Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

021. It Feels Like Deja Vu

Edward adalah lelaki paling brengsek yang pernah aku temui, sedangkan aku adalah gadis paling bodoh karena terus-menerus memaafkannya. Justin benar, bahwa kami akan segera rujuk setelah pertengkaran dan kata berpisah kesekian kali.

Lelaki itu duduk di tepi kasur. Membelai rambutku dalam keheningan karena sedang berusaha untuk tidur.

... atau lebih tepatnya, otakku terus berpikir tentang banyak hal hingga terasa akan memecahkan kepala dalam hitungan mundur.

Aku mengintip sejenak, memerhatikan benang merah sialan yang kurasa merupakan awal dari semua keanehan ini.

Benang yang kata mereka merupakan takdir untuk sepasang manusia. Awalnya aku menganggap sebagai tahayul, tapi semua yang telah kualami berhasil menampik pikiran tersebut.

Bagaimana sakit kepala itu tiba-tiba menyerang? Bagaimana pria itu menggenggam benang merah kami? Bagaimana hanya aku dan dia yang bisa melihat benda tersebut? Serta bagaimana Edward yang tiba-tiba saja menjadi sangat manis? Keempatnya terasa janggal, sekaligus memperlihatkan keterkaitan.

Sayangnya, berdiam diri bersama Edward di ruangan ini benar-benar tidak membuahkan hasil. Aku ingin mencari pria itu, mengajaknya bicara empat mata demi menemukan keanehan yang terjadi padaku. Memaksanya untuk menjelaskan karena aku tidak ingin menjadi sinting sendirian.

Oleh karenanya, setelah Edward mengecup keningku, membisikkan kalimat selamat beristirahat, dan menutup pintu kamar, aku kembali mengintip dengan mata yang sedikit jauh lebih lebar demi memerhatikan keadaan.

Ruangan yang merupakan kamar tidur Edward bersama Justin selama di sini, benar-benar sepi. Hanya ada aku dan jajaran miniatur kapal layar di dalam botol di atas meja. Sayup-sayup aku bisa mendengar orang-orang mengobrol di luar sana, tertawa saat--mungkin--mendengar lelucon, serta lagu-lagu romantis yang sengaja diputar untuk menghidupkan suasana pesta.

Aku meringkuk ke tepi tempat tidur. Duduk sambil meninju-ninju pelan area kepala yang terasa sakit lalu bangkit, serta melangkah menuju jendela.

Jendela itu mengarah ke area peternakan Mr. Smith. Tempat aku bekerja menggantikan Aiden dan ... tunggu! Bukankah aku memiliki rekan kerja?!

"Tidak, tidak, tidak." Aku menggeleng kuat ketika kegilaan ini semakin menjadi-jadi. "Jika kau memiliki rekan kerja, tentu kau akan mengingatnya. Jangan terlalu stress, Crystal."

Meletakkan kedua tangan di kusen jendela, aku melongok ke luar. Otakku memikirkan kemungkinan yang terjadi jika aku melakukan hal nekat dengan memanjat pohon oak.

Tentu saja getahnya akan menganggu, tapi tidak ada jalan lain untuk pergi tanpa diketahui oleh orang lain.

"Hanya perlu meraih ranting besar itu. Kau memiliki tangan yang panjang dan kemampuan akrobatik yang ... tidak buruk," ucapku sambil mengedikkan bahu, serta menarik napas panjang lalu mengembuskannya.

Tarik napas, embuskan. Lakukan hingga ketenangan menguasai.

"Baiklah." Aku menoleh ke dalam kamar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri kemudian kembali melongok ke luar jendela sekadar memastikan bahwa suasananya benar-benar aman. "Percayalah, di kehidupan sebelumnya kau adalah seorang ninja wanita."

Tawa yang dipaksakan tidak kuasa disembunyikan. Aku seperti sedang mengulur-ulur waktu karena sekarang melakukan pemanasan, sebelum kedua kaki akhirnya menapak di kusen jendela.

Terus terang, tubuhku gemetar. Ketinggian adalah hal yang kubenci, meski rumah Mr. Smith hanya terdiri dari dua lantai.

"Tidak apa-apa," bisikku mencoba menenangkan diri sendiri. "Kau hanya tidak perlu melihat ke bawah." Aku kembali menarik napas panjang dan membuangnya melalui mulut.

Tangan kananku terulur. Mencoba meraih batang pohon oak yang berada sedikit di atas kepala, tapi membuat kedua kakiku berjinjit.

"C'mon, sedikit lagi," ujarku nyaris seperti bisikan karena sedang menahan napas. Baiklah, harus sedikit melompat.

Aku menarik tangan yang sebelumnya terulur. Ujung-ujung jariku kini memegang kusen jendela dan kedua mata terpejam erat. Di dalam sana, dewi batin serta setan-setan kecil berusaha menyemangati. Entah apa yang membuat mereka bersatu untuk mendukung, tetapi aku yakin mereka tidak ingin aku berhenti di sini.

Alhasil di dalam pikiran, aku mengulang-ulang satu kalimat sakti, yaitu; ketinggian adalah hal yang menyenangkan.

Orang tuaku yang menyuruhku mengatakan kalimat tersebut berulang kali, setiap kali ketinggian membuatku takut. Kata mereka hal tersebut mampu mengsugestikan alam bawah sadar.

Sehingga ketika ketakutanku mulai terkontrol, aku membuka kedua mata, sedikit melompat untuk mencapai batang oak tersebut dan--

"Damn!" pekikku tertahan saat satu tangan akhirnya berhasil meraih batang pohon tersebut.

Aku berusaha meletakkan tangan lainnya di batang pohon tersebut. Sekuat tenaga menangkat tubuh sendiri, hingga akhirnya berhasil melingkarkan kedua kaki di sana.

Aku mengembuskan napas lega ketika berhasil mendudukinya, meski hal itu tidak berarti gemetar akan turut menghilang.

Pandanganku menyebar saat daun-daun bergoyang akibat tertiup angin, membuat cahaya matahari sesekali menyilaukan pandangan.

Berhentilah terpesona! Sayangnya, kenyataan tiba-tiba saja menampar.

Aku menunduk, menatap daratan berumput di bawah sana yang entah bagaimana justru terlihat sangat tinggi. Seperti berada pada ketinggian jutaan kilo meter, jantungku berdegup kencang. Seluruh tubuh berkeringat dan suaraku seketika menjadi serak. "Bagaimana cara turunnya?"

Sambil kembali terpejam, kedua tanganku kini memeluk batang pohon tersebut. Beberapa semut bahkan mulai menggerayangi bagian lengan dan getah dari pohon oak, terasa lengket di telapak tangan. Aku khawatir alergiku akan kambuh di waktu yang tidak tepat, tapi--mustahil untuk--

"Apa kau seekor kucing yang tidak tahu cara turun setelah memanjat?"

Telingaku jelas mendengar suara seorang pria di bawah sana, sehingga secara naluriah aku menoleh.

Namun, kedua alisku justru menyatu. Pria itu bukanlah pria Asia yang menggenggam benang merah.

Dia tersenyum menatapku. "Lemme help you," katanya selagi melangkah menghampiri pohon oak, serta mengulurkan kedua tangannya. "Percayalah, aku akan menangkapmu."

"Bagaimana bisa aku memercayaimu? Kau bisa saja mematahkan tulangku, jika--"

Ucapanku seketika terputus, saat melihat bagaimana pria itu menghampiriku.

Hanya dengan satu lompatan tinggi--seperti Edward Cullen and the gank--dia sudah sudah berada di batang pohon yang sama denganku.

Seakan telah menguasai seratus persen keseimbangan tubuh, dia berdiri tegak dan mengulurkan tangannya ke arahku. Membuat kedua mataku mengerjap sebanyak beberapa kali, hingga akal sehat menggiring untuk mencari kambing hitam.

"Ketakutan mampu menciptakan halusinasi," kataku pada diri sendiri, sehingga segera meringkuk perlahan menuju batang lainnya.

Meski tubuhku gemetar, aku tidak ingin terjebak dalam fatamorgana. Oleh sebab itu dengan mengabaikan semut-semut kecil yang mulai menggigiti kulit, serta rasa gatal akibat getah pohon oak, aku mencoba untuk turun ke tanah tanpa mencari tahu seberapa tinggi keberadaanku sekarang.

Namun, hal itu benar-benar tidak membantu. Terutama ketika salah satu kakiku menginjak lumut dan nyaris jatuh, jika pria itu tak segera mencengkeram tanganku.

"Sudah kukatakan aku akan membantumu. Kenapa keras kepala sekali?" tanyanya kemudian menarik tubuhku, seperti sehelai bulu angsa yang tidak memiliki banyak massa.

Aku berdiri di hadapannya. Di dalam lingkaran kedua lengannya. "Akan kupastikan kau aman, tanpa lecet sedikit pun."

"Apa kau nyata? Siapa kau? Malaikat ma ... ut?" Aku ragu menanyakan hal itu, tapi dia menyeringai.

"Calon raja," jawabnya lalu tanpa aba-aba dia melompat, membuatku berteriak histeris.

Namun, segera tertahan ketika kepulan asap hitam menyelimuti kami bersama dengan kehadiran sosok lain.

Membuatku tiba-tiba saja merasa seperti dalam situasi ....

Deja vu? Sialan, apa-apaan ini?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro