Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11

Selamat datang di chapter 11

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Kamu memang seperti lempeng bumi, bergeser sedikit saja sudah mengguncang hatiku

Tanpa Nama
____________________________________________________

Tito memejam sambil meresapi. Ini bibir atau permen gula-gula, sih? Sudah manis, kenyal pula. Ia jadi ingin mengigitinya terus-menerus dalam taraf menggoda sang pemilik agar mempersilakannya menyelinap dan menjelajah. Memperoleh cecapan rasa manis lebih banyak, lebih nikmat. Lidah Tito sungguh ingin bermain-main di sana sambil mempekerjakan tangannya yang memegangi dagu Jameka untuk dialihkan fungsikan turun ke kancing kemeja wanita itu. Lalu, ia akan—

“To? Tito? Hei! Kadal Sawah! Pagi-pagi bengong aja lo!”

Hardikan Jameka membuat Tito diterjang gelombang badai kejut. Pria itu pun mengerjap beberapa kali dengan kening berlipat-lipat. Ia melihat Jameka masih duduk di kursi di balik meja CEO. Jaraknya beberapa langkah dari dirinya yang—rupanya—masih berdiri di dekat ambang pintu. Lengkap dengan helm yang masih terpasang di kepalanya, yang didapatinya ketika ia mengernyit untuk menuntun bola matanya ke atas, tepat mengarah ke helm tersebut.

Demi Neptunus! Jadi, semua itu hanya fantasi Tito belaka? Iya? Hah, bisa gila Tito.

Padahal Jameka jelas bukanlah jenis narkotika—yang tidak pernah Tiro sentuh sama sekali. Namun, kenapa bisa sampai membuatnya nge-fly begini? Tito jadi merasa tidak waras.

Pria itu pun meraba kepalanya sekali lagi. “Ini konsep gaya baru,” jawab Tito asal-asalan sambil melepas helm yang warnanya senada dengan Vespa Lih itu. Lalu ia kembali menuntut, “Lo masih ngambek atau gimana? Kok tumben naik mobil sendiri?”

Bibir Jameka menipis. Mulai lagi, nih, si kadal sawah. Pagi-pagi udah ngajak perang. Maka, semakin malas pula Jameka meladeni Tito. Sehingga memilih untuk menjawabnya dengan logika yang ada demi menyembunyikan fakta sebenarnya. Serta berharap Tito tidak mempermasalahkan lagi. “Gue kagak ngambek kok. Cuma kangen si Maser aja. Udah lama banget nggak nyetir dia. Nggak enak juga sebenarnya lo anter-jemput gue terus. Dikiranya gue manja. Lagian, basecamp berlawanan arah sama kondo gue dan Heratl.”

Tito ingin meneriaki Jameka bahwa ia sama sekali tidak keberatan harus mendaki gunung lewat di lembah seperti Ninja Hatori. Atau mendayung sampan melewati benua-benua seperti Christopher Columbus yang melalang buana. Atau harus menjerang badai pasir di gurun Sahara demi menjemput Jameka. Namun, ia tidak melakukannya dan lebih memilih menyindir, “Bilang aja kalau mau nge-date. Nggak perlu pake alibi gitu.”

Meski nada Tito tidak ngotot, tetap saja Jameka mulai terpancing amarah dan semakin berpikir manusia satu ini memang ingin mengajaknya duel di pagi hari. “Ya kan itu terserah gue mau nge-date atau enggak. Yang jelas itu bukan urusan lo, Kadal Sawah!”

“Udah berapa kali gue bilang urusan lo, urusan gue juga, Jameka?”

Pria itu memanggil nama Jameka menggunakan nada berat, dalam, dan mengandung peran pemegang kendali. Jameka jadi merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan Tito yang berwajah serius. Seperti ingin mengguncang-guncang akal sehatnya kalau Tito lebih berkuasa dari dirinya.

Jameka ingat betul Tito pernah menampilkan wajah serupa sebelum dirinya mabuk malam itu gara-gara papanya menyodorkan jodoh bernama Kevino. Sementara River masih menjadi penghuni hati Jameka yang paling dalam—akan tetapi, ia bisa memastikan kondisi itu sekarang sudah berubah semenjak sibuk memastikan dirinya berpotensi hamil anak kadal sawah satu ini atau tidak.

Perut yang masih rata dan belum menunjukkan gejala-gejala hamil muda menjadi sasaran tangan Jameka. Ia mengelusnya lembut serta penuh kehati-hatian. Rasa gugup kini menggantikan amarahnya kepada Tito saat membayangkan ada kehidupan yang tumbuh di sana, yang tersambung dengan emosionalnya.

Ya Tuhan, sebaiknya Jameka menuruti saran Kevino pergi ke dokter kandungan untuk memastikannya daripada setiap hari ke apotek untuk membeli alat uji kehamilan. Jameka benar-benar akan sangat lelah menghadapi ini.

Jameka pun mengembuskan napas pasrah dan menjawab kalem. “Udahlah, To. Ini masih pagi. Gue males debat. Yang jelas, gue kagak nge-date. Kalau nggak percaya, lo bisa telepon Kevino sendiri atau ke kantor Utama Raya langsung. Tanyain, dia bakal jemput gue buat nge-date atau enggak.”

Meski kini tahu nama serta alamat kantor familier pria pemilik Pagani hitam yang dipuja melalui desas-desus seluruh penduduk Heratl itu adalah Kevino, mana mungkin Tito akan semudah itu percaya kepada Jameka? Iya kan? “Siapa tahu lo udah kong-kalikong sama cowok lo. Siapa namanya tadi? Bang Ke?” tuduhnya dengan nada sarkas yang tergolong tinggi.

Jameka bernapas berat dan memegangi keningnya yang glowing. Kenapa jadi seribet ini sih? Tito nyebelin banget sumpah! Perasaan mau ini, itu, apa aja dipermasalahin! Terus, dia manggil Kevino apa tadi? Bangke? Wah ... Bener-bener deh!

“Kevino! Namanya Kevino Eclipster! Bukan bangke!” bentak Jameka yang sudah di ambang kekesalan, padahal amarahnya sempat surut. Ia harus membela orang yang sudah berbaik hati dan peduli padanya kalau dihina.

“Nah, itu. ‘Abang’ plus ‘Kevino’ kalau disingkat, kan, jadi Bang Ke,” bantah Tito yang juga tidak mau kalah dari Jameka.

“Mau lo apa sih, To? Heran deh gue, nggak di kantor, nggak di mana aja, tiap hari ngajak ribut mulu!” todong Jameka yang sudah benar-benar frustrasi dan putus asa.

“Gue cuma pengin lo jawab jujur kenapa naik mobil sendiri?”

Fine! Gue mau pergi sama Bella dan Karina buat beli kado ultahnya Melody yang sebenarnya rahasia! Puas lo? Mau ikutan sekalian girls day out?” amuk Jameka yang akhirnya mengaku. Gagal sudah ia menjaga rahasia yang seharusnya tetap menjadi rahasia bagi para wanita.

“Nah, gitu dong. Bilang kek dari tadi. Kan kita nggak perlu ribut-ribut gini.” Masih dengan muka masam sambil menenteng helm kuning Lih, Tito memutar badan tegapnya lalu menghambur keluar ruangan CEO meninggalkan Jameka yang syok.

Terperangah, wanita itu pun memelototi pintu ruangannya yang berdebum lumayan kencang dengan geram. “Setres gue rasa tuh Kadal Sawah! Fix!”

Rapat pengambilan keputusan besar untuk mendongkrak laba pagi ini sudah berjalan kurang lebih hampir dua jam. Jameka akhirnya mengambil keputusan ekspansi horizontal. Yakni menggabungkan beberapa kantor lini Heratl di tempat yang jaraknya berdekatan satu sama lain dan masih dalam ruang lingkup satu kota dengan tujuan baik.

Sisi negatifnya, Heratl harus memangkas karyawan serta mengeluarkan pesangon dari hasil penjualan beberapa aset yang tidak produktif secara maksimal. Dan rapat lanjutannya akan diadakan di hari lain.

Meski memusingkan, tetapi apa boleh buat? Tidak ada pilihan lain atau Heratl akan gulung tikar sepenuhnya.

Sisi baiknya, satu masalah mulai teratasi. Tinggal memikirkan HTI Kalimantan yang berseteru dengan penduduk sekitar hutan tersebut. Jameka berharap semoga Jayden bisa segera ke Indonesia lalu menemani dirinya, Tito dan bagian hukum Heratl bernegosiasi dengan pihak mereka. Sehingga permasalahan akan cepat selesai dan Heratl fokus pada mengembangkan produk demi kenaikan profit.

Setelah dipikir-pikir lagi, juntrungannya akan kembali pada pertanyaan lanjutan tentang keputusan ekspansi ini. Demi menaikkan profit, haruskan Heratl menginflasikan semua produk? Atau justru menurunkan semua harganya dengan mengadakan diskon besar-besaran?

Lalu bagaimana dengan papan iklan dan reklame? Model yang disewa, dan lain-lain? Lagi-lagi perkara sulit yang harus dipikirkan Jameka matang-matang agar tidak salah strategi.

Setelah rapat itu, ada pertemuan dengan pihak pengelola limbah yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku smart furniture—sehingga dana pengadaan barang bisa lebih hemat—hingga memasuki jam makan siang. Dan serentetan jadwal lainnya yang berjalan lancar, tetapi sangat berlainan dengan kondisi hati Tito.

Pria itu bergerak-gerak gelisah di kursi kubikelnya. Konsentrasinya buyar sama sekali sehingga menyebabkannya tidak fokus bekerja seharian. Rapat tadi pagi memang berjalan lancar. Pertemuan dengan klien juga berjalan mulus tanpa hambatan. Namun, pada setiap kesempatan, Tito menyadari bahwa dirinya terlalu sering memperhatikan tindak-tanduk Jameka.

Tito terlalu mengingat betapa menggairahkannya erangan erotis Jameka yang memintanya mempercepat, memperdalam ataupun memperkasar gerakan seduktifnya dalam mimpinya semalam. Sehingga harus membuatnya bermain solo di toilet saat jam makan siang.

Benar-benar edan bin memalukan plus menjijikkan.

Padahal tadi pagi Tito juga sudah melakukan hal serupa. Pun, ada Carissa dan segudang wanita lain yang selalu siap sedia membuka kaki lebar-lebar untuknya guna memberinya kehangatan dan kenikmatan. Namun, kenapa tidak ada sedikit pun niat dalam benak Tito untuk menerima bantuan gratis-gratis itu ya? Apakah selera wanitanya sudah berubah? Apakah mereka terlalu membosankan? Atauakh sudah tobat dirinya menjadi playboy?

Sembari menunggu jam kantor usai, Tito berencana menelepon suami Karina bernama Zafi yang suatu kebetulan bekerja di bagian hukum Heratl. Sebabnya sudah jelas; ia tidak bisa leluasa membiarkan diri seratus persen mempercayai omongan Jameka tadi pagi. Bisa saja itu hanya akal-akalan wanita tersebut untuk kabur dari pengawasannya dan pergi kencan dengan Kevino. Iya kan?

“Ya, Pak Tito?” Suara Zafi di seberang sambungan menyapa pendengaran Tito.

Sambil mengetuk-ngetuk jari-jemarinya di meja lantaran menimbang-nimbang, Tito berdeham sekali. “Pak Zafi, hari ini Bu Jameka ada janji dengan Bu Karina nggak?”

Terdengar helaan napas lega dari Zafi. “Kirain ada apa Pak Tito nelepon saya di jam pulang kantor. Ternyata nanya itu. Iya, Pak Tito. Istri saya mau pergi sama Bu Jameka dan Bu Bella. Katanya udah lama nggak keluar bareng-bareng gitu. Ya udah saya izinin me time. Kenapa emangnya, Pak?”

Kenapa ya? Kenapa emangnya? Tito mengulang pertanyaan Zafi dalam hati beriringan dengan ketukan jarinya di meja yang semakin cepat lantaran bingung. “Cuma mastiin aja, Pak. Kalau gitu saya tutup dulu ya. Selamat sore, Pak Zafi.”

“Langsung ketemu di PIM atau gue jemput? Kebetulan gue lagi bawa mobil, nih. Sebenernya udah jaga-jaga juga, sih,” tanya Jameka kepada Bella dan Karina melalui panggilan video bertiga.

Jameka melihat Bella masih sibuk berdandan. Sedangkan Karina yang sibuk mempersiapkan kebutuhan serta keperluan anak laki-lakinya.

Laki gue, sih, lebih tenang kalau lo jemput gue daripada sama sopir, Kak Jame,” jawab Bella tanpa melihat Jameka lantaran sibuk memoles lipstik. “Tau sendiri, kan, gue lagi bunting gedhe. Brian jadi posesif minta ampun. Kalau dia bisa nganter ya pasti nganter gue,” tambah Bella.

Jameka tidak langsung menjawab lantaran tak sengaja membandingkan dirinya dengan Bella dan membentuk perasaan iri. Bagaimana tidak? Wanita hamil itu sudah berpacaran dengan Brian sejak mereka kuliah di awal semester pertama sampai lulus. Lalu sama-sama memperoleh pekerjaan, menikah dan akan segera memiliki anak.

Didukung Brian, Bella resign untuk fokus mengurus anak serta keluarga mereka. Secara garis besar, hidup Bella dan Brian teratur dan jelas direncakan matang-matang dengan rasa cinta seakan tak memudar. Malah kian hari kian bertambah.

Bagaimana dengan Jameja sendiri? Hidupnya seolah tak benar-benar membuatnya hidup. Ia melarikan diri ke Belanda dengan alibi menempuh pendidikan dan membiarkan Jayden menghadapi istri serta anak baru papa mereka.
Sewaktu kembali ke Jakarta, semuanya tak lagi sama. Jayden yang diusir dari rumah menjadi indikasi betapa buruknya hubungan antara adik dan papanya itu sampai beberapa bulan belakangan baru berbaikan.

Di masa-masa tegang keluarganya, Jameka dipertemukan River oleh kosmik. Tempatnya ketika ia menghadiri wisuda Jayden di universitas Cambridge. River juga menghadiri wisuda adiknya yang bernama Horizon.

Tidak ingin berbohong, masa bersama River merupakan waktu terbaik sekaligus terburuk dalam hidup Jameka. Ia begitu mencintai River, menyangka akan berjodoh dengan CEO Bank Diamond yang berdomisili di New York itu.  Hingga mempercayakan tubuhnya untuk pertama kali disentuh secara dewasa kepada pria itu.

Puncak kisah mereka ketika River melamar Jameka. Jameka yang merasa begitu kesepian dengan segala kerumitan keluarganya pun luluh. Ia pikir, akan bisa membangun keluarga bahagia bersama Rover. Sayangnya, kosmik kembi mempermainkannya.

Beberapa bulan setelahnya, River memutuskan hubungan mereka karena kesehatan pria itu menurun drastis. Hal paling menyebalkan setelahnya River malah menyuruh Jameka mencari pria lain yang jauh lebih bisa diandalkan. Semata-mata untuk menjaganya.

Jameka ingat betapa rumitnya keputusan yang ia ambil waktu itu dan rasanya tak ada yang benar, tak ada seseorang di sampingnya untuk menguatkan.

Hingga kini, Jameka malah dengan teledornya membiarkan diri sendiri mabuk sampai terlibat one night stand dengan Tito yang begitu jelas tidak ambil pusing. Bahkan dilihat dari gelagat biasa, pria itu tidak khawatir seandainya Jameja hamil. Dan hebatnya, Jameka tidak tahu bagaimana bentuk hubungannya dengan Tito di antara masalah super memusingkan Heratl selain bak kucing dan tikus yang gemar duel kata-kata.

Jameka segera menepis perasaan itu dan menjawab, “Ok, gue jemput lo abis ini, Bell.” Kemudian beralih ke Karina. “Kalau lo, gimana, Kar?”

Setelah berbicara dengan baby sitter yang mengurus anaknya, Karina menjawab Jameka. “Gue bawa mobil sendiri. Kita langsung ketemu di PIM aja. Kasian kalau lo kudu jemput gue yang rumahnya paling jauh sendiri, Kak Jame.”

“Ya udah, see you girls.”

Jameka mematikan sambungan panggilan video kemudian bersiap-siap. Ia merapikan penampilannya sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan. Ketika melewati kubikel-kubikel, entah kenapa matanya secara otomatis melihat kubikel Tito yang kosong. Dirinya pun tak kuasa menahan pertanyaan-pertanyaan yang berdesakan dalam benaknya. Apakah pria itu sudah pulang lebih dulu karena tidak ada jadwal mengantarnya pulang? Ataukah menemui Carrisa? Kalaupun menemui Carrisa, kenapa ia harus peduli?

Lo harusnya peduli, Jame. Bisa jadi dia bokapnya anak lo.

Peringatan dari hatinya membuat Jameka bergidik. Ya Tuhan, memang tidak ada pilihan lain selain menuruti saran Kevino pergi ke dokter kandungan.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo

Kelen luar biasa

And it’s a lot to me

Bonus foto Jameka Michelle

Dan Tito Alvarez

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Senin, 11 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro