011. He's Misfortune And Destruction
Detak jantungku secara terang-terangan memperingatkan agar aku pergi saja. Hyunjin telah membawaku ke tempat aneh yang terlihat seperti film hitam putih dan ia hanya memberitahu, bahwa ini adalah jawaban dari semua rasa penasaranku. Sayangnya aku tidak tahu bagian mana yang menjadi jawaban karena situasi ini, benar-benar menyeramkan.
Ya, sungguh menyeramkan hingga taman bunga dengan jalan setapak di tengah-tengah, kolam air mancur yang memperdengarkan suara yang khas, serta jembatan gantung penghubung dua sungai yang bagian tali-talinyanya dililit tanaman rambat tampak sangat suram dan ... kosong.
Sungguh aku tidak yakin itu ungkapan yang tepat, tetapi perasaanku selalu menyatakan kekosongan menjurus sepi.
"Apa ini?" Akhirnya satu kalimat pertanyaan berhasil lolos dari bibirku. "Aku tahu kau sudah memberitahu, tapi aku masih belum bisa mencernanya."
Hyunjin menarik tanganku, mengajak agar aku turut melangkah bersama di jalan setapak yang bagian kiri dan kanannya dipenuhi oleh bentangan berbagai jenis bunga. "Diriku. Ini adalah aku. Mereka mengatakan bahwa aku harus hidup seperti ini, sebagai penebusan dosa."
"Penebusan dosa?" Kedua alisku mengerut. Ini tidak mungkin mimpi karena aku bisa merasakan napas, serta sentuhan Hyunjin.
"Ya, aku adalah dosa dari kedua orang tuaku," katanya lagi yang membuatku semakin sakit kepala untuk mencernanya. Maksudku, kelas filsafat bahkan lebih mudah dari ucapan Hyunjin. "Kemarilah."
Aku mengikutinya, ketika Hyunjin berhenti lalu menghadap jajaran bunga mawar kemudian mengarahkan tangan kanannya di atas tumbuhan tersebut, serta menggerakannya seperti gerakan mengusap. Dan seakan pertunjukan sulap bunga-bunga itu pun hancur berkeping-keping, berubah menjadi abu.
Refleks, aku pun menjatuhkan rahang dengan kedua mata melotot, serta tanpa sadar melangkah mundur. Menjauhi Hyunjin.
"A-apa yang kau lakukan?"
Pria itu menoleh kemudian tersenyum dan kembali melakukan gerakan serupa, ke arah bunga-bunga yang telah hancur.
"Jangan! Apa yang kau bisa lakukan hanyalah menghancurkan?! Itu tidak benar. Kau tidak berhak melakukan--"
Holly shit! Ucapanku terputus saat itu juga ketika netraku menemukan bagaimana kelopak bunga yang telah berubah menjadi abu, kini secara perlahan mulai kembali pulih. Tidak sampai di sana, keterkejutanku pun semakin menjadi-jadi karena mawar-mawar tersebut tampak jauh lebih segar.
Aku menoleh ke arah Hyunjin, mencoba mencari penjelasan tentang pemandangan paling menakjubkan ini. Apakah dia sejenis Dewa? Apakah Nabi? Atau utusan Tuhan yang memiliki mukjizat?
Tidak ada jawaban pasti yang kudapatkan karena pria itu justru memperlihatkan ekspresi murung.
"Aku adalah kehancuran dan kemalangan, Crystal," ujar Hyunjin terdengar lirih di telingaku, serta sedikit pun tidak menggeser fokusnya pada mawar tersebut. "Dan yang kau lihat sekarang adalah diriku yang sebenarnya."
"Apa kau sejenis sosok hitam?"
"Ya." Ia mengangguk pelan bersamaan dengan sepasang alis tebalnya yang menukik ke dalam. "Aku telah memikirkannya dan aku juga telah memutuskan untuk memberitahumu bahwa ...." Hyunjin tidak langsung melanjutkan kalimatnya, melainkan menggeser rambut kananku hingga memperlihatkan tulang selangka. "Aku telah melakukan kesalahan, sehingga kau akan terus terikat denganku."
"What do you mean, Hyunjin?" tanyaku sungguh tidak tahan karena perkataan pria itu semakin di luar nalar. "Apa maksudmu dengan terikat? Apa yang telah kau lakukan?"
Ia menempelkan telunjuknya tepat di bawah tulang selangka kiri, sebelum akhirnya berkata, "Aku menanamkan crystal-ku di dalam tubuhmu, agar mereka tidak mengganggumu."
Alih-alih mengatakan sesuatu, kedua alisku hanya saling bertaut sambil menunggu penjelasan Hyunjin. Seperti crystal yang ia bicarakan barusan dan tentang pertemuannya yang bukanlah pertama kali.
"Lihat dan sentuh dia, maka dia akan memberitahumu. Bahkan lebih baik, daripada aku," kata Hyunjin lagi kemudian meraih telunjuk di tangan kiri, serta meletakkannya di bawah tulang selangka persis di mana pria itu menempelkan telunjuk sebelumnya. "Kau bisa melihatnya dengan hatimu."
Bibirku terkatup rapat. Kali ini tidak ada satu pun kalimat yang keluar. Aku memutuskan untuk menuruti Hyunjin, memejamkan mata untuk beberapa saat dan berusaha membersihkan hati dari hal-hal negatif lalu ....
... ketika aku membuka mata, aku tahu bahwa kami telah berpindah tempat.
Entah di mana ini, tetapi sekarang merupakan tempat yang jauh lebih baik.
Matahari bersinar cerah. Cahayanya yang tertutup jajaran pohon, hanya mampu mengintip melalui celah-celah ranting dan daun. Embusan angin pun terasa menyejukkan cenderung dingin, sehingga aku kembali menoleh ke arah Hyunjin sembari memeluk diri sendiri.
"Ke mana kau membawaku lagi?"
"Tunggu saja," katanya dan beberapa detik kemudian, terdengar suara lebih dari satu langkah kaki kuda yang mengarah kami.
Pergerakannya benar-benar cepat, hingga kami tidak sempat bersembunyi. Bahkan dalam hitungan detik saja, samar-samar aku bisa melihat siapa yang sedang menunggang kuda tersebut.
Yaitu seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun, dengan rambut hitam legam dan kulit seputih susu. Mata sipitnya tampak tajam, sehingga sekali saja aku mampu mengetahui siapa dia.
"Dia adalah kau, 'kan?" tanyaku tidak mampu menahan lidah karena wajah pemuda itu terlihat semakin jelas. "Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dua manusia serupa saling bertemu di waktu yang ... aku yakin ini di zaman yang berbeda."
Hyunjin mengangguk sembari tersenyum kemudian menoleh ke arahku, setelah pemuda Hyunjin telah melewati kami dengan begitu gagah bersama kuda hitamnya.
"Dia adalah kenanganku. Salah satu kenangan terindah yang tidak bisa kupertahankan."
"Kenapa?"
"Karena aku jatuh cinta pada gadis manusia."
Lagi, kedua alisku mengerut. Jantung berdebar karena setitik rasa cemburu. Oh, sial! "Who is she?"
Hyunjin mengalihkan pandangannya lagi ke arah barat. Arah yang sama dengan kemunculan si pemuda Hyunjin lalu kami menunggu lagi, hingga beberapa detik berlalu.
Suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar. Langit yang awalnya cerah pun, seketika berubah menjadi kelabu. Hutan yang sebelumnya tampak menenangkan, tiba-tiba saja menjadi sangat mencekam. Dan samar-samar indera pendengaranku mampu mendengar seseorang memanggil nama perempuan.
"Elly Jung?" Aku cukup terkejut saat mengetahui nama wanita itu, tetapi seribu kali lipat lebih terkejut ketika tahu siapa pemilik nama tersebut.
Elly Jung adalah aku. Wanita berpakaian tradisional Korea tampak berlari tergopoh-gopoh, menembus gelapnya malam. Bahkan saking tergesa-gesa, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di hadapan kami. Aku bergegas ingin menolong, tetapi Hyunjin menahannya sambil menggelengkan kepala.
"Jangan kau akan mengubah takdir, jika membantunya," kata Hyunjin yang entah bagaimana membuatku mengangguk patuh, serta kembali berdiri. Menyaksikan kejadian tersebut di sisi pria itu.
Lalu si pemuda Hyunjin kembali bersama kudanya dan meraih tangan Elly Jung agar pergi bersamanya. Namun, belum sempat hal itu terjadi sebuah anak panah berhasil menancap di punggung wanita tersebut, sehingga membuat pemuda Hyunjin langsung memeluknya.
"Lari, Hyunjin," lirih Elly Jung, sembari menyentuh rahang pemuda itu. "Setidaknya kaulah yang harus hidup."
"Tidak. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Hyunjin berkata panik, sembari mengusap wajah cantik Elly Jung yang telah dipenuhi keringat. "Kau satu-satunya yang kumiliki, mustahil bagiku untuk--"
"Hyunjin ... aku tidak ingin kau mati. Aku tidak ingin ... mereka mem-bu-nuh-mu." Wajah Elly Jung memucat dan bibirnya membiru.
Si pemuda Hyunjin sadar bahwa Elly Jung telah di ambang batas, sehingga dengan panik ia menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu. Namun, tindakan tersebut sungguh tidak berguna. Elly Jung menutup mata, akhirnya mengembuskan napas terakhir di pelukan Hyunjin dan ....
... aku melihat pemuda Hyunjin mengeluarkan sesuatu dari dada kirinya. Sebuah kristal berwarna putih berkilau yang kemudian ia letakkan tepat di bawah tulang selangka kiri perempuan itu, hingga dengan perlahan ....
... aku bisa melihat benda tersebut masuk ke dalam tubuhnya. Bersinar di antara gelapnya malam dan ....
... dan aku bisa melihat cahayanya juga berasal dari tubuhku.
Aku menunduk untuk sekadar melihatnya.
Lalu sakit kepala itu kembali hadir.
Benar-benar menyakitkan, hingga kepalaku terasa akan pecah.
Aku meremas rambutku kuat-kuat, tetapi hal itu sungguh tidak memiliki efek.
Karena beberapa detik kemudian, aku tahu bahwa aku telah jatuh.
Aku tahu bahwa aku telah kehilangan sebagian besar kesadaranku.
Dan aku tahu bahwa Hyunjin melakukan hal itu lagi.
Jesus!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro