Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Abdi Rakyat

Setelah mengerjai orang Belanda itu, Sena cepat-cepat kabur dan balik ke gedung tua tadi untuk menjemput anak-anak itu sebelum orang Belanda tadi kembali ke sana.


Anak-anak itu spontan mengerubungi Sena, memeluknya dengan sisa tangisan yang ada. Sena mengelus kepala belakang mereka, menenangkan mereka, lalu menunduk, menyamakan tinggi wajahnya dengan mereka,


"Apa yang terjadi?" tanya Sena, lembut.


"Dia mengambil uang hasil kami bekerja, dan hanya memberi kami sangat sedikit. Rani protes, lalu Belanda itu menendangnya dengan sepatunya sampai Rani jatuh dan mengambil semua uang kami," cerita salah satu anak itu. Anak perempuan yang paling gemuk diantara mereka.


Sena sedih mendengar cerita itu, saraf empatinya tersentil, "Dimana Rani?"


Rani ada di barisan paling belakang. Dia menghapus air matanya, pipinya basah, bahunya kotor dan kunciran rambut pendeknya berantakan. Penampilannya persis seperti anak yang teraniaya. Rani mengangkat tangannya, lalu maju mendekat pada Sena. Anak malang itu kemudian memeluk Sena dan menangis tersedu di bahunya. Sena menepuk-nepuk punggungnya sambil mengintip bahu Rani, syukurlah tidak ada bekas luka disana, hanya memar samar.


Setelah meredakan tangis mereka, Sena mengajak mereka keluar dari ruangan sempit yang pengap, lembab dan bau itu. Dia menggiring mereka menyebrang jalan, kebetulan bangunan itu ada di pinggir jalan desa yang kadang dilalui Sena sepulang sekolah. Di sisi jalan yang lain, ada sawah luas yang menghampar nan indah. Hari itu, padi-padi itu sedang menguning, seminggu lagi mungkin saatnya panen. Sena menuntun mereka ke tepian sawah itu, di sebrang jalan, ada sedikit lahan sempit dengan pemandangan yang indah. Mereka duduk disana, melingkar.


Sena bertanya apa pekerjaan mereka, berapa mereka diberi upah dalam sehari, lalu menghitung jumlah uang yang diberikan tentara Belanda itu dan membaginya rata untuk sebelas anak itu. Mereka saling berkenalan, bercerita dan tertawa bersama.


Sena menamatkan perhatiannya pada wajah-wajah mungil tak beruntung itu, satu per satu. Dia ikut tersenyum kala mereka tertawa. Senyum iba yang lama kelamaan menjadi haru dan menyakitkan. Anak-anak ini terpaksa bekerja membantu orang tuanya, tapi karena mereka buta huruf, kompeni itu membodohi mereka. Upah yang sudah sangat murah pun masih mereka korupsi lagi. Kemarahan itu mulai merongrong hati Sena. Dia harus berbuat sesuatu.


"Bagaimana jika kalian belajar membaca, menulis dan berhitung?" seru Sena melemparkan tawaran pada mereka. Lingkaran itu tiba-tiba senyap, tapi mata mereka sangat antusias. "Kita harus bisa membaca, menulis dan berhitung supaya kompeni itu tidak bisa membohongi kita lagi. Nanti, Mbak Sena yang mengajari kalian," imbuh Sena menguatkan.


Serempak, mereka mengangguk bersama. Semenjak hari itu, esoknya Sena mengumpulkan anak-anak itu setiap sore, selepas mereka bekerja, untuk belajar bersama. Pelajarannya sederhana, membaca menulis dan berhitung. Pengetahuan dan kemampuan paling dasar yang harus mereka kuasai. Tempat belajarnya berpindah-pindah, awalnya di pematang sawah itu, tapi saat musim hujan, mereka selalu kehujanan dan tidak bisa belajar lalu jika sudah petang, tempat itu terlalu gelap dan tidak ada lampunya. Lalu berpindah ke gazebo kecil di dekat rumah Sena, sebenarnya cukup nyaman, bebas hujan dan ada penerangan, tapi tempatnya terlalu jauh dari tempat tinggal anak-anak itu. Akhirnya Sena mencari tempat lain, yaitu di mushola joglo kecil. Lokasinya sesuai, tidak terlalu jauh dari anak-anak itu, ada penerangan, tidak kehujanan dan boleh dipakai oleh warga desa.


Kelompok belajar itu terus berlangsung hingga sekarang, terhitung satu tahun sudah Sena menjalani rutinitas ini setiap sore dan malamnya.


Sejak awal, Ayahnya menolak keras niatan Sena itu. Untuk apa seorang bangsawan harus repot-repot mengajari anak miskin setiap hari seperti itu. Apalagi ini sangat tidak biasa. Pemerintah kolonial sangat ketat dalam pengawasan kegiatan sekolah. Sejak 1920 mereka sudah memiliki Undang-undang untuk mengawasi sekolah liar. Sekolah-sekolah yang bukan milik Belanda dan tidak menerima subsidi dari pemerintah akan ditindak. Begitu juga guru-guru yang mengajar, apalagi jika 'guru liar' yang 'mengajar liar' seperti Sena. Pemerintah kolonial hanya menyediakan sekolah untuk keturunan Eropa dan kaum priayi pribumi, orang-orang pribumi miskin dilarang sekolah. Atmojoyo sangat mengkhawatirkan putrinya. Dua aturan sudah yang dilanggar Sena. Belum lagi mempertimbangkan urusan politik dengan jabatannya. Tidak ada ceritanya anak pejabat pemerintah justru yang melanggar aturan pemerintah.


Bulan-bulan awal, Atmojoyo keras sekali melarangnya, tapi itu tidak bekerja dengan baik, Sena tetap melakukannya bahkan tanpa berpamitan. Akhirnya lama kelamaan, Ayahnya menyerah dan memilih mengawasi Sena dari jauh sekaligus melindunginya, baik anaknya juga jabatannya sendiri.


Lalu malam ini, Sena memberinya kejutan yang lebih spektakuler lagi.


Ruang keluarga itu senyap sempurna. Setelah Sena mengusulkan ingin mendirikan sekolah, Atmojoyo, Sartinah ataupun Dewa, terdiam. Fokus tatapan mereka, semua mengarah pada Sena. Tatapan yang berbeda, tapi jelas tersampaikan maksud itu, Sena paham mereka pasti menolak.


"Apa belum cukup kau membuat Ayahmu ini was-was sepanjang tahun, Sena?" Atmojoyo mulai membuka suara. Nadanya masih datar, tapi terasa betapa kuat dia menekan emosinya.


Dewa sama terkejutnya, tapi ini bukan tempatnya untuk ikut bersuara.


"Sena.." ucap Sartinah. Dia bermaksud menenangkan Sena, secara tidak langsung menyuruhnya menarik kembali ucapannya.


Setelah beberapa detik menatap serius ayahnya, Sena lalu menunduk sebentar, menarik napas panjang, dia tegakkan dadanya, lalu menatap ayahnya lagi dengan yakin.


"Ayah, izinkan Sena mendirikan sekolah untuk pribumi di desa ini. Anakmu ini ingin mengabdi pada bangsa ini," dia menjeda. "Sena tahu ayah tidak dalam posisi yang baik untuk mendukung keinginan Sena. Seperti Ayah yang berusaha melindungi jabatan bupati, Sena juga ingin melindungi masa depan generasi penerus bangsa ini. Anak-anak itulah yang kelak tempat kita menggantungkan harapan akan kemerdekaan bangsa. Mereka tidak boleh bodoh dan diperdaya, mereka tidak boleh lemah dan egois seperti kita. Mereka harus pintar, kenal bangsanya, cinta tanah airnya, karena itu mereka harus sekolah," ucap Sena hati-hati. Dia berusaaha mengambil hati ayahnya.


"Tidak semudah itu Sena!" potong Atmojoyo. Penuh tekanan pada setiap katanya. Dia letakkan sendoknya, bersiap menceramahi putrinya. "Apa kau tidak sadar betapa berbahayanya ucapanmu? Belum cukup ayah mentoleransi kegiatanmu mengajar anak-anak itu? Sekarang kau ingin membuat masalah yang lebih besar. Sena, kau tahu mereka sangat ketat mengawasi sekolah swasta, tak segan mereka menghancurkan dan memenjarakan pemiliknya seumur hidup. Kau mau mendekam di penjara seumur hidupmu?"


"Atau Ayah yang takut kehilangan jabatan Bupati jika mendukung Sena?!" potong Sena setengah membentak. "Bangsa kita sudah terlalu lama dijajah, Ayah. 3,5 abad bukan waktu yang singkat untuk mematikan mental dan daya juang kita, membuat kita lupa nilai-nilai luhur bangsa kita. Mereka mengeruk kekayaan bumi kita, memperbudak kita, mengungkung kita pada kebodohan dan kemiskinan. Hanya dengan pendidikan yang membebaskan rakyat dari kebodohanlah jalan keluar kita. Karena itulah, Belanda melarang kita sekolah! Supaya kita terus menerus bodoh dan lupa pada jati diri kita! Supaya kolonialisme mereka terus langgeng hingga sumber daya kita habis dan kita mati kelaparan! Masa depan seperti itukah yang sedang Ayah lindungi?" ucap Sena berapi-api.


"Sena!" bentak Atmojoyo keras. Naik pitam sudah dirinya.


"Seharusnya dengan jabatan itu, kita bisa melindungi rakyat pribumi! Bukan sebaliknya, Ayah!" bentak Sena tidak mau kalah.


Atmojoyo tak sanggup lagi menahan emosinya. Dia menggebrak meja, berdiri, lalu memelotot ke Sena.


"Ayah tidak pernah mengizinkanmu mendirikan sekolah!" ucap Atmojoyo, tegas. Lalu dia pergi meninggalkan meja makan itu.


Dewa menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Dia merasa salah jika tetap disini pada situasi ini.


Sena tidak melihat kepergian Atmojoyo. Dia fokus melihat ke depan, kursi kosong di sebelah Dewa duduk. Napasnya naik turun cepat.


"Ibu," panggil Dewa pelan. "Sepertinya Dewa harus pamit sekarang," lanjutnya. Dia beranjak dari kursinya, menyalami tangan Sartinah.


"Sen, Aku pulang dulu," pamit Dewa.


"Terima kasih sudah datang," jawab Sena datar. Dia berdiri, lalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Dewa yang bahkan belum keluar dari rumahnya.


Malam ini Sena menghadapi penentangan yang luar biasa dari ayahnya. Meskipun tidak banyak kata yang diucapkan ayahnya, tapi pesan penolakan itu tersampaikan sangat jelas. Tidak akan ada dukungan apapun dari ayahnya. Padahal selama setahun ini, dia bisa bertahan mengajar anak-anak itu karena dukungan ayahnya meski itu tak terlihat. Ironi memang, orang yang sangat ia sayangi dan menyayanginya, yang sangat ia harapkan dukungan darinya, justru menjadi orang pertama yang menentang keinginannya sangat keras.


Sena menutup pintu kamarnya. Dia bersandar di balik daun pintu. Membiarkan punggungnya merasakan dinginnya kayu itu malam ini, sampai tubuhnya melorot ke bawah. Sena terduduk di belakang daun pintu itu. Dia pejamkan matanya dan setetes cairan bening jatuh.   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro