karina. “Gue juga bentar lagi mau jadi emak-emak kali .... Emang kagak keliatan ya perut buncit gue?”
“Tapi, kan, tiap orang beda-beda, Sistur-Sistur,” kilah Jameka.
Jameka mengira meraka akan berhenti merecokinya dan kembali fokus memilih kado. Sayang seribu sayang, perkiraannya jelas meleset. Jameka tidak bisa lepas dari pertanyaan Bella.
Sambil mengelus-elus perut buncitnya, Bella menuntut, “Jadi, gimana, Kak Jame? Ada cowok yang lagi deketin lo nggak? Nggak mungkin dong, lo nggak punya cowok?”
“Ya elah. Pertanyaan itu lag—”
“Baby ....”
Jameka, Bella, Karina, baby sitter, dan pramuniaga kompak menoleh ke sumber suara yang mereka deteksi sebagai seorang pria. Ada juga wanita paruh baya di samping pria itu yang langsung memeluk Jameka.
“Jameka ...,” pekik wanita dandanan modis itu dengan riang gembira.
“Eh, Tante.” Jameka yang kaget refleks membalas pelukan Tante Bianca alias istri Om Davis yang kapan hari ikut makan malam di mansion papanya. Orang itu jugalah yang berperan paling utama dalam menjodohkannya dengan Kevino.
Semua orang bertanya-tanya siapa pria yang memanggil Jameka “Baby” itu di saat Jameka sendiri membelalak menatap Kevino Eclipster yang kini gantian memeluknya. Kevino benar-benar mirip orang dilanda rasa rindu serta sayang tak terkira kepada Jameka. Dikarenakan ada Tante Bianca, Jameka terpaksa balas memeluk pria itu walau hanya pelukan formalitas.
Bella, Karina, baby sitter dan pramuniaga sampai mengolo melihat perpaduan pasangan yang dianggapnya sangat serasi itu. Ketampanan pria yang kini melepaskan Jameka dari pelukannya jelas bisa membuat pramuniaga di samping mereka hampir melepas pegangan di keranjang belanjaan kecil dan hampir membuat si baby sitter ngiler.
Cogan, Guys .... Cogan .....
“Buset, Kar. Panjang umur bener, nih, cowok. Baru juga kita omongin. Tiba-tiba muncul aja kayak jelangkung,” bisik Bella.
Karina menimpali dengan intonasi yang sama. “Iya, sampai heran gue. Yang kayak gini malah diumpetin.”
“Ya elah, masa lo kagak paham yang namanya mengamankan teritorial? Kak Jame takut ada yang melakorkan diri kali, Kar.”
“Halah! Masa sama kita-kita diumpetin? Kak Jame nggak perlu khawatir. Gue bucin banget sama laki gue. Kagak mungkin mau melakorkan diri.”
“Apa lagi gue. Lo tahu sendiri gue udah pacaran berapa tahun sama Brian sampai nikah dan udah mau ngelahirin anaknya gini?”
Tidak hanya Bella dan Karina yang asyik ngerumpi. Baby sitter Karina dan sang pramuniaga juga mengadakan sesi gibah tersendiri. Namun, tatapan serta pendengaran mereka yang setajam silet masih difokuskan ke Tante Bianca yang mengobrol dengan Jameka serta rangkulan tangan Kevino di pinggang ramping Jameka.
“Tante ke sini nengokin anak-anak. Sekalian, pengin ketemu kamu. Tapi kata Kevino kamu bawa mobil sendiri hari ini, nggak minta dijemput karena ada acara sendiri,” ungkap Tante Bianca dengan wajah berseri-seri sembari menyentuh lengan Jameka layaknya mertua dan menantu.
“Ini saya lagi sama temen-temen mau nyari kado buat adik ipar saya.” Jameka lantas mengenalkan Bella, Karina dan baby sitter kepada Tante Bianca. Sang pramuniaga yang tersenyum tiga jari merasa jadi patung selamat datang kala mendengar Jameka melanjutkan, “Kalau tahu Tante bakal ke sini, saya pasti nyiapin makan malam di rumah Papa.”
“Aduh, Tante jadi takut ngerepotin kayak kapan hari itu. Makanya Tante dateng dadakan hari ini. Biar jadi kejutan,” balas Tante Bianca.
Sumpah, gue terkejut-kejut! batin Jameka.
“Biar nggak repot-repot, gimana kalau kita makan malem bareng aja?” usul Tante Bianca sembari menyusurkan pandangan ke Bella, Karina dan baby sitter. Lagi-lagi sang pramuniaga tak dianggap. Sakit, Cuy.
Namun, Bella dan Karina sontak menolak, “Sebelumnya makasih banyak atas tawarannya, Tante. Tapi maaf saya nggak bisa. Suami saya udah nelepon tanya kapan saya pulang. Biasa, Tan. Khawatir ..., kan, saya lagi hamil besar.” Ia mengelus perut buncitnya.
“Iya, Tante. Saya juga. Apa lagi saya bawa bocil. Udah dari tadi muter-muter sini, takut anak saya capek tidur di stroller,” timpal Karina. Tangannya menyentuh pegangan stroller.
Lain halnya dengan si baby sitter yang agak kecewa karena selain gagal dapat makan malam enak gratis, juga gagal dapat cuci mata lebih lama gratis. Namun, ia harus tetap mengikuti bosnya, kan? Bagaimanapun, yang mengganjinya itu Karina. Bukan Tante Bianca.
“Ya udah, kalau gitu lain kali kita makan bareng-bareng ya,” balas Tante Bianca dengan wajah sedih, tetapi mencoba mengerti kondisi.
Bella dan Karina lantas berpamitan.
“Kak Jame, kami balik dulu ya,” kata Bella yang kesusahan memeluk Jameka di saat perutnya buncit.
“Loh, terus kadonya gimana, Situr-sistur?” tanya Jameka heran. Tujuan utama mereka ke sini, kan, mencari kado. Sekarang pun, tujuan itu belum tercapai. Kenapa tiba-tiba pulang?
“Udah gue urusin, Kak Jame,” sahut Karina dengan cengiran lebar. Ketika memeluk Jameka, ia berbisik, “Kak, boleh pinjem mobil nggak? Lo tahu sendiri, kan, kalau laki gue nggak percaya gue naik taksi online.”
“Terus gue pulang naik apa kalau lo pakai mobil gue, Sistur?” Jameka heran sekaligus jengkel.
“Lo bareng sama cowok lo aja,” usul Karina enteng.
Jameka ingin mengatakan yang sejujurnya tentang Kevino, tetapi mata elang Tante Bianca selalu mengawasinya. Sehingga ia harus mengutarakan alasan masuk akal. “Eh, gue kagak mau ngerepotin ya ....”
“Eh nggak mungkin, dong. Dia pasti seneng bisa nganterin lo pulang," bantah Karina rasional. Tanpa menggubris Jameka lagi, ia menghadap Kevino dan berkata, “Bang, tolong nanti anter Kak Jame ya .... Maaf banget, mobilnya gue bawa soalnya laki gue nggak ngebolehin naik taksi.”
“Oh, beres,” jawab Kevino sambil manggut-manggut.
“Tapi entar kamu harus nganter Tante Bianca dulu, nggak ngerepotin?” tanya Jameka yang masih ingin pulang sendiri.
Tante Bianca spontan menyahut, “Ih, Tante mah ..., santai aja. Udah nggak apa-apa, kamu pulang sama Kevino aja entar.”
Tidak memiliki alasan lagi. Jameka akhirnya pasrah memberikan kunci mobilnya kepada Karina. Sahabatnya itu pun riang gembira. Lalu segera pergi bersama Bella. Namun, setelah beberapa langkah, ia celingukan. “Loh, Sus Tia mana, Kak Bel?” tanyanya.
Bella ikut celingukan. “Yaelah ..., udah bener cowok Kak Jame diumpetin. Tuh, lihat Sus Tia mau melakorkan diri. Ngapain coba dadah-dadah sambil mupeng ke Kevino begitu?”
Karina menepuk jidat lalu berteriak, “Sus Tia .... Ayo pulang!”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo
Kelen luar biasa
And it’s a lot to me
Bonus foto Jameka Michelle
Dan Kevino Eclipster
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Jumat, 16 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro