14. Among
Semenjak hari kelulusan di HBS itu, Sena sering mengajak Tirta bertemu. Mereka membicarakan banyak hal terkait rencana Sena mendirikan sekolahan itu. Sena sudah menyiapkan banyak konsep-konsep untuk sekolahannya, tapi terkadang konsep itu terlalu ideal dan sulit diterapkan dengan kondisi yang ada. Disanalah peran Tirta, dia yang memberi banyak wawasan pada Sena terkait kondisi birokrasi dan keadaan rakyat pribumi sejauh yang ia tahu, dan yang Tirta tahu ternyata banyak. Itu karena dia seorang pribumi miskin yang bekerja sebagai buruh serabutan di kantor administrasi Belanda dan dekat dengan mereka.
Tirta sering mampir ke langgar tempat Sena mengajar. Laki-laki itu datang saat adzan maghrib, lalu mereka berdiskusi lama disana sampai isya. Lebih dari lima kali mereka membicarakan rencana ini bersama. Mulai dari menentukan pelajaran apa yang seharusnya diberikan nanti, membuat rencana kurikulum, membuat materi pelajaran, siapa saja yang bisa menjadi guru, siapa saja yang boleh jadi murid, bagaimana mengajak mereka, lalu dimana sekolah itu dilaksanakan. Tirta sering menjadi pendengar, karena sebagian besar tentang konsep sistem pembelajaran yang Sena bahas, dia tidak menguasainya.
"Tirta aku pusing!" keluh Sena sambil berteriak. Dua tangannya menelungkup ke wajahnya. Kertas coretan konsep berserakan di hadapan Sena. "Kita dalam masalah besar..." imbuhnya.
"Masalah apa?" tanya Tirta bingung.
"Ini tidak sesederhana yang aku pikirkan.." celetuk Sena sambil menghela napas.
"Coba lihat dan selesaikan satu per satu, Sen," saran Tirta. Dia merapikan kertas-kertas itu, menumpuknya sambil membacanya sekilas satu per satu.
"Sen, Bagaimana kalau kau mencari tahu soal sistem pembelajaran di Taman Siswa di Soerabaja atau Wonokromo dulu? Minimal kita bisa dapat gambaran tentang pelajaran mereka dan bagaimana sistem sekolahnya. Aku pikir rencana kurikulummu ini sangat mirip dengan sekolahan Belanda, sedangkan.. sekolah yang ingin kita buat ini seharusnya mengajarkan kecintaan pada tanah air dan bangsa. Itu berarti harus ada perbedaan pada pelajaran-pelajaran apa saja yang harusnya diberikan, begitu juga dengan isinya. Bukankah begitu?"usul Tirta. Matanya membaca tulisan rencana Sena yang dia rapikan tadi.
"Kau bisa membaca, Tir?" cetus Sena kaget. Selama ini dia mengira Tirta buta huruf karena tidak sekolah. Dan entah bagaimana Sena tiba-tiba menyadari Tirta adalah pribumi miskin yang cerdas.
Tirta mengangguk ringan saja. "Kalau aku tidak bisa membaca, bagaimana aku bisa mengantar surat sesuai alamatnya, Sena?" tukas Tirta.
"Benar juga," pikir Sena. "Dimana kau belajar membaca?" tanyanya penuh selidik. Tiba-tiba topik jadi teralihkan.
"Taman Siswa," jawab Tirta ringan. Lagi-lagi dia tersenyum. Tapi kali ini senyuman itu jadi menyebalkan untuk Sena.
"Kau pernah sekolah disana? Kenapa tidak pernah cerita?" protes Sena kaget.
"Kau tidak pernah bertanya padaku," jawab Tirta ringan saja.
Sena jadi emosi, dia mengerutkan dua alisnya sambil menggeretakkan giginya hingga otot rahangnya muncul. Tirta malah tertawa.
"Aku jadi murid angkatan pertama saat Taman Siswa Wonokromo di buka. Tidak lama, aku hanya bisa sekolah satu tahun saja karena tidak mampu bayar," terang Tirta. "Saat itu aku hanya bertujuh. Tujuh murid pertama," imbuhnya mengenang.
"Wonokromo?" cetus Sena. Dia berpikir sebentar. Dia condongkan tubuhnya antusias.
Tirta mengangguk cepat bersemangat. "Waktu itu hanya kami bertujuh yang mau mendaftar di sana. Aku memohon sendiri supaya di sekolahkan. Dan dulu aku sempat tinggal bersama guru-guru disana," jelas Tirta mengenang.
"Maksudnya tinggal?"
"Taman Siswa memberikan lingkungan belajar yang berbeda. Mirip seperti pesantren agama namun ilmu yang diberikan luas, termasuk pelajaran sekolah seperti sekolahan Belanda. Karena seperti pesantren, maka ada asrama untuk guru-guru dan murid. Kami pernah tinggal bersama, dan diajari banyak hal, termasuk unggah ungguh dan kultur Jawa yang sangat melekat. Belakangan aku baru tahu, kalau itu semua memang pembeda Taman Siswa. Dia dilahirkan untuk mengingatkan generasi muda pada budaya bangsanya sendiri, yang pelan-pelan tergerus oleh kenikmatan hidup ala Eropa. Sayangnya aku hanya bertahan satu tahun. Kalau aku bersekolah lebih lama, pasti sekarang aku sudah lebih pintar darimu, Sen," ejek Tirta bercanda.
Sekarang Sena paham kenapa Tirta berkomentar seperti tadi. Sena sekolah di ELS dan HBS bertahun-tahun. Sejak kecil dia disuguhkan gaya pendidikan barat, sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana pendidikan pribumi seperti yang Tirta ceritakan. Itulah yang membuat sebagian konsepnya sangat kental gaya pendidikan baratnya. Cerita Tirta membuat Sena sadar bahwa di luar sekolahnya, masih banyak ilmu yang harus ia pelajari lagi. Dan ilmu itu bisa ia pelajari dari siapa saja, termasuk laki-laki pribumi misterius yang duduk di sampingnya ini. Laki-laki pribumi miskin yang memancarkan sesuatu yang berharga, bukan bernilai uang atau emas, tapi sesuatu yang lebih bernilai dari itu. Sena tak bisa mendefinisikan itu, yang jelas, dia selalu merasa tergugah dan tercerahkan setiap kali bertukar pikiran dengan Tirta.
Sena terpana beberapa detik selama Tirta berbicara tadi.
"Impossible," bantah Sena sambil tertawa. (Tidak mungkin)
Tirta mengerutkan dahinya sambil memanyunkan bibirnya. Dia asing dengan bahasa itu.
Sena tertawa. Dia paham maksud ekspresi Tirta. "Onmogelijk," serunya. Dia berbicara bahasa Belanda sekarang. (Tidak mungkin)
Tirta manggut-manggut saja sambil pura-pura membaca lagi tulisan-tulisan Sena yang dia pegang. Sena merasa menang karena Tirta tidak menguasai bahasa selain Melayu dan Jawa, sementara dia bisa berbahasa Belanda dan Inggris karena diajarkan di HBS.
"Itu mungkin saja selama aku mau belajar dan mengejar ketertinggalanku," jawab Tirta pelan. Tidak melihat Sena, dia mengatakan itu sambil membaca kertas-kertas konsepnya.
Tawa Sena terhenti. "Speek je Nederlands?" tanya Sena penuh selidik. (Kau bisa bahasa Belanda?)
"Hemm," Tirta mengangguk sekali. Mereka sama-sama diam. Sena terkejut, sekaligus takjub sekaligus curiga.
"Ik verwacht niet..." gumam Sena dengan mulut menganga. (Aku tidak menyangka) "Who are you Tirta?" (Siapa kamu Tirta?)
Tirta diam saja, dia hanya tersenyum sambil melanjutkan bacaannya. Dia juga menulis beberapa catatan di selembar kertas kosong untuk merangkum apa yang dia pahami dari konsep Sena.
-------------------------
Hari ini Sena meliburkan kelompok belajarnya, dia membuat janji dengan saudara Dini yang mengajar di Taman Siswa Wonokromo. Butuh waktu seminggu menunggu saudara Dini itu mengiyakan dan menemukan waktu yang kosong. Itu karena saudara Dini itu baru pulang dari sekolahan saat malam hari, atau bahkan lebih sering menginap di asramanya, kecuali hari ini.
Rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal Sena. Dia pergi bersama Dini naik Trem. Mereka turun di halte terakhir Soerabaja paling selatan, daerah Wonokromo. Rumah saudara Dini itu dekat dengan Taman Siswa Wonokromo. Turun dari Trem, Sena naik delman menuju perkampungan sampai tiba di rumah saudara Dini.
Namanya Siti, biasa dipanggil Bu Siti di sekolah. Nama lengkapnya Siti Ayuningsih. Usianya masih 30-an. Wajahnya oval dengan senyumnya yang lebar. Sanggul kecil dibelakang dengan kebaya merah jambu dari kain brokat katun. Sena bisa melihat dia orang yang penyayang dan mencintai pekerjaannya sebagai guru.
Dia masih kerabat dekat Dini, tapi rumahnya sungguh sederhana jika dibanding tempat tinggal keluarga Dini. Rumahnya sudah berdinding bata, dengan model joglo jawa, tapi lantainya masih plesteran. Tidak terlalu luas dan tidak ada banyak kamar, setidaknya begitu yang bisa Sena perhatikan. Mereka ada di ruang tamu sekarang. Meja dan kursi anyaman rotan yang kuno dan nyaman. Dengan segelas teh hangat yang disuguhkan Bu Siti, Sena dan Dini memulai tujuan mereka.
"Jadi, ada apa nak Sena dan Dini ke rumah Ibu?" tanya Bu Siti ramah. Dia menyilahkan dua anak HBS itu meminum teh mereka.
Dini melirik Sena, memberi kode untuk mengatakan maksudnya sekarang. Sena juga balik menatap Dini. Kontak mata itu membuat Bu Siti tersenyum.
"Ada apa kalian ini?" serunya dengan sedikit tawa.
Sena menarik napas panjang, berdehem kecil, menegakkan punggungnya, membetulkan posisi duduknya, lalu berhati-hati mengatakan, "Begini Bu Siti, Sena silaturahmi untuk berkonsultasi pada Ibu," ucap Sena mengawali dengan yakin.
Bu Siti menyimak, Dini ikut tegang. Meskipun dia berada di posisi netral, mendukung tidak menolak juga tidak.
"Sena ingin mendirikan sekolah untuk rakyat pribumi, Bu," kata Sena. Matanya menatap Bu Siti dengan yakin dan berani, padahal jantungnya saat ini sedang berdegup kencang sekali. Seolah dia sedang menjalani tes interview maha penting.
Ruang tamu itu menjadi sunyi. Ketiganya tidak berucap apapun, tinggal suara jangkrik yang merdu di luar rumah. Agak lama, Bu Siti memperhatikan ketulusan Sena. Lalu tersenyum..
"Apa yang bisa Ibu bantu Sena?" tanyanya kemudian dengan tersenyum hangat. Ucapan Bu Siti sekaligus mengakhiri kebekuan suasana yang baru saja terjadi. Sena menghela napas lega, dia tersenyum lebar dan matanya berbinar bahagia.
Sena banyak bertanya pada guru Taman Siswa itu tentang sekolah tempat dia mengajar. Ini kesempatan langkah bisa bertemu Bu Siti Ayuningsih di rumahnya. Dini sempat bercerita kalau Bu Siti lebih sering menginap di sekolah, lebih tepatnya di asrama guru. Di tempat itu, juga ada murid-murid yang menginap bersama guru-guru mereka. Sama seperti cerita Tirta, agaknya Taman Siswa ini mirip dengan pesantren, guru dan muridnya tinggal di atap yang sama. Bu Siti menjelaskan bahwa sistem itu memang dirancang untuk membangun lingkungan pendidikan yang kondusif untuk siswa-siswanya. Namanya sistem Among atau ngemong. Guru Taman Siswa harus benar-benar mengabdikan hidupnya untuk mendidik siswa-siswanya. Tidak hanya pelajaran sekolahan saja, tapi juga mendidik moral dan karakternya.
Sena juga bertanya tentang cara mendirikan sekolah, bagaimana mendirikan sekolahnya sebagai cabang Taman Siswa di Soerabaja, bagaimana cara pembelajaran di Taman Siswa, dan segala hal seputar Taman Siswa yang sangat ingin Sena tahu.
Mereka saling bertukar cerita, bertukar pikiran, menyampaikan pandangan masing-masing dan memprediksi kesulitan-kesulitan apa yang mungkin Sena hadapi ke depan. Bu Siti juga bercerita kalau pada awalnya dia juga tidak direstui oleh orang tuanya.
"Kenapa Bu?" tanya Sena antusias.
"Karena gajinya sedikit, tidak prestis, dan mereka menganggapnya berbahaya sebab itu sekolah swasta yang justru mengajarkan sesuatu yang kontradiksi dengan sekolah Belanda," jawab Bu Siti mengenang orang tuanya.
Sena dan Dini menyimak antusias.
"Tapi bagi Ibu, mengajar anak-anak pribumi adalah kebahagiaan dan panggilan jiwa," Bu Siti menjeda, dia memandang dua murid HBS itu satu per satu. "Lakukan apa yang kalian anggap benar. Apalagi jika itu untuk bangsa kita. Perjuangkan. Meskipun semua orang terdekat kita menentangnya dan meninggalkan kita. Jangan khawatir, di perjalanan nanti kita justru akan dipertemukan dengan orang-orang dekat yang baru, yang sepemikiran dengan kita, yang semimpi dengan kita dan mau berjuang bersama-sama. InsyaAllah," kata Bu Siti.
Tak sadar, mata Sena sudah berkaca-kaca mendengar kisah yang sangat mirip dengan yang dia alami. Dini menoleh sedih melihat sahabatnya itu, sedikit banyak dia juga paham dan bisa memprediksi apa yang dialami Sena karena keputusannya ini. Sena cepat-cepat menghapus air matanya dan menarik napas panjang.
"Semangatlah Sena, Ibu tahu kau bisa melalui ini dan memperjuangkan sampai akhir!" seru Bu Siti memberi Sena dukungan.
Sena tersenyum.
--------------------
"Sen," panggil Dini.
Mereka dalam perjalanan menuju halte Trem. Di atas delman yang sama yang mereka naiki tadi, Sena masih diam, melihat ke depan dengan tatapan kosong.
"Kau serius mengambil jalan yang terjal untuk masa depanmu?" tanya Dini serius. Suaranya lembut dan nadanya halus.
Sena hanya menoleh pada Dini lalu mengangguk mantap. "Jalan yang terjal sekaligus menantang. Aku penasaran ada kejutan apa lagi yang akan menyambutku setelah ini," jawab Sena.
Dini menatapnya dengan sedih yang bertambah cemas dengan keputusan sahabatnya itu.
Mereka sampai di halte Trem. Dan sampai terlalu larut. Halte itu gelap, temaram lampunya tak kuasa menerangi bangunan halte 2x2m itu. Sementara jalan raya juga sudah sepi dan gelap. Tak semua lampu jalan menyala, beberapa banyak yang mati. Dini sedikit merinding, bulu kuduknya berdiri semua. Sena merogoh tas selempangnya, mengambil senter kecil yang selalu ia bawa dan mencari papan jadwal lintasan Trem.
"Tiga puluh menit lagi Trem terakhir," kata Sena.
Mereka lalu duduk di batur panjang di sebelah luar halte yang lebih terang.
"Kau sudah mendapat guru untuk sekolahmu?" tanya Dini dengan canggung mengawali. Dia juga merasa bersalah karena menolak permintaan Sena soal guru itu.
"Belum," jawab Sena menggeleng. "Tapi akan segera kudapatkan," imbuhnya dengan semangat.
Dini masih menatapnya iba. Seolah dia menemukan kecemasan dari mata Sena.
"Kenapa?" tanya Sena. "Hei, jangan menatapku begitu, kau membuatku terlihat menyedihkan," serunya sambil terkekeh kecil.
Dini mengalihkan pandangannya ke jalan raya yang kosong itu. Lalu dia melihat sorot lampu kendaraan dari jauh yang semakin mendekat. Dia bentangkan telapak tangannya menghalau sinar yang silau itu sambil menyipitkan matanya. Suara bising yang kelewat keras segera memenuhi udara malam itu. Kendaraan itu pelan-pelan merapat ke bahu jalan dan berhenti di depan mereka. Lampunya mati, disusul bunyi bising yang menghilang.
Sena tahu siapa yang datang, itu Dewa.
"Sen, ada mas Dewa," bisik Dini sambil menepuk pundak Sena.
Dewa turun dari Demmonya. Menghampiri mereka berdua. Dini langsung berdiri menyambutnya sedang Sena tetap duduk, hanya mendongak ke atas saja.
"Assalammualaikum," salam Dewa.
"Waalaikumsalam," jawab Dini dan Sena pelan.
"Ibu kasih tahu kalau kamu pergi ke Wonokromo," ucap Dewa pada Sena. "Kalian masih menunggu Trem?" tanya Dewa lagi.
Dini mengangguk sementara Sena masih memaku menatap Dewa dengan pandangan yang sulit ditafsirkan. Sena memandangnya lekat, masuk jauh ke dalam tatapan Dewa. Ada rasa senang yang menyusup masuk karena Dewa menjemputnya, ada rasa sakit yang tiba-tiba mencabik hatinya jika mengingat perdebatan terakhir mereka, dan juga ada harapan jauh di lubuk hati Sena, Dewa bisa berubah pikiran dan mendukungnya, meski itu harapan yang terlalu kecil.
"Ayo, aku antar kalian pulang. Berbahaya naik Trem selarut ini," kata Dewa sambil memutus kontak mata mereka. Dia berbalik badan, menyilahkan Dini masuk ke Demmonya.
"Kenapa Mas Dewa datang?" tanya Sena. Dewa tercegat dalam langkahnya, lalu balik badan lagi. Sementara Dini sudah naik ke Demmonya.
"Aku khawatir," jawabnya singkat.
"Kalau ini soal keputusanku, aku tidak bisa berubah pikiran Mas. Kita berjalan sendiri-sendiri sekarang, jalan kita berbeda begitu juga mimpi kita," potong Sena, tegas.
Belum sempat Dewa memberi jawaban, Trem terakhir datang. Lampu depannya menyorot lebih menyilaukan lagi. Bunyi klaksonnya sangat nyaring. Trem itu berhenti agak ke depan, beberapa meter di depan Demmo Dewa.
"Sena pulang sendiri malam ini," ucap Sena.
----------------
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro