Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

017. Meet His Father

Aku terbangun di keesokan harinya masih dalam keadaan telanjang. Hanya berselimutkan sehelai selimut tipis yang sebenarnya tidak diperlukan. Harus kuakui bahwa semalam adalah malam terpanas sepanjang hidupku.

Hyunjin bersikap sangat lembut, memperlakukanku dengan sopan, dan penuh keromantisan. Seluruh pujian yang ia bisikan selalu membuat candu, setiap sentuhan kulitnya menciptakan sengatan listrik yang berakibat ketergantungan, dan aku juga harus mengakuinya bahwa Hyunjin benar-benar tahu bagaimana cara menggunakan miliknya untuk memuaskanku.

Dia tidak egois di ranjang. Dia memerhatikanku dan menjaga perasaanku saat kami berada di ranjang. Dia membuat ranjang Mac terasa begitu panas, melalui tempo, permainan, serta rayunan sehingga semalaman aku ... dipenuhi keringat?

Wow. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, bahkan ketika aku memberikan keperawananku kepada Edward. Lelaki paling egois karena sekali pun tidak pernah berusaha, untuk memuaskanku. Dia hanya memikirkan diri sendiri, sehingga seks dengannya selalu membuatku kehilangan semangat atau parahnya menjadi tidak percaya diri.

Ya, ketika Edward mengkhianatiku dengan memasukkan penisnya di tubuh wanita lain, aku beranggapan bahwa aku adalah pacar yang buruk karena tidak bisa memuaskannya. Padahal andai dia tahu, aku selalu menahan rasa mual setiap kali ia memuntahkan cairan tubuhnya di mulutku.

Hell, yeah, berhentilah memikirkan Bedebah itu, Bodoh! Batinku refleks memperingatkan ketika netraku menemukan pakaian Hyunjin yang tergeletak di lantai, serta keberadaannya yang tidak ada lagi di sisiku. "Mungkin dia sudah bangun," desisku lalu beringsut ke tepi tempat tidur, serta memungut T-shirt milik Hyunjin.

Aku mengenakan pakaian tersebut bersama dengan celana dalam milikku, kemudian bergegas turun menghampiri Hyunjin sambil mengucir rambut. Sesekali aku menguap karena kantuk masih cukup menguasai, sehingga mencuci wajah serta menyikat gigi adalah pilihan terbaik.

Selain itu juga, aku tidak ingin terlihat seperti muka bantal di hadapan Hyunjin.

Oleh sebab itu ketika kami berpapasan di dapur, aku segera berlari menuju kamar mandi kemudian mengunci pintunya dan mulai bebersih di area wastafel. Mengabaikan aroma lezat yang diam-diam menggugah selera perutku, hingga membuatnya berbunyi berulang kali.

"Hai, pagi yang cerah hari ini, Baby," kata Hyunjin menyapaku sambil tersenyum secerah matahari pagi--yang menyilaukan pandangan--hingga membuatku refleks menghentikan langkah.

Well, jadi, aku salah tingkah. Kau tahu, ini adalah hari yang canggung setelah melakukan seks pertama kali dengan pacar.

OMG, is he my boyfriend?! Sungguh, aku masih tidak percaya ini adalah kenyataan sehingga sambil menatap Hyunjin yang bertelanjang dada sedang memasak, diam-diam aku mencubit lenganku.

Tanpa sadar melakukannya dengan sangat keras, sampai aku berdesi, memaki, "Damned!" Sial, ternyata bukan mimpi.

Aku menggeleng kuat, demi menyadarkan akal sehatku dan saat itu pula, Hyunjin menoleh ke arahku.

"By the way you look great in my clothes." Ia tersenyum dan menunjukku sebentar menggunakan telunjuk.

Oh, jari itu. Jari seksi yang semalam kuhisap saat Hyunjin berada di bawahku. Apa dia masih mengingatnya? Aku menghampiri lelaki itu, tersenyum ke arahnya, dan berdiri di sisinya. Tanganku mengusap tulang punggungnya, mengikuti lekukannya, hingga berakhir di tulang ekor.

"Yeah, thanks." Aku tersenyum sebelum mencium rahang Hyunjin dan berkata lagi, "I like boyfriend look."

Hyunjin tertawa kecil lalu membalas ciuman di keningku, serta memperlihatkan dua piring berisi menu sarapan yang terlalu ekstra. "Sarapan, Sayang. Kita belum menyantap sedikit pun masakan semalam," kata Hyunjin yang kujawab dengan anggukan.

Aku memeluk lengan Hyunjin dengan lenganku. Kami menempel seperti kembar siam ketika berjalan menuju ruang tamu. Sepertinya Hyunjin ingin sarapan, sambil menonton TV. Aku tidak masalah dengan hal itu, tetapi keterbalikan dengan Bibi Jasmine karena wanita itu menyukai kerapian, serta ketertiban.

... atau mungkin tidak. Hyunjin tidak membawaku ke ruang keluarga, melainkan teras rumah yang disinari hangatnya matahari pagi. Ia menduduki salah satu kursi kayu yang dicat berwarna putih lalu mempersilakan agar aku duduk di sebelahnya, dengan satu meja bundar di tengahnya.

Oh, pagi yang indah. Rasanya seperti sedang berbulan madu. Aku menatap ke arah jalan yang sesekali dilalui mobil pick up dan beberapa anak kecil, dengan keranjang piknik serta jaring untuk menangkap serangga. Mereka berlari kecil, berteriak kegirangan hingga hal itu membawaku ke masa kecilku.

Ya, masa ketika aku seumuran dengan mereka dan dad selalu menemani kami mencari serangga, atau sekadar berenang di air terjun sambil memancing ikan.

"Kau seperti teringat sesuatu." Hyunjin menyendok nasinya yang dalam satu suapan sudah ada potongan sayur dan daging.

Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum tipis dan mengangguk. "Pemandangan ini membuatku teringat tentang orang tuaku." Tanganku turut menyendok makanan, melakukannya persis seperti yang dilakukan Hyunjin, serta memasukkan ke dalam mulut dalam satu suapan.

"Mereka orang tua yang layak menjadi panutan." Dia mengangguk lalu tersenyum, seakan telah mengenal orang tuaku.

"Mereka tidak sebaik yang kau pikirkan," selaku sebelum Hyunjin terlalu banyak memikirkan hal baik. "Keluarga harmonis hanya terjadi selama delapan belas usiaku, setelahnya rumah kami sudah seperti neraka."

Hyunjin mengangguk kemudian meraih sepotong sosis ukuran besar di piringnya lalu mengarahkannya kepadaku. Ia membuka mulutnya sedikit seakan ingin mengatakan, 'Buka mulutmu, biarkan aku menyuapinmu'.

Tapi itu adalah gaya yang kuno. Kalian akan tampak seperti pasangan manula.

Kedua alisku terangkat, menatap Hyunjin sambil tersenyum miring. Well, ini adalah prilaku manis. Maksudku, bukan hanya manula di panti jompo yang melakukan hal tersebut, pengantin setelah memotong kue juga melakukan hal tersebut--tapi, aku masih saja tidak bisa menerima bentuk perhatian itu.

Aku khawatir, perhatian kecil ini akan menjadi kebiasaan dan membuatku ketergantungan. 

"Sorry,"--Aku mengulurkan tanganku, ingin meraih garpu yang digenggam Hyunjin--"tapi usiaku sudah dua puluh dua tahun." Lalu aku mencondongkan tubuh, membuka mulut, dan menyuap potongan sosis tersebut dengan gaya paling seksi yang aku miliki.

Aku mengedipkan sebelah mata dan hal itu membuat Hyunjin tertawa, hingga memperlihat sederet giginya yang rapi.

"What are you doing, baby?" tanya Hyunjin di tengah-tengah tawanya yang terdengar seksi. "Are you trying to tease me, eh?" Ia menarik tangannya dari gengamanku kemudian meraih segelas air mineral, serta menimunnya.

Tonjolan di leher Hyunjin pun bergerak naik turun, mengikuti seberapa banyak ia meneguk air tersebut. Aku mengamatinya sambil masih mencondongkan tubuhku, hingga tanpa sadar tanganku kembali terulur, menyentuh tonjolan tersebut melalui ujung jari, dan perlahan mulai meraba.

Hyunjin memejamkan mata. Ia bahkan berhenti meneguk air mineral tersebut dan mungkin, hanya menempelkan bibir di ujung gelas.

Sayangnya, tidak ada manusia super di sini. Aku penasaran dengan apa yang dipikirkan Hyunjin sekarang. Apakah dia sedang menahan diri? Apakah dia sedang menikmati sentuhanku?

Aku sungguh tidak tahu, tapi aku berharap aku tahu.

"Apa kau masih ingin melanjutkannya?" bisikku serak yang terdengar jelas. Sebongkah batu sepertinya tersangkut di tenggorokanku, hingga membuatku kesulitan bicara. "Aku masih ingin melanjutkannya." Aku menggigit bibir, sambil tetap menatap tonjolan di leher jenjang itu dan ....

... Hyunjin meraih tanganku yang berada di lehernya, mengecup keningku, lalu ia menjentikkan jari hingga asap hitam di tubuhnya melilitku.

"Tidak untuk sekarang," ujar Hyunjin sambil tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku ingin membawamu ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Duniaku yang lain."

Terus terang ini bukan pertama kalinya bagiku, tetapi kedua alisku masih saja mengerut hingga suasana di sekitar kami tiba-tiba saja berubah.

Berubah menjadi tempat yang tak biasa. Dengan orang-orang berpenampilan aneh.

Maksudku ... aku yakin, ini tidak ada di sejarah kehidupan mana pun.

Aku menoleh ke arah Hyunjin lalu bertanya, "Di mana kita?"

"Ke tempat ayahku. Aku akan mengenalkanmu padanya, meski sambutannya tidak akan baik," jawab Hyunjin yang membuat kedua mataku membola dan jantung berdebar kencang.

Oh, sial! Aku bahkan belum mempersiapkan apapun!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro