Bersepeda
Suasana senja yang melingkupi langit serta semilir angin sejuklah yang kubutuhkan setelah adanya pertengkaran kecil yang menghancurkan semua seleraku untuk mengerjakan tugas sekolah.
Aku menarik sepeda jinggaku keluar secara perlahan, sesekali mataku melirik ke sekeliling perumahan. Tanpa sengaja, pandanganku dengan Kay bersirobok. Ia melambaikan tangannya ke atas lantas menggantung seutas senyum manis di atas bibir dan berjalan ke arahku.
"Kamu mau naik sepeda?" Kay memandangku dan sepeda secara bergantian.
"Ga, mau pergi berenang."
Kay menggelengkan kepala, terkekeh-kekeh. "Yakin mau bersepeda dengan rok sependek? Ga mau ganti baju dulu?"
Aku melempar tatapan tajam. "Bodo amat."
"Lagi berantam sama orang rumah ya?" Tatapan Kay seakan-akan tengah menerawang isi benakku. Tebakannya tepat, dia terlalu peka.
Mulutku terkatup rapat; memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaannya. Aku menduduki sadel sepeda, dan saat aku hendak mengayuhkan sepeda, ada rasa tak nyaman yang hinggap.
Apa dudukannya kurang naik ya? Aku memutuskan turun, membungkukkan badan, hendak memutar tuas.
"Bannya kurang angin tuh," ujar Kay dengan nada yang begitu meyakinkan seakan-akan hanya dengan melihat saja dia sudah tahu.
"Iya kah?" Aku ikut-ikutan memandang ban sepeda yang menurutku baik-baik saja.
"Sebentar," ucapnya sebelum ia pergi menuju rumahnya entah untuk apa.
Tak sampai 2 menit, ia kembali dengan sebuah pompa di tangannya. "Kupompain bentar."
Ada rasa hangat yang mendadak menjalari sekujur tubuhku, perasaanku yang sempat acak-cakan itu perlahan memudar seiring dengan pertemuanku dengan lelaki berambut hitam legam yang tengah berusaha memompakan ban sepeda.
Kay seperti punya indra keenam saja, sangat peka dan—
"Ga bisa." Wajah Kay mulai terlihat masam, aku bisa melihat ada semburan warna merah di pipinya.
Aku sontak melempar tawa. "Sok-sokan mau mompa, ternyata ga bisa."
"Ya kan aku mau coba bantu." Wajah Kay semakin memerah, membuatku ingin tertawa lebih kencang lagi. Aku memukul pahaku sendiri; terpingkal-pingkal.
Kay menutup sebagian wajahnya. "Ga tahu terima kasih banget, dasar."
"Aku ga minta kamu bantu kok." Aku menjulurkan lidah, sangat bangga bisa membalas kata-katanya.
"Udah, diam-diam. Sebentar." Ia kemudian berlari meninggalkanku lagi.
Dan kali ini, dia kembali dengan sebuah sepeda merah; sepeda miliknya.
"Kamu pakai dulu ini."
Eh?
"Kok bengong? Pakai ini. Katanya mau sepedaan." Kay menarik sepedanya hingga benar-benar tepat di sebelahku. Dengan posisi masih memegang grip, ia menatapku. "Ga mau pake sepedaku?"
Aku bisa merasakan tempo detak jantungku yang kian meningkat, dan ini terasa ... nikmat. Aku mengulas senyum. "Makasih."
"Sama-sama, bayar 5 ribu nanti."
Aku menjulurkan lidah lantas memerintah kedua kakiku untuk mulai bergerak; mengayuh sepeda.
Senandungan lagu lolos dari mulutku, rasanya melegakan ketika angin mulai menerpa wajahku, rambutku menari-nari di atas udara. Sudah lama aku tidak naik sepeda, beban berat di dadaku seakan-akan kian melebur. Akan lebih baik lagi bila ada yang menema—
Aku mendengar ada suara sepeda dari belakang. Mataku melirik sekilas. Kay melambaikan tangan lantas mengayuh sepedanya lebih cepat agar sejajar denganku.
"Lah, kok sepedaan juga? Habis nyuri sepeda siapa tuh?"
"Ini minjam, bego." Kalau saja kami sedang tidak dalam keadaan bersepeda, dia pasti sudah menimpukku.
"Kalau mau naik, sini, aku kembalikan aja sepedamu." Aku memperlambat kecepatan, hendak turun.
"EH, jangan!" Kay berteriak cepat. "Aku nemenin kamu doang."
Kay, aku mulai mengira kamu itu seorang peramal unggul yang bisa menerawang pikiran.
"Udah lama ga sepedaan, ya." Kepala Kay mendongkak, menatap langit biru yang telah diciprati warna jingga. "Lain kali keliling kota pake sepeda yok!"
"Ga ah, sepedaan di komplek aja masih jatuh-jatuh," balasku.
"Aku boncengin nanti."
Eh? Saat itu juga aku merasa kalau jantungku akan meledak karena tempo yang peningkatannya terlalu ekstrem. Perutku mulai digeli oleh kupu-kupu yang mendadak muncul, membuatku merasakan dopamin yang luar biasa efeknya.
"Oke?" Suara Kay kembali berdengung di indra pendengaranku.
Bibirku mengulas senyum, dengan wajah yang memanas, aku memandangnya. "Boleh."
Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba, ketika aku punya kesempatan untuk memelukmu dari belakang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro