Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kalau Kupu-kupu itu Tidak Ada

Aku membentur keras kepalaku ke meja. Arghh, bodohnya.

Velicia menepuk pundakku. "Heh, Olivia, perbuatan bodoh apalagi yang kamu lakukan?"

"Argh, diam dulu, biarkan aku sendiri." Kepalan tanganku menghantam meja berkali-kali, tentu saja lebih pelan. Aku tidak ingin murid sekelas menyodorkan pandangan kepadaku.

Velicia berdecak ringan. "Yaudah, aku pergi makan bakso dulu. Mau nitip."

Aku mengibaskan tangan, tanda penolakan, pikiranku sedang terlalu berisik untuk mengonsumsi bakso Mba Tuti di kantin.

Kenapa dia harus mendengarnya sih? Kenapa harus dia sendiri?

Aku memutar kepalaku, menempelkan pipi kiriku pada meja. Aku mengembuskan napas. Kenapa momennya bisa pas begitu?

Velicia tidak salah, aku melakukan perbuatan bodoh.

Dari rumor anak kelas 12, aku mendengar kalau di belakang sekolah ada satu pohon rambutan yang bisa mengabulkan permintaan, apalagi kalau saat itu juga ada buah rambutan yang jatuh. Kenapa bisa begitu? Karena baru-baru ini ada gadis yang biasa-biasa saja, tetapi bisa menjadi pacar laki-laki terkenal, Kak Ryan. Sebenarnya rumor ini sudah ada sejak setengah tahun lalu, tapi karena pohon rambutan itu terlalu terkenal, maka setiap hari ada saja yang mengungkapkan keinginannya di sana, terutama tentang percintaan.

Aku juga salah satunya.

Dengan gila, di depan pohon rambutan, aku berteriak, "Tolong biarkan aku lebih dekat dengan Ethan."

Dan saat membalikkan badan, aku melihat sosok lelaki berkacamata yang diam mematung, dilanjutkan dengan senyum tipis yang menambah rasa malu. Iya, pemilik nama tiba-tiba muncul.

AKU INGIN MENGHILANG!

Aku menghantam kepalaku lagi, masih menyesali perbuatan aku tadi, entah kenapa aku percaya pada rumor konyol yang bahkan sudah basi. Untung saja aku tidak menyebut sesuatu yang spesifik seperti ingin menjadi--

Tiba-tiba ada rasa dingin di atas kepalaku, membuatku berteriak, dan sontak menatap sang pelaku, Velicia. Gadis itu berkacak pinggang sembari menyerahkan jus guava. "Udah selesai? Minum ini."

Semester pertama baru saja dimulai, dan ini pertama kalinya aku mulai memakai rok abu-abu. Besok adalah hari pertama aku bergabung di klub bahasa Inggris, klub yang dimasuki oleh Ethan. Mampus aku. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya besok.

Siap dimarahi, aku pun bercerita kepada Velicia pada saat pulang sekolah. Kami berdua yang sama-sama menunggu jemputan, membuatku punya kesempatan untuk bercerita sekaligus bertanya mengenai apa yang harus aku lakukan.

Alih-alih mendengar ceramahnya, aku harus mendengar tawanya selama 5 menit. "Aku gak nyangka kamu sebodoh itu, otakmu di dengkul ya? AHAHHAHA." Tangan Velicia memukul (bukan menepuk, tapi MEMUKUL) punggung berkali-kali sampai aku hampir terjungkal.

"Setidaknya berikan aku saran." Aku memutar bola mataku. "Tawamu sama sekali gak membantu."

"Hmm..." Velicia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Berlaku seperti biasa saja. Anggap saja yang tadi gak pernah terjadi sama sekali."

Aku mendengus. "Terima kasih, sangat membantu, saranmu akan saya terapkan," ucapku sarkas sembari melangkah menjauh. Velicia buru-buru menarik lenganku. "Heh, jangan ngambek, emang itu cara yang paling tepat. Lagipula, ada banyak kemungkinan dari 'harapan'-mu."

Velicia kembali melanjutkan, "Platonic relationship exists."

"Hah?"

"Tuh, kan, belajar yang benar di klub nanti. Inggrismu hancur banget." Velicia menjulurkan lidahnya, lalu berlari keluar gerbang sekolah sembari berucap, "Semoga sukses, Olivia!"

***

Bahasa Inggrisku yang buruk tidak membuatku ingin masuk ke klub Inggris, keberadaan Ethan-lah yang memutuskan bahwa aku harus di sana jika ingin menghabiskan banyak waktu bersamanya.

Kini aku berdiri di pojok ruangan, anggota klub lain (kakak tingkat) tengah menyusun kursi dana meja, beberapa orang terlihat tengah berbincang sedangkan aku berdiri dan bengong sendirian karena Velicia lebih memilih untuk meninggalkanku dengan masuk ke klub Matematika. 

Ethan tidak populer seperti Sky ataupun Ryan. Dia punya kesan 'culun' bagi sebagian gadis di sekolah, tetapi dia punya hati dan tutur kata yang sangat baik, selain itu mata sayupnya seolah-olah membelaiku dengan lembut, dan rambutnya yang sedikit keriting terasa--

"Ah, Olivia. Ternyata kamu juga ikut klub bahasa Inggris ya?"

Begitu Ethan bersuara, tubuhku langsung kaku. Wajahku terasa panas. "A-ah, aku ingin be-belajar bahasa Inggris." Lidahku terasa kelu, bicaraku jadi tidak lancar.

Ini bukan pertama kalinya aku berbicara dengan Ethan. Balasan status instagramku sudah menjadi bukti kenorakanku. Mungkin ada sekitar 70% status Instagram Ethan yang kuberi komentar. Rasanya semua tanda itu sudah jelas. Velicia berkata bahwa ada banyak kemungkinan dari harapan yang aku ucapkan di depan pohon ramabutan, tetapi ada kemungkinan yang punya peluang paling besar jika dilihat dari kelakuan gilaku

"Wah, kamu suka bahasa Inggris ya? Suka baca novel gak?" 

Waduh, aku bahkan tidak  pernah mau menyentuh buku jika tidak dipaksa untuk menghadapi soal ujian mematikan. Novel? Membaca tulisan sebanyak itu demi 'hiburan'? Terasa tidak masuk akal untukku.

"Belum, baru mau mulai sih, ada rekomendasi?" Aku tidak berani menatap Ethan secara langsung karena pasti langsung ketahuan kalau aku sedanng berbohong.

"Hmm, untuk pemula, aku sangat merekomendasikan Le Petit Prince. Bukunya tidak tebal, tapi isinya bermakna, mungkin kamu akan menyukainya."

Le Pe-- apa?

Aku menganggukkan kepala sembari ber-oh ria, pura-pura mengerti padahal kepalaku malah membayangkan bentuk pete. "Akan aku baca, makasih buat rekomendasinya."

"Kalau ingin rekomendasi novel, kamu bisa menanyakannya padaku, aku bisa membantu memilih buku yang sesuai."

Hahh, dia bilang apa? Bertanya kepadanya? Berinteraksi ... lebih sering?

"Makasih." Kata terima kasih yang terucap lewat bibirku yang sudah bergetar tidak sanggup mewakili seluruh degupan jantung dan rasa ingin meledak yang diciptakan oleh tubuhku. Boleh aku pulang sekarang kemudian melompat-lompat di atas kasur dan berguling hingga kepalaku menabrak dinding?

"Halo semuanya, selamat datang di klub bahasa Inggris. Ah, or should I say, Welcome to the english club! We were very excited to know everyone of you. Now, please take a seat because our activity is about to begin."

Aku tidak mengerti apa yang diucapkan, tetapi kulihat semua orang bergerak dan mulai mencari kursi untuk diduduki. Netraku sontak mencari keberadaan lelaki berkacamata itu, dan langsung berjalan mengikutinya sampai-sampai aku tak sengaja menginjak sepatu siswi lain (dia berdecak dan memicingkan mata, tapi bodo amat). 

"Apa aku boleh duduk di sebelahmu?" Kalimat paling berani yang aku ucapkan tahun ini

Kalau sudah basah, kenapa tidak langsung berenang saja?

"Boleh." Ia mengulas senyum tipis yang membuatku mati kutu. Dengan seluruh tubuh yang kian memanas, aku duduk di sebelahnya. 

"From now on, everyone should speak English. Habituation is the initial stage to being fluent in English. The more you speak English, the faster you can improve!" ucap salah satu anggota klub yang sedang berbicara di depan.

Aku hanya bisa melongo, ternyata aku memang sebodoh itu sampai tidak bisa mengerti maksud dari kalimat tersebut. Rasanya memalukan, aku jadi merasa kalau masuk ke dalam klub ini adalah sebuah kesalahan yang besar, seharusnya aku tidak segila itu untuk--

"Butuh bantuan?" Suara dari sebelah kiri membuatku menoleh, Ethan menyadarinya, membuat rasa maluku semakin meningkat.

"A-aku tidak bisa bahasa Inggris."

"Habituasi adalah tahap awal untuk lancar berbahasa Inggris. Semakin sering kamu menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan, semakin cepat pula kamu akan berkembang."

"Aku tahu. tapi--"

"Itu terjemahan untuk kalimat barusan."

Kalau di depanku ada dinding, aku pasti sudah membanting kepalaku untuk melupakan rasa malu ini. Bagaimana bisa aku berprasangka kalau Ethan sedang menceramahiku.

"Maaf." Kalimat itu lolos dari bibirku. 

"Lho? Buat apa?"

"Soalnya aku bodoh." Dan ini sudah entah keberapa kalinya aku mempermalukan diriku sendiri. Memang benar kata Velicia, aku bertindak sebelum berpikir.

"Bergabung di klub ini menandakan kamu tahu apa yang kurang dan kamu berusaha untuk berkembang," ujar Ethan. "Dan itu tidak menjadi alasan untuk menyebut dirimu bodoh."

Rasanya aku tidak ingin berbicaraa lagi? Belajar karena masih merasa kurang? Huh, aku hanya terobsesi untuk memperbanyak agenda pertemuan dengan Ethan, bukan untuk membuat diriku berkembang. 

Aku jadi merasa seperti makhluk yang menyedihkan.

Aktivitas klub selanjutnya adalah memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. Pelafalanku aneh, tetapi tidak ada yang menertawakanku, kurasa itu hal yang baik. 

Saat pulang, perasaanku jadi tidak karuan, aku berbaring di kasur seharian, tidak melakukan apa-apa. Mataku menatap langit-langit kamar sembari merenungi kehidupanku yang ternyata sedikit ... miris.

Aku selama ini merasa bahwa tidak apa-apa untuk menjadi yang biasa saja. Tidak perlu belajar terlalu keras, toh apa gunanya jika pada akhirnya nilai tidak bisa membawaku ke kehidupan yang lebih baik. Bahasa asing? Apa pentingnya? Kita, kan, tinggal di Indonesia. 

Dan percakapanku dengan Ethan barusan membuatku sadar kalau selama ini, aku terlalu 'santai'. Bermimpi menjadi lebih dekat dengan Ethan, tetapi tidak setaranya dengannya, buat apa?

Aku menepuk kedua pipiku. "Olivia, kamu harus bergegas, kamu tidak akan bisa bahasa Inggris hanya dengan menghantam kepalamu terus. 

Dan pada malam hari, aku berusaha mencari buku dengan judul yang mirip dengan kata Pete itu.

***

"Anomali apa ini?" Velicia menatapku dengan heran. "Kamu pasti bukan Olivia, menjauh dari tempat duduknya!" Tangannya menghantam kepalaku dengan gulungan kertas.

"Aku sedang berusaha untuk tobat, jangan ganggu aku." Aku mengibaskan tangan kananku. Tangan kiriku sedang sibuk mencari kata-kata dalam kamus digital. 

Velicia tiba-tiba mengambil buku dari mejaku lalu mellihat-lihat sampulnya. "Le Petit Prince, rekomendasi dia 'kan?" 

Aku menganggukkan kepala. "Katanya ini bacaannya yang lumayan gampang, tapi kepalaku pusing banget. Kukira ini buku anak-anak."

"Le Petit Prince itu jauh dari kata 'buku anak-anak', baca sampai habis dan kamu akan mengerti."

"Bantu terjemahin, dong," ujarku. Sejujurnya, lelah juga mencari satu per satu arti kata dari tiap kalimat.

Velicia menepuk kepalaku dengan buku Le Petit Prince yang ia ambil dari mejaku tadi. "Nanti gak masuk otak. Mending kamu terjemahkan satu-satu sendiri, lebih lengket nanti." Gadis itu kemudian melangkah menjauhi meja kami. "Kalau begitu, aku mau ke toilet dulu, berak pagi."

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Aku menghela napas, kemudian benakku kembali tenggelam dalam rentetan kalimat.

***

"Siapa yang menyangka kalau isinya gajah? Bisa saja harimau." Aku menggelengkan kepala, kebingungan membaca cerita ini.

Hal gila lain yang aku lakukan adalah meminta Ethan untuk membahas isi bukunya bersamaku dan kini kami berdua ada di perpustakaan. Kebetulan hanya ada kami berdua dan seorang guru, jadinya aku bisa berbicara lebih bebas.

"Ya, tidak ada salahnya membayangkan hal lain." Telunjuk Ethan menunjukkan hambar perut ular yang menurut cerita telah menelan gajah. "Makna dari cerita ini lebih kurang tentang orang dewasa yang kadang tidak mengerti bagaimana anak-anak memandang dunia."

"Seperti sebatang cokelat, bagi orang dewasa cokelat adalah makanan manis yang bisa membuat gigi ngilu, sedangkan mungkin saja bagi anak-anak, cokelat adalah bahan bakar supaya mereka bisa menjadi pahlawan yang menyelematkan seisi kota boneka mereka," lanjutnya. "Atau dalam aspek negatif, bagi orang dewasa, dihukum dengan dikurung di dalam kamar itu supaya anak-anak bisa merenungi kesalahan mereka, tetapi bagi mereka, orang tua mereka tidak lagi menginginkan keberadaan mereka sehingga mereka dikurung."

Rasanya aku semakin jatuh cinta. Ethan mampu menjelaskan banyak hal tanpa membuatku merasa bodoh. Kupu-kupu menggelitik perutku, membuat degup jantungku semakin kencang.

"Baiklah, thank you. Aku bakal baca bagian selanjutnya, mau baca bareng?" tanyaku sembari menyisipkan beberapa harapan dalam rentetan kalimat tersebut.

"Aku punya rencana lain bersama temanku." Ethan mengelus tengkuknya sembari memamerkan senyum kaku. "Maaf, ya."

"Baiklah."

Lalu Ethan meninggalkan perpustakaan, membuatku mendengus lalu kembali menenggelamkan pikiran dalam novel Le Petit Prince (aku sudah bisa mengingat judulnya!).

***

Kupu-kupu yang hinggap dalam perut akibat Ethan membuatku semakin berapi-rapi. Pada pertemuan klub kelima, kami dimintai untuk menjelaskan topik apapun, dan aku mengangkut topik mengenai sumber semangat belajar. Meski bahasaku terbata-bata, tetapi aku sudah mulai terbiasa.

Satu bulan penuh aku belajar sampai mati-matian demi memantaskan diri untuk Ethan. Aku juga sudah pamer kepada Velicia. Gadis itu sampai menuduhku menggunakan sihir untuk belajar.

Karena Ethan, aku jadi merasa percaya diri. Mungkin ini juga berkah dari pohon rambutan. Aku jadi lebih dekat dengan Ethan.

Dan hal gila selanjutnya yang akan aku lakukan adalah menyatakan perasaan.

Aku tidak bisa bilang kalau kami sedekat itu. Selama ini, aku yang terus menerus mencarinya. Tetapi, melalui kesempatan ini, aku ingin Ethan tahu kalau dia adalah penyemangatku, dan aku ingin dia lebih sering berada di dekatku.

"Woahh, kudoain yang terbaik!" Velicia yang biasnaya tidak mendukungku mendadak memberiku afirmasi positif, membuatku merasa sedikit lega.

Aku permisi kepada guru untuk pergi ke toilet untuk pergi ke kelas Ethan. Kelasnya kosong karena sedang jam olahraga. Rencanaku adalah meletakkan surat pengakuan dan pergi, menunggu balasan.

Saat hendak meletakkan surat dalam lacinya, aku mendapati sebatang cokelat dan setangkai bunga di dalam laci. Tubuhku membeku. Ada sepotong kertas yang tertulis?

"Triana, will you be my girlfriend?"

Aku sontak meremas kertasku, berlari menuju kelasku dan menangis sepelan mungkin.

Kenapa dia memberikanku harapan palsu?

Ah, tidak, aku yang geer.

Bodohnya.

Velicia mendengar cerita lengkapnya pada saat jam istirahat. Gadis itu tidak mengucapkan sepatah kataku, hanya memelukku dan menepuk pelan punggungku.

Dia juga datang ke pohon rambutan itu, tentu saja dia juga punya permohonan terkait orang yang ia sukai, kenapa aku tidak kepikiran?

Saat pulang, hatiku tidak karuan. Mataku menatap buku Le Petit Prince yang kubeli karenanya. Rasanya aku ingin membakar buku itu.

Apa aku keluar saja dari klub Bahasa Inggris?

Tanganku menampar pipi kananku. "BODOH! Kamu gak harus jadi jago untuk dia. Kamu harus jago buat nolong diri kamu sendiri!"

Kalau kupu-kupu itu tidak pernah ada, maka aku tidak akan pernah berpikir untuk berkembang.

Aku tidak akan membiarkan perasaanku sia-sia

Fin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro