026. I Will Always Love You
Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Mengapa takdir bersikap teramat kejam padaku?
Apakah semesta sedang bermain-main denganku?
Permainan macam apa ini?
Sejuta pertanyaan terus saja tercetus di kepala, hingga terasa akan meledak karena tidak ada satu pun jawaban yang kudapatkan.
Aku meletakkan kening di atas lutut, di saat kedua lengan memeluk kaki yang terlipat lalu menangis sesengukan. Namun, suara air terjun menelan isak tangisku, hingga hanya memperlihatkan sepasang bahu yang bergetar.
"Sialan!" lirihku. Ini adalah umpatan yang kesekian kalinya. Seperti telah dirajam oleh ribuan pisau, aku menyentuh dada sekadar meredam rasa sakit. "Sekarang apa yang harus kulakukan?"
Menjadi biarawati? Relawan? Melajang hingga lansia? Atau pindah ke ujung dunia yang membuatku melupakan Hyunjin?
Aku tahu itu adalah hal sia-sia dari bentuk keputusasaan.
"Tapi ... aku memang putus asa," bisikku lagi, sembari mengusap air mata yang sudah terlalu banyak kutumpahkan hari ini. Namun, sedikit pun tidak kusesali karena setidaknya menangis mampu melegakan hati.
"Bajingan, semesta bahkan tidak akan peduli jika kita melawan hukum!" Aku menggigit bibir, ketika ledakan amarah mulai menampakkan taringnya. "Apa, sih, yang ada dipikirannya?! Dewa saja hanya ingin membuatnya tersiksa."
Kedua tanganku terkepal kuat. Meremas rumput yang berada di sisi kanan dan kiriku kemudian mencabutnya, hingga akarnya terpisah dengan tanah. Beberapa kali kulakukan hal serupa, sampai perasaan nyeri mulai menjalar di tangan dan aku berhenti. Berbaring di atas tanah berumput, membiarkan daun-daun kering sesekali menimpa tubuh.
"Apa yang harus kulakukan, Hyunjin?" Aku masih menanyakan hal serupa, sambil menatap langit seakan bentangan biru itu bersedia memberikan jawaban. "Menangis tidak akan membuah hasil yang nyata, tapi ... aku juga tak tahu harus bagaimana."
Lagi, pandanganku mengabur dan terasa berat. Tumpukan cairan dari luapan emosi senantiasa membuat kedua mataku basah, sehingga punggung tangan pun kembali mengusapnya.
Aku berharap hujan akan turun di awal musim gugur. Meski itu tidak mungkin, aku hanya ingin tetesannya menyamarkan air mataku. Menyamarkan kesedihanku. Bahkan jika mungkin, aku ingin bersembunyi di baliknya.
Dan orang-orang tentu akan menganggapku gila, jika mereka tahu apa yang kuinginkan.
Tapi, sejak awal kau memang sudah gila. Membiarkan mereka terlibat adalah awal kegilaanmu. Batinku mencemooh dan itu adalah kebenarannya, sehingga tidak ada hal bagiku untuk menyanggah.
Dadaku mengembang seiring paru-paru yang terisi penuh oleh oksigen. Hidungku terasa sesak akibat terlalu banyak menangis, di mana aku yakin mataku pun turut membengkak.
... atau mungkin, juga wajahku.
"Berpikirlah lebih jernih, Crystal." Kedua mataku terpejam, sambil beberapa kali melakukan relaksasi pernapasan agar mampu menjernihkan pikiran.
Sudah berjam-jam berada di sini dan yang kulakukan hanya menangis, sambil mengutuk takdir.
Aiden, Bibi Jasmine atau Justin sekali pun bisa saja mencariku karena ponsel yang kuletakkan di atas rerumputan sering kali berdering, hingga aku mengubahnya menjadi mode senyap.
Kau tidak boleh egois, Crystal. Dewi batinku akhirnya memberikan keputusan yang mana sebenarnya, hal itu bertentangan dengan keinginanku. Hyunjin adalah sosok baru yang hadir dalam hidupmu.
Pikirkan saudara-saudaramu, sahabatmu, dan orang-orang yang menyayangimu lebih dulu. Jika kau memutuskan untuk tetap bersama Hyunjin lalu kematian mengenaskan itu benar adanya, tentu keadaan tersebut akan sangat menyakiti mereka.
"Kematian memang tidak mampu dihindari, tetapi jika sudah diperingati ...." Aku menggigit bibir, ketika lidahku mulai mengikuti kata hati. Namun, keraguan masih menguasai sisi lain perasaanku.
Aku menarik napas panjang, selagi membuka mata saat daun kering mendarat diujung hidung. Tangan kananku pun meraihnya dan tanpa alasan khusus, aku memandangi daun kering tersebut.
"Akan lebih baik menurut saja."
Dan air mataku berlinang lagi. Berat rasanya karena harus memilih, meski aku tak ingin memilih.
"Mungkin jalan terbaik adalah dengan melepaskan."
Kini tenggorokan terasa sakit. Seperti kekurangan cairan, tetapi aku yakin bukan itu alasannya.
"Demi melepaskan hukumannya."
Suaraku terdengar parau, selagi bibir dan tangan yang gemetar.
"Demi orang-orang yang kusayang dan mereka yang menyayangiku lebih dulu."
Apa aku yakin dengan yang kuucapkan? Tentu saja tidak, tapi--
"Tidak ada jalan lain." Air mataku mengalir semakin deras, seiring dada yang teramat sesak. "Pertemuan merupakan awal dari perpisahan. Semua orang akan mengalaminya dan sekarang ...."
Aku melihat wajah Hyunjin di depan mataku. Sebagian wajahnya tertutup daun kering yang pandang sejak tadi. Namun, satu keyakinanku bahwa dia hanyalah halusinasi akibat rasa sakit yang mendalam.
"Kita harus saling berbesar hati," lirihku nyaris tidak terdengar, akibat embusan angin yang menggesek dedaunan serta ranting-ranting pohon.
Begitu pula dengan daun kering yang kupegang sedari tadi. Terbang mengikuti arah angin, tanpa mampu dicegah.
Embusan angin yang juga mengeringkan air mataku, tetapi--mengapa bayangannya tidak sirna sedikit pun?
"Kau akan kekal dalam ingatanku, Crystal."
Hyunjin?!
Lantas jantungku berdetak dengan sangat cepat, ketika mendengar suaranya. Aku yakin ini bukanlah halusinasi, bukan pula berada di alam mimpi, atau bahkan suara orang lain yang menyamar menjadi pria berambut dirty blonde itu.
Aku menoleh ke asal suara tersebut. Menemukan pemiliknya yang tengah duduk di sisiku, sambil memeluk kedua kaki. Rambut sebatas bahu, ia biarkan tergerai sehingga senantiasa bergerak bergoyang tatkala tertiup angin. Kulit putihnya bahkan semakin pucat, seiring kedua mata hijau yang tak lagi bersinar.
Dia ... sama menderitanya denganku. Perpisahan ini, tentu saja tidak ada dalam daftar rencana kami.
Takdirlah yang mengharuskan kami seperti ini.
"Sampai kapan pun, aku hanya akan jatuh cinta padamu." Dia berujar lagi, tetapi enggan menatapku dan lebih memilih melihat aliran air yang terjun bebas ke dasar sungai.
"Meski di kehidupan selanjutnya akan sulit menemukanmu, aku tetap mencarimu."
Ragu-ragu dia menoleh ke arahku, sebelum kembali berujar, "Mencintaiku dari jauh, tanpa kau mengetahui keberadaanku."
Sekali lagi, aku menggigit bibir demi menahan isak tangis, akibat penderitaan yang merajam dari setiap kalimatnya.
"Kemalangan ini adalah apa yang para dewa inginkan. Aku tidak berhak bahagia karena aku ... adalah--"
"Hentikan, Hyunjin." Aku meraih tangan pucatnya, sambil menyeka kedua mata yang telah basah. "Kau adalah kehancuran yang justru mewarnai kehidupanku. Apapun yang mereka katakan, aku meyakini bahwa aku yang terdahulu juga mengatakan hal serupa."
Sekuat tenaga, aku memutuskan untuk bangkit. Duduk di sisi Hyunjin, tanpa harus mengalihkan pandangan.
Aku tidak ingin melewatkan momen ini, walau hanya sedetik. Para dewa bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan kepada kami, sehingga aku menolak untuk menyia-nyiakannya lagi.
Keberadaan Hyunjin di sini, tentu karena kami telah terjalin satu sama lain. Dia jelas mengetahui apa yang tidak kuketahui, tetapi keadaan dirinya saja telah memberikan jawaban atas apa yang terjadi.
Oleh sebab itu, setelah menelan saliva yang menghalangi tenggorokan, aku berkata dengan mengabaikan parau suaraku.
"Aku mencintaimu. Selamanya akan tetap jatuh cinta padamu, meski jalannya akan selalu berbeda karena ...."
Apakah ini adalah yang kau inginkan, Wahai Semesta? Perpisahan yang sungguh menyakitkan.
"... karena tanpa kristal milikmu di tubuhku, semua akan berlangsung secara alami." Lantas aku memasrahkan diri ke dalam pelukan Hyunjin, menangis sesenggukan di tempat ternyaman, dan membiarkan pria itu mengusap kepalaku dengan tubuh yang sama bergetarnya denganku.
Kami berdua menangis. Meski Hyunjin tidak mengeluarkan suara, tubuhnya telah mengatakan bahwa luapan emosi itu sama derasnya dengan milikku.
Terutama ... ketika ia menarik wajahku, sebelum menempelkan bibirnya di bibirku.
... demi semesta dan seisinya, aku bisa merasakan jejak basah di kedua pipinya yang sederas air terjun di hadapan kami.
"Selamat tinggal, Crystal, kuharap bisa menemuimu lagi," bisik Hyunjin lalu menciumku lagi, hingga sedikit demi sedikit kehangantan itu menghilang.
Menyisakan kehampaan teramat dalam, diantara embusan angin yang membuatku membeku.
Sosok Hyunjin yang sempat menenangkanku, kini tidak lagi terlihat. Bahkan setelah aku mengedarkan pandangan, memanggil namanya berulang kali, serta memohon kehadirannya.
Tapi ... pria itu benar-benar tak terlihat.
Menghilang.
Seperti butiran debu tak kasat mata.
Yang membuat air mataku semakin deras membasahi pipi.
Membuat lidahku kelu untuk sekadar memanggil namanya.
Membuat tubuhku mati rasa, seperti tidak pernah merasakan patah hati.
Aku menangis sejadi-jadinya, sambil memukuli dada yang begitu sakit seakan telah dihujam ribuan benda tajam.
Namun, hal itu tidak akan mampu mengembalikan Hyunjin. Bahkan jika aku menangis darah sekali pun, para dewa akan menjadikannya sebagai hukuman bagi para penentang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro