008. Who Are You Hyunjin?
Nyatanya semua tidak semudah yang dibayangkan.
Aku melempar tubuhku di atas tempat tidur, di kamar Mac yang sejak aku berada di sini benda empuk itu telah dipinjamkan untukku. Baru sehari berkerja di peternakan, tetapi sudah seperti kerja setahun tanpa hari libur. Tulang-tulangku sungguh terasa remuk, seakan melupakan fakta bahwa pekerjaan ini bukanlah pengalaman yang pertama.
Dulu, saat semua masih baik-baik saja, Dad selalu menceritakan kepada kami tentang bagaimana Mom--saat anak-anaknya berusia lima bulan--sudah mengajak kami ke peternakan dan menurut mereka itu sangat menyenangkan karena reaksi setiap anak selalu berbeda. Seperti Aiden yang takut bulu domba, Violet selalu mual setiap kali mencium kotoran kuda, serta aku dan Daisy yang kebetulan memiliki cinta terhadap hewan sejak kecil. Mereka selalu mengulang kisah tersebut, tertawa di bagian lucu, di setiap kami berkumpul di meja makan, hingga tanpa harus menghapal kami secara otomatis telah mengingatnya.
Aku tersenyum mengingat hal sederhana tersebut kemudian meraih boneka kuda poni milik Violet dan memeluknya, sambil menatap langit-langit. Perasaan lelah nyatanya mampu membuat beberapa orang berhalusinasi karena sekarang, netra cokelatku melihat bayangan orang tuaku yang sedang melambai di langit-langit sambil tersenyum, serta mengatakan bahwa mereka mencintai dan memercayaiku.
"Aku juga mencintai kalian," ujarku dengan senyum lebar di antara perasaan lelah akibat energi yang rasanya telah dikuras habis, sejak siang tadi. "Tolong sertakan kebahagian untuk kami semua." Aku menyatukan kedua tangan, berdoa sambil berbaring karena keinginan bergerak sedikit pun nyatanya sungguh tidak ada lagi. Perasaan kantuk menerjang, meski masih pukul sembilan sehingga setelah berdoa singkat aku memejamkan mata. Bersiap menjemput mimpi indah.
Akan tetapi, baru beberapa detik memejamkan mata, dering ponsel yang diletakkan tidak jauh dari tempat tidur ternyata benar-benar menganggu. Bahkan ketika aku menutupi telinga menggunakan bantal, serta menyelimuti tubuh menggunakan selimut tebal, suara merdu milik Ed Sheeran tetap saja masih terdengar. Sial!
Aku meringkuk dari tempat tidur, melangkah malas menuju bufet tempat Aiden meletakkan ponselnya. Diam-diam berharap, memiliki kekuatan super untuk memindah atau mengambil barang jarak jauh hanya dengan menjentikkan jari. Atau andai saja aku memiliki kemampuan unik berupa berjalan sambil berbaring, mungkin itu akan sangat membantu di saat-saat seperti ini.
Ponsel Aiden masih berbunyi dan layarnya memperlihatkan nama Hyunjin. Sebelah alisku tentu terangkat, mempertanyakan apakah mereka saling kenal? Tapi bukankah Hyunjin tinggal di Santa Cruz? Oh, atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak tahu siapa Hyunjin karena dia selalu menolak secara halus, setiap kali aku mengajaknya berbincang. Dan ini adalah kesempatan.
... atau mungkin tidak.
"Adikku sedang tidak ada di sini," jawabku setelah Hyunjin menanyakan keberadaan Aiden, serta setelah aku memperkenalkan diri sebagai kakak perempuan Aiden.
"Baiklah, aku akan meneleponnya lagi atau ... apa kau tahu di mana dia pergi?"
"Well, aku tidak tahu." Aku mengedikkan bahu kemudian berjalan keluar kamar, sekadar mencari keberadaan Aiden. Benar, kami adalah kakak beradik, tetapi bukan berarti aku akan mengetahui dua puluh empat jam aktivitasnya. "Tapi aku harus menanyakanmu sesuatu, demi memperoleh tidur yang nyenyak seperti bayi."
"Apa?" tanya Hyunjin yang membuatku tersenyum kecil. "Kau memiliki kesulitan saat bekerja?"
"Apa kau mengikutiku?" tanyaku refleks yang langsung disambut dengan pukulan di bibir. Terus terang, aku menyesali kepercayaan diri berlebih barusan. "Maksudku, bagaimana semua kebetulan ini terjadi? Ini benar-benar aneh, apa kematian para rentenir itu ada--" Ucapanku seketika terputus, tergantikan dengan kedua mata melotot saat mengetahui siapa lelaki yang berdiri di depan pagar rumah Bibi Jasmine.
Seorang lelaki yang tengah memegang kapak, serta pakaian berwarna serba hitam. Matanya menatapku nyalang tanda bahwa ia menyimpan kebencian teramat dalam, meski aku tidak mengetahui permasalahannya. Hanya satu hal yang kutahui, yaitu dia adalah pria yang bersama Hyunjin dalam keadaan berdarah-darah.
Aku meneguk saliva yang tiba-tiba saja sekeras batu, kedua kakiku bahkan bergerak mundur saat pria itu mulai memasuki halaman Bibi Jane. Ia menyeringai, menandakan bahwa sekarang sedang tidak baik-baik saja dan aku ingin segera melarikan diri. Namun, pintu yang ternyata tertutup membuatku tidak mampu melakukannya.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku sebisa mungkin menyembunyikan rasa takut karena tahu, bahwa pria itu adalah salah satu lintah darat terkaya di Sonoma Country. "Aku baru saja bekerja dan uang untuk melunasi hutang orang tuaku, masih belum cukup. Kurasa para anak buahmu telah mengatakannya, Mr. Will."
"Kau pikir aku datang untuk menagih?" Ia tersenyum miring dan terus melangkah, hingga jarak kami hanya tersisa satu langkah kaki orang dewasa. "Sebenarnya, aku ingin berbicara dengan damai. Asal kau tahu aku tidak sejahat yang kau pikirkan," ujar Mr. Will di mana dengan begitu cepat, tanpa mampu dicegah dia menempelkan sapu tangan ke hidungku, serta mengunci anggota gerakku.
Serangan mendadak yang tentu membuatku memberontak, tetapi tidak bisa melakukan banyak hal. Mr. Will menekan sapu tangannya hingga aku kesulitan bernapas menggunakan mulut. Terlebih akibat sesuatu yang sedikit basah di sana, membuatku bersikeras agar tidak bernapas melalui hidung. Namun, semakin lama aku semakin kekurangan oksigen sehingga ....
... yang benar saja, hanya dalam satu tarikan napas aku tahu bahwa tubuhku kehilangan fungsi, disertai pandangan yang mengabur.
Aku terjatuh di pelukan Mr. Will, tanpa mampu kutahan lagi karena seketika tubuhku terasa seperti mati rasa. Bahkan mengucapkan sepatah kata pun telah menjadi hal tersulit, sehingga saat ini aku hanya bisa pasrah. Terutama ketika pria itu mengangkat tubuhku ke salah satu bahunya, sebelum menutup mataku, serta membungkus kepalaku menggunakan kain hitam.
"Tenang, kelumpuhan ini hanya bersifat sementara, karena aku juga ingin kau mengalami kesakitan," bisik Mr. Will, sambil melangkah meninggalkan kediaman Bibi Jasmine menuju mobilnya yang sepertinya berada tidak jauh, dari rumah.
Dengan kasar ia melempar tubuhku masuk ke dalam mobil, serta memasang borgol di kedua tanganku. Tidak ada yang bisa kulakukan sejauh ini, selain mendengar dan menerka-nerka ke mana pria itu membawaku. Kelumpuhan menciptakan ketakutan luar biasa karena bagaimana pun, aku masih ingin hidup. Membahagiakan adik-adikku hingga menjadikan mereka manusia sukses. Aku tidak ingin mati, tetapi melarikan diri nyatanya merupakan hal tersulit.
Aku memejamkan mata, sembari sekuat tenaga memerintahkan lidah dan mulut agar bersedia berteriak, meminta tolong. Namun, tubuhku benar-benar terasa lemas, sebab sejauh ini hanya bisikan serak yang terdengar di telingaku.
Sampai akhirnya keputusasaan mulai menyerang, aku memutuskan untuk menghitung detik sambil memperkirakan ke mana Mr. Will membawaku. Setidaknya, aku harus memiliki sedikit petunjuk jika nanti bisa melarikan diri.
Jalanan yang awalnya mulus berubah menjadi bergerindil, sehingga menggoyangkan mobil. Aku sungguh tidak tahu di mana kami sekarang, tetapi jelas ini bukan lagi jalanan beraspal. Suara air mengalir sayup-sayup terdengar di telingaku, sehingga beberapa spekulasi pun mulai bermunculan di benakku.
Apakah perkebunan?
Air terjun?
... atau hutan terlarang, tempat aku melihat Hyunjin ... oh, sial! Kuharap ini bukanlah balas dendam.
Aku tidak bisa diam saja, masih berusaha menggerakan anggota gerakku meski hasilnya tetaplah sia-sia. Sedikit pun tubuhku tidak bergerak, hingga membuat batinku senantiasa memaki.
"Good bye, Sweety. Semoga Tuhan melindungimu," kata Mr. Will sembari menepuk pelan kepalaku dan ....
... sial! Apa yang baru saja kudengar? Apa Mr. Will akan meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?
Suara pintu mobil yang dibuka terdengar jelas di telingaku, bahkan di waktu bersamaan mesinnya pun masih menyala.
Oh, shit! Kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini, Mr. Will! Lepaskan aku!
Aku menendang-nendangkan kaki pada apa saja yang terdekat. Berteriak sekeras mungkin, demi mendapatkan pertolongan dan bahkan memberontak sekuat tenaga.
Akan tetapi semua itu hanyalah berupa imajinasi. Sehingga air mata pun tidak bisa lagi ditahan. Aku frustrasi, kebingungan, dan putus asa saat menjemput ajal dalam keadaan seperti ini.
Jangan. Jangan tinggalkan aku seperti ini. Kumohon! batinku berteriak, memohon pada Mr. Will agar dia menghentikan niat jahatnya.
Suara air terdengar semakin jelas, seiring jantungku yang berdetak kian cepat. Aku menangis sejadi-jadinya karena terlalu frustrasi.
Sampai tiba-tiba, tubuhku terasa melayang mengikuti daya tarik bumi.
Aku tahu aku akhirnya terjatuh saat mobil menabrak tebing.
Aku tahu bahwa di bawah sana terdapat sungai.
Aku tahu bahwa ada kemungkinan aku akan selamat.
Dan aku juga tahu bahwa kemungkinan itu tidak akan ada karena ....
... tubuhku masih saja tidak bisa digerakkan.
Seperti sebongkah batu yang terus masuk ke dalam hingga ke dasar sungai.
Hawa dingin pun seakan membekukan jantungku.
Paru-paruku seperti kewalahan.
Aliran darah bahkan berhenti dan ....
... aku ....
... melihat cahaya.
Jauh di dalam sana, dua pasang tangan tampak melambai, meminta agar aku menghampiri mereka.
Mereka yang telah mati, menyambut kehadiran roh baru dengan tangan terbuka.
Akan tetapi, aku tidak ingin mati! batinku kembali berteriak, hingga menyadarkanku. Lakukan sesuatu, jangan pasrah!
Aku membuka kedua mata, berusaha melirik ketika sebuah tangan tiba-tiba melingkar di pinggang dan mencengkram lenganku. Aku berusaha mencari tahu siapa yang menolongku dan ....
... dia adalah pria berkulit putih pucat, dengan rambut sebahu yang menari akibat terkena arus, serta sepasang netra hijau yang menenangkan.
Lalu asap hitam di sekujur tubuhnya pun ....
... tampak benar-benar pekat.
Hyunjin, siapa kau sebenarnya?
Kenapa dia selalu ada di saat seperti ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro