9. Permen
Sena pulang sendiri. Dia tinggalkan Dewa di trotoar Genteng Kali itu. Entah apa yang sedang terjadi pada laki-laki itu, dia tidak peduli. Dia sendiri sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Berapa kalipun Sena menyeka air matanya, pipinya tetap saja basah, air mata baru akan menetes, mengalir dan membasahi lagi.
Dia pulang naik Trem. Kendaraan seperti bus tapi melaju di rel seperti kereta api. Trem menjadi kendaraan umum dengan harga yang terjangkau. Lintasan dan jalur operasinya juga banyak. Sayangnya, transportasi umum ini hanya melayani jalan-jalan besar di pusat kota saja.
Sena memilih bangku tengah, dekat jendela kacanya. Dia sandarkan bahu kirinya di sana, lama-lama kepalanya ikut bersandar juga. Matanya terus melihat ke jalanan dengan tatapan kosong dan pikiran yang berkelana jauh. Baru saja dia telah memutus suatu ikatan yang berharga, sangat berharga untuknya. Keputusan yang tidak pernah Sena bayangkan akan seperti ini, akhir dari hubungan yang mati-matian ia jaga selama ini.
Sejenak, muncul deretan memori seperti tayangan sebuah film di kepalanya. Masa-masa bahagianya tanpa konflik apapun dengan Dewa. Bagaimana mereka bertemu pertama kali, saling mensupport di waktu-waktu yang sulit, saling berbagi cerita dan pikiran, setiap tawa yang Sena berikan, momen-momen itu tiba-tiba menjadi begitu menyakitkan untuk Ia kenang lagi. Fakta bahwa mereka baru saja mengambil keputusan besar mengakhiri hubungan panjang itu karena perbedaan prinsip dan cita-cita. Sena tidak bisa berkompromi, begitu juga Dewa. Perbedaan mereka terlalu kontras, tak ada yang mau mengalah.
"Kamu kuat, Sena," gumam Sena pada dirinya sendiri. Tangannya terus menerus menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti.
Trem itu menepi, di gapura semacam halte. Banyak orang sudah menunggu disana, mereka mengantri untuk naik sementara belasan orang turun lewat pintu belakang. Sena ikut berdiri setelah memastikan ini tempat pemberhentian terakhir paling dekat dengan desanya. Dia berdiri sebentar di gapura halte itu. Tak berselang lama orang-orang mulai bubar bersamaan perginya Trem itu.
Sena tidak asing dengan pemberhentian ini karena ini rute yang selalu dia lewati sepulang dari HBS. Tapi hari ini dia tiba di halte itu dengan perasaan yang tidak biasa. Matanya sembab, merah, dan basah. Beberapa kali orang melihat ke arahnya, beberapa malah menghampirinya basa-basi bertanya kenapa, beberapa yang lain tidak peduli. Kultur orang Soerabaja dulu dan sekarang sepertinya agak berbeda. Di masa industri ini, lebih banyak orang yang kehilangan simpati dan empatinya, mereka lebih individualis dan cuek pada sekitarnya. Tapi orang dulu, begitu ramah dan peduli. Meski tidak sangat mengenal, meski hanya sesekali bertemu, mereka akan bertanya jika sesuatu yang buruk menimpa kita. Kepedulian itu masih tinggi, meski sekadar bertanya dan tidak memberikan apa-apa.
Sena sedang tidak ingin menyapa mereka, meski dia mengenal beberapa pedagang yang lewat menyapanya. Sena sedang tidak ingin menjawab pertanyaan mereka. Dia ingin sendiri. Berjalan pulang dalam ketenangan dan kedamaian, tanpa peduli siapapun yang lewat atau melihatnya.
Dia sampai di jalan utama desanya, satu kilometer lagi rumahnya sudah terlihat. Jalan itu sudah diaspal. Kanan-kirinya hijau, sesekali terhampar pemandangan luas sawah, namun tak jarang pohon-pohon besar berkambium tebal yang memenuhi dua sisi jalan. Hampir tak tertembus panas matahari, jalan itu teduh dan dingin, tak ada terik yang menembus lebatnya dedaunan. Rumah-rumah masih jarang. Kalau pun ada, jaraknya bisa sampai 500 meter antar rumah. Hunian semi permanen, dindinya setengah bata setengahnya lagi papan anyaman bambu. Atapnya bukan genteng, tapi daun kelapa yang ditumpuk-tumpuk. Kusennya dari bambu, begitu juga pintunya. Berlantai tanah yang disemen, tapi lebih sering dibiarkan tanah murni. Pribumi yang sedikit berada, menyemen lantai mereka, atau yang lebih berada lagi, mengubin lantai mereka, tapi itu jarang.
Dalam perjalanan sepi itu, Sena mendengar derap langkah kaki-kaki kecil yang serempak dalam jumlah banyak dan semakin keras. Suara kaki itu mendekat semakin keras bersamaan dengan teriakan anak-anak kecil. Mereka berteriak apapun, kata-kata yang tidak bisa Sena artikan. Belum sempat dia menoleh ke belakang memastikan tebakannya, dia diserondol tidak kurang dari tujuh bocah laki-laki yang berlari menyalipnya. Barisan mereka terbelah karena menghindari Sena yang tanpa sadar berjalan terlalu ke tengah.
"Cepaaat!" teriak bocah-bocah itu sangat semangat. Mereka berlari serempak dalam barisan yang acak.
Setelah diserbu bocah-bocah itu mendadak, Sena jadi tidak seimbang. Dia bingung dengan kejadian yang baru terjadi ini. Dan bertanya-tanya apa yang mereka kejar, kemana bocah-bocah itu pergi.
Belum selesai dia memahami peristiwa ini, seseorang menyenggolnya sangat keras dari belakang. Sena jatuh. Orang itu tidak. Dia kehilangan keseimbangannya sesaat saja.
"Aaagghh!" teriak Sena. Antara kaget, marah dan kesakitan.
"Oh maafkan aku," seru orang itu santai. Dia mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan pada Sena untuk berdiri.
Dia Laki-laki. Sena berdiri di hadapannya. Dia lebih tinggi, mungkin selisih 15 sampai 20 sentimeter. Rambutnya hitam ikal, sedikit panjang, berantakan, dan poninya menutup dahinya. Laki-laki itu tersenyum minta maaf pada Sena. Sebenarnya dia berkulit cerah, tapi wajahnya lusuh, berkeringat dan kepanasan. Kaos putihnya sedikit basah, warnanya sudah menguning. Tapi senyumnya sangat menenangkan Sena.
Sena menolak uluran tangannya. Dia menggeleng, tanpa tersenyum atau menjawab permintaan maafnya. Bisa dibilang moodnya sedang sangat buruk. Sena melihatnya dengan marah. Tapi laki-laki itu tetap tersenyum ramah.
Lalu tiba-tiba,
"Mas Tirtaaa! Cepat kemari!" teriak bocah-bocah tadi serempak sangat keras. Mereka mengintip di depan. Sepertinya bocah-bocah itu sengaja menunggu laki-laki itu di pertigaan jalan di depan. Suara bocah-bocah itu panik dan sedikit ketakutan.
Tirta merogoh tas kain selempang warna coklatnya. Lalu menyodorkan gula-gula panjang warna putih pada Sena. Bentuknya mirip es lilin panjang, seperti tabung, yang diberi tusuk sate panjang. Itu permen.
"Terimalah ini sebagai ucapan maafku dan mewakili mereka," ucap Tirta. "Tapi maaf, aku harus segera pergi. Mereka menungguku." Dia tersenyum di akhir kalimatnya.
Sena bergeming saja, sementara Tirta memaksa dia menggenggam permen sate itu. Laki-laki dengan senyum menenangkan itu berlalu mengejar bocah-bocah yang menyerbu Sena tadi.
Sejenak, Sena tiba-tiba mematung, dengan permen sate itu di tangan kanannya. Dia melihat Tirta berlari dengan tas selempangnya yang terbang ke kanan kiri, sampai dia menghilang berbelok ke kiri, di pertigaan jalan depan.
Sena menamatkan permen di tangannya. Dia amati, dia putar-putar semua sisinya. Dan dia heran. Baru kali ini dia mendapat setusuk permen permintaan maaf dari sebuah kejadian ganjil yang serba tak terduga selama satu menit itu. Dan permen model ini, belum pernah dia tahu. Selama dua puluh tahun hidupnya, dia tidak pernah mendapati jajanan gula-gula model begini. Sena tersenyum heran. Sejenak, dia melupakan masalahnya, tanpa ia sadari.
Lalu terdengar sayup-sayup suara bocah-bocah itu lagi. Tidak jelas mereka berteriak apa, tapi cukup intens dan terdengar dekat. Sena penasaran. Dia ingin tahu dimana mereka dan apa yang sedang mereka lakukan. Mungkinkah hanya bermain dan bersenda gurau? Seperti tidak. Sena yakin ada sesuatu yang terjadi. Itu bukan teriakan canda tawa, tapi lebih seperti histeris, takut, khawatir dan marah.
Perempuan itu berlari, permen satenya masih ia genggam erat. Dia mengikuti kemana Tirta menghilang, berbelok ke kiri. Sampai di ujung pertigaan itu, suara teriakan bocah-bocah itu semakin keras dan jelas.
"Pasti dekat sini," gumam Sena yang masih terus berlari. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, barangkali ada mereka di sana. Tapi tidak ada. Padahal suaranya semakin keras dan dekat. Semakin dekat semakin jelas teriakan mereka adalah campuran kesakitan dan ketakutan. Berdegup kencang jantung Sena. Dia khawatir, juga lelah berlari.
Dan...
Sena mengerem mendadak. Dia menemukan mereka. Sena tercekat, mulutnya menganga spontan, matanya terbelalak.
"Apa ini?" gumamnya pelan.
Tiga anak diikat terjungkir dengan kepalanya di bawah, di atas pohon mangga besar. Tubuh mereka dililiti tali tambang besar yang kasar mulai dari bahu sampai lutut, lalu mereka diikat ke batang pohon dengan posisi kepala di bawah.
Sena melihat bocah-bocah itu berkumpul di bawah teman mereka. Mereka melingkar dengan menengadahkan tangannya di tengah bersama-sama. Kepala mereka serempak mendongak ke atas, memperhatikan dengan jelas setiap gerakan turun teman mereka. Sena menemukan Tirta berusaha menurunkan satu dari mereka. Dia sudah melepas tali penahannya yang terikat di pangkal pohon, sekarang dia mengomandoi anak-anak itu supaya siap menangkap temannya sementara dia pelan-pelan menahan talinya sambil menurunkannya.
Sena panik harus membantu siapa. Haruskah ia berlari ke Tirta dan membantunya menahan tali ataukah dia bergabung dengan anak-anak itu membantu mereka menangkap temannya.
Tirta melihat kehadiran Sena, "Tolong bantu mereka!" serunya keras. Dia melilitkan tali tambang itu ke tangan kanannya sambil ditahan tangan kirinya. Kali ini agak berat dan berbahaya, sebab mereka digantung terjungkir. Tali itu merusut sedikit saja, mereka bisa jatuh dengan kepala terbentu ke tanah lebih dulu. Ditambah lagi anak pertama yang ditolong ini sangat gemuk.
Sena mengangguk, dia berlari ke bawah anak yang tergantung itu. Perasaannya ikut cemas, tapi juga takut dia gagal menangkapnya atau usaha ini tidak berhasil.
"Kalian siap?" seru Tirta.
"Siaaap!" jawab mereka serempak penuh semangat.
Sena ikut mengangguk, dia terus menengadah melihat setiap gerakan anak di atasnya. Tangannya keatas, berusaha menangkapnya ketika jaraknya sampai. Tirta menurunkannya pelan-pelan bersamaan dengan menahan beban berat anak gemuk itu. tumpuan kakinya maju sedikit demi sedikit.
Bocah-bocah lain ikut berteriak. Sedangkan anak gemuk itu sendiri, menangis histeris. Dia ketakutan, pusing dan mungkin juga mulai mual. Entah sudah berapa lama dia tergantung pada posisi itu.
Tirta berusaha secepat mungkin dan sehati-hati mungkin. Dia mengkode Sena bahwa dia akan menurunkannya sekaligus, sedikit lagi, Sena mengangguk menyanggupi akan menangkap anak itu sebaik mungkin.
Bersamaan dengan teriakan anak-anak lainnya, dan juga histerinya tangisan yang jadi korban, Tirta mengulur talina hingga Sena dapat menjangkau kepala, lalu bahu, lalu badannya dan kemudian menurunkannya pelan-pelan, membaringkannya ke tanah bersama tangan-tangan mereka.
Spontan, mereka berteriak histeris. Kali ini karena lega berhasil menyelamatkan satu temannya. Bersama-sama, mereka gotong anak gemuk yang masih terikat itu ke pinggir. Satu orang kemudian membantu membuka ikatannya, sementara lainnya kembali bertugas ke posisi awal. Masih ada dua orang lagi yang harus mereka selamatkan.
Proses yang sama mereka lakukan dengan sangat hati-hati. Hingga akhirnya ketiganya berhasil diselamatkan dan baik-baik saja. Mereka muntah sedikit, ada memar merah di pergelangan mereka, selebihnya tidak ada luka fisik. Mereka masih sesegukan, beberapa kali Sena memeluk mereka untuk sedikit menenangkan mereka, tapi tidak berhasil. Sampai kemudian tangis itu diam saat tiga tusuk permen putih panjang disodorkan Tirta ke hadapan mereka.
"Berapa banyak permen yang dia bawa? Jangan-jangan satu tas itu penuh permen?" pikir Sena heran.
Setelah mereka agak tenang, anak-anak itu berterima kasih pada Tirta dan Sena bersama-sama kemudian pamit pulang. Mereka pergi lagi, bergerombol, tapi tidak berlari panik seperti tadi, melainkan berjalan pelan sambil saling menepuk-nepuk pundak temannya.
Tirta masih menggulung tali tambang itu dengan sikunya. Sena memungut permen miliknya yang tak sadar ia lempar saat berlari membantu anak-anak tadi.
"Jangan diambil, itu sudah kotor," seru Tirta.
Sena tetap memungutnya, lalu berdiri mengamati Tirta. Dia tidak menghampiri laki-laki berambut ikal lebat itu. Masih ditempat itu, Sena melihat gulungan tambang itu sudah sangat tebal di lengan Tirta. Nampak pula otot lengannya yang cukup atletis, dibalut kaos putihnya yang semakin basah. Banyak pertanyaan yang ingin Sena tahu jawabannya. Seperti sederhananya, kenapa anak-anak itu berakhir digantung terjungkir seperti itu, siapa pelaku yang setega itu, kenapa anak-anak itu memanggil Tirta dan dia ingin menanyakan apa isi tas coklatnya itu, apakah penuh permen?
Tirta selesai menggulung talinya. Dia turunkan gulungan besar itu ke tanah, lalu menghampiri Sena di tepi halaman sempit itu. Halaman yang dijadikan lapangan tempat anak-anak kecil pribumi bermain bola. Tirta lagi-lagi merogoh tasnya, lalu menawarkan permen yang baru pada Sena. Dengan tersenyum.
"Lebih baik kau simpan yang baru," ucap Tirta ramah. "Buat apa menyimpan yang lama padahal sudah rusak?" imbuhnya dengan tersenyum.
Dilihat dari caranya berbicara dan bersikap, Sena menebak laki-laki di hadapannya ini memang tipe orang yang ramah dan supel. Mereka belum saling kenal, tapi dia sudah begitu ramah.
Sena mengambil permen yang baru itu. "Terima kasih," ucapnya pelan dan singkat. Dia tidak membalas senyuman Tirta. Sorot matanya serius penuh selidik pada laki-laki asing yang tidak ia kenal ini.
"Aku harus minta maaf lagi karena harus pergi sekarang. Ini masih jam kerjaku," ucap Tirta. Dia pungut gulungan tali tambang itu, mengalungkannya ke lengan dan bahu kirinya. Lalu pamit pergi.
"Kau jalan kaki?" cetus Sena tiba-tiba. Untuk pertama kalinya dia mengatakan sesuatu pada laki-laki itu.
Tirta menggeleng, "Aku naik sepeda. Aku tinggalkan di ujung jalan saat anak-anak itu datang," jawabnya.
Sena mengangguk-angguk pelan. Ketika Tirta balik badan hendak pergi, Sena tiba-tiba menahannya lagi.
"Siapa namamu?" seru Sena.
Tirta berhenti, dia berbalik lagi. "Tirta. Ahmad Tirta," jawabnya sambil tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro