12. HBS
"Sena!" seorang perempuan berambut hitam kecoklatan klimis melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Dia berkebaya biru muda dengan jarik coklat tua. Dia perempuan yang tinggi dan berisi, berwajah putih dengan senyum tipisnya.
"Allie!" seru Sena melambaikan tangannya juga. Allie, sahabatnya selama di HBS lima tahun terakhir ini.
Allie berlari ke arahnya, dia berdiri di ujung koridor sekolah. Teras di luar kelas selebar tiga meter itu sedikit riuh dengan banyak siswanya yang berkerumun dalam kelompok-kelompok kecil. Kerumunan anak-anak Eropa biasanya tidak mau bergabung dengan anak-anak pribumi. Mereka merasa memiliki kelas sosial yang lebih baik dari anak-anak pribumi itu. meskipun pribumi yang bersekolah di HBS adalah bangsawan dari kelas sosial yang tinggi, tetap saja kadang kala anak-anak Eropa masih mengejek mereka Inlander.
Allie keturunan Indo, ayahnya seorang Belanda sementara Ibunya masih berdarah bangsawan. Dia lebih mencintai tanah airnya ketimbang membanggakan dirinya yang berdarah Indo. Anak-anak seperti Allie jarang Sena jumpai di HBS. Kebalikannya, dia justru lebih mudah menemukan keturunan Indo yang seperti pria pendek pemilik pabrik pasir yang mengejar harga diri dan kegengsiannya sebagai kelas sosial tersendiri yang lebih tinggi dari pribumi. Tidak mau disebut pribumi tapi sebenarnya juga direndahkan orang Eropa sendiri.
"Sen, sudah lihat pengumuman?" tanya Allie penuh semangat.
"Sudah," jawab Sena semangat juga. "Lulus!" imbuhnya agak histeris bahagia.
"Aaaa! Sama!" jawab Allie. Spontan memeluk Sena sangat erat. Tubuh tingginya itu menenggalamkan Sena dalam pelukannya.
Mereka teramat bahagia akhirnya bisa menyelesaikan studinya di HBS ini tepat waktu. Pasalnya studi di HBS sesuai dengan ketenarannya. Sangat sulit dan tidak semua orang mampu bertahan. HBS memakai standar pendidikan yang disetarakan dengan di Belanda, karena itu setiap lulusannya bisa melanjutkan kuliahnya ke Belanda atau perguruan tinggi di Indonesia. Meskipun dari golongan bangsawan maupun keturunan Eropa, kalau tidak pintar tidak bisa masuk HBS apalagi bertahan selama 5 tahun untuk menyelesaikan studinya.
Allie melepaskan dekapannya setelah Sena hampir kehabisan napas. Mereka tertawa bersama, histeris beberapa detik, dan menangis bahagia.
"Senaaa!" lagi-lagi ada yang menyeru namanya dari jauh. Sena dan Allie mencarinya, dan ketemu! Suara itu dari arah lapangan upacara, seorang perempuan berkebaya hitam melambai-lambaikan tangannya di bawah tiang bendera.
Sena mengernyitkan dahinya, menyipitkan matanya, menebak siapa perempuan yang memanggil dirinya itu.
"Itu Dini, Sen!" cetus Allie.
Diningtyas, namanya. Juga kalangan bangsawan, itu sudah pasti karena dia bisa bersekolah di tempat elite ini. Wajah bulatnya dengan kulit sawo matang itu selalu menghibur Sena setiap kali dia suntuk. Dini seorang yang penyabar, budaya jawa melekat sekali pada kepribadiannya yang lembut, dia yang tak pernah marah itu selalu jadi sasaran emosi Sena tiap kali dia dirundung masalah.
"Sepertinya aku harus memakai kacamata, Al," canda Sena.
Mereka berdua berlari menghampiri Dini di tengah lapangan upacara. Dini juga lulus tahun ini, meskipun nilainya pas-pasan, dia sama sekali tidak peduli asalkan lulus. Sebab kalau dia tidak lulus tepat waktu, bisa-bisa dia usir dari rumahnya karena membuat keluarga malu. Sena mencubit pipi Dini dengan kedua tangannya, dengan sangat-sangat gemas. Dini meronta kesakitan dan membalas menggelitik Sena. Mereka bertengkar lalu tertawa bahagia lagi.
Dini mengajak Sena dan Allie ke kantin di belakang sekolah, katanya semua teman-teman mereka sedang berkumpul disana. Di sekolah elite yang masih kental deskriminasi ras ini, membuat mereka membentuk kelompok secara alamiah. Kelompok dengan kesamaan ras dan nasib tentunya. Sena juga tergabung dalam anggotanya, kelompok yang berisi anak-anak pribumi bangsawan, laki-laki maupun perempuan. Tidak banyak anggotanya, hanya sepuluh orang. Itu pun sangat jarang terkumpul full team.
Mereka melingkar di salah satu meja di kantin sekolah. Masing-masing sudah menghabiskan makanannya, sepertinya sudah lama mereka disana. Ketika Sena dan Allie datang, semuanya menyambut dengan hangat dan meriah. Lalu saling menanyakan hasil ujian mereka dan saling memberikan ucapan selamat. Sena diberi tempat duduk tepat di tengah-tengah mereka. Dia memesan teh hangat saja lalu menyimak obrolan mereka. Bisa ditebak, mereka saling bertanya apa rencana karir ke depan setelah lulus dari HBS ini. Jawabannya beragam tapi tidak jauh-jauh dari tiga hal: menikah, melanjutkan kuliah, atau bekerja di instansi pemerintah. Ya, sepuluh yang hadir disana, rencana mereka berputar pada ketiga opsi itu.
Orang jawa dulu tidak menikah di usia tua, anak-anak perempuan selalu menikah di usia muda. Baik itu perempuan berdarah biru maupun pribumi biasa, menikah dibawah usia 15 tahun adalah kewajaran. Bahkan tidak aneh jika ada yang dinikahkan orang tuanya di usia 13 tahun. Ini karena beberapa kondisi pada kultur jawa di masa 1930-an masa itu, bahwa semakin tua perempuan tidak menikah, dia akan dianggap tidak laku. Sedangkan para orang tua pribumi yang menikahkan anak gadisnya di usia muda kebanyakan karena faktor ekonomi, mereka tidak mampu lagi membiayai kehidupan anak-anak mereka.
Usia ideal lulus dari HBS paling cepat adalah 19 tahun, jika sebelumnya sekolah di ELS, sekolah tingkat dasar milik pemerintah kolonial. Usia 19 tahun pada masa itu, sudah termasuk tua untuk menikah. Namun, dikalangan masyarakat pribumi terpelajar, mereka mulai sadar bahwa menikah terlalu kecil juga tidak baik untuk anak-anak mereka. Hal ini karena orang-orang terpelajar dari kalangan bangsawan itu sering berinteraksi dengan Belanda termasuk dengan pola pikir dan kultur mereka, sehingga transfer nila-nilai dan kebudayaan itu cukup mempengaruhi sedikit demi sedikit.
Jika tidak memilih langsung menikah, mereka akan melanjutkan studi perguruan tinggi dulu setahun atau dua tahun dulu baru pasti akan menikah sebelum mereka lulus. Begitu juga yang memilih untuk mencari pekerjaan dulu, biasanya yang laki-laki. Mereka harus bekerja dulu, punya penghasilan, membangun rumah baru kemudian melamar calon istrinya ke rumah orang tuanya. Karena mereka bangsawan, tidak mungkin meminta anak orang jika belum punya penghasilan tetap yang menjanjikan.
Sena menyimak saja semua rencana teman-temannya itu. mereka membahasnya dengan sangat antusias dan penuh semangat. Hingga tiba gilirannya untuk bercerita,
"Bagaimana denganmu, Sena?" tanya Dini yang duduk tepat di sebelah kanannya. Suaranya lembut, pelan dan tenang.
"Jadi, kapan kau mau menikah dengan Mas Dewa, Sen?" sahut Allie yang duduk di hadapannya.
Semuanya tiba-tiba fokus memandang Sena dan menghentikan tawa mereka. Siapa yang tidak kenal Dewa? Mereka semua kenal. Kakak kelas mereka sudah lulus setahun lebih dulu. Anak pertama pemilik pabrik gula paling besar di Soerabaja itu cukup terkenal di kalangan bangsawan HBS. Perawakannya yang tinggi dan tampan, ditambah dari keluarga yang sangat berada itu telah lama menjadi idola banyak perempuan bangsawan HBS. Bahkan beberapa perempuan Eropa juga melirik Dewa.
Sena menggeleng pelan dengan senyumnya yang tipis. Mereka heran dan mulai curiga.
"Kenapa Sen?" tanya Allie spontan.
"Aku ingin mendirikan sekolah untuk pribumi," jawab Sena yakin. Matanya menatap mereka semua satu persatu, menanti respon teman-teman bangsawannya itu.
Meja itu diam tiba-tiba. Mereka saling memandang satu sama lain, dan melihat Sena penuh keheranan.
"Sen, kau serius?" seru seseorang dari mereka.
"Buat apa?" sahut yang lain.
Dini kemudian teringat permintaan Sena beberapa hari lalu untuk bertanya pada saudaranya yang seorang guru di Taman Siswa. "Jadi, saat kemarin kau memintaku bertanya pada saudaraku, adalah untuk ini, Sen? Kau mau membuka sekolah seperti Taman Siswa?" tanya Dini.
Sena mengangguk yakin. "Aku ingin membantu anak-anak pribumi untuk sekolah. Mereka juga orang Hindia seperti kita, seharusnya mereka juga punya hak yang sama seperti kita, mendapatkan pendidikan. Bukankah begitu?"
"Kau memang berbeda dari kita, Sen! Niatmu sungguh luar biasa!" Puji Allie. Dia ikut melirik respon teman-temannya yang lain yang masih berpikir keras tentang rencana Sena itu.
"Bukankah sudah ada Taman Siswa, Sen?" tanya Dini.
"Ya, benar. Tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Hanya ada satu di Soerabaja, satu lagi ada di Wonokromo. Tempatnya terlalu jauh dan kapasitas mereka masih sedikit. Tidak cukup untuk menampung anak-anak pribumi yang ingin sekolah. Karena itu, aku pikir ini saatnya kita berkontribusi teman-teman. Bukankah kita sekolah setinggi ini di sekolah paling elite milik Belanda ini untuk menjadi pintar? Dan bukankah ilmu yang sudah kita peroleh ini adalah untuk menolong bangsa kita? Ini saatnya kita membantu saudara-saudara kita yang lain, yang tidak beruntung, yang tidak bisa sekolah, untuk sama-sama memperoleh hak pendidikan mereka lewat kita. Kita bisa menjadi penyalur ilmu itu dan membuat semua orang cerdas dan berpendidikan seperti kita," ucap Sena berorasi panjang lebar penuh semangat.
Teman-temannya khusyuk mendengarkan. Tapi belum ada yang memberikan timbal balik usulan Sena.
"Aku ingin mengajak kalian bergabung dengan sekolah ini," cetus Sena. "Kita bisa mengajari mereka bersama-sama," imbuhnya penuh semangat.
"Sena, rencanamu sangat luar biasa," cetus Allie. Dia selalu mendukung positif rencana Sena.
"Tapi juga luar biasa berbahayanya," sambung Dimas. Laki-laki berambut klimis yang memakai udheng dan beskap resmi itu tiba-tiba menimpali usulan Sena. Dia menatap Sena cemas. "Sebaiknya kau batalkan rencanamu, Sen," lanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro