028. Will You Grow Old With Me?
"Hyun-jin." Kedua mataku membola ketika suaranya terdengar jelas di telinga. "A-apa itu ... benar-benar k-kau?" Demi Tuhan, aku masih tidak percaya dengan apa yang terlihat sekarang.
Aku khawatir ini hanyalah imajinasi.
Aku juga khawatir jika ini akibat terlalu merindukannya atau karena teramat kehilangan dirinya, tapi--
"Ba-bagaimana?" pertanyaan itu meluncur dari bibirku yang kering. "Aku ... tidak akan sanggup lagi menghadapi kepergianmu."
Hyunjin menggeleng dan kedua tangannya pun terulur ke arahku, hingga kehangatan yang menenangkan lantas menjalar ke seluruh tubuh.
Dia meletakkan keningnya di bahuku, selagi bahu sedikit terguncang akibat luapan emosi.
Aku meneguk saliva yang seketika menjadi sekeras batu, akibat rasa dahaga di tenggorokan. Tapi hal tersebut tidak menghalangiku untuk membalas pelukan Hyunjin. Merasakan kembali kehadirannya.
"Berjanjilah padaku," pinta Hyunjin, setelah aku membalas pelukannya. "Mulai sekarang, hanya maut yang mampu memisahkan kita."
Lagi kedua mataku terbuka lebar, diikuti dengan tulang punggung yang menjadi lebih tegak akibat terlalu terkejut.
Tentu saja, aku tidak menginginkan perpisahan lagi. Batinku merintih di dalam sana, tetapi aku hanya mampu mengangguk sebagai jawaban atas permintaan Hyunjin.
"Aku ... tidak akan pernah pergi lagi," lirih Hyunjin yang lantas membuatku mendorong sedikit tubuhnya, agar mampu menatapnya secara langsung.
"Apa yang terjadi?" Aku berharap Dewa lebih bermurah hati, daripada dugaanku. "Bu-bukankah kita ...."
Menggigit bibir, otakku seketika kosong--kebingungan--mau mengatakan apa. Kekhawatiran telah menguasai, hingga berpikir jernih pun telah menjadi hal tersulit.
"Aku ... sungguh, tidak ingin kehilanganmu lagi." Pandanganku tertuju kepada kedua lengan yang senantiasa memeluk, juga pada sepasang alas kaki kami yang saling bertemu setelah sekian lama termakan jarak.
Aku menarik napas panjang. Menghidu aroma Hyunjin yang sangat kurindukan.
"Apa kau bisa mengabulkan permintaan itu?" Masih dalam posisi menunduk, aku sungguh tak kuasa menatap Hyunjin. Terlebih setelah cairan akibat luapan emisi telah terlalu banyak membasahi pipi, tanpa mampu kukontrol.
"Crystal." Suara Hyunjin terlalu menenangkan di kala perasaan resah yang menghujam. "Lihat aku," pintanya selagi menangkup kedua pipiku, serta ibu jarinya yang mengusap jejak-jejak air mata setelah pandangan kami saling bertemu. "Apa kau memercayaiku?"
Kedua alisku saling bertaut, seiring bibir yang tertutup rapat akibat menahan tangis.
Tentu saja! Tentu saja aku memercayaimu, Idiot! Kau seharusnya menjawab permintaanku, bukan malah bertanya!
Tapi seluruh ungkapan tersebut hanya berada di kepalaku karena sebenarnya, aku hanya mampu mengangguk. Menahan diri agar tidak menangis kencang dan menutup bibir serapat mungkin, merupakan satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut.
Hyunjin tersenyum tipis, hingga terlihat jauh lebih baik daripada aku. Dari sini saja, dia adalah satu-satunya yang memiliki self control terbaik.
"Kebesaran hatimu telah mengubahku menjadi manusia seutuhnya."
"Ma-manusia seutuhnya?" Aku mengerjap juga tergagap saat mendengar dua kata terakhir yang terlontar dari bibir Hyunjin. "A-apa maksudnya?"
Mengangguk, Hyunjin kembali tersenyum seakan tidak peduli dengan kebingungan yang tentu tampak jelas di wajahku. "Reinkarnasi yang kau alami selama ini, perpisahan yang terus terjadi diantara kita, dan bagaiamana kali terakhir kau menghadapinya, telah memberikanku pelajaran berharga tentang menahan nafsu.
"Hal yang juga membuat dewa melihat sisi lain dari seorang campuran, sehingga bersedia melepaskan hukuman."
"Kau ... berubah karena telah terbebas?" Takut-takut aku kembali bertanya, demi memperjelas ucapan Hyunjin dan agar aku tidak tertimpa kekecewaan lagi.
Hyunjin mengangguk. Dan seketika itu pula, sebuah pukulan kebahagiaan menyerang jantung hingga membuatnya berdetak sangat cepat.
"Aku telah menyerahkan kekuatanku kepada para dewa. Menukarnya dengan separuh jiwa manusia yang tidak lain adalah ibuku sendiri." Senyum bahagia tergambar jelas di wajah Hyunjin, meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya mengerti.
Dia menyentuh dada kirinya, setelah meletakkan tanganku di tempat serupa. "Jantung ibuku berdetak di dalam tubuhku."
Mataku mengerjap ketika merasakan debarannya yang begitu cepat, tidak jauh berbeda denganku.
"Memang akan terdengar menyeramkan, ayahku telah menyimpannya sebagai kenang-kenangan, tapi pada akhirnya justru diwariskan kepadaku."
"Kalian telah baik-baik saja?"
Hyunjin mengangguk lagi kali ini dia mendaratkan bibirnya di keningku, sebelum berkata, "Semesta telah menuliskan takdirku yang seperti ini. Aku juga tidak yakin apakah itu benar-benar membaik atau tidak, tapi ... dia merestui keputusan para dewa lainnya untuk melepaskanku dari hukuman."
"Oh my God," lirihku demikian, seiring dengan air mata haru yang tak sanggup lagi dibendung.
Kelegaan telah melapangkan dadaku, hingga pintunya benar-benar terbuka dan aku telah dimudahkan untuk bernapas lagi. Aku menarik napas panjang diantara isak tangisku, kemudian memeluk Hyunjin seakan tak ada lagi hari esok.
Begitu pula dengannya, Hyunjin pun turun membalas pelukanku. Menenangkanku sambil menyematkan sebuah cincin di jari manis, hingga ketika aku menyadarinya dia berkata tanpa membiarkanku bertanya.
"Maukah kau menua bersamaku, Crystal?"
Dan seakan kebahagiaan ini tak kunjung berhenti, indra pendengaranku mampu mendengar dengan jelas bagaimana Hyunjin melamarku hingga aku ....
... hanya mampu mengangguk, sambil berkata lirih dengan linangan air mata haru tiada henti. "Tentu saja. Tentu saja, aku menginginkannya, Hyunjin."
Setelah tersenyum lebar, Hyunjin pun menarikku ke dalam pelukannya. Dan di balik punggungku--entah sejak kapan--mereka bersorak, mengucapkan selamat berulang kali hingga membuatku menoleh sambil menyeka air mata.
Aiden, Daisy, Violet, Bibi Jasmine, Paman Jack, dan Mac. Mereka bertepuk tangan, meniup terompet kecil, sambil melempari kelopak bunga ke arah kami kemudian adik kembarku dengan begitu mengharukan, memberikan sebuket bunga tulip kepadaku.
"Ini semua rencanya, kami tidak tahu apapun," jelas Bibi Jasmine, setelah si kembar memberikan bunga cantik itu.
Aku menggeleng pelan. tidak semudah itu percaya. Terutama setelah melihat kekompakan mereka, serta senyum bahagia tiada henti tentu akan menimbulkan pertanyaan.
Namun, siapa yang memusingkan hal tersebut? Kesedihan dan kemalanganku telah terbayar sudah, sehingga aku memeluk mereka secara bergantian selagi mengucapkan terima kasih kemudian kembali kepada Hyunjin.
Mendaratkan ciuman penuh cinta yang terpendam terlalu dalam, kepada pria itu. Aku ingin memberitahunya, bahwa perasaan itu benar-benar menyesakkan dada.
Namun, baru sebentar kami melakukannya, Paman Jack seketika berdeham lalu memperingatkan bahwa kami memiliki anak di bawah umur.
"Kalian bisa menyimpan sisanya di altar," ujar Paman Jack yang lantas membuat kami semua tertawa akibat lelucon khas orang tua.
***
TAMAT
And this is question time (mohon dijawab supaya diriku senang ya :D)
1. Apa alasan kalian buat buka cerita ini?
2. Bagaimana kesan pertama kalian waktu baca lima bab awal?
3. Kalian paling suka sama adegan apa dan paling enggak suka dengan adegan apa?
4. Apa yang kalian suka dan tidak suka dari cerita ini? Tolong beritahu suka sama tokoh siapa dan enggak suka sama tokoh siapa?
5. Beritahu aku kekurangan dan kelebihan cerita ini?
6. Tolong beri skor 0 sampai sepuluh untuk cerita ini?
7. Kalau aku kembali ke asal dengan bikin cerita romance, apa kalian mau baca?
Terima kasih banyak sudah mampir ^^ semoga kalian suka dengan endingnya yaa.
Maaf jika terdapat salah-salah kata dan jika kalian menemukan kekurangan dalam cerita ini.
Dan lagi, silakan baca cerita baruku yang judulnya Beautiful Wild Night. Update setiap hari minggu.
Jumpa lagi di cerita selanjutnya 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro