Chapter 1
Selamat datang di chapter 1
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tolong benerin kalau ada typo ya, maklum Kang Typo gaes
Thanks
Well, happy reading everyone
Hope you like and enjoy this story
❤❤❤
_____________________________________________
You can’t treat people like yourself
Remember, every soul has difference in feeling
—Chacha Prima
_____________________________________________
“Saya rasa kita masih harus meninjau lebih jauh lagi perkara ini. Berhubung sudah hampir jam makan siang, maka cukup sekian untuk rapat hari ini. Selanjutnya akan kita bahas besok pagi. Mohon maaf bila ada salah kata. Saya akhiri, selamat siang.”
Orang-orang yang duduk mengelilingi meja ruang rapat mengangguk sebelum akhirnya berduyun-duyun keluar ruangan, menyisakan Jameka Michelle dan Tito Alvarez.
“Abis makan siang jadwal gue apa?” tanya Jameka kepada Tito menggunakan bahasa non formal. Memang begitulah kebiasaan dan kenyamanan keduanya kalau sedang tidak ada orang-orang kantor.
Bergegas mengecek buku catatan kecil yang berisi seluruh jadwal Jameka, Tito menjawab, “Ninjau barang yang mau dikirim ke Summertown. Entar bisa kita tanyain ke pak Sony.”
Anggukan pelan menjadi pertanda Jameka menjawab Tito. Tubuhnya beranjak dari kursi lalu keluar dari ruangan diikuti pria itu.
“Rokok gue mana?” todong wanita berbalut rok pensil satin hitam tepat di atas lutut dan kemeja satin senada yang dilapisi vintage tweed blazer Channel multi warna, dengan wajah datar sembari memijit pangkal hidung.
Efek rapat penting bersama direksi dan legalitas hukum yang membahas sengketa tanah HTI (Hutan Tanam Industri) dengan penduduk di Kalimantan yang belum kunjung menemukan jalan keluar kini menyerang kepalanya.
Sejak sebulan lalu papanya mengumumkan peralihan paten jabatan Jameka dari COO Heratl Company menjadi CEO—menggantikan adik laki-lakinya, rasa-rasanya, wanita itu bertambah tua setiap detik lantaran pikiran yang terus-menerus diperas habis-habisan. Terutama mengenai Heratl yang berusaha bangkit di tengah kebangkrutan. Dimulai dari pembenahan berbagai divisi yang bermasalah, hingga bagian berat perkara HTI.
Padahal beberapa bulan lalu, Jameka—mendapat dukungan penuh dari CEO sebelumnya—baru saja menutup beberapa lini Heratl yang benar-benar tidak bisa diperbaiki. Kemudian menjualnya dengan harga murah. Lalu membagi hasilnya ke para pegawai sebagai uang pesangon dan tambahan uang untuk pengadaan bahan baku.
Bagaimana bisa ia harus berdamai dengan penduduk yang tinggal di sekitar HTI menggunakan uang suap di tengah masa sulit seperti usulan beberapa direksi tadi? Sementara hutan itu sendiri merupakan aset terpenting untuk menghasilkan bahan baku produk-produk peraboton cerdas perusahaan, artinya pendapatan juga didapat dari sana. Namun, apabila pengerjaannya terus dilakukan, tentu saja akan mendapat protes dari penduduk.
Sungguh memusingkan.
Beruntungnya Jameka tidak sendirian menghadapi semua ini. Selain karyawan-karyawan paling jempolan yang masih bertahan maupun dipertahankan bekerja di Heratl, ada Tito Alvarez yang ditugaskan menjadi sekretaris, merangkap asisten pribadi, plus bodyguard wanita itu atas permintaan adik laki-lakinya.
Ngomong-ngomong soal penjagaan, jangan pikir Jameka ini wanita manja yang ke mana-mana harus dikawal. Ia merupakan pribadi yang mandiri. Alasan adiknya meminta Tito menjaganya karena beberapa waktu lalu, ia ketahuan kalau sedang memandangi obrolannya dengan River Devoss di WhatsApp. Maka terungkaplah semuanya.
Dan sekembalinya adik Jameka ke Inggris tentu membuat pria itu mengkhawatirkannya. Takut Jameka akan menyakiti diri sendiri atau parahnya lagi berniat bunuh diri. Jadi, ya, begitulah.
“Nih,” ulur Tito sebelum membukakan pintu Civic putihnya untuk pergi makan siang bersama Jemeka. Rutinitas mereka selama sebulan ini.
“Bedankt[1],” ucap Jameka sembari menerima kotak rokok lantas menyadari sesuatu. “Duduk gue di tengah ye, Kadal Sawah. Bukan di samping lo.”
“Yaelah sekali-kali, Yang Mulia Ratu. Biar gue kagak jadi sopir mulu.”
“Nah kan emang tugas lo. Gimana sih?”
“Sekali doang elaaah ....”
Bola mata Jameka berputar sembari mengeluarkan napas berat. “Lo beruntung kali gini gue lagi pusing, nggak pengin debat.”
Tito nyengir lebih lebar. Setelah Jameka duduk dan mengenakan seatbelt, ia menutup pintu dan memutari bagian depan mobil untuk mencapai kursi kemudi.
“Kali ini gue yang milih tempat makan. Bosen banget lo suruh makan di tempat yang cuma nyediain sayuran doang. Emang gue kambing?” usik Tito sembari menyalakan mobil. Kenalpot racing-nya sontak menggema di basement.
Jemeka yang baru saja mengapit putung rokoknya di antara bibir sontak melihat Tito. “Eh, mana bisa gitu? Lo juga tahu gue vegetarian. Mana bisa makan di sembarang tempat? Kalau boleh milih gue prefer masak sendiri. Tapi, mana sempet, kan? Milih praktisnya dong,” semprotnya.
“Tenang, lo bisa kok makan di tempat ini.”
“Ya udah serah lo deh, pokoknya lo tahu makanan gue.”
“Baik, Yang Mulia Ratu Jameka.”
Untuk beberapa waktu yang singkat, setelah mengembuskan asap rokok ke jendela mobil yang sedikit dibuka, Jameka yang berwajar datar tidak sengaja mengingat hasil rapat tadi. Ia pun menggerutu pada intonasi landai. “Mana si Bambang lagi honeymoon lagi, kagak bisa dimintai konsultasi masalah HTI. Ck, bisa gila gue kalau gini terus.”
“Bukannya dari dulu lo udah gila, ya?” sahut pria itu yang berpotensi besar menyulut genderang perang dalam diri Jameka.
Playboy cap kadal sawah ini mulutnya memang perlu disumpal menggunakan kain gombal. Agar sama dengan omongannya yang sering kali manis, lamis dan bermulut fleksibel ketika mengobrol dengan setiap wanita yang berpapasan dengannya. Kadang-kadang, Jameka sampai risi dengan mulut pria itu.
“Kalau gue gila, lo apaan? Edan?” sindir Jameka masih bernada datar, lengkap dengan ekspresinya. Dan kian rajin menyedot rokok.
“Ya gila jugalah. Ya kali gue endan? Kan nggak enak kalau mau ngerayu cewek. Masa bilangnya ; aku lagi teredan-edan padamu?”
Jameka nyengir kuda mendengar jawaban cringe Tito. Setelah mengembuskan asap rokok dari hidung dan mulut, ia menjentikkan gulungan nikotin itu agar ujung yang terbakar bisa lepas di asbak mobil Tito yang beberapa lalu dipesannya khusus.
Kebiasaan Jameka merokok di mobil Tito selama proses antar-jemput tentu tidak ingin menjadikannya tukang pembuat onar dengan membuang percikan api rokok ke luar jendela. Bagaimana nanti kalau terkena pengendara lain? Kan tidak elegan dan bisa berbuntut urusannya.
“Untung aja gue kagak mempan ama gombalan-gombalan lo. Gue kan udah katam ama kebusukan lo, Kadal.”
Salah satu sudut bibir Tito tertarik ke atas membentuk smirk smile ketika menghadap Jemeka sedektik lalu kembali fokus ke jalan raya. Alih-alih terlihat menyeramkan dengan senyum tersebut seperti adiknya, sex appeal pria itu malah meningkat, sehingga tak heran para wanita langsung jatuh ke perangkapnya. Kecuali Jameka—tentu saja, ia hanya mencintai River Devoss.
“Jangan ge er deh lo. Coba pikir lagi, pernah kagak selama ini gue gombalin lo?”
Hampir saja rokok yang disedot Jameka tertelan gara-gara ucapan Tito yang merupakan kebenaran. Selama saling mengenal, ia belum pernah sama sekali digombali Tito. Bukannya meminta juga. Namun, ia hanya melihat dari kacamatanya yang sering menjumpai Tito menjerat mangsa. Mungkin kalau diumpamakan pria itu menggombalinya, ia tidak akan terjebak.
Tawa Tito sontak mengudara melihat ekspresi Jameka yang tidak berubah dari spion tengah. “Yang Muli ... Yang Mulia ... bilang aja lo cemburu. Pengin gue gombalin juga.”
“Eh, sorry ye, Kadal Sawah. Jangan mimpi gue cemburu ama lo.”
Tito tidak menjawab sanggahan Jameka sebab mobil yang dikendarainya sudah berhenti di tempat makan tujuan. “Yok, turun. Udah sampai.”
Sembari mengembuskan asap rokok lalu menjejalkan putungnya ke asbak, Jameka melihat sekitar. “Jangan bilang lo mau kita makan di warteg?”
“Yoi .... gue yang traktir.”
Traktir? Hm ... tampaknya si Kadal Sawah ini memiliki maksud tertentu sampai ingin menraktir Jameka. Jadi, sebaiknya ia menolak. “Kadal, kagak usah.”
“Jangan banyak gaya lo. Inget, lo lagi bokek.”
Ah, sialan! Memangnya gara-gara siapa Jameka jadi menanggung beban berat seperti ini? Mana perut wanita itu sudah melilit gara-gara sumber makanannya sudah digunakan untuk berpikir sehingga lambungnya kosong. Jadi, ia harus mengisi energinya dulu dengan makan siang.
“Ayo, daripada lo kelaperan. Tenang aja, Yang Mulia. Di sini ada nasi pecel. Entar gue bilangin ke ibu wartegnya pakai tempe ama tahu goreng aja. Peyeknya juga yang kacang aja. Kagak usah pakai lauk ayam atau hewan-hewan lain.” Tito lantas turun dan membukakan pintu untuk Jameka. “Blazer lo lepas aja. Nggak usah bawa apa-apa juga. Blazer, tas, HP, semuanya taroh mobil.”
Sekali lagi Jameka melihat ke sebelah kiri. Warteg tersebut kelihatan ramai. Namun, wajar, sekarang sedang jam makan siang. Banyak orang mengisi perut. Ada rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak berbaju PNS, tukang gorengan, sopir taksi, dan lain sebagainya yang makan di sana.
Akhirnya wanita itu meluncur dari mobil setelah melepas blazernya, tanpa membawa apa pun seperti kata Tito. Sepatu hak tingginya beradu dengan paving ketika ia berjalan mengekori pria itu masuk warteg. Seluruh penghuni tempat makan tersebut sontak melihat mereka dan fokus pada Jameka lantaran mengira bule berpacaran dengan orang Indonesia. Hitung-hitung perbaikan keturunan. Tidak sedikit juga bapak-bapak yang langsung merasa matanya melek dan segar karena melihat Jameka yang sedikit mengibas kucir ekor kudanya untuk mengusir gerah.
Sedangkan Tito celingukan mencari tempat duduk. Beruntungnya, ia melihat kursi panjang yang bisa ditempati dua orang. Letaknya di depan etalese yang langsung bersinggungan dengan dapur.
“Duduk sini dulu, biar gue pesenin.”
Jameka menuruti Tito dan melihat pria itu memesan makan siangnya yang langsung diambilkan ibu penjual.
“Yang satunya nasi campur lauk ayam goreng aja, Bu.” Dan ibu itu segera mengambilkan makanan Tito. “Makasih, Bu. Baik banget. Cantiknya tambah berkali-kali lipat loh, Bu.”
Kedua alis Jameka naik sedikit mendengar pria itu bicara demikian. Tito ini memang edan kuadrat. Tidak pandang bulu, ibu penjual warteg pun digombali meski suaminya ada di belakang mereka.
“Nih, pesenan lo.” Tito mengulurkan sepiring nasi pecel di meja depan Jameka dan meletakkan nasi campurnya sendiri. “Oh ya, minumnya apa?”
“Air mineral aja, makasih.”
Setelah mengambil sebotol air mineral, Tito mulai makan. Begitu pula dengan Jameka. Namun, wanita itu tiba-tiba sedikit terhenyak mendengar penjual sedang memasukkan ikan bandeng ke wajan panas. Suara minyak goreng yang menerima makanan itu membuat Jameka sontak memejamkan matanya rapat-rapat. Jantungnya yang berdetak kencang mengiringi produksi air matanya yang ingin terjun bebas.
“Kadal, ibu itu goreng ikan,” bisiknya, “ayo pergi dari sini.”
Kunyahaan Tito sedikit melambat. “Ya elah. Baru juga gue makan dua sendok. Tahan bentarlah. Gue kelaperan.”
Jameka menunduk ke bahu Tito, ingin menyembunyikan wajahnya yang kacau. “Dibungkus aja. Ayo!” desaknya.
“Udahlah kagak usah dilihatin. Lo makan hadap gue aja.”
Jameka mulai menumpahkan air matanya. “Kagak bisa. Suaranya masih kedengeran.”
Hah! Merepotkan saja Yang Mulia Ratu satu ini. Niat Tito ingin makan masakan yang dirindukan dengan tenang, tetapi malah lupa memperhitungkan hal-hal sepele seperti ini. Ia memang sudah tahu sejak bertahun-tahun lalu bahwa Jameka adalah vegetarian lantaran menganggap hewan yang dimasak merupakan tindakan tidak animal welvare[2]. Dan Jameka selalu menangis apabila melihat orang mengolahnya.
“Kadal, buruan dibungkus aja!” desak Jameka sembari menarik-narik lengan kemeja panjang biru dongker Tito yang sukses menyembunyikan tato-tato miliknya. Sedangkan yang di jari-jemari dan lehernya ditutupi alas bedak oleh Jameka sebelum berangkat ke Heratl. Setiap hari wanita itu membantunya demikian agar penghuni Heratl tidak menyangka Tito preman.
Embusan napas berat Tito keluar begitu saja. Akhirnya ia mengalah. “Ya udah lo tunggu aja di mobil. Nih kuncinya.”
“Anterinlah, Kadal. Gue lagi nangis nih! Masa harus balik sendiri? Kagak peka banget sih jadi cowok” bisik Jameka, kian rajin menggoyang-goyang lengan Tito yang kini berwajah datar.
Sekali lagi Tito mengembuskan napas. Banyak pula maunya wanita ini. Itulah kenapa Tito tidak ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita dengan komitmen jangka panjang. Selain akibat trauma masa lalu yang diciptakan keluarganya, ia juga malas dengan hal-hal ribet seperti ini yang biasanya didapatkan dari seorang wanita. Andaikan Jameka bukan kakak sahabatnya, Tito pasti sudah meninggalkan wanita itu.
“Udah nangisnya. Lo makan aja tuh pecelnya udah dibungkusin,” kata Tito ketika keduanya sudah berada di mobil. Berhubung tidak ada yang merokok, pria itu menyalakan pendingin udara.
Jameka masih mengusap-usap air matanya menggunakan tisu. “Lo tadi lihat muka ikannya kagak? Kasihan banget, Kadal. Dia berhak hidup, tapi kenapa malah dibunuh terus dimakan? Lo juga, malah makan ayam!”
Tito menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ck, udah diem deh lo. Kalau kagak, gue tinggal balik ke warteg.”
“Gue cuma mau nyadarin lo kalau tindakan lo itu kejam!”
“Ssshhh! Berisik banget sih lo! Heran gue. Casing lo tuh cewek kuat, kagak cengeng, muka selalu datar kayak adek lo. Tapi kalo yangkut makanan dari hewan, lo bisa nangis kejer kayak begini ya?”
Jameka menyeka ingus pada tisu lalu dilemparkan pada Tito. Pria itu sontak menghindar. Beruntugnya nasi campur di pangkuannya tidak tumpah.
“Eh! Jorok! Apa gunanya tong sampang di mobil gue, Yang Mulia?”
Perdebatan keduanya berhenti akibat ponsel Jameka yang berdering nyaring. Wanita itu mengubek tas untuk mengambil ponsel, membaca sekilas yang menelepon, lalu menggeser layar sebelum menempelkannya ke telinga.
Tito pura-pura makan dengan takzim, tetapi diam-diam memasang pendengarannya secara maksimal untuk mengorek informasi. Siapa tahu River Devoss yang menghubungi Jameka. Ia kan harus pasang badan sesuai pesan adik Jameka bahwa jangan sampai kakaknya menyentuh apa pun yang berhubungan dengan River.
“Halo, Pa?”
Kelegaan membajiri Tito. Rupanya calon mertuanya yang menelepon. Eh, maksudnya pak Allecio.
“Jame, kok suaranya bindeng gitu? Kamu lagi nangis? Nangisin cowok?”
“Astaga, Papa. Enggaklah. Aku cuma nggak sengaja lihat ikan digoreng aja kok. Ada ada, Pa?”
Sembari mulai menyuapkan nasi pecel ke mulutnya, Jameka mendengar papanya melepas napas lega. “Untunglah bukan gara-gara cowok. Oh ya, nanti malem makan sama papa ya?”
“Oke, Pa. Entar biar aku ke rumah Papa.”
“Sendirian aja ya, nggak usah ngajak Tito.” Jameka sontak melihat Tito yang sedang minum. Dan papanya masih menukas, “Atau dia boleh nganter kamu, tapi habis itu langsung pulang.”
“Kenapa? Kan biasanya sama dia juga, Pa.”
“Udah ..., pokoknya dateng sesuai yang Papa bilang ya, Jame. Soalnya ada yang pengin Papa omongin sama kamu.”
______________________________________________
[1] Makasih : Belanda
[2] Hak asasi hewan
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen, plus benerin typo
Bonus foto Jameka Michell
River Devoss
Tito Alvarez
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
23 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro