Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Demmo

Haloo semuanya.. :) 

Jangan lupa kasih vote yaa :)


Setelah pertengkaran hebat malam itu, Atmojoyo tak sekalipun menyapa putrinya meski setiap sarapan dan makan malam mereka bertemu di meja yang sama. Tak ada percakapan, tak ada yang memulai pembicaraan. Sena datang, duduk, makan, melihat sebentar ayahnya, lalu kembali ke kamarnya.


Atmojoyo juga tidak berniat membuka ruang berunding untuk membicarakan lagi keinginan Sena. Dia tidak mencoba membujuk putrinya untuk membatalkan niatnya seperti yang selalu ia lakukan. Barangkali ucapan Sena malam itu sangat melukai hatinya, dan menjatuhkan harga dirinya di depan anaknya sendiri. Bukankah rasa malunya lebih besar ketimbang di hadapan orang lain? Bupati berkumis tebal itu mengunci rapat bibirnya, melirik Sena pun tidak.


Ini seperti perang dingin dimana kedua pihak mempertahankan keangkuhan masing-masing. Siapa yang mencoba berdamai lebih dulu adalah yang kalah. Kalau keduanya punya pendirian yang kuat, lantas siapa yang mau dikatakan kalah dan mengalah? Tidak ada.


Hari itu, sekolah masih libur, hingga dua hari ke depan sebelum pengumuman hasil ujian kelulusan. Seminggu yang lalu, Sena merampungkan ujian akhir kelulusannya di sekolah paling elit di Surabaya itu, HBS. Sekolah paling sulit ditembus apalagi untuk dapat ijazahnya. Bukan hanya karena biaya sekolah yang sangat mahal, tapi sistem pendidikan dan standart kelulusannya terlampau tinggi untuk anak-anak pribumi, pun juga anak-anak Eropa. Ini karena HBS menyamakan standart dan kurikulumnya seperti HBS di Belanda, sehingga begitu lulus, alumni HBS bisa memilih melanjutkan kuliah ke Belanda atau di perguruan tinggi HIndia Belanda.


Sartinah mengintip dari ambang pintu, putrinya sedang duduk di anak tangga teras depan, bertopang dagu, menekuk dua lututnya. Pandangannya jauh menyusuri hamparan sawah yang hijau. Hari itu masih pagi, Atmojoyo sudah berangkat lebih pagi hari ini.


"Sena," Sapa Sartinah. Dia ikut duduk di samping Sena. Hari ini sanggul ibu tidak sebesar biasanya, dia juga mengenakan kebaya biasa, bukan yang istimewa. Wajahnya juga lebih pucat dan lesu, bibirnya tidak semerah hari-hari biasanya. Tapi Sartinah tidak sakit.


"Ada apa, Bu?" Sena menoleh.


"Kamu sudah coba bicara sama Ayah lagi?" tanya Sartinah. Sena sudah menduga apa yang akan dibicarakan Ibunya. Sena hanya menggeleng pelan.


"Ayah tidak bisa dibujuk," jawab Sena singkat. Dia mengalihkan pandangannya ke sawah lagi setelah melihat Ibunya yang duduk di sebelah kanannya. "Sena tahu Ibu juga menentang keinginan Sena," imbuhnya pelan.


Lama, mereka saling diam. Hingga ayam berkokok sampai dua kali. Piaran Atmojoyo di halaman belakang rumah mereka.


"Ayah begitu karena sayang padamu, Nak," ucap Sartinah lagi. Tangannya mengelus kepala belakang Sena pelan. "Ayah sama Ibu tidak ingin kamu celaka. Kalau kamu ingin mengajari mereka, lakukan saja seperti biasanya. Mendirikan sekolah itu terlalu berbahaya, nak," lanjut Sartinah.


Sena menarik napas panjang, mengendalikan emosinya, seperti bersiap mengeluarkan jurus maut. Tapi begitu melihat wajah Sartinah yang menatapnya penuh kasih dan iba itu, emosi Sena luluh.


"Ibu," ucap Sena, menjeda sebentar. "Sena tahu kalian khawatir, Sena juga tahu Ayah dan Ibu melarang karena sayang pada Sena. Kalian ingin yang terbaik untuk Sena. Tapi Sena bahagia melakukan ini. Melihat senyum mereka yang gembira setiap kali datang, membuat hati Sena tentram. Mendengarkan mereka mampu membaca, melihat mereka bisa menulis dan berhitung, benar-benar memberikan kepuasan yang luar biasa untuk Sena bu. Saat menyaksikan mereka bertumbuh kembang dengan baik karena upaya Sena, rasanya begitu bermakna. Setiap lelah yang datang, menguap begitu saja tergantikan dengan bahagia. Sena ingin berbuat lebih dari ini, Bu," jelasnya.


Sartinah semakin bingung, kecemasannya semakin dalam. "Sena, kamu harus hidup bahagia nak, dengan masa depan yang cerah dan jelas," bantah Sartinah.


"Masa depan bahagia yang seperti apa yang Ibu harapkan untuk Sena?" potong Sena. Dia tatap mata Sartinah lekat-lekat.


"Masa depan seperti kaum priayi pada umumnya," jawab Sartinah tegas. "Memiliki pekerjaan tetap yang menjanjikan, hidup berkecukupan, punya kedudukan sehingga aman dari Belanda, lalu menikahlah dengan seseorang yang berpengaruh. Ibu akan tenang dan senang Sena kalau kamu hidup seperti itu," lanjutnya dengan nada lembut.


Sena tersenyum miris.


"Jadi, menurut Ibu aku tidak akan punya masa depan bahagia jika mendirikan sekolah pribumi?" bantah Sena yang kemudian dianggukkan Sartinah mantap. "Tidak bu, justru Sena akan menderita jika harus menghabiskan sisa hidup Sena dengan tunduk pada Belanda itu. Menjadi pegawai mereka sama seperti mengkhianati bangsaku, Bu. Ibu, bekerja dengan gaji dan kedudukan tinggi tidak selalu menjanjikan kebahagian," jelas Sena hati-hati.


Sartinah masih diam, dia semakin cemas melihat masa depan anaknya dengan keinginannya yang sudah terlalu kuat itu.


"Sena ingin bahagia dengan cara Sena sendiri, Bu," imbuh Sena lagi. "Dan mendirikan sekolah pribumi membuat Sena bahagia,"


Sartinah mulai berair mata, bibirnya bergetar, dan begitu sedih melihat putrinya. Dia tidak melihat lagi kemungkinan untuk mengubah pendiriannya yang berbahaya itu.


"Tolong ibu mengerti..." suaranya memelas.


"Sena... apa kamu lupa bagaimana kesedihan kami saat mas kamu pergi? Kalian adalah anak kesayangan Ibu, nak.. setelah Mas Amran meninggal dengan cara seperti itu, Ibu tidak bisa kehilangan kamu juga nak. Tolong Sena.. Ibu sangat minta tolong, jangan lanjutkan lagi mimpi berbahayamu itu, nak. Ibu tidak mau kehilangan kamu juga. Bagaimana Ibu bisa hidup kalau kamu seperti ini nak?" kata Sartinah dengan suara parau.


Sena terbawa emosi Ibunya. Kesedihan itu tersalur padanya juga. "Sena minta maaf Ibu.. Sena tidak bisa berhenti, Sena harus melakukan ini," ucapnya hati-hati.


Sena menghembuskan napasnya lemas. Dia gagal mendapat dukungan ibunya. Sartinah berdiri, menarik napas panjang, membebaskan sesak yang sejak tadi menyiksanya. Dia merapikan lagi atas kebayanya yang kusut, lalu berbalik akan masuk rumah dengan air mata yang meluap.


"Tadi malam nak Dewa kesini, dia titip pesan, hari ini akan datang lagi," ucap Sartinah. Lalu masuk rumah.


Sudah satu minggu mereka tidak bertemu lagi sejak malam itu. Sena menyambut bahagia berita Ibunya. Tidak dipungkiri, memang ada kerinduan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia butuh tempat untuk bercerita, tempat menyampaikan isi pikirannya dan meluapkan emosi yang tertahan selama ini. Dewa selalu menyediakan itu untuk Sena. Dia rajin berkunjung, setidaknya satu kali dalam seminggu. Ditambah lagi, mereka juga bisa bertemu di sekolah setelah jam pelajaran usai. Tapi karena ujian selesai, sekolah diliburkan dalam waktu yang lama.


Sena beranjak, dia berdiri. Dia betulkan jilbabnya yang menjuntai berantakan, dia rapikan atasan kebayanya yang kusut, lalu melangkah maju menuruni anak tangga. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa ringan, ada rasa senang yang bertiup entah darimaana.


Sena berjalan cepat ke depan halaman, ke gapuranya yang berupa dua pohon mangga yang berbunga lebat, dia berdiri disana, dipinggir jalan desa. Perempuan berkebaya merah muda itu terus menoleh ke kanan, arah dimana Dewa selalu datang melintasi jalan itu. Entah bagaimana jantungnya jadi ikut berdebar, padahal ini bukan pertama kalinya Dewa berkunjung dan usia hubungan mereka yang terbilang lama. Meski pertemuan terakhir dengannya berakhir dengan perdebatan yang tidak terselesaikan, tetap saja, Sena ingin segera bertemu dengannya. Melihat senyumnya, mendengar suaranya, dan bercengkerama banyak hal.


Sena memutar-mutar ujung sepatu kanan nya, membentuk lingkaran-lingkaran tetap di tanah berpasir tempat ia berdiri. Sesekali dia menoleh lagi ke kanan, masih belum ada tanda-tanda Dewa. Kapan laki-laki klimis dan atletis itu datang? Pagi inikah? Nanti siangkah? Atau sore? Sena tidak tahu. Lima belas menit ia berdiri menunggu di sana tanpa kepastian.


Akhirnya dia bersandar ke pohon mangga besar setinggi 7 meter itu, batang pohonnya tak cukup ia peluk dengan dua tangan Sena. Dewa tak kunjung datang.


"Untuk apa aku menunggunya seperti ini," gumamnya pelan.


Sena memutuskan kembali ke teras rumahnya. Dia sudah lelah menunggu, meskipun masih sebentar. Sebab bukan karakternya untuk tahan menunggu orang lain tanpa kepastian. Itu sia-sia saja, Sena membenci itu.


Tiba-tiba, suara gaduh yang sangat keras dan bising mendekat. Sena terperanjat, spontan ia balik badan cepat. Kendaraan aneh berhenti di depan halaman rumahnya. Setelah suaranya berhenti, Dewa turun dari bangku kemudinya. Berdiri menghadap Sena lalu tersenyum sambil melambaikan tangannya.


"Mas Dewa!" seru Sena.


"Kau luang hari ini?" tanya Dewa. Sena mengangguk cepat.


"Apa yang kau bawa hari ini, Mas?" tanya Sena penasaran.


Bentuknya seperti dokar, tapi tidak ada kudanya. Bagian depan yang biasanya tempat kuda, digantikan oeh setir besi yang bentuknya seperti stang sepeda ontel, tapi lebih tebal dan panjang. Bagian depannya juga ada lampunya, menyorot terang seperti lampu depan mobil mahal yang biasa dipakai Belanda. Lalu satu roda depannya tebal dan besar, begitu juga dengan dua roda di belakang dengan bentuk dan ukuran yang sama. Ada satu tempat duduk di bagian depan, sepertinya itu tempat untuk supirnya. Bangku dengan bantalan empuk diatasnya yang memanjang, persis seperti tempat duduk pak kusir yang mengendarai delman.


Lalu tempat duduk penumpang yang di belakang, tidak seterbuka dokar atau delman. Kalau dokar hanya terdiri dari 4 tiang dan atap kain, kendaraan ini tertutup dinding dari lempengan logam, Sena tidak tahu, apakah itu besi atau seng atau aluminium atau apa. Dan dudukan bagian dalamnya berupa dua bangku panjang yang berhadapan.


Singkatnya, ini bentuk lain dari dokar, tapi kudanya diganti mesin bermotor. Boleh dibilang kendaraan ini mirip mobil tapi juga mirip dokar. Sena tersenyum heran, dahinya mengerut, alisnya hampir bertemu.


"Kendaraan apa itu, Mas? Ini pertama kalinya aku melihat kendaraan seperti itu," tanya Sena lagi. Dia tak menemukan jawaban atas pengamatan singkat yang dia lakukan.


Dewa tersenyum saja, menikmati ekspresi penasaran Sena. "Namanya Demmo," jawab Dewa singkat.


"Demmo? Bukan mobil atau dokar?" tegas Sena.


"Ini mobil murah yang sengaja diproduksi untuk rakyat pribumi, Sena. Barang baru, pabriknya ada di Surabaya, belum seluruh wilayah Hindia Belanda bisa memilikinya karena produksinya masih terbatas. Kau mau coba naik?" ucap Dewa.


"Bolehkah?"


"Tentu, sengaja kubeli untuk mengantarmu berkeliling Surabaya," jawab Dewa menyombongkan diri.


Dewa membantunya naik ke tempat duduk belakang,


"Ini mobil buatan Hindia Belanda, hanya mesinnya saja yang diimpor dari Jerman. Seperti dokar tapi menggunakan mesin," ucap Dewa sedikit pamer. "Jadi, kemana aku harus mengantarmu hari ini, Sena?" tanyanya ramah.


"Taman Siswa Surabaya," jawab Sena ceria.


Dewa justru terdiam sebentar. Air mukanya berubah, senyumnya menyusut dan sorot matanya meredup. Kehangat diantara mereka tiba-tiba saja sirna, hanya butuh tiga detik untuk membekukan atmosfir di dalam Demmo itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro