Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Selamat datang di chapter 10

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo yang bertebaran

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like me

WARNING 21+
TERDAPAT ADEGAN EHEM-EHEM YANG NGGAK RAMAH BAGI SEBAGIAN HUMAN
DIHARAP KEBIJAKANNYA DALAM MEMILIH BACAAN

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Cinta itu bagai jam pasir
Ketika hati terisi, otak mulai kosong

—Jules Renard
____________________________________________________

“Oh! Faster, To. Fas ... ter ....”

Dengan penuh semangat, sambil menahan sebelah kaki wanita di bawah kungkungannya yang diletakkan di pundaknya, Tito mempercepat gerakan seduktif ciptaannya. Pandangan pria bertato sebadan itu lurus, tajam dan tertuju pada Jameka yang kini mendongak dengan mata terpejam serta bernapas ngos-ngosan bak dikejar raja hutan. Perangai yang jelas menikmati perubahan kecepatan gerakan Tito.

Selain lengkungan senyum yang terakit di bibir Tito lantaran takjub pada objek yang digarapnya, sebelah tangan pria itu yang semula memegangi pinggang berlekuk Jameka berpindah membelai rambut cokelat gelap berantakan dan meninggalkan kesan seksi yang menutupi sebagian wajah wanita cantik tersebut.

Jameka merespons Tito dengan kembali membelai daun telinga pria itu oleh gerungan erotisnya. Sehingga bara api yang membakar tubuh mereka menghasilkan keringat lebih banyak dan membuat keduanya tampak mengilat di bawah paparan cahaya lampu temaram. Kulit mereka pun tampak kontras, tetapi selaras; Jameka berkulit putih, tetapi tidak pucat, dan Tito berkulit sedikit gelap dan sangat jantan.

Sambil memegangi leher Tito, Jameka kembali meminta kepada pria itu. “Har ... der ... harder please, Tito.”

Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Tanpa banyak cakap, Tito kembali memenuhi perintah Jameka. Kali ini tangannya merangkak turun dan menangkap salah satu bagian terindah dari tubuh atas Jameka. Ia meraup dan menekannya gemas. Linier dengan gerakan menurunkan kepala guna menekuri leher jenjang wanita itu. Sebelum akhirnya mengkombinasikan indra pembau, pengecap serta gigi-giginya untuk berpesta fora pada puncak dada Jameka yang mengeras. Seolah menantang untuk ditaklukkan Tito.

Gerungan seksi Jameka kembali merasuki pendengaran Tito. Wanita itu juga kembali meminta, “Deeper ... oh ... deeper ... please, Tito.”

Tito tidak butuh diperintah berkali-kali untuk mewujudkan keinginan Jameka. Ia jelas tak akan sungkan-sungkan mengerahkan semua kemampuan bercintanya yang didapatkan dari sepanjang pengalaman untuk membangkitkan gejolak nikmat di segala titik yang ia hafal bisa membuat wanita semakin panas dan mencengkeramnya. Khususnya untuk Jameka.

Desahan dan kuku-kuku Jameka yang menancap lebih dalam di punggung Tito memberi efek perih bagi pria itu sekaligus nikmat. Pun, sebagai tanda bukti bahwa gairah Jameka semakin meningkat. Maka semakin terpacu pula semangat Tito untuk bergerak lebih liar, cepat dan tak terkendali sembari menggilir sebelah puncak dada Jameka.

Jameka kian memelengkungkan punggung dan mendongak seolah menyodorkan tubuh bagian atasnya kapada Tito. Ingin pria itu menguasainya dan melambungkannya ke awan oleh ledakan nikmat yang sebentar lagi akan datang. Sambil terus mendesah, ia mengumandangkan nama pria itu berkali-kali.

“Oh! Tito ... Tito ....”

Suara Jameka yang semula sangat merdu di telinga Tito sampai pria itu menyangka seorang bidadari sedang memanggilnya, lambat laun semakin nyaring dan berat seperti suara Lih Gashani.

Tito mengernyit. Konsentrasinya sedikit demi sedikit berkurang. Gerakan cepatnya pun kian memelan saat ia kembali mendengar namanya dipanggil-panggil dengan tidak sabaran.

“TO! TITO ...! TO ...! WOI!”

Tito Alvarez terlonjak dari alam bawah sadarnya karena dibangunkan Lih dengan tepukan lumayan keras di pundaknya yang basah oleh keringat.

Sialan! Hancur sudah mimpi Tito yang sebentar lagi hendak menuju puncak bersama Jameka. Bukti gairahnya kini terasa bengkak dan sakit sewaktu dibuat meregangkan otot-otot tubuh. Sialan kuadrat!

“Apaan sih, Jang?!” omel pria itu. Lalu memosisikan diri telungkup dan menarik selimut sampai leher untuk menutupi diri. Kemudian kembali memejamkam mata serta mengatur napas. Barangkali ia bisa melanjutkan mimpi Jameka masih di bawah kuasanya dan mendesah atas perlakuannya sampai meledak bersama-sama.

Tito membelalak dengan jantung berdebar keras lantaran kaget dengan pikirannya barusan. Ia pasti sudah edan—dalam arti sebenarnya—karena bisa-bisanya mimpi nananina dengan Jameka. Matanya berusaha ia pejamkan lagi serta berpikir ini pasti akibat tadi malam ia menolak tawaran Carissa untuk menginap di apartemen wanita itu karena memikirkan Jameka.

Ck! Jameka lagi. Jameka terus. Memang kurang ajar sekali wanita itu belakangan ini menjejali benaknya, pikir Tito kesal. Sebab tak biasanya ia bermimpi basah seperti ini karena kebutuhan biologisnya selalu terpenuhi. Sedangkan belakangan ini, tidak.

“Buset dah nih bocah. Malah balik tidur lagi! Bos telepon nih! Dari tadi diteleponin kagak lo angkat-angkat. Eh kagak taunya lagi mimpi jorok!” sarkas Lih. Ia memang pendiam, tetapi apabila menyangkut tentang Jayden, Lih perlu mengeluarkan kata-kata panjang untuk Tito. Dan bukan hanya bualan semata ia melontarkan tuduhan itu kepada Tito. Sewaktu Lih masuk kamar Tito yang tidak pernah dikunci, tadi ia mendengar secara jelas desahan Tito yang membuatnya mual.

Sadar dengan apa yang penting daripada memikirkan tingkah laku Tito, Lih mengulurkan ponselnya yang masih tersambung dengan Jayden.

Dan bukannya menerima ponsel Lih, dengan mata setengah terpejam, Tito malah mengulurkan tangan serta meraba-raba nakas lalu meraih alat pengharum ruangan semprot kemudian memeluknya bak guling. “Bilangin, gue lagi tidur sama Stella. Kalau si Boss kagak percaya suruh nyalain video call-nya.”

“Ck! Kelakuan lo makin hari makin absurd aja, To!” hardik Lih. Sekali lagi ia menyodorkan ponselnya ke Tito. “Beneran nih kagak mau lo angkat?”

“Bilanginlah, Jang. Gue ngantuk berat. Semaleman belum tidur. Giliran baru tidur nyenyak lo gangguin.”

Masa bodoh dengan Tito. Lih hanya menjalankan tugasnya. Lagi pula, sudah banyak kata-kata yang ia keluarkan untuk Tito pagi ini. Energinya jadi terkuras secara gratis, cuma-cuma, sia-sia bin tidak berguna. “Ya udah. Risiko tanggung sendiri kalau si Boss ngamuk.”

Berkat celetukan Lih yang satu ini, Tito menjadi sadar seberapa gawatnya kalau ia mengabaikan Jayden. Bayangan dirinya akan dikebiri pria itu pun sontak menari-nari dalam benaknya dan membuatnya bergidik. Akhirnya dengan usaha tak main-main, Tito memaksa kesadarannya hinggap di tubuhnya lalu mengambil ponsel Lih.

“Ya, Boss?” sapa Tito ogah-ogahan. Suaranya yang serak menandakan ia masih sangat mengantuk. Maka dari itu, ponsel Lih hanya ia letakkan di telinganya dan kembali memeluk pengharum ruangan semprot dan guling. Tito bahkan berbicara sambil memejam.

“Ngapain aja dari tadi? Lama banget angkat telepon gue?” nada Jayden memang terdengar tanpa emosi, tetapi Tito sangat hafal bagaimana kondisi sikap bosnya yang berwajah sedatar triplek itu—persis Jameka.

Tito tergoda menjawab dengan menceritakan mimpinya nananina dengan Jameka, tetapi khawatir benar-benar dikebiri Jayden. Oleh sebab itu, ia mengeluarkan jurus andalannya. Yakni, ngeles. “Biasa, eheheh ... lagi tidur sama Stella.”

Kali ini prediksi Tito salah. Amarah Jayden tidak surut, melainkan semakin tersulut. Ck! Lama-lama gue kebiri beneran baru tau rasa lo! Makin hari makin rajin bercocok tanam aja!”

Hiii .... Kenapa mendadak Tito jadi susah menelan ludah ya? Cukup sudah sesi ngelesnya. Tito akan mengalihkannya ke hal utama diselingi candaan. “Ada apaan sih telepon-telepon? Kangen?”

“Iya, gue kangen hajar lo sampe bonyok.”

Hiii ... kenapa bosnya masih marah juga? Tito jadi ketar-ketir.

“Yaelah, Boss, hobi bener hajar gue.” Dengan keras kepalanya, Tito yang sudah melek pun mencoba, “Terus kenapa telepon? Ngabarin kepokanan gue mau lahir?“

Tanya si Brian, jangan tanya gue. Bini gue Melody, bukan Bella yang sekarang emang lagi bunting gedhe.”

“Hahaha ... kirain Mel mau lahiran, Boss,” celetuk Tito. Kebiasaan memang mulutnya ini suka nyeletuk yang aneh-aneh. Kadang, sampai suka lupa dengan siatuasi.

Belum ada sebulan gue coblos, mana bisa udah keisi terus mau lahiran? Ngaco lo, To!” Sebentar ... sebentar ... sebenarnya, apa yang sedang mereka bahas? Kenapa jadi ngalor-ngidul? Jayden pun kembali mengingat topik bahasan mereka. “Oh ya, gue mau bahas rencana pendataan ulang anggota kita. Tadi udah gue bilang ke Si Bujang juga. Dia bakalan ke sini minggu depan. Tapi lo harus berangkat besok naik pesawat pertama.”

“Harus banget ya berangkat besok?” celetuk Tito lantaran mengingat Jameka dan segala aspek yang mengelilingi mereka. Rasa tidak rela meninggalkan Jameka begitu saja mendadak singgah dalam diri Tito.

“Makin cepet, makin baik. Malah kalau bisa, lo ke sini sekarang.”

“Buset dah, ya kali gue dokter Strange yang bisa cepet pindah-pindah tempat pake cakra.”

Gue paham bener lo cuma manusia, makanya gue minta lo berangkat besok naik pesawat.”

Tito mencoba bernegosiasi dengan Jayden. “Bisa nggak, tukeran jadwal sama si Bujang?”

Lih yang masih berdiri di sana sambil bersidekap memperhatikan Tito pun ngedumel, “Yaelah, apaan dah?”

Sedangkan Jayden kembali bersuara. “Ngapain Lo minta tuker jadwal sama si Bujang?”

Nah, sekarang, Tito jadi bingung harus menjawab apa. Untung saja otaknya jalan pagi ini. “Ya kagak ada apa-apa sih. Cuma kan lo tau sendiri kerjaan di Heratl lagi banyak.” Mengelola perusahaan di ambang kebangkrutan itu susahnya minta ampun.

“Emang ada yang genting?” tanya Jayden.

“Nggak sih. Cuma rada bingung aja ngatasin orang-orang yang rumahnya deket HTI Heratl di Kalimantan. Rencananya gue mau minta bantuan lo buat negosiasi sama penduduk. Emang Yang Mulia Ratu belum ngomong ke lo, Boss?” tanya Tito. Kini tiba-tiba pembicaraan mereka berubah jadi serius.

“Belum, Jame belum ngomong ke gue. Urusan itu, entar gue bantu negosiasi abis ngurusin pendataan anggota kita. Soalnya ini krusial, To. Lo tau sendiri kita kelimpungan nggak ada Alfred. Ini gue juga lagi nyari-nyari consigliere sebelum kita rekrut. Gue takutnya ada penyusup kalau nggak segera didata ulang anggota kita,” papar Jayden logis.

Tito jadi tidak bisa menyangkal lagi. Namun, bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan Jameka yang harus dalam pengawasannya itu? Terlebih, sekarang Jameka sedang dekat dengan seorang pria. Sedangkan Tito masih tidak ingin memberi laporan ini kepada Jayden lantaran berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah ketidakpastian.

Dirasa tidak ada jawaban dari Tito, Jayden pun akhirnya kembali bersuara, “Kalau gitu, lo berangkat besok pagi. Tenang aja. Semuanya udah gue siapin.”

“Wih, lo pasti sayang banget sama gue ya, Boss? Sampe semuanya disiapin,” sindir Tito yang sejujurnya masih kepikiran Jameka.

Berengsek.” Umpatan Jayden mengembalikan Tito ke fokus utamanya. Dan bosnya itu kembali menukas, “Udahlah. Kasihin teleponnya ke si Bujang. Gue mau ngomong lagi sama dia.”

Dengan malas-malasan, Tito mengembalikan ponsel ke Lih yang masih berdiri di dekat kasurnya. Pria yang lebih muda dari Tito itu pun kembali berbicara dengan Jayden setelah keluar dari kamar Tito di basecamp. Sedangkan Tito sendiri lebih memilih mengecek jam. Mendapati masih kurang dua jam lagi jam kantor baru dimulai, Tito berencana untuk melanjutkan tidur.

Namun, sebelum niat mulia dan berbudi luhur itu terlaksana, Lih kembali ke kamarnya serta menyodorkan ponsel kepada Tito lagi.

“Apa lagi? Gue mau balik tidur sama Stella, Boss.”

Celotehan Tito langsung disambut hangat oleh Jayden. “Serah lo. Gue cuma mau ngomong kalau tugas lo jagain Jameka sementara gue alihin ke si Bujang selama kakak gue di luar kantor.”

Sejujurnya, ada sesuatu yang mengganjal di hati Tito tentang keputusan Jayden yang satu ini. Dirinya kan hanya akan pergi ke Inggris beberapa hari. Bukan mau berangkat berangkat perang. Kenapa tugas itu harus dialihkan?

Namun, untuk Jayden, apa lagi yang bisa Tito lakukan selain menyetujui bosnya itu? Ia tidak ingin mengambil risiko kehilangan kejantanan kebanggannya demi masa depan yang cerah.

Yang Mulia Ratu Jameka:
Hari ini gue bawa si Maser. Jadi, nggak perlu jemput gue. See you around, Kadal.

Tito Alvarez kontan berdecak sebal. Padahal ia sudah membuang jauh-jauh ingatan tentang mimpinya semalam selama nangkring di Vespa kuning imut si Bujang yang siap melaju ke kondominium Jameka sebab hari ini merupakan hari terkahir ia bisa jadi sopir Jameka sebelum berangkat ke Inggris besok, eh ... wanita itu malah berangkat sendiri. Apa tidak cenat-cenut hati Tito?

Ia pun cepat-cepat membalas pesan tersebut.

Tito Alvarez:
Kok masih ngambek? Padahal semalem udah gue turutin kemauan lo.

Kendati tidak ikhlas, memang benar adanya bahwa tadi malam Tito tidak lagi membuntuti Jameka sesuai permintaan wanita itu dan memilih mengembalikan Carissa ke apartemen wanita centil tersebut. Meski demikian, Tito memikirkan rencana lain untuk membuntuti pemilik Pagani hitam itu agar tahu seperti apa pria yang dikencani Jameka. Apabila menemukan sesuatu yang tidak beres, ia akan langsung bertindak dan melemparkan fakta-fakta kebusukan pria itu ke wajah Jameka agar wanita itu memutuskan hubungannya.

Masalahnya, tugas Tito sekarang akan dialihkan ke Lih selama ia ke Inggris. Jadi, gimana dong pemirsa?

Salama beberapa saat, Tito menunggu balasan dari Jameka. Sayang sekali, pesannya dibaca Jameka pun tidak. Mood Tito langsung terjun bebas ke dasar samudra.

Dengan kemurungan yang tidak biasa hinggap di tubuhnya, Tito mengendarai Vespa kuning Lih melaju ke Heratl. Setibanya di kantor, ia langsung menerobos ke ruang Jameka dan menuntut, “Lo masih ngam ... bek ... gara-gara ... semalem ...?”

Bicara Tito jadi lambat-lambat lantaran mendadak dihadapkan dengan adegan slow motion terpaan angin yang menyapa Jameka sehingga membuat rambut wanita itu yang digerai berkibar-kibar. Berlatar belakang sinar mentari pagi yang cerah, Tito melihat Jameka menelengkan kepala ke samping untuk menyugar rambut.

Tito meneguk ludah dengan susah payah. Itu rambut bergelombang indah, halus, dan wangi yang dibelainya sewaktu tidur bersama Jameka yang mabuk dan di dalam mimpinya tadi kan?

Jameka yang kaget mendapati kedatangan Tito pun mengakhiri sesi menyugar rambut. “Eh Kadal Sawah, ada penitipan helm di Heratl kenapa masih lo pake sampe sini? Takut dimaling atau gimana sih konsep lo?”

Adegan slow motion Tito sontak buyar. Tangannya pun secara refleks meraba kepalanya. Dan benar saja, helm Lih masih terpasang di sana. Kenapa untuk hal seremeh ini ia sampai tidak ingat? Ini pasti gara-gara dirinya tidak konsentrasi lantaran memikirkan Jameka.

Hm, Jameka lagi. Hih! Tito jadi gemas sendiri. Boleh tidak kalau Tito mencicipi bibir Jameka yang suka digunakan mengomelinya itu? Sepertinya segar di suasana pagi ini.

Tito mulai melangkah maju mendekati Jameka yang kebingungan. Sembari melepas helm lalu meletakkannya di meja CEO, dengan tatapan menerawang, Tito membalik kursi Jameka menghadapnya lalu tanpa ba-bi-bu menunduk, meraih rahang Jameka serta melumat bibir lembut nan manis wanita itu.

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo

Kelen luar biasa

And it’s a lot to me

Bonus foto Jameka Michelle

Dan Tito Alvarez

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Rabu, 22 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro