009. With Him You Will Be In Danger
"Minumlah, ginseng merah bisa menghangatkan tubuhmu," kata Hyunjin setelah meletakkan secangkir cairan berwarna gelap kemudian duduk di sofa yang sama denganku. "Kau boleh beristirahat di sini, selagi menenangkan diri sebelum Aiden datang menjemputmu dan ... kalau tidak merasa nyaman, aku bisa menunggu di luar."
Aku menoleh dan melihat Hyunjin memerhatikanku. Ia bahkan menyelipkan sejumput rambutku ke balik telinga. Kali ini tidak ada ciuman, sehingga aku tidak akan melompati waktu. Namun, sebenarnya aku berharap Hyunjin melakukannya karena apa yang terjadi pada barusan, benar-benar membuatku terguncang hingga kesulitan untuk berhenti menangis.
Hyunjin bahkan memelukku ketika kami sampai di permukaan dan entah bagaimana bisa terjadi, tubuhku bisa kembali bekerja dengan normal. Namun, hal itu bukan berarti aku akan berakhir baik-baik saja karena sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah Hyunjin, aku seperti telah kehilangan kata-kata.
Aku meraih secangkir teh berisi rebusan ginseng merah kemudian menyeruputnya, sambil berharap minuman tradisional tersebut mampu menenangkanku.
"Aku sempat melihatmu diseret pria itu, tetapi aku tidak sempat mengejar karena dia berkendara dengan sangat cepat." Hyunjin masih memerhatikanku, bahkan membantuku meletakkan cangkir tersebut di atas meja. "Tapi syukurlah, aku masih sempat menyelamatkanmu. Kupikir sebaiknya kau melaporkan tindakan percobaan pembunuhan ini."
"Aku tidak bisa melakukannya," balasku sambil kembali menatap ke arah Hyunjin, serta merapatkan selimut tebal pinjamannya agar semakin menutupi tubuhku. "Dia adalah atasan dari para rentenir yang mati secara misterius." Kini aku mengerti, mengapa setelah kejadian-kejadian yang melibatkan Hyunjin, aku tidak berani menanyakannya secara langsung.
... yakni karena aku takut.
Aku takut mengetahui kenyataan.
Takut jika Hyunjin merupakan dalang dari seluruh musibah yang menimpaku.
Rasanya semua berjalan begitu cepat dan berjarak terlalu dekat. Seakan sesuatu di luar sana memang telah mengurutkan takdir burukku, sehingga aku tidak memiliki kesempatan untuk lari. Dimulai dari Edward yang mengkhianatiku, kematian orang tuaku, dan kehadiran para rentenir yang menguras harta benda kami, serta bagian terakhirnya kehadiran Mr. Will yang ingin membunuhku.
"Lalu kau akan membiarkannya begitu saja?" tanya Hyunjin, sambil menukik kedua alisnya ke atas. "Kematian anak buahnya, tidak ada kaitannya denganmu, Crystal."
Aku menghela napas panjang kemudian menyandarkan kepala, pada sandaran sofa. Berpikir sejenak, sebelum kembali berkata, "Apa kau melakukan sesuatu padaku?"
Tidak langsung menjawab, Hyunjin justru menegakkan tulang punggungnya. Kedua matanya sempat terbuka lebar, diiringi dengan garis-garis wajah yang menegas. Hal yang membuatku, kali ini menuntut penjelasan dari segala spekulasi terhadapnya.
"Aku hanya melihat kau diculik dan aku mengejarnya untuk menyelamatkanmu." Hyunjin menyatukan kedua tangannya kemudian memainkan jari telunjuk, seakan sedang memilin seutas benang. "Itu saja, Crystal, apa yang kau bayangkan sebenarnya hanyalah efek dari kesehatanmu.
"Sering kali tidak sadarkan diri, sepertinya membuatmu kesulitan untuk membedakan mana halusinasi dan mana kenyataan."
Aku meraih tangan kanan Hyunjin kemudian menatapnya dan berkata, "Terima kasih."
"You are welcome," jawab Hyunjin, sembari mengusap kepalaku. Ketegangan yang sempat terjadi akhirnya sirna sudah, tergantikan dengan suasana hangat dan nyaman.
Hyunjin membalas genggaman tanganku kemudian mengecup keningku yang sama sekali tidak ada larangan. Entah bagaimana perlakuan tersebut telah menciptakan perasaan nyaman dan aku seakan telah terbiasa dengannya. Seperti sebelumnya aku pernah mengatakan bahwa kami seperti telah mengenal lama, hingga kepercayaan satu sama lain telah tertanam di lubuk hati masing-masing.
"Beristirahatlah, Crystal," kata Hyunjin sambil mengusap kepalaku. "Aku akan menunggu Aiden di luar." Lalu ia melepaskan tangannya kemudian berbalik, melangkah menuju pintu utama yang sedikit terbuka kemudian menutupnya hingga aku benar-benar sendirian di rumah yang terlalu besar untuk satu orang.
Menuruti perintahnya, aku beringsut perlahan dari sofa menuju satu-satunya tangga berisi deretan tiga pintu yang salah satunya--yang ditunjuk Hyunjin--adalah kamarnya. Sambil merapatkan selimut agar menempel di tubuhku, aku mulai menaiki satu per satu tangga berbahan kayu selebar tiga orang dewasa, serta berusaha agar tidak jatuh karena kedua kakiku masih gemetar setiap kali teringat dinginnya air sungai di malam hari.
Oh, kumohon jangan lagi. Aku menggeleng cepat berusaha mendapatkan kembali kesadaran ketika ketakutan kembali berusaha menguasai. Padahal sekarang sudah berada di darat dan ada Hyunjin di sisiku, kenapa tindakan Mr. Will masih saja menghantui? Ini bukanlah kali pertama aku nyaris mati akibat tenggelam, tapi ini adalah yang ketiga kalinya.
Pertama ketika usiaku sembilan tahun, tenggelam karena berenang terlalu lama dan kedua kakiku keram. Kedua saat aku berumur delapan belas tahun, aku melakukan tindakan paling bodoh sedunia yaitu percobaan bunuh diri karena sebuah tantangan, demi popularitas. Lalu ketiga ....
... seorang pria paruh baya, tiba-tiba saja ingin membunuhku demi membalas dendam.
Aku meneguk saliva kuat-kuat, ketika ingatan tentang kejadian itu kembali terulang di kepala. Membuat tubuhku gemetar hebat, bahkan melemaskan kedua kaki hingga aku terjatuh di depan pintu kamar Hyunjin.
Tenanglah, Crystal. Hyunjin telah menyelamatkanmu jika kau masih saja ketakutan, maka dia akan merasa tidak berguna.
"Apa sesuatu yang buruk telah terjadi, Nona?"
Aku menengadah dan melihat seorang pria lain yang berada di rumah ini, padahal hanya Hyunjin yang tinggal di sini. Ia mengenakan pakaian formal berupa kemeja berkerah pendek berwarna biru dan celana jeans berwarna senada, berdiri sambil menunduk sedikit demi menatapku. Pria itu tersenyum ramah, seakan mengerti ketakutan di raut wajahku.
"Jangan takut, aku hanya temannya Hyunjin yang kebetulan mampir," terangnya tanpa memberikan kesan mencurigakan kemudian berjongkok di hadapanku. "Kau tampak sangat pucat. Apa Hyunjin menyakitimu?"
"Apa kau adalah Glenn?"
Pria itu tidak langsung menjawab dan memilih untuk tertawa kecil kemudian menoleh ke kanan dan kiri. "Rupanya kau juga bisa melihatnya, tetapi bukankah seharusnya aku menerima sebuah jawaban daripada pertanyaan? Itu adalah sopan santunnya, Nona."
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Namun, jika itu penting bagimu, maka Hyunjin sama sekali tidak menyakitiku dan justru selalu menyelamatkanku. Bukankah kau temannya? Kau tentu lebih mengenalnya, daripada aku."
Apakah ini pertanyaan untuk mengetes pandanganku kepada Hyunjin? Sebenarnya hal tersebut terlalu berlebihan karena aku tidak sedang berkencan, dengan lelaki berambut dirty blonde itu. Kami hanyalah kenalan yang kebetulan bertemu dan pada akhirnya sering terlibat. Terlebih ketika Hyunjin memberitahu bahwa ia baru saja pindah dari Seattle ke sini, membuatku berpikir ini adalah takdir tidak terduga.
... atau mungkin tidak. Terutama ketika pria berkulit gelap itu menyambar tanganku lalu menyentakkanku hingga berdiri. Dia menempelkan bibirnya di bibirku, hingga membuatku bergegas mendorongnya akibat terkejut dan secara refleks melangkah mundur--menjaga jarak.
"Apa yang kau lakukan tadi?!" tanyaku was-was atas tindakan pelecahan barusan. "Aku tidak akan segan melapor pada polisi, jika kau masih berani mendekatiku."
Dia tertawa kecil sambil menyisir rambutnya menggunakan jemari, seakan gertakan yang kukatakan barusan sungguh tidak memiliki pengaruh. Bahkan ketika aku memelototinya, pria itu hanya menggelengkan kepala kemudian menyandarkan pinggang kanannya pada meja vas berukuran besar.
"Aku hanya ingin memberkatimu karena kemalangan yang kau alami, adalah tidak lain karena kau terlibat dengan Hyunjin."
"W-what do you mean?" tanyaku benar-benar kebingungan, sembari memerhatikan setiap gerak-gerik dan ekspresi wajahnya.
"Pria yang kau cintai itu adalah kemalangan, kehancuran, dan aib bagi para dewa."
"K-kau sudah gila ...." Aku menggeleng tidak percaya kemudian kembali melangkah mundur, ketika pria tampan yang gila itu mencoba menghampiriku. "Dewa hanyalah hal gaib. Kau tidak bisa menipu dengan tipuan payah itu. Hyu--" Sial!
Bibirku seketika tertutup rapat hanya dengan satu jentikan jari darinya, begitu pula dengan tubuhku yang seketika mematung akibat pengaruh aneh tersebut.
Dia pun menghampiriku kemudian berbisik, tepat di telingaku, "Berhati-hatilah karena jika kau terus berada di sisinya, maka nyawamu adalah taruhannya. Terlebih ... miliknya telah berada di dalam tubuhmu."
Apa?! Kedua mataku membesar saat melirik ke arahnya, seiring batinku yang terus meronta tentang lelucon macam apa yang selalu ia katakan? Ini dunia nyata, bukan fantasi dan dari semua kitab agama mengatakan bahwa keberadaan mereka, hanyalah hal gaib.
Namun, bagaimana jika hal gaib itu terjadi di depan mata?
Benar-benar terjadi karena pria itu seketika menghilang hanya dengan menjentikkan jari.
Meninggalkan embusan angin kencang, hingga berhasil membuka jendela beserta tirainya.
... begitu pula dengan selimut yang sebelumnya melilit tubuhku.
Tanpa disengaja hancur tercabik-cabik, akibat terkena kobaran api di perapian.
***
Hai, sorry, ya, kalau kalian merasa alurnya lambat 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro