023. The Truth
Ini benar-benar gila dan aku yakin tidak ada masalah pada otakku, hingga membuatku berhalusinasi.
Aku bisa mendengar berbagai macam suara di sekitar, melihat jelas apa yang terjadi di sana, serta merasakan hangat sinar matahari di kulitku. Semua ini terkesan begitu nyata, tetapi juga sebaliknya. Terutama ketika aku berdiri di antara diriku dan seorang pria bernama Jackson, mereka tak menyadari keberadaanku bahkan ketika aku menguping pembicaraan mereka.
Akan tetapi, itu bukanlah masalah utamanya.
Belum lama aku mencuri dengar obrolan mereka, seseorang tiba-tiba saja memelukku. Menangis di balik punggungku, sambil menyebutkan namaku berulang kali.
"K-kau ...." Lantas kedua mataku membola ketika mengetahui derasnya air mata di kedua pipi di wajah yang nestapa.
Dia memeluk erat, tersedu-sedu di bahu kananku, dan ... aku tidak tahu kenapa tanpa bertanya sekali pun, aku bisa mengerti apa yang membuatnya bersedih.
Yaitu sebuah benang merah yang melingkar di jari manisku, terhubung dengan seseorang yang menjadi belahan jiwaku, dan pria itu--adalah biang keroknya.
"Apa yang terjadi dengan kita?" tanyaku sambil mendorong lembut tubuh pria itu yang tampaknya lebih hidup, daripada yang terlihat di kediaman Mr. Smith.
"Semua ini sungguh di luar akal sehatku." Aku mengusap air mata di pipinya dan perlakuan tersebut, membuat tangan kami saling menggenggam.
"Keparat itu ...." Dia menggantung kalimatnya. Netra hijau yang seharusnya tampak menonjol pada kulit pucatnya, kini terkesan redup. "Benar-benar menghapus ingatanmu."
"A-apa?" Lantas kedua alisku mengerut. "Siapa?"
Dia mengendurkan kedua lengannya di tubuhku, selagi menatapku dengan tatapan yang sama sekali tak berubah. Sendu dan putus asa. Seperti menyimpan sesuatu yang sulit sekali untuk dibagi.
"Don't hit me," bisiknya selagi mengarahkan tangan kanannya di tengkukku, serta memiringkan sedikit kepala.
Tak semerta-merta menjauh atau pun mempersiapkan diri untuk menerima tindakan selanjutnya, aku justru bertanya ketika jarak kami hanya tersisa beberapa senti. "Tunggu, bagaimana bisa aku berada di sini? Di mana Glenn?"
Namun, dia hanya berhenti selama beberapa detik karena setelahnya, bibir kami saling menempel dan--perasaan apa ini?!
Aku mengerjapkan kedua mata. Sedikit pun tak kuasa menikmati ciuman ini karena di balik punggung pria itu, netraku berhasil menemukan sosok lain.
Yaitu, Glenn dalam keadaan tersenyum sekaligus menghilang secara perlahan, seperti butiran pasir.
Apa yang terjadi?
Lalu belum sempat aku melepaskan diri, seseorang yang bernama Jackson itu tiba-tiba hadir--menggantikan posisi Glenn--menatapku dengan tatapan murka. Kedua tangannya memperlihatkan gelombang air teramat dashyat dan dalam hitungan nano detik ....
... tubuhku seperti terhempas oleh gelombang dashyat. Membuat pasokan udara di dada menipis dan tubuhku terasa lumpuh.
Entah bagaimana rasanya diterjang tsunami besar, aku tidak yakin untuk mengatakannya. Namun, ini benar-benar seperti akan mencabut nyawaku.
Oh, Tuhan, jika ini mimpi buruk, tolong segera bangunkan aku. Hatiku merintih, memohon dengan sangat agar penyiksaan ini segera dihentikan.
Ketakukan menyelimuti, seiring bayangan para orang mati mulai terlihat mengulurkan tangan mereka untuk menyambutku. Namun, aku tidak bisa meraihnya seperti keberadaanku masih berada di fase hidup dan mati, hingga membuatku mati rasa.
Air mata mengalir deras membasahi pipi, bercampur menjadi satu dengan asinnya air laut. Ketika membuka mata, barulah aku menyadari bahwa seluruh tubuhku telah diselimuti oleh birunya air laut.
Seperti berada di dalam tabung berisi air, aku benar-benar terkurung tanpa memiliki daya untuk melawan. Namun, mampu melihat apa yang terjadi di luar sana.
Sayangnya, itu sungguh tak membantu karena yang terlihat adalah proses kematianku, setelah memiliki hari-hari bahagia bersama Hyunjin.
Apa? Hyunjin?
Kedua mataku terbuka lebar, seiring dengan memori yang secara perlahan tapi pasti mulai bermunculan. Entah apa kandungan di dalam cairan ini, aku hanya mampu memastikan bahwa ingatanku tentangnya nyaris kembali.
Kami berkencan, bercinta, dan melakukan banyak hal menyenangkan bersama. Hingga di puncak bianglala, Hyunjin melamarku lalu--bagaimana bisa kejadiannya terjadi begitu cepat?
Secara alamiah, aku memejamkan mata ketika hal mengerikan itu terjadi. Suara yang teramat mencekam membuatku ingin menutup telinga rapat-rapat, tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi karena tubuhku ....
... benar-benar mati rasa.
Dalam sekejap, aku terpaksa menyaksikan bagaimana sang raja merah melahap bianglala tersebut. Suasana karnaval menjadi kacau balau. Teriakan dan tangis terdengar di mana-mana. Bahkan percikan listrik terlihat jelas pada kabel-kabel yang telah putus, hingga tak ada lagi pencahayaan.
Seperti api unggun raksasa yang menciptakan ancaman, orang-orang berlarian ke sana-kemari seperti semut.
Tak kuasa menahan air mataku lagi, perasaan perih seakan merajam seluruh tubuh. Aku menangis, meski tidak terlihat. Meratapi diriku sendiri yang tak lagi terlihat akibat dilalap sang raja merah.
Hingga matahari terlihat jelas di arah timur, pemandangan kembali berpindah di mana kini jajaran bangku yang menghadap Jesus Christus telah dipenuhi jemaat berpakaian hitam, sedang menatap peti mati tanpa mayat.
Malangnya, peti mati itu memajang fotoku yang tengah tersenyum. Aiden, Violet, dan Daisy menangis di dalam pelukan Tante Jasmine, sedangkan Hyunjin ... bagaimana bisa dia tetap hidup? Bukankah dia--
"Kehidupan yang berulang adalah hukuman untuknya. Merasakan kehilangan, kemalangan, dan kesepian adalah bagian dari dirinya."
Aku melirik ke asal suara dan mendapati Jackson, berdiri di hadapanku.
"Tugasku di sini, sebenarnya telah selesai. Namun, kalian terlalu keras kepala sehingga aku kembali ditugaskan untuk memperingatkan kalian."
Di mana, Hyunjin? Glenn? Batinku setengah mati menanyakan hal tersebut, tetapi bibirku tak sedikit pun bergerak.
Dia tersenyum miring, bergerak mendekatiku tanpa perlu melangkah dan seakan terbang di dalam air.
"Kekuatanku ternyata berhasil memulihkan ingatanmu."
Jawab aku, Brengsek! Aku berteriak sekuat tenaga, meski hal tersebut tak pernah terdengar secara lisan.
"Glenn?" Sebelah alis Jackson terangkat dan senyum mengejek tergambar jelas di wajahnya, sedetik kemudian. "Oh, Dewa Tumbuhan, dia telah melanggar aturan dan yang harus kulakukan adalah ...." Jackson menggantungkan kalimatnya, sambil membungkuk sedikit hingga bibirnya searah dengan telinga kananku. "Memberikan hukuman setimpal."
Apa?!
"Aku tidak tahu apa yang membuatnya menghianati kami, tapi sejak awal pengkhianatan memang tidak bisa dimaafkan.
"Sama seperti perlakuan wanita yang melahirkan setengah dewa itu. Kami memberikan seluruh kehancuran di dunia padanya, sebagai hukuman atas kesalahan orang tuanya. Bukankah itu adalah hukuman yang paling pantas?"
Jackson mengangkat telapak tangannya setinggi bahu, membuat gelombang air yang lebih kecil terlihat dan tidak lama kemudian ....
... pemandangan penuh darah terlihat.
Apakah pantas dewa menyakiti dewa lain? Bagaimana dengan setengah dewa? Bukankah mereka dilarang untuk--
"Aku akan membebaskan mereka, jika kau bersedia menukarkannya nyawamu."
Demi Tuhan, keterkejutan benar-benar menyakiti jantungku saat ini. Aku tidak tahu apakah yang dikatakan Jackson merupakan kebenaran atau kebohongan, tetapi aku tak bisa menampik bahwa ucapannya barusan adalah kalimat rumit dari--PERSEMBAHAN.
"Aku tidak akan membunuhmu. Membunuh manusia adalah salah satu pelanggaran besar untuk para dewa, tapi kristal Hyunjin yang tertanam di tubuhmu mampu mengundang sesuatu yang buruk dan ....
"Kau harus tahu, kematian orang tuamu merupakan salah satu kemalangan yang dihasilkan dari kristal itu. Jadi ... pikirkan baik-baik, kau ingin tetap bersama Hyunjin dengan segala kemalangannya atau menyerahkan nyawamu untuk tidak menjadi egois."
Lalu Jackson membalikkan telapak tangannya, sehingga bayangan mengerikan itu menghilang dan ia kembali berkata, "Dan satu lagi, kau baru saja menyaksikan proses kematianmu yang selanjutnya di mana tentu saja, bukan berarti orang-orang terdekatmu akan terlepas dari kutukkan kristal itu jadi ....
"Pikirkan baik-baik. Kau memiliki waktu tiga hari."
Jackson menjentikkan jarinya, membuatnya seketika menghilang sekaligus dengan air yang melilit seluruh tubuhku.
Di mana tentu saja, hal itu membuatku terjatuh dalam keadaan tertelungkup, basah kuyup, serta nyaris kehabisan napas.
Entah bagaimana hal itu terjadi, aku tidak yakin mampu membedakan mana kenyataan dan mana ilusi. Namun, sayup-sayup aku bisa mendengar seseorang memanggil namaku.
Yang mana semakin lama, terdengar semakin jelas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro