018. Long Time No See You Father
Hyunjin menggenggam tanganku ketika kami berjalan di jalan berumput selebar kurang lebih satu meter. Bagian atasnya memiliki tumbuhan merambat yang ditopang deretan tiang-tiang di sisi kanan dan kiri jalan, dan diantara tiang-tiang itu ditumbuhi tanaman hias.
Aku menoleh ke kanan dan kiri, demi mengetahui di mana kami sekarang (meski Hyunjin telah mengatakan ini adalah tempat ayahnya) karena beberapa awan yang melintas di langit pun, tampak berbeda. Seperti terdapat angin kencang di atas sana, tetapi tidak berefek pada kami yang berjalan di bawah sini.
Apakah ini surga? Otakku mulai menanyakan hal-hal konyol karena pemandangan yang terlihat, tak jauh berbeda dengan gambaran surga di gereja.
Aku menggeleng pelan lalu mengerjap, serta menggenggam lebih erat tangan Hyunjin. "Apa kita masih harus berjalan lebih jauh?" tanyaku pada lelaki itu ketika sadar jalan tersebut, tampak tak memiliki akhir.
Mengangguk membenarkan, Hyunjin menjawab, "Pikiranmu akan menjadi kenyataan di sini, jadi jika beranggapan jalan ini tak berujung, kau akan melihatnya demikian."
"Apa ini surga?"
"Ya, di melalui matamu tempat ini terlihat seperti itu."
Kedua alisku menyatu untuk beberapa detik dan entah apa yang kupikirkan, aku menghentikan langkah kakiku dan Hyunjin mengikuti.
Hyunjin tampak penasaran, sehingga ia bertanya, "Ada apa?"
"Aku penasaran." Jeda sesaat, aku mengamati keadaan sekitar. "Apa yang terlihat di matamu?"
"Kau penasaran?" tanya Hyunjin, seakan ingin memastikan perkataanku sebelumnya.
Aku mengangguk dan dia pun kembali berkata, "Baiklah, kemari, akan kuperlihatkan."
Menggeser tubuhku hingga menyentuh ujung sepatunya, aku mengikuti perintah Hyunjin. Ia tersenyum tipis, sama seperti wajahnya yang samar-samar terlihat suram. Lalu pria itu mengarahkan tangan kirinya di depan mata, hingga pandanganku terhalang.
"Tutup matamu, Crystal."
Baiklah. Tutup matamu dan banyak bicara. Lalu aku tidak tahu apa lagi yang Hyunjin lakukan. Aku hanya menghitung, sekaligus menebak-nebak karena Hyunjin pernah berkata bahwa para dewa--termasuk ayahnya--menganggap dia sebagai aib. Itu tidak adil, menurutku. Sungguh!
Tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Hadirnya Hyunjin adalah kesalahan orang tuanya. Aku bertanya-tanya tentang bagaimana mereka memperlakukan Hyunjin, hingga ia mengatakan reinkarnasi sebagai hukuman. Padahal bagi kami itu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Bagaimana kesepian membuatnya takut kehilangan, sehingga menanamkan kristal miliknya di tubuhku, hanya demi memastikan aku akan kembali di kehidupan selanjutnya?
Aku selalu penasaran dengan hal-hal tersebut. Namun, melihat bagaimana keadaan Hyunjin, aku memutuskan untuk menunggu karena tidak ingin menyakitinya.
Dan sekarang adalah waktunya! Aku mengangguk sambil mengangkat tangan kanan yang mengepal, melalui imajinasi. Jauh di lubuk hati bertekad akan menginterogasi orang tua itu, serta memastikan perkataan Jackson.
Benar, pria itu tidak boleh dilewatkan sedikit pun.
"Crystal." Suara Hyunjin memutuskan pemikiranku. "Kau bisa membuka matamu," katanya dan aku langsung mengikuti perintah tersebut.
Lalu kedua alisku menyatu. Sedetik kemudian mataku menyipit, dan selanjutnya aku menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang, sebelum melepaskan tangan Hyunjin. Aku melangkah menghampiri tumbuhan hias yang berada di antara jajaran tiang-tiang pergola, menyentuhnya untuk sekadar memastikan, serta beralih pada pemandangan di atas kami.
Tidak ada awan-awan yang bergerak aneh, tidak ada tumbuhan rambat, tidak ada tanaman hias. Jalanan berumput pun seakan lenyap akibat terjadi sesuatu.
Aku menoleh ke arah Hyunjin dan sebelum aku mengatakan apapun, dia terlebih dahulu memberitahu, "Kau telah mengetahuinya, Crystal. Kesepian, kehancuran, dan kemalangan adalah diriku. Jadi ... hanya kegelapan yang terlihat."
Kedua mataku menyipit ketika perasaan tak nyaman meninjuku, hingga membuat sakit kepala. Pandanganku terasa mengabur, seiring dengan hawa panas di kedua mata. Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku juga adalah wanita yang buruk dalam hal menghibur, sehingga demi meruntuhkan ketidaknyamanan ini aku memeluknya.
Mencium lembut bibir pria itu dan aku berdoa dalam diam.
Tolong, berikan dia kehidupan, tanpa kegelapan itu.
Lalu ketika aku ingin mengakhirinya, sebuah suara mengintrupsi kami.
"Apa kau tersesat, Nak?" Seorang wanita tua dengan seluruh rambut yang memutih, bertanya pada Hyunjin. Tubuh bungkuknya mengisyarat bahwa ia tidak berbahaya. "Tempatmu bukan di sini. Kau seharusnya berada di Bumi."
Jeda sesaat ia mengusap dagunya lalu menunduk, seakan berpikir dan kembali melanjutkan sebelum Hyunjin membuka mulut. "Tidak, tempat ini adalah tempatmu juga, tapi kenapa terasa janggal?"
Lalu Hyunjin buru-buru menjawab, "Aku adalah anak campuran itu."
Kedua mata wanita itu melebar, setelah ia menyingkirkan rambut yang menghalangi pandangan ke balik telinga kanan dan kiri. Tubuhnya gemetar, begitu pula dengan bibir yang seketika mengering.
Apakah semenakutkan itu? Dia hanya terlalu berlebihan.
"Aku ingin menemui ayahku."
Akan tetapi, wanita tua itu menggeleng lalu mengarahkan tongkat di tangannya ke arah Hyunjin. "Kembalilah sekarang, sebelum mereka kembali--"
"Itu tidak akan terjadi lagi." Hyunjin menyingkirkan tongkat tersebut dari hadapan wajahnya. "Membunuhku sama saja dengan melanggar peraturan para dewa. Lagi pula, aku hanya ingin bertemu, bukan mengacau."
Wanita itu tidak berkata-kata lagi, melainkan hanya menatap ke arah Hyunjin dan menoleh ke kanan dan kiri. Dia tak memedulikan kehadiranku. Mungkin karena milik Hyunjin yang berada di dalam tubuhku.
Oleh sebab itu, setelah wanita tua tersebut--mungkin--mempertimbangkan sebelum memutuskan, dia akhirnya mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah kering.
Dan dalam hitungan detik, kepulan asap berwarna putih mulai bermunculan dari permukaan tanah. Semakin lama membentuk awan-awan tebal yang memiliki latar berwarna biru. Angin berembus kencang, hujan turun membasahi kami, dan--apakah ini nyata? Aku seperti memiliki kemampuan menerbangkan diri sendiri.
"Ikuti aku," kata wanita tua itu.
Oh, apakah surga memang terlihat seperti ini? Efek dari kegelapan Hyunjin sepertinya telah sirna dan berganti menjadi pemandangan menyenangkan, sebagaimana yang terlihat di dunia.
Maksudku, orang-orang di sini memiliki sayap, termasuk wanita tua itu dan beberapa anak kecil yang--ok, sepertinya mereka adalah sekelompok cupid.
Mereka bergerak mengelilingi kami, sambil memainkan alat musik sejenis harpa dan baru akan pergi setelah wanita tua itu mengusirnya.
"Menjauhlah dan jangan sekali pun mengganggu tamu, jika kalian tidak ingin mati," kata wanita itu dengan nada sinis, sambil mengepakkan sayap.
Aku hanya terkikik pelan ketika menyaksikan pemandangan tersebut. Jika di bumi, mereka adalah sosok yang diagung-agung para pasangan kasmaran, sedangkan di tempat ini mereka tak jauh berbeda dengan sekumpulan anak-anak berkeingintahuan tinggi.
Seperti yang satu ini, dia menelusup dari belakang kami. Menarik benang merah di jari manisku lalu melilitnya di jari manis Hyunjin.
Tentu saja Hyunjin menoleh, ketika merasakan pergerakan di sana. Namun, belum sempat pria itu mengatakan sesuatu, sang cupid terlebih dahulu menempelkan telunjuknya di bibir lalu menghilang begitu saja.
"Percayalah, aku tidak akan pergi ke mana pun," bisikku sebelum Hyunjin membuka mulut dan memperdengarkan kekhawatirannya.
Aku mengecup keningnya selama beberapa detik dan wanita tua itu, mengintrupsi kami.
"Sudah sampai, silakan masuk bersamaku," katanya lagi ketika kami berada di depan pintu gerbang, sebuah bangunan yang--wow! Selamat datang di istana surga, Crystal.
Tidak ada pondasi pada bangunan tersebut. Lantai dan tanahnya, di penuhi dengan awan-awan seputih kapas, pemandangan di atas bangunan pun tampak seperti langit malam dengan bulan purnama dan taburan bintang.
Terus terang, aku dibuat menjatuhkan rahang saat itu juga karenanya. Ini adalah pemandangan yang tak biasa.
Kami terus melangkah, masih senantiasa mengikuti ke mana wanita tua itu membawa. Suara gemercik air terdengar menangkan di tengah taman istana.
Dan di dekat air mancur tersebut, aku bisa melihat tubuh tegap dan gagah milik seorang pria tangguh. Ia sedang memejamkan kedua mata, duduk dengan begitu anggun di kursi singgasana, bersama beberapa pelayan di sekitarnya.
"Tuan Minho, ada yang ingin menemui Anda."
Lalu ia membuka kedua matanya, menampilkan ekspresi tidak bersahabat, hingga kedua lututku gemetar.
Sial, apakah dia ayah yang kejam itu?
"Mengapa kau kembali?" Dia bertanya kepada Hyunjin sebelum melirik ke arahku. "Kenapa membawanya ke tempat ini?"
"Aku ingin memperkenalkannya sebagai takdirku," jawab Hyunjin. "Lama tidak bertemu, Ayah."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro