Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Pencuri Pajak


            "Kau pikir siapa dirimu berani menerobos masuk ke pabrik ini?!"


Bentakan itu menggelegar. Sena sampai kaget dan merinding. Suaranya bulat, keras dan menyeramkan. Dia membayangkan sesosok pria kekar berkumis tebal sedang berdiri di hadapannya, menginterogasinya, lengkap dengan pistol yang siap tembak ke dahinya.


Kegelapan itu berakhir. Seorang Belanda menarik kain penutup kepalanya. Silau.


"Kau tidak bisa membebaskan anak-anak itu hanya dengan keberanianmu, inlander!" suaranya menggelegar lagi. Ada penekanan yang penuh kebencian pada kata 'inlander'. Kata hinaan yang biasa digunakan orang Belanda untuk menyebut pribumi miskin.


Akhirnya Sena mendapatkan penglihatannya kembali.


"Kupikir aku sedang menghadapi pria besar berotot kekar yang menyeramkan," cetus Sena pelan. "Ternyata hanya pria cebol berkulit coklat yang mengemis ras pada penjajah busuk itu!" lanjut Sena penuh penekanan pada setiap katanya. Senyumnya terangkat sebelah, matanya menyorot tajam, sama sekali tidak mampir rasa takut itu pada dirinya.


Sena tidak diikat, dia hanya didudukkan di bangku kayu menghadap bos pabrik itu. Mereka ada di ruangan sempit yang tidak lebiih besar dari 3x3m saja. Satu penerangan remang bergoyang kena angin tergantung tepat di pusat ruangan. Sementara pria pendek yang gemuk itu duduk di hadapan Sena, sangat-sangat tersinggung.


"Kau bukan orang Belanda. Kau Cuma setengah Belanda! Yang mengemis hormat pada kaum pribumi sepertiku," tambah Sena lagi.


Pria pendek yang gemuk itu, seorang Indo. Sena tidak mengenalnya secara pribadi, tapi dia pernah melihatnya di suatu pertemuan bisnis di kabupaten itu. Pria Indo itu memang sangat kaya. Dia punya lima pabrik di Surabaya. Semuanya menggunakan buruh dan kuli dari pribumi miskin yang tinggal di sekitar pabrik. Karena itulah, jarang ada pengangguran di Surabaya. Semuanya terserap menjadi buruh kuli, sisanya masih bertahan dengan bertani. Meskipun begitu, tingkat kemiskinan masih sangat mengkhawatirkan. Sebab pabrik-pabrik itu tidak memanusiakan buruhnya. Gaji yang diberikan sangat murah, tidak sebanding dengan kerja keras yang diberikan.


Sena tahu betul kebusukan mereka. Meskipun dia hanya pribumi, dan orang dihadapannya adalah seorang Indo, dia tidak peduli.


"Aku lebih baik darimu, Inlander! Dalam segala hal!" bantah pria Indo itu tidak mau kalah. "Kau hanya pribumi hina yang mengemis uang dan kehidupan dariku! Kalian pribumi miskin, sama sekali tidak mengerti soal strata sosial!" ucap pria itu membela diri.


"Tidak masalah," jawab Sena enteng. "Setidaknya kami tidak mengemis hormat," lanjutnya tegas.


Pria Indo pemilik pabrik itu sangat-sangat geram. Kepalan tangannya kuat sampai bergetar, giginya bergemeretak dan otot rahangnya menegang hingga terlihat segaris biru di pipi bawahnya.


"Kau—" gumamnya menahan amarah.


"Bebaskan murid-muridku," potong Sena cepat. Perempuan itu berucap dengan santai, tapi ketegasan dalam suaranya tak mampu dilawan pria Indo pemilik pabrik bertubuh pendek itu.


Pria Indo itu tidak mengerti dengan permintaan Sena. Matanya terlihat bingung. "Apa maksudmu? Murid-muridmu? Kenapa aku harus menahan mereka?" tanya pria itu.


"Jangan berlagak bodoh," ejek Sena santai. Lalu matanya kembali serius, "Tujuh anak berusia 9 tahun yang kau rebut dari orang tua mereka dan kau paksa menjadi kulimu. Bebaskan mereka!" ucap Sena.


Pria itu mulai paham maksud Sena. "Ah.. maksudmu anak-anak dari desa sebelah?"


"Ya," jawab Sena singkat.


"Aku tidak menahan mereka. Anak-anak itu sudah pulang, dan mereka datang dengan sukarela pagi tadi. Aku tidak berbohong," jawab pria itu. Sena melihat kejujuran dari matanya.


"Kau.. bercanda denganku?" tanya Sena, sangat pelan. Suaranya benar-benar lirih. Tubuhnya melemas, dan sorot tajam matanya meluruh bersama setumpuk kepercayaan diri dan semangat yang ia bawa beberapa menit lalu.


Ruangan itu, hening.

------------------------


BRAAAAAKKKK...


Sena sudah berdiri membelakangi gerbang, ketika penjaga Belanda menutup kasar pintu besi berkarat itu. Cahaya terang dari dalam pagar ikut menghilang bersama merapatnya pintu berkarat itu.


Gelap.


Sena masih tertegun disana. Kepalanya tertunduk lemas, semangatnya luruh, bercampur dengan kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Dua tangannya mengepal, mengigil seperti kedinginan.


Kata-kata pria pendek gemuk yang secara beruntung mengalir darah Indo dalam tubuhnya itu masih terngiang panas di telinganya.


"Jangan terlalu naif, inlander. Kau bersikap sok suci di hadapanku," hina pria Indo itu. Lalu dia berjalan mendekati Sena, menatapnya penuh kemenangan, "Kau pikir aku memaksa anak-anak itu datang? Menyerang orang tuanya lalu membawa anak-anak kecil itu ke pabrikku dan mengancam mereka supaya mau bekerja padaku? Tidak.. itu semua hanya bualan para inlander miskin sepertimu demi menjaga harga diri mereka. Kau mau tahu apa yang sejujurnya? Mereka datang sendiri padaku, memohon diberi pekerjaan supaya mereka bisa membayar hutang keluarganya dan makan hari ini!" jelas pria itu.


Lalu dia berjalan menjauh, kembali ke kursinya. "Lagi pula, percuma kau berjuang seperti ini. Keadaan tidak akan berubah selama penguasa tetap haus kekayaan," imbuhnya.


"Apa maksudmu?" pekik Sena pelan.


"Apa kau tahu kemana semua pajak yang aku bayar mahal selama ini?" pria itu melotot tajam pada Sena. "Semuanya masuk kantong bupati dan pejabat Belanda! Semua pajak itu digunakan membiayai kehidupan mewah mereka! Aku tau kau seorang bangsawan. Itu berarti kau juga bagian dari mereka! Para pencuri pajak!" tegasnya puas.


Ucapan pria itu terngiang sangat jelas di telinga Sena. Dia diizinkan pulang karena pria itu menyadari kelas sosial Sena dari caranya berpakaian. Yang berarti pria itu tahu Sena seorang bangsawan atau anak pejabat setempat.


"Pencuri pajak?" gumam Sena geram. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro