4. Mimpi
"Mas Dewa tidak setuju dengan pemikiran Ki Hajar soal Belanda yang memeras kita?" sanggah Sena. Ketegasan dalam suaranya mengimbangi keseriusan Dewa.
Dewa menyandarkan punggungnya ke kursi, sementara Sena tetap duduk tegak sedikit condong padanya. Pelataran rumah sudah gelap, tinggal lampu teras itu satu-satunya penerangan mereka sekarang. Lalu suara jangkrik dan katak bersahut-sahut nyaring.
Dewa masih diam.
"Bahkan sampai sekarang pun, mereka masih tetap memeras kita. Mereka mengambil terlalu banyak dari kita, harta kekayaan bumi, tenaga, pikiran, waktu, kehormatan, harga diri yang diinjak, dan bahkan Harapan akan masa depan! Tulisan ini hanya sedikit sindiran dari semua kejahatan yang dilakukan Belanda, dari semua kebahagiaan yang mereka rampas dari kita!" bantah Sena berapi-api.
"Tapi berkat Belanda, kau bisa menikmati hidupmu sekarang," potong Dewa.
"Apa?" pekik Sena pelan. Tak pernah ia bayangkan kalimat itu terucap dari orang yang ia percaya dan sayangi selama ini. Sebuah pernyataan yang sangat berbeda dari apa yang ia inginkan.
Mereka saling diam sebentar. Menamatkan pandangan, menguji keyakinan dan juga perbedaan pemikiran yang tiba-tiba muncul.
"Apa maksudmu, Mas?" tegas Sena. Dia tersinggung.
"Bukankah selama ini kita hidup mewah? Menjadi putri seorang bupati yang dijunjung dan dihormati rakyat, disegani oleh pejabat Belanda, dan bebas bersekolah di HBS dan ELS. Semua itu karena sistem Belanda yang berpihak pada kaum bangsawan seperti kita. Seharusnya kau berterima kasih, Sena," jelas Dewa mencoba mengatakan dengan cara sehalus mungkin.
Sena tertegun. Semua rasa kemarahan, kecewa, dan tidak menyangka itu, semuanya bercampur aduk.
Memang benar, Sena adalah siswi HBS (hogere burger school). Dia bisa bersekolah di sana karena dia anak seorang bupati dan masih memiliki darah bangsawan. Sekolah elit itu tidak untuk pribumi rendahan yang miskin. Hanya keturunan eropa, dan sedikit kaum ningrat pribumi yang boleh bersekolah. Meski begitu, tidak semuanya mampu lolos seleksi masuk dan bertahan hingga lulus. Standart pendidikannya sangat tinggi.
"Apa kita juga hidup dari pajak rakyat?" tanya Sena, dengan getir. Pikirannya segera berlari ke ucapan pria Indo malam sebelumnya. 'Pencuri Pajak' itu sangat menghina harga dirinya. Dan pendapat Dewa petang ini, seolah menguatkan julukan itu. Sena bertanya karena marah, disaat yang sama dia takut jika jawaban Dewa tidak sesuai harapannya.
"Tentu saja," cetus Dewa ringan. "Semua pejabat pemerintahan digaji dari hasil pajak, Sen. Tapi jika hanya mengandalkan gaji itu saja, kita tidak bisa hidup seperti ini," jelasnya.
CEKLEK CEKLEK
Engkel pintu di buka dari dalam, segaris cahaya terang menyorot mereka berdua. Ibu Sena menghampiri mereka dengan senampan penuh makanan dan dua gelas teh hangat. Ketegangan mereka terpecah karena teh hangat dari Ibu.
"Eh, ada nak Dewa?" seru Ibu Sena, namanya Sartinah. "Kok ngga disuruh masuk to Sen? Di luar kan dingin terus banyak nyamuknya," ucapnya ramah. Sartinah menata buku-buku yang berantakan itu, menumpuknya, memindahnya ke kursi, lalu dia letakkan dua gelas teh dan sepiring kue di meja bundar itu.
Sartinah, ibu yang paling ramah dan penyayang di mata Sena. Wajahnya bulat oval, bibir kecilnya tampak begitu sejuk kala tersenyum. Rambutnya tersanggul rapi seperti kebanyakan bangsawan Jawa lainnya. Sartinah selalu memakai setelan kebaya di rumahnya, begitu juga sore ini, dia memakai kebaya warna krem dan jarik liris coklat tua.
Dewa beranjak, mencium tangan Sartinah sambil mengucap salam lalu kembali duduk. Sementara raut wajah Sena tetap pada ketegangan dan kekecewaannya pada jawaban Dewa. Dia tahu pembicaraan mereka tak mungkin dilanjutkan kalau Ibunya duduk disini, padahal ada segudang argumen dan pemikiran yang ingin Sena sampaikan untuk membantah keyakinan Dewa itu.
"Kalian sedang diskusi apa serius sekali?" tanya Sartinah, basa-basi. Dia merasakan ketegangan diantara Dewa dan Sena.
"Bukan apa-apa bu," jawab Sena singkat, tetap santun.
Sartinah justru melirik ke arah Dewa, "Jadi kapan rencananya?" tanyanya mendadak.
Kini Sena dan Dewa yang saling menatap bingung. Dewa menggeleng kepalanya pelan sementara Sena mengangkat bahunya.
"Rencana nak Dewa melamar Sena," cetus Sartinah menggoda mereka.
Spontan, Sena dan Dewa saling melirik lagi, kali ini rasanya sungguh tidak tepat. Sena dalam keadaan kecewa, begitu pun Dewa yang curiga pada niat Sena.
Mereka berdua memang sudah lama menjalin hubungan. Terhitung tidak kurang dari tiga tahun, Dewa menyatakan perasaannya pada Sena. Kedua orang tua pun saling mengenal baik sehingga restu ke jenjang berikutnya, sebenarnya sudah mereka miliki. Hanya saja, beberapa kali perbedaan pendapat selalu gagal diselesaikan dengan tepat. Sena semakin sadar bahwa Dewa memiliki pemikiran yang berbeda dengannya, namun, fakta itu berkali-kali ia singkirkan dari pikirannya. Mereka telah bersama bertahun-tahun, tentu saja rasa yang tumbuh semakin dalam dan dalam lagi. Dan dia berharap, Dewa masih bisa satu pemahaman dengannya.
Seorang babu datang, berbisik pada Sartinah lalu kembali masuk.
"Makan malamnya sudah siap, ayo kita masuk," ajak Sartinah, ramah.
-----------
Kali ini bukan meja bundar lagi, tapi persegi panjang. Meja kayu jati asli dengan pinggiran yang sudah dihaluskan tapi masih menjaga keaslian bentuknya. Lima kursi jati juga, dengan bantalan di dudukan dan sandarannya, melingkari meja makan itu. Hidangan tersaji lengkap, mulai nasi sampai buah, mulai air putih sampai teh hangat.
Rumah sena masih mempertahankan adat joglo jawa khas surabaya, dengan pilar utama rumah kayu ulin ukuran besar. Perabotan pun masih menggunakan kayu jati disana-sini. Ukiran-ukiran juga menghiasi sudut-sudut pintu dan jendela. Lantainya masih ubin, tapi sangat bersih dan mengkilap.
"Bapak senang kamu sering main kesini, nak Dewa," kata Atmojoyo sambil meneguk teh hangatnya. "Ayo dihabiskan, tanduk lagi yang banyak," imbuhnya ramah.
Atmojoyo tersenyum begitu dalam dan tulus hingga matanya ikut menyipit seperti terpejam. Kumis hitam tebalnya terawat sempurna diatas bibirnya yang tipis. Dia sosok Ayah yang tegas tapi sangat menyayangi putrinya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tingginya setelinga Dewa ketika mereka berdiri berdekatan. Badannya sedikit gemuk, tapi masih bisa dimaafkan. Sena selalu protes jika Ayahnya terlalu gemuk. Katanya, itu bisa memperpendek usianya.
Dewa mengangguk sambil tersenyum. Sementara Sena fokus pada makanannya, tanpa tersenyum sedikit pun.
"Kemarin malam nak Dewa pergi kemana dengan Sena?" tanya Sartinah tiba-tiba.
Sena tersedak, cepat-cepat dia minum. Sementara Dewa terlihat kaget dan bingung ditanya sesuatu yang ia tidak tahu. Dia menatap Sena minta petunjuk.
"Tadi malam, Sena pulang terlalu larut, bajunya basah semua dan kotor campur lumpur. Ibu kira pergi sama nak Dewa," imbuh Sartinah menjelaskan dengan lugu.
Atmojoyo sendiri juga kaget mendengar cerita isterinya.
"Sena pergi sendiri, Bu. Mas Dewa tidak tahu," jawab Sena santun.
"Kau pergi kemana, Sen?" kali ini Dewa memasang wajah perhatian dan khawatir.
"Menjemput murid Sena," jawab Sena hati-hati. Dia menunggu respon mereka, kemudian melanjutkan, "saat belajar membaca di mushola kemarin sore, tujuh anak tidak datang. Kata teman-temannya, mereka terpaksa bekerja di pabrik pasir, jadi tidak bisa melanjutkan belajar lagi," jelasnya.
Mereka menganga, terdiam, dan kehabisan kata-kata. Sena tenang saja, dia meneguk air putih di depannya.
"Kau ke pabrik pasir itu sendirian?" tanya Dewa. Suaranya cemas. Sena mengangguk.
"Sekarang aku tahu rasanya, dipanggil sebagai Inlander," cetus Sena. Dia tersenyum sedih. Getir rasanya membayangkan perdebatan yang dia lakukan dengan pemilik pabrik itu. Dan bagaimana krah bajunya ditarik sampai rasanya dicekik orang Belanda itu, berkejar-kejaran dengan mereka sampai berakhir mendapat penghinaan luar biasa. Sedih dia berempati pada murid-muridnya yang sangat mungkin mendapat perlakukan lebih memprihatinkan ketimbang dirinya malam itu. terlebih anak-anak itu masih kecil. Tak sadar, matanya berair mata.
"Apa yang terjadi, nak?" kata Sartinah lirih.
Sena menarik napas panjang. Dia tegakkan badannya, menghapus air mata yang hampir jatuh. Lalu dia tatap Ayahnya lekat-lekat.
"Ayah," panggil Sena. "Bukankah kita menerima begitu banyak pemberian dari rakyat dan pemerintah Belanda? Bukankah keluarga kita sangat kaya? Tidak ada rumah yang lebih besar dari rumah kita di desa ini. Bagaimana jika separuh harta ini, kita gunakan untuk membantu rakyat kita?" kata Sena hati-hati dan berani.
Mereka tercengang dengan permintaan Sena. Belum terjawab mengapa dia pulang basah kuyub dan kotor larut malam, lalu kini dia meminta sesuatu yang tidak biasanya. Atmojoyo jelas bingung. Kata-kata Sena cukup menyinggung dirinya, tapi dia adalah putri sematawayangnya.
"Ada apa Sena?" tanya Atmojoyo akhirnya.
"Mendirikan sekolah," cetus Sena.
-----------------
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro