Waktu bersamaku 🕥
Setiap orang punya setidaknya satu manusia yang ia benci ataupun pernah ia benci, termasuk diriku. Kalau ditanyakan siapa yang paling aku benci di dunia ini, jawabannya jelas.
Aku membenci adikku.
***
Aku mengunyah buah apel dengan wajah masam, bahkan rasa manis terasa hambar di indra pengecapku tatkala aku mendapati Dira makan di meja yang sama denganku.
Roti–yang baru diangkat dari bread maker–dibawakan oleh mama dan diletakkan di atas meja.
"Aku ingin makan dengan selai stroberi." Aku memandang mama yang posisi tangannya dekat dengan toples selai.
"Mama, aku juga ingin selai stroberi," suara Dira melontarkan permintaan.
Nada melengking seharusnya terdengar biasa apabila keluar dari mulut anak berusia delapan tahun, namun aku tidak tahan mendengarnya dari saudara tiriku.
Tangan mama meraih toples bening itu, dan menatapnya sejenak. "Sisa sedikit, lho."
Mama menatap kami berdua secara bergantian, "Mama rasa, salah satu dari kalian harus mengalah."
Aku menatap tajam Dira sedangkan mata Dira memperhatikan toples yang sedang dipegang mama.
"Lucy, kamu mengalah, ya?" ucap mama sembari memutar tutup toplesnya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, aku sedang ingin makan selai stoberi."
"Lucy, kamu sudah berusia 12 tahun, belajarlah mengalah." Ucapan mama membuat hatiku bergejolak, aku sontak berdiri dan memukul meja makan, menyebabkan semua padangan tertuju padaku.
Aku merapatkan gigiku, menahan emosi itu bulat-bulat dalam kepalan tanganku. Namun, mulutku ini tidak sanggup menahan kata-kata. "Bela terus, aku merasa seperti anak tiri padahal dia yang anak tiri."
Tubuhku langsung berpaling, berlari meninggalkan ruang makan, kakiku menapak tangga dengan penuh emosi, langkah kakiku terdengar jelas meski aku sudah berada di lantai atas.
Anak sialan itu, aku jadi merasa diduakan oleh orang tuaku.
"Kalau saja Mama bisa membendung keinginannya untuk memiliki anak kedua, ini tidak akan terjadi."
Mama didiagnosa mengalami kanker Rahim–bulan September–lalu yang menyebabkan perlu dilakukannya pengangkatan rahim.
Setelah diangkat rahimnya, mama langsung terpuruk dan muncullah Dira dalam kehidupan mama sebagai obat dari rasa gundahnya.
Aku tahu, dia sengaja, dua bulan terakhir ini dia selalu mengikuti apapun yang aku mau. Aku baru tahu bocah delapan tahun bisa se-menyebalkan ini.
Dira selalu dibela, bahkan dalam hal kecil seperti selai stoberi.
Ketukan pelan terdengar disela-sela tangisan, aku sontak berhenti sejenak, "siapa?"
"Dira." Suara kecil nan nyaring itu membuatku berdecak kecil. Anak itu kenapa sih?
"Kakak, ayo buka," bujuk Dira diiringi ketukan pintu yang temponya mencepat.
"Berisik!" Aku menaikkan nada bicaraku.
"Dira minta maaf!" ucap Dira, lalu kembali mengetuk-ngetuk pintu.
Akupun beranjak dari tempat tidurku, berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Kenapa?" Aku menyilang kedua tangan di depan dada, dari matanya aku tahu dia sedang memperhatikan wajahku–yang mungkin merah.
Tangan kanannya memegang sepotong roti–yang sudah diisi selai stoberi–dengan erat, menjulurkan tangannya–menyerahkan roti itu padaku.
"Dira minta maaf, ini, kakak makan saja," ujar Dira dengan tangan yang masih menjulur–menungguku mengambil roti itu.
Tanganku spontan menoyor roti itu hingga terpelanting diatas lantai. "Maaf, aku tidak mengutip yang sudah kamu buang."
Dira memancarkan emosi kesedihan, ia menangis.
Aku memutar bola mataku, tanpa sengaja aku kembali memperhatikan roti itu, sudahlah, tidak perlu aku bersihkan.
Senyum kepuasan tercetak di atas bibirku, entah kenapa rasanya puas saja melihatnya sedih, melihat Dira merasakan emosi yang aku rasakan.
***
Aku menatap kalender duduk yang terletakkan di atas meja belajar, tanggal 23 Desember, hari Natal sudah dekat.
Tanganku mengeluarkan secarik kertas notes dan pensil kayu, mulai menulis di atasnya, membiarkan keinginanku terjajar rapi dalam kalimat.
Ketukan pintu mulai terdengar tatkala aku sedang fokus berpikiran, "masuk."
Gadis berkuncir dua dengan wajah cengar-cengir memasuki kamarku. "Dira mau ambil itu."
Tangannya menunjuk pada satu kotak yang terletak tepat di sebelah lemari, kotak kecil itu diangkat oleh Dira.
Aku menatapnya heran, aku tidak pernah melihat ada kotak itu di dalam kamarku, mungkin saja barang milik mama atau punya siapa, aku tidak tahu.
Dira berhenti tetap di posisi mejaku berada, kepalanya terangkat-angkat, berusaha melihat isi kertas yang sedang kutulis.
"Kak, apa itu?"
Aku menatapnya malas lalu membalasnya dengan culas, "bukan urusanmu."
Dira yang keras kepala masih tetap menapakkan kakinya di kamarku, berdiri di sebelahku dan melihat-lihat diriku–menimbulkan ketidaknyamanan.
"Apa itu?" Ia kelihatannya sedang berusaha membaca tulisanku yang sebagian ditutupi oleh lenganku.
Karena merasa gerah, aku akhirnya memberitahunya, "wishlist Natal, pergi, jangan ganggu."
Ia termenung sejenak, lalu melontarkan senyuman padaku, setelah itu ia berjalan keluar.
***
"Selamat hari Natal!" ucap mama dan papa secara bersamaan padaku dan juga Dira.
Tangan mama dan papa menyerahkan sebuah kotak PS4 yang kudambakan, mataku berbinar-binar.
Tanganku–yang hendak meraih kotak–terhenti ketika mendapati tangannya juga sama sepertiku–hendak mengambil kotak itu.
Padangan kami bersirobok sejenak, sampai akhirnya papa berkata, "oh, kami membeli dua controller jadi kalian bisa bermain bersama, kebetulan banget kalian punya wishlist yang sama."
Aku menarik uluran tanganku, membatalkan niatku untuk mengambil kotak itu. "Oh, jadi sengaja ya?"
Dira menampilkan ekspresi bingung, begitu juga papa dan mama. Dira dengab wajah sok polosnya berkata, "sengaja apa?"
Aku berdiri dari dudukku, wajahku panas akibat emosi. "Kamu sengaja memilih barang yang sama denganku supaya kita berbagi mainan bukan?"
Dira diam. Aku kesal, jadi begitu caranya untuk merebut "milikku". Licik, dasar anak tiri.
Aku berlarian menuju kamar diiringi jatuhnya air mataku, aku mendengar suara langkah kaki yang mengejar namun tak kuhiraukan.
Tanganku membanting pintu kamarku, tubuhku langsung terjun ke kasurku, membiarkan air mata membasahinya.
Kenapa Dira selalu saja ingin merebut kasih sayangku, kenapa belakangan ini dia yang selalu dibela, kenapa dia yang terus diajak jalan-jalan?
Ketika aku sedang menyembunyikan wajahku dengan bantal, ada orang yang masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu.
Aku memutar sedikit kepalaku untuk melihat siapa yang masuk, Dira ....
Kaki Dira ambruk, ia duduk bersimpuh di atas keramik. "Maafkan Dira, Kak!"
Ia juga mulai menangis, seperti diriku. Dasar pencari perhatian!
"Maaf." Napasnya terputus-putus. Ditengah-tengah itu, aku mendengar suara langkah kaki yang cepat dan saling menimpa, ternyata mama dan papa yang sedang berlari menuju kamarku.
Saat mama sampai, tiba-tiba tubuh Dira jatuh sepenuh, ia tergeletak di atas lantai.
"Dira!" teriak mama dan papa–hampir bersamaan–dengan panik. Aku juga ikut mendekati tubuh Dira.
Apa yang sedang terjadi?
Mama mengangkat kepala Dira lalu meletakkannya diatas paha mama yang dalam posisi bersila. Wajah Dira memucat.
Papa ikut duduk bersimpuh di atas lantai, tidak biasa aku melihat wajahnya–yang biasa berwibawa–memancarkan kesedihan.
"Maafkan aku, Kak," ucap Dira gemetaran. "Aku hanya ingin bersama Kakak selagi aku hidup, makanya aku berusaha mengikuti apapun yang Kakak suka."
"Aku ingin menghabiskan waktu bersama Kakak."
Bulir bening mengalir dengan geladir, membasahi pipi merahku.
Papa buka mulut. “Dira sakit sejak dua bulan lalu, dan ia hanya punya sisa hidup beberapa bulan. Dira juga meminta mama dan papa untuk merahasiakannya darimu."
Mulutku terbuka–melongo, apa yang telah aku lakukan? Di sisa hidupnya, aku menyuapinya dengan rasa benci.
"Mama bukannya tidak pernah mengajakmu jalan-jalan, tapi mama sedang membawa Dira ke rumah sakit," ujar mama sembari menangis. Aku telah salah sangka.
"Selamat tinggal, Ma, Pa. Aku tidak kuat lagi," suara Dira dengan lemas.
Air mataku mengalir lebih deras lagi. Gadis ini hanya ingin disayangi diriku, dia tidak bermaksud merebut kasih sayang dariku.
Ia hanya ingin punya waktu bersamaku sebelum ia benar-benar kehabisan waktu.
Hari itu, Dira mengembuskan napas terakhirnya, atmosfer kesedihan menaungi kami semua.
***
Setiap orang punya setidaknya satu manusia yang ia rindukan, termasuk diriku. Kalau ditanyakan siapa yang paling aku rindu di dunia ini, jawabannya jelas.
Aku merindukan Dira.
-Fin-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro