15. Gubuk Sekolah
Pagi itu, Sena masih juga belum berbicara dengan Ayahnya. Mereka sarapan bersama, tapi tetap saling mengunci. Baik Sena atau Atmojoyo, tidak ada yang memulai bicara. Hingga pada suapan terakhir Sena, dan hendak pergi setelah meneguk air putihnya,
"Sena," panggil Atmojoyo sambil menatap serius. Sena mematung seketika. Dia duduk lagi. "Kamu tidak ingin melanjutkan Perguruan Tinggi?" tanya ayahnya.
Sena membeku. Dia diam, meletakkan kembali gelasnya, dan melihat balik mata ayahnya. "Ayah khawatir Sena tidak kuliah?" tanya balik Sena.
"Tentu saja,"
"Atau khawatir akan menjatuhkan nama baik Ayah jika Sena tidak kuliah?" imbuhnya dengan nada rendah.
Mereka hanya berdua di meja itu, Sartinah masih di dapur mengambil beberapa hidangan penutup.
Atmojoyo dibuat berang pagi-pagi. Dia geram, tangannya mengepal kuat. Hampir saja dia menggebrak meja dan menjatuhkan gelas di sampingnya.
"Apa maksudmu, Sena?" tanya Atmojoyo sambil menahan marah.
"Ayah tenang saja, Sena pasti kuliah. Tapi tidak tahun ini," jawab Sena singkat. Matanya menatap tegas Atmojoyo. Hilang semua keraguan atas jawabannya baik pada dirinya sendiri juga pada ayahnya.
Sena meneguk air putihnya lagi, lalu pamit berangkat.
"Kemana, Sen?" seru Sartinah yang baru muncul dari dapur. Dia buru-buru berlari kecil setelah mendengar Sena hendak pergi.
"Mencari tempat untuk sekolahan Sena," jawab Sena melihat ayahnya. "Sena pamit, Assalammualaikum."
"Pulanglah sebelum maghrib, nak," seru Sartinah khawatir.
Dia ambil sepeda onthelnya yang terparkir di depan rumah, lalu mulai mengayuhnya pergi.
Hari ini, Sena menjadwalkan agendanya mencari tempat yang pas untuk sekolahannya. Dia juga harus mengunjungi Taman Siswa Wonokromo untuk berkonsultasi dengan Bu Siti lagi. Terakhir kali Sena berkunjung ke rumahnya malam itu, Bu Siti sempat mengatakan bahwa tidak semua orang bisa mengajar di Taman Siswa. Karena Majelis Luhur Pusat sudah menentukan beberapa kriteria standart untuk guru yang boleh mengajar di Taman Siswa. Semua guru harus melalui pelatihan lebih dulu, setelah berhasil lulus, barulah boleh mengajar. Sisi baiknya, berarti Taman Siswa memiliki standart pengendali mutu melalui kualitas guru pengajarnya yang sudah dilatih dari pusat. Namun berita buruknya, aturan itu berarti melarang Sena mengajar meskipun dia lulusan terbaik di HBS Soerabaja. Sena harus melalui pendidikan guru Taman Siswa dulu supaya bisa mengajar.
"Lalu bagaimana Bu Siti? Opsi apa yang Sena punya?" tanya Sena malam itu.
"Ada dua. Pertama, kamu mengajukan ke Majelis Luhur Pusat untuk mengirimkan guru ke cabangmu. Kedua, kamu bisa merekrut sendiri guru yang berkualitas dan mau menerima aturan-aturan Taman Siswa. Tapi untuk sekarang, kalau tidak salah semuanya harus guru lulusan pendidikan guru Taman Siswa. Karena Taman Siswa memiliki sistem pendidikan dan budaya sekolah yang berbeda dengan kebanyakan sekolah swasta, karena itu jarang ada guru luar yang mau menerima semua aturan itu," jelas Bu Siti.
Nasihat Bu Siti masih teringat jelas dalam pikirannya. Dua pilihan itu sama sulitnya untuk dia saat ini. Merekrut guru bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika harus guru bersertifikat agar tidak melanggar hukum pemerintah kolonial. Mana ada guru bagus yang mau mengajar di sekolahan perintisan awal yang belum memiliki nama. Apalagi untuk menggaji sesuai kemampuan mereka. Sena juga harus memikirkan itu.
Dia pernah mengajak teman-teman HBS-nya, yang ia tahu mereka adalah murid-murid pintar di sana dan berdarah bangsawan. Yang dia yakini anak-anak bangsawan itu punya kecintaan pada negerinya dan mau berjuang bersamanya dengan menjadi guru untuk pribumi, Sena pikir jika dia berhasil mengajak mereka, itu akan meringankan dari segi biaya penggajian, tapi dia salah, sangat salah. Kegagalan itu sempat membuatnya jatuh dan hampir putus asa sebelum mencoba langkah yang lebih jauh. Tapi sekarang, perempuan alumnus HBS itu tidak mau berlarut dalam kekecewaan itu. Dia harus terus bergerak, melangkah lebih jauh dan menemukan solusi-solusi lain untuk impiannya.
Bu Siti meyakinkannya, nanti pasti akan bertemu orang-orang baik secita-cita yang bersedia berjuang bersamanya dan menjadi energi untuknya. Sena percaya itu.
"Sen!" seru Tirta yang melambaikan tangan dari jauh. Dia memegangi sepedanya, berdiri di bawah pohon di sebrang jalan utama desa.
Sena menemukannya. Dia balas melambai dan bergegas menyebrang. "Sudah lama?" sapa Sena.
"Hemm," angguk Tirta sambil tersenyum ceria. "Kau lama sekali," ejeknya.
"Bukan aku yang terlambat, tapi kau datang terlalu awal, Tirta," bantah Sena tidak terima.
"Iyaa..iya..," jawab Tirta mengalah. "Aku memang berangkat terlalu pagi. Sudah kebiasaan," imbuhnya.
"Hari ini kau libur?"
"Hemm," angguk Tirta bersemangat. "Kenapa tidak naik Trem saja ke Wonokromo? Jauh dari sini..."
Sena menggeleng. "Tidak hanya Wonokromo, banyak tempat yang harus kita datangi Tirta, dan tempat-tempat itu tidak bisa dilewati Trem."
"Delman?" Tirta masih penasaran kenapa Sena memilih transportasi yang sulit.
"Aku terbiasa naik sepeda Tirta, kau pasti tidak percaya," jawab Sena menjeda. "Karena kau berpikir aku selalu memilih transportasi yang lebih mudah dan mahal karena aku bangsawan," tebaknya curiga.
Mereka mulai mengayuh sepedanya. Melintasi jalan desa yang semakin masuk ke dalam, lebih ke pelosok lagi. Jalan mulai menyempit dan permukaannya mulai makadam alias penuh batu-batuan kasar. Semakin mereka masuk, semakin banyak rumah-rumah pribumi miskin di kanan kiri mereka. Rumah-rumah itu membentuk kelompok-kelompok kecil, perkampungan semi permanen yang kumuh. Dengan dinding gedeg, tiang bambu, atap genteng dan lantai tanah. Tidak besar, rata-rata hanya 30m2 saja. Pintu dan jendelanya dari bambu yang dijajar rapi, ada juga yang papan lebar. Jemuran-jemuran baju mengisi sisa lahan di samping rumah, dan gubuk-gubuk lebih kecil lagi sebagai kamar mandi.
Di bagian belakang perkampungan kecil itu yang berbatasan dengan sawah dan kebun, dikelilingi hutan bambu yang tumbuh bergerombol. Tunas-tunas kecil tumbuh di sekitar induknya. Batangnya ditumbuhi duri dan berwarna hijau terang. Orang Jawa biasa menyebutnya pring ori. Pagar yang sempurna untuk melindungi pemukiman mereka dari kejahatan pencurian atau penyusup.
Di sisi yang lain masih terbentang sawah luas, yang berseling dengan kebun jagung. Dan terkadang mereka juga harus melalui jalan sempit serasa di tengah hutan. Kanan kirinya ditumbuhi bambu-bambu raksasa yang berumur puluhan tahun. Daun dan batangnya lebat sampai menghalangi sinar matahari. Daun-daun keringnya berserekan di tanah dan sesekali masih nyaring suara jangkrik dan ngengat. Apalagi saat masih pagi, jalan itu segelap maghrib. Tidak panjang, hanya dua ratus meter saja. Dan saat malam tiba, gelap total.
"Tempat seperti apa yang kita cari Sen?" tanya Tirta.
"Yang layak untuk sekolahan," jawab Sena. Dia juga masih berpikir. "Dua ruangan, dengan ventilasi yang bagus supaya tidak pengap dan terang. Dan dekat dengan rumah anak-anak."
"Kriteria mana yang lebih utama? Dekat dengan tempat tinggal anak-anak atau bangunan yang layak?" tegas Tirta.
"Keduanya."
"Aku pernah mengantar surat ke daerah Timur Soerabaja. Tidak jauh dari sini. Ada gedung tidak terpakai bekas kantor Belanda," usul Tirta. "Mau kesana?" tawarnya.
"Dijual? Atau disewakan?"
"Tidak ada plakat apapun," jawab Tirta.
"Kalau begitu jangan. Tidak aman. Pertama karena milik Belanda, kedua karena tidak ada kejelasan statusnya," jawab Sena yakin.
Mereka saling diam dan berpikir lagi. Sesekali menengok kanan dan kiri ketika sampai di perkampungan atau komplek kantor administrasi desa dan pasar. Barangkali ada bangunan yang disewakan atau dijual dengan harga murah dan kondisinya masih layak.
"Kenapa tidak menyewa langgar saja? Kegiatan sekolah bisa dilakukan diluar waktu sholat," tanya Tirta lagi.
Sena menggeleng. "Kalau aku ingin membuka sekolah dan menjadi cabang Taman Siswa, sekolah itu harus berlokasi di bangunan yang layak. Tidak harus bagus atau mewah, tapi layak dan nyaman untuk belajar. Apalagi dengan waktu yang lama. Tidak mungkin juga selamanya aku memakai langgar. Di sana juga kurang nyaman dan kadang sulit untuk memfokuskan anak-anak saat mengajar. Ruangannya terbuka, tanpa dinding, saat hujan masih kena air dan saat panas masih kepanasan. Aku butuh minimal satu ruangan dengan empat dinding yang melingkari dan pencahayaan yang cukup. Dan dekat," jelas Sena.
Tirta menghela napas panjang, lalu tersenyum, "Semangat! Kita bisa menemukannya!" ujarnya menyemangati.
Sudah 10 km mereka mengayuh sepeda berkeliling kampung dan dua desa. Mereka sengaja mencari tempat terdekat sekitaran tempat tinggal murid-murid Sena. Tapi belum juga ketemu. Kurang lebih ada tiga bangunan kosong sejauh yang mereka temukan.
Yang pertama terlalu besar, sepertinya bekas rumah priayi ningrat yang pindah. Rumahnya dijual. Sena sudah bertanya ke orang sekitarnya yang tahu, dan harganya terlalu mahal. Mustahil untuk Sena.
Yang kedua, lebih kecil. Tapi bangunannya sangat buruk, kayu-kayunya lapuk dan dindingnya berjaamur dimana-mana. Memang sudah dinding bata, dan lantai plesteran, tapi konstruksi atapnya menakutkan, lapuk dan rawan roboh. Sena mengeliminasinya saat itu juga tanpa mencari tahu berapa harganya.
Dan ketiga, sebenarnya cukup strategi lokasinya. Berdiri di tanah lapang yang lumayan luas, masih ada halaman luas di bagian depan dan samping. Bagian belakangnya ladang bawang, agak jauh lagi ladang jagung. Lokasinya agak masuk, tidak dipinggir jalan. Bangunannya seperti rumah, tapi hanya ada satu ruangan saja. Luasnya mungkin 5x6m, cukup luas untuk satu ruang kelas. Dindingnya masih semi permanen, separuh bata, separuh gedeg. Kontruksi atapnya masih cukup kokoh, dan beratap genteng, meskipun lantainya masih tanah.
"Aku setuju di tempat ketiga tadi," cetus Tirta.
Mereka berhenti di langgar setelah kembali dari berkeliling. Mereka istirahat dan sholat Dhuhur sekaligus menunggu Ashar di sana. Sena mengeluarkan bungkusan makanan dari tas selempangnya. Dia membuka daun pisang pembungkusnya lalu menawarkannya pada Tirta yang duduk di sampingnya. Itu jajanan manis kue basah, seperti kucur dan nagasari. Tidak mengenyangkan, tapi cukup mengganjal lapar.
"Kenapa?" tanya Sena. Dia masih menikmati kue kucurnya. Sementara Tirta mengambil nagasari.
"Lokasinya dekat, bangunannya masih kokoh dan ada tiga jendela yang besar. Seperti keinginanmu. Bangunan itu disewakan, jadi seharusnya harganya lebih murah dibanding harus beli. Lahannya juga luas, kita bisa mengadakan acara apapun di halamannya," jelas Tirta sambil membuka daun pisang pembungkus nagasarinya.
"Benar juga, tapi hanya ada satu ruangan, dan itu terlalu besar Tir."
"Kalau begitu disekat saja," cetus Tirta. "Bisa jadi dua ruangan. Satu ruang kelas, satu lagi ruang administrasi dan untuk guru beristirahat."
Sena manggut-manggut setuju. Usul Tirta bisa ia terima. Idealnya Taman Siswa juga menyediakan asrama menginap untuk guru dan muridnya tinggal bersama agar pembelajaran bisa berlangsung sepenuh hari. Tapi Sena pikir, untuk awal perintisan, model seperti itu bisa menyusul saja melihat perkembangan dan sekaligus mengumpulkan dana lebih banyak dulu.
"Apa tidak terlalu sepi?" pikir Sena. Dia menoleh ke Tirta, menatapnya serius penuh pikiran. "Lahannya memang luas, tapi ada kebun jagung di sekelilingnya. Tanamannya bisa setinggi orang dewasa saat mendekati masa berbuah dan panen. Apa tidak berbahaya? Tidak ada bangunan lain sampai 1 kilo jauhnya," ucap Sena.
"Kita bisa membangun pagar di sekeliling halaman nanti. Dan di daerah itu aku dengar cukup aman dari pencurian. Sistem pengamanan warganya cukup ketat, siskamling setiap malam dan belum pernah ada kasus pencurian, Sen," jawab Tirta mencoba meyakinkannya.
"Bagaimana kau tahu, Tir?" selidik Sena malah curiga.
Tirta tiba-tiba meringis, "Rumahku di daerah sana, mungkin tiga kilo dari bangunan tadi," jawabnya dengan tersenyum.
Sena menyimak,
"Di sekitar daerah itu, banyak anak pribumi miskin yang tidak bisa sekolah. Kita bisa mengajak mereka bersekolah di sana nanti," usul Tirta penuh semangat.
Sena mengangguk-angguk berpikir, lalu menatap ke depan, melihat sawah yang hampir menguning sambil memikirkan setiap pertimbangan yang Tirta sarankan.
Setelah sholat Ashar, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Matahari masih terik di sisi barat, hangat dan silau. Dan suara keroncongan perut mereka berbunyi bersamaan.
"Kau lapar Tir?" seru Sena sambil tertawa.
Laki-laki itu menggeleng cepat, "Itu suara perutmu, Sen!" bantahnya.
"Hahaha.. ayo cari makanan, kita makan dulu," ajak Sena.
----------------------
Mereka berhenti di warung nasi sederhana di ujung jalan agak jauh dari langgar. Tempat itu dekat pasar tradisional desa, jadi jalanannya ramai dan banyak warung makanan di kanan kiri jalan. Warungnya sederhana sekali, tendanya hanya empat tiang dan kain perca yang disatukan. Hanya ada satu meja panjang dan empat kursi. Penjualnya membawa gerobak untuk dagangannya.
"Akan kupikirkan dulu, Tir. Di tempat itu atau harus mencari lagi. Kemungkinan besok aku ingin berkeliling lagi mencari pilihan lain," ucap Sena mengawali pembicaraan. Lalu menyuap sesendok kuah Soto di depannya.
"Tapi besok aku tidak libur," kata Tirta.
Sena menggeleng, "Tidak soal. Aku bisa melakukannya sendiri," jawab Sena. Lalu dia memejam sebentar, menyecap kuah Sotonya yang sepertinya lezat. Beberapa detik kemudian dia mengacungkan jempol sambil mengangguk-angguk mantap. Tirta tertawa.
"Bagaimana soal dananya? Kau bilang orang tuamu tidak mendukung rencanamu ini, dan teman-temanmu juga menolak membantu," tanya Tirta. Dia juga menikmati nasi Sotonya.
Sena belum menjawab. Antara ingin fokus menikmati makan siangnya atau tidak ingin menjawab pertanyaan Tirta.
Cukup lama Tirta menunggu tanpa jawaban sampai mangkuk Soto Sena habis.
"Sen?"
Tiba-tiba raut wajahnya sedikit sedih, dia berusaha tersenyum. "Akan kucari nanti. Kau meremehkanku?" jawab Sena. Dia menyemangati dirinya sendiri.
Tirta menggeleng, "Aku percaya kau bisa," jawabnya lantang.
Sementara itu, sekitar 100 meter dari warung itu, sebuah Delman berhenti di sana. Satu penumpang laki-laki duduk di kursi penumpang dengan memegang satu buku tipis. Dia berpakaian priayi, beskap putih gading dengan celana kain hitam. Rambutnya hitam klimis disisir ke belakang, klimis tanpa kumis atau jenggot. Laki-laki terhormat itu mengamati Sena yang sedang berbincang asik dengan Tirta di dalam tenda Soto. Matanya menatap marah, meski dua alisnya tidak mengkerut ke tengah.
Dia Dewa, yang mengikuti mereka sejak di langgar siang tadi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro