024. Not Ready To Die
Lengannya memelukku erat. Bahunya terguncang dan isak tangis terdengar di antara ucapan lega di belakangku.
Semua orang mengkhawatirkanku. Entah apa yang terjadi, aku masih belum mencernanya tapi ....
Pertama-tama, aku mencoba memahami situasi apa ini. Di mana aku sekarang, apa yang tengah terjadi, dan mengapa orang-orang berkumpul mengelilingiku?
Kedua, aku berusaha membedakan mana kenyataan dan mana halusinasi. Apakah aku masih berada di tempat lain dengan segala keanehannya, serta apakah aku masih bernapas?
Ketiga, aku menoleh ke arah jari manis, ingin memastikan sesuatu dan--yang benar saja, benang merah itu masih ada. Melilit sempurna, seakan ingin menenggelamkan kami seperti sebuah kepompong.
Tapi--baiklah, aku sudah kembali ke dunia nyata bersama Edward yang memelukku.
"Sialan, apa yang kau pikirkan? Kenapa tiba-tiba melompat ke sungai? Kau tahu kau tidak bisa berenang, jadi kenapa melakukan hal itu? Kau seharusnya berbagi denganku."
Edward mengenggam lembut kedua bahuku, sambil sesekali mengusap kepalaku, dan menyeka bulir-bulir air di keningnya. Dia berkeringat dingin, hingga aku memaklumi rentetan pertanyaan yang terkesan tiada henti.
Dan aku memutuskan untuk membuatnya berhenti bertanya, sehingga aku segera menjawab, "Aku baik-baik saja, Eddy. Kau ... tidak perlu khawatir."
Tolong dicatat, yang kulihat sekarang bukanlah Edward yang sesungguhnya!
Bagaimana tidak, mustahil baginya bisa setakut itu atas kehilanganku. Selama kami berkencan dia justru lebih senang, jika kami berjauhan dan ....
... dan di mana Hyunjin? Bukankah seharusnya dia ada di sini? Bersamaku?
Aku kembali mengedarkan pandangan. Mencari keberadaannya, tetapi tak satu pun dari mereka adalah Hyunjin. Hingga Paman Jack menepuk pundakku, barulah aku tersadar bahwa ... pria itu benar-benar tidak ada.
"Sebaiknya kau beristirahat, Crystal," ucap Paman Jack, sambil mengisyaratkan Edward untuk membantuku berdiri.
Mereka berdua membopongku. Membawaku menuju mobil van milik Mr. Smith dan sekali lagi, hal tersebut membuatku bertanya-tanya tentang bagaimana aku bisa sampai di sini? Mengingat jarak yang ditempuh terbilang jauh, hingga mustahil jika harus berjalan kaki--mungkin dalam pikiran kosong.
Apakah ini seperti hipnotis? Atau makhluk lain sedang mengendalikan tubuhku? Jika itu memang benar, maka para mereka--para dewalah--yang menjadi satu-satunya dalang di balik semua ini.
Tapi, aku akan dianggap sinting jika mengatakan hal itu pada mereka.
Dalam keadaan basah kuyup, aku duduk di jok penumpang, diapit Bibi Jasmine dan Edward. Paman Jack yang menyetir, sedangkan di sebelahnya adalah Mr. Smith yang sedang menghisap inhaler. Kupikir akan banyak orang di dalam van ini, tetapi itu hanyalah khayalanku saja karena kenyataannya kami hanya berlima.
Yang mungkin adik-adikku sedang menunggu di rumah. Di mana Aiden bersama Mac, mungkin ditugaskan untuk menenangkan sekaligus menjaga si kembar Daisy dan Violet.
Edward menggenggam tanganku, meremasnya lembut sehingga hal itu membuat pikiranku teralih padanya. Bahkan belum sempat aku menoleh ke arahnya, lelaki itu sudah terlebih dahulu bertanya, "Apa keberadaanku benar-benar menyusahkanmu?"
Lantas kedua alisku mengerut. Apakah harus dibicarakan sekarang? Kita tidak sedang berduaan. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan."
Dia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya, seakan terdapat beban berat di atas pundaknya. "Sejak aku datang ke sini dan menemuimu, kau tampak memiliki banyak beban pikiran. Aku tahu aku brengsek, tapi kali ini ... apakah tidak ada kesempatan, walau yang terakhir?"
OMG, seriously? Kedua mataku mengerjap lalu melirik ke arah Bibi Jasmine, Paman Jack, dan Mr. Smith yang sepertinya tampak mengabaikan kami. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka pun menitipkan rasa penasaran terhadap perbincangan ini.
"Kita bicarakan setelah sampai," jawabku terkesan lebih bijak karena keberatan membagi masalah pribadi kepada mereka. "Sekarang, biarkan aku beristirahat sebentar."
Namun, Edward tidak membiarkanku lari begitu saja karena detik itu juga, ia melepaskan t-shirt lalu berujar, "Pakailah, aku tidak ingin kau kedinginan."
Apa ini? Sikapnya berubah drastis. Aku menatap sepasang netra abu-abu itu, mencoba menyelami pikirannya, demi menemukan apa yang telah terjadi pada si pemiliknya.
Namun, sejauh apapun aku menyelam hanya ketulusan dan penyesalan yang kutemukan, sehingga aku tidak mungkin meletakkan kecurigaan di saat Edward justru merasakan hal sebaliknya.
Aku meraih t-shirt berwarna abu-abu itu. Sebuah hadiah natal tahun lalu dariku untuknya kemudian mengenakan pakaian tersebut, selagi Edward membantuku. Saat bibirku pun terkunci rapat, tidak tahu harus mengatakan apa selain ucapan terima kasih yang teramat singkat.
"Thanks." Bahkan suaraku terdengar serak.
"Tidak masalah." Edward tersenyum, seakan ingin mengingatkanku kembali tentang apa yang menjadi kesukaanku padanya.
Yaitu senyum manisnya yang seperti gula-gula di acara festival. Meleleh seperti karamel di toko kue musim salju.
Aku tidak bisa untuk tidak membalas senyuman menawan itu. Sehingga seakan telah terhipnotis, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Memiringkan leherku seperti yang dia lakukan dan--
"Sial!"
Tiba-tiba saja Paman Jack menginjak pedal rem terlalu dalam. Hingga membuat kami semua tersentak, bersamaan dengan suara meringkik dari seekor kuda jantan berwarna hitam legam.
Selagi Bibi Jasmine menanyakan apa yang terjadi kepada Paman Jack, serta Mr. Smith yang refelks keluar mobil untuk menenangkan kuda tersebut, aku pun bergegas menarik diri dari kedekatan itu.
Sadar akan kehadiran kuda jantan itu adalah peringatan untukku sebab telah memiliki Hyunjin, serta mengingatkanku bahwa semua ini adalah mungkin akibat keberadaan benang merah yang melilit di jari kami.
Seperti gadis yang sedang mengalami masa puber, aku segera menunduk. Menggenggam kedua tanganku, sambil diam-diam melirik ke arah benang merah sialan yang nyaris menjerumuskanku menjadi seorang pengkhianat.
"Maafkan aku," bisik Edward ketika semua kembali kondusif dan Paman Jack kembali menyetir. "Seharusnya aku tidak tersenyum, jika berakhir seperti ini."
Aku mengabaikan permohonan maaf yang dilontarkan Edward. Merasa bahwa dia tidak harus melakukannya dan juga karena semua ini bukanlah kehendak kami.
Sampai akhirnya kami tiba di rumah, Bibi Jasmine membantuku membersihkan diri sebelum mengantarku ke tempat tidur. Selama itu, dia tidak mengatakan apapun sehingga membuatku merasa tak nyaman.
Aku khawatir dia kesal padaku. Menganggapku sebagai gadis yang menyusahkan karena bertindak ingin bunuh diri. Padahal jika bisa kujelaskan, semua itu sungguh diluar kuasaku.
Bibi Jasmine menyendok bubur yang baru saja ia bawa dan diletakkan di atas nakas. "Apa sesuatu sedang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?" tanyanya enggan menatapku, sehingga aku pun kebingungan harus menjawabnya.
"Kau seringkali melamun. Tidak seceria sebelumnya. Lebih banyak diam, sejak kematian orang taumu." Dia menuangkan sesendok bubur itu kembali ke atas piring kemudian menyendok lagi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyuapiku.
"Aku tahu kematian selalu meninggalkan luka yang terdalam. Namun, jika kau terus seperti ini, mereka yang pergi pun tidak akan merasa tenang."
Aku membuka mulut, membiarkan Bibi Jasmine menyuapiku. Diam-diam aku berpikir, mencoba menyusun kepingan puzzle dari ucapan Bibi Jasmine.
Dari apa yang mereka lihat tentangku dan apa yang aku tahu mengenai diri sendiri. Semua terkesan memiliki perbedaan timeline. Di mana Bibi Jasmine berbicara seakan perubahan sikapku telah berlangsung jauh lebih lama, sedangkan aku menganggap kejadian aneh ini baru saja terjadi.
Seperti baru mengalaminya kemarin, kenanganku bersama Hyunjin telah kembali seutuhnya. Kekuatan yang dimiliki Jackson, rupanya mampu mengembalikan ingatanku tapi--aku yakin, tidak akan semudah itu.
Tidak perlu dipungkiri bahwa selalu ada rencana, di balik perubahan yang mendadak.
Aku menelan bubur yang sebenarnya tidak perlu dikunyah terlalu lama. Terlalu lama di dalam air, rupanya telah mengubah suhu tubuhku hingga aku berakhir menggigil. Kunaikkan selimut hingga ke leher demi mendapatkan kehangatan dan Bibi Jasmine pun, menyadarinya.
"Kau ingin minuman hangat?" tanyanya penuh perhatian, meninggalkan obrolan kami sebelumnya. "Ada bubuk jahe yang kudapatkan dari Mr. Will."
Ah, Mr. Will, aku hampir mati di tangannya. Namun, sekarang dia seperti telah melupakannya.
Aku mengangguk. "Terima kasih, Bibi. Maaf karena telah merepotkanmu."
"Kau adalah bagian dari kami. Keselamatanmu adalah tanggung jawabku." Bibi Jasmine mengusap kepalaku, tersenyum hangat kemudian meninggalkan kecupan di keningku.
Kecupan yang terbilang amat singkat, tetapi sanggup menghangatkan seluruh tubuhku. Jika diperbolehkan untuk mengatakannya, aku merindukan sentuhan tersebut seperti yang dilakukan mom setiap kami merasa kurang sehat.
Bibi Jasmine menutup pintu, meninggalkanku menuju dapur seiring dengan suara langkah kakinya yang terdengar semakin jauh.
Aku mengembuskan napas panjang. Kesunyian kini menyambar, tanpa memiliki jeda. Pikiranku pun kembali kosong, jika aku tidak segera memikirkan benang merah sialan itu.
Sedikit demi sedikit, aku mulai memahaminya. Anggap saja benang merah itu bekerja sebagai magnet, selalu berusaha mendekatkanku pada Edward dan menjauhkanku dari Hyunjin. Benda tersebut akan bekerja semakin kuat, setiap kali kami berdekatan. Oleh karenanya, Hyunjin senantiasa menggenggam demi menjagaku.
Namun, apapun usahanya hal itu tak pernah berpengaruh pada takdir yang dimiliki si benang merah. Apakah aku bisa mengubahnya? Tentu saja bisa.
Jackson mengatakan bahwa aku harus menukarkan diriku. Demi mengubah takdir, sekaligus menyelamatkan Hyunjin dan orang-orang yang kusayang.
Apa itu adalah kematian? Hukuman? Atau melimpahkan kemalangan Hyunjin kepadaku?
Ada terlalu banyak pertanyaan dan kemungkinan yang menumpuk di kepalaku, hingga seperti akan meledakkan isi kepala serta membuat otakku berceceran di mana-mana.
Akan tetapi, jika memang seperti itu bukankah terlalu berlebihan? Apakah bisa menyelesaikannya hanya dengan perpisahan?
Oh, Tuhan, aku pun tidak yakin mampu menjalani hari dengan opsi kedua. Namun, juga terlalu takut untuk opsi pertama.
Aku belum siap mati. Belum siap membuat orang-orang terdekatku bersedih. Belum siap untuk ....
... oh, Hyunjin, bisakah kau temui aku sekarang? Bisakah kita membicarakannya berdua? Aku ingin mendengar pendapatmu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro