Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tragedi

Di kelas, suara murid yang berteriak 'yey' terdengar bersahutan saat kepala sekolah mengumumkan sekolah dibubarkan lebih awal dan kami semua harus sampai di rumah sesegera mungkin.

Ada apa? Kenapa terasa janggal?

Kalender tahun 1998 di depanku dipenuhi oleh banyak lingkaran berwarna merah, tanda bahwa akan banyak kegiatan dari sekolah yang hendak diadakan seperti pameran dari klub kerajinan tangan atau lomba sepakbola antar sekolah.

Firasatku buruk.

Aku berdiri dari kursi, merapikan rok biruku yang lecek akibat duduk lama di kursi. Teman-temanku sudah berlarian keluar membawa tas masing-masing. Orang tua mereka sontak menarik tangan anak mereka saat murid-murid keluar dari gerbang sekolah; berlari seakan-akan ada bahaya yang akan datang.

Baiklah, kurasa aku akan berjalan pulang saja. Tidak akan ada yang mengantarku pulang.

Jarak sekolah dengan rumahku hanya butuh waktu 5 menit. Sepanjang jalanan, aku merasa aneh. Ada sekelabat perasaan yang mencuat dari dalam dada dan aku sadar bahwa itu bermakna negatif.

Suasana jalanan entah kenapa terasa mencekam. Ada isyarat yang seakan-akan menyuruhku untuk 'berlari' pulang ke rumah. Kakiku dengan sendiri mempercepat langkahnya.

Kosong.

Tidak ada siapa-siapa di rumah. Aneh. Harusnya aku mendengar suara Meli yang berteriak girang. Aku berjalan perlahan; mataku menelusuri setiap sudut rumah. Tante juga tidak ada.

Ke mana semuanya?

Aku melirik ke luar. Jalanan semakin sepi seakan-akan semuanya tengah bersembunyi. Tepat saat aku menutup pintu dan hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara yang keras.

Suara teriakan orang yang beramai-ramai.

"GANJANG CINA!"

Aku menutup mulutku. Kerusuhan?

Hal pertama yang aku pikirkan adalah berlari ke area kamar yang paling dekat dengan pintu belakang rumah, lantas bersembunyi di bawah kasur. Mereka sedang menguarkan kebencian padaku, orang etnis tionghoa.

Jantungku berdegup kencang. Di mana adikku? Persetan dengan tante, aku bahkan tidak peduli di mana dia. Dia sudah menoreh banyak luka pada keluargaku dan hanya mengurus kami karena adanya warisan.

Suara rusuh itu terdengar meski seluruh pintu dan jendela rumahku tertutup. Bagaimana jika mereka kemari? Bagaimana jika mereka masuk ke dalam dan memporak-poranda rumah ini? Aku menahan napas seakan-akan itu akan membantuku membuat tubuhku menjadi transparan.

Suara tapak kaki dalam jumlah banyak terdengar semakin jelas; mereka pasti berada di luar pintu.

"Min!" Ada gedoran dari pintu belakang rumah; aku bisa mendengarnya dengan jelas karena memang kamar tempat aku bersembunyi tidak kedap suara. Yang memanggilku pasti Naswha.

"Min! Cepat kemari! Aku tahu tempat sembunyi!" Naswha menggedor pintu. "Cepat!"

Aku keluar dari tempat persembunyianku, lalu membuka pintu belakang rumah dan mendapati Naswha yang tengah memandangku dengan gelisah. Ia sontak menarik tanganku; aku berlari mengikutinya.

Naswha adalah tetanggaku. Lebih detailnya, dia adalah teman masa kecilku, dia adalah satu-satu teman dekat yang kupunya, satu-satunya orang menerima perbedaanku. Sayang sekali kami tidak satu sekolah.

"Meli tidak ada." Aku berkata dengan suara parau saat Nashwa menarik tanganku untuk berlari menjauhi rumahku.

Nashwa dengan tegas berkata, "Sembunyi dulu. Nanti kita cari dia."

Jantungku berdegup dengan kencang. Semoga Meli baik-baik saja bersama dengan Tante yang tidak bisa diandalkan itu.

***

Aku tidak tahu bagaimana keadaan rumahku sekarang. Entah dibakar atau hanya sekedar dirusak. Nashwa menyuruhku untuk bersembunyi di dalam kamarnya yang tidak punya jendela.

Nashwa sesekali melirik ke luar; memastikan tidak ada yang masuk ke rumahnya. Aku duduk di lantai kamarnya, tepatnya di samping lemari, berjaga-jaga apabila ada orang yang datang mengecek.

Gadis itu kembali. Aku langsung berdiri menghampirinya. "Kamu tahu Meli di mana?"

Nashwa menggelengkan kepala. "Waktu aku datang ke rumahmu, aku sudah tidak melihatnya."

Suara ricuh itu masih terdengar dari luar. Nashwa memintaku untuk tetap di dalam. Gadis itu mengelus bahuku. "Kamu akan baik-baik saja di sini. Mereka tidak akan masuk ke dalam. Nanti saja mencari Meli."

Jantungku tidak bisa tenang, pikiranku selalu dihantui adegan bahwa Meli tengah mengalami 'sesuatu'. Aku menggelengkan kepala; aku harus tetap tenang.

Meli adalah adikku yang berusia lima tahun, menjalani homeschooling karena kondisi tubuhnya yang memang lemah. Entah bagaimana nasibnya sekarang. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa. Ayah dan Ibu meninggal dalam kecelakaan mobil dan kami dirawat oleh Tante yang gila warisan.

Aku memeluk kedua lututku, menyandarkan kepalaku pada kaki. Embusan napas lolos dari mulutku. Kenapa ini semua harus terjadi? Seakan-akan aku memang lahir untuk menderita.

Apa yang salah dari etnisku?

Nashwa masuk kembali ke kamar, kini dia duduk di sebelahku. "Meli pasti baik-baik saja. Dia, kan, bersama tantemu."

Dan sampai besok, tidak ada kabar soal Meli sama sekali.

***

Aku kembali ke rumahku, melihat bahwa pagar telah hilang dan juga banyak berharga di rumah yang telah dicuri (seperti televisi ataupun kompor). Untuk surat-surat, aku tidak tahu apakah diambil oleh perusuh atau oleh Tante Melda.

Suasana sudah agak tenang meski aku masih tidak dianjurkan untuk keluar. Baiklah, dari mana aku harus mencarinya.

Aku memutuskan untuk meminjam telepon rumah Nashwa, berusaha mengontak Tante Melda.

Tidak ada jawaban.

Kakiku melangkah masuk ke dalam kamar Tante Melda. Kondisinya porak poranda, perusuh itu berhasil menerobos masuk ke rumah dan juga mencari barang berharga di setiap kamar.

Apa petunjuk keberadaan mereka? Apa aku harus menunggu sampai kembali? Mungkin saja mereka sedang berada di tempat yang jauh, mengungsi.

Tetapi kenapa tidak langsung menyuruhku pulang atau tidak berangkat sekolah saja?

Dua hari lalu, saat aku masuk ke dalam, rumah tidak berada dalam keadaan barusan ditinggal. Pasti mereka sudah lari. Namun, kenapa tidak ada kabar yang disampaikan kepadaku?

Aku masih menginap di rumah Nashwa, berjaga-jaga supaya tidak 'dibunuh' oleh perusuh. Aku juga tidak boleh keluar. Mata sipit khas etnis tionghoa akan mencuri perhatian mereka. Dari berita yang kudengar, banyak yang diperkosa dan akhirnya dibunuh oleh orang-orang tanpa hati itu.

Semoga bukan Meli.

Aku harus menemukannya secepat mungkin.

Pertama, kemungkinan besar mereka berada di rumah 'keluarga' lain. Sebenarnya aku benci melabeli mereka sebagai keluarga, mereka bahkan tidak peduli denganku dan adikku. Wajah nenek terlintas pada benakku, iya, mereka kemungkinan besar berada di sana.

"Yu Min." Aku menoleh pada Nashwa yang barusan memanggilku. "Mereka pasti baik-baik saja."

Aku tidak butuh kalimat penenang, aku lebih butuh solusi. Tanganku menggengam tangan Nashwa. "Nashwa, bisa antarkan aku ke suatu tempat?"

***

Aku berjanji untuk membalas budi pada mereka begitu keluarga Nashwa menyetujui permintaanku untuk berkeliling mencari keberadaan dari adikku. Nashwa memboncengku dengan sepeda. Aku harus memakai baju berlengan panjang dan juga celana panjang, jaga-jaga bila isu ini belum berakhir. Aku juga mengenakan topi.

Tempat yang kutuju pertama kali adalah rumah dari adik Tante Melda: Om Hendri. Pria itu langsung melayangkan tatapan tajam saat melihatku, dari sana aku bisa langsung tahu kalau Tante tidak ada di sana.

Setelah berkunjung ke lebih dari 4 rumah 'saudara', aku akhirnya melihat sosok yang sebenarnya kubenci.

Tante Melda.

Nashwa membuntutiku dari belakang. Tante Melda menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku langsung bertanya dengan tegas, "Di mana Meli?"

Ia hanya diam.

"DI MANA MELI?" Suaraku meninggi.

DUK!

Benda keras menghantam bagian belakang kepalaku. Siapa yang sudah memukulku? Rasa sakit mulai merambat, aku tidak bisa menjerit. Kepalaku berusaha terangkat; menatap Tante Melda di depanku.

"Maaf."

Suara Nashwa.

"Kamu sebentar lagi akan pergi menemui Meli." Tante Melda kemudian memandang ke depan. "Sekali lagi."

Sebuah hantaman terasa pada kepalamu lagi. "Dengan mati sekarang, tidak akan yang curiga soal kehilanganmu."

Sial.

Ternyata begitu cara main mereka. Tante Melda memang sengaja menjadikan momen ini untuk membuat kami seakan-akan adalah korban kerusuhan yang gagal diselamatkan.

Naswha. Kenapa?

"Aku juga butuh." Suara Nashwa yang terdengar lirih menyelusup ke indra pendengaranku, sebelum akhirnya kesadaranku hilang.

Benar, uang membutakan semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro