005. What Do You Want Crystal?
Aku menutup mulut dengan menggunakan kedua tangan. Sampai saat ini, aku benar-benar tidak tahu bahwa aku bisa berteriak sekeras demikian, hingga seorang pria yang menyakiti Hyunjin--kira-kira sejauh lima ratus meter--turut mendengar teriakanku.
Dia mengarahkan tatapannya ke arahku kemudian melambaikan tangan, sebagai isyarat agar aku menghampirinya. Namun, situasi yang benar-benar kacau, membuat seluruh tubuhku membeku. Terlebih pria itu juga telah membuat Hyunjin bersimbah darah, hingga terlihat seperti sekarat.
Dengan tangan yang gemetar, aku menyentuh kemeja putih tersebut. Menariknya pelan serta sekuat tenaga, memberanikan diri mendekati Hyunjin. Aku mengarahkan bibirku ke telinga kanannya kemudian berbisik, seakan teriakan beberapa saat lalu hanyalah suatu kekeliruan.
"Bagaimana bisa kau ada di sini?" tanya Hyunjin, sambil menoleh ke arahku dan wajahnya yang penuh darah membuat kedua mataku membesar. "Kau seharusnya tidak bisa melakukan apapun."
"Aku tidak tahu, tapi ... a-apa yang terjadi?" tanyaku nyaris seperti bisikan, sambil mencengkram erat kemeja Hyunjin. Jantungku seolah berhenti berdetak. Ketakutan benar-benar berada di ubun-ubun, hingga yang terpikirkan hanyalah tentang bagaimana cara menyelamatkan diri.
Namun, belum sempat melakukan sesuatu keterkejutan kembali menimpa, hingga kuyakin jantungku benar-benar berhenti dalam hitungan detik. Tiba-tiba saja truck tempatku bersembunyi terangkat, terbalik, serta jatuh sejauh lima meter di sisi kananku.
... dan ledakan pun terjadi, tanpa mampu dicegah hingga refleks aku memeluk Hyunjin, sambil memejamkan mata. Bersiap karena kita berdua akan mati.
Namun, satu detik.
Dua detik.
Tiga detik dan ....
... delapan detik.
Tidak ada kesakitan yang dirasakan. Hanya kehangatan di sekujur tubuh dan embusan angin, menggoyang-goyangkan anak rambutku. Dalam keadaan masih terpejam, aku mampu merasakan seseorang tengah memeluk lalu berbisik bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku akan menjagamu," bisiknya lagi kemudian menarik lembut kepalaku, agar semakin masuk ke dalam pelukannya. "Utusan Dewa."
Utusan dewa katanya? Apa-apaan? Aku membuka kedua mata kemudian menengadah, menatap sang pelindung yang tengah memelukku. Kobaran api menyelimuti kami. Namun, seakan terdapat sebuah perisai, api tersebut tampak berjarak beberapa senti meter dari tubuh Hyunjin. Di mana perisai tersebut merupakan sesuatu yang berwarna hitam dan seperti kepulan asap.
Tentu saja aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Bahkan ketika pria asing yang melukai Hyunjin, kembali berulah dengan melemparkan bola air hingga mampu menghancurkan jalanan aspal di sekitar kami, aku ....
... aku tidak yakin bisa bernapas dengan baik karena seketika, jantungku kembali berhenti berdetak, seiring pandangan mengabur, dan aku ....
... kesulitan bernapas.
Aku menggenggam erat kemeja Hyunjin, tetapi hal itu tidak berarti apapun.
Mungkin aku akan mati.
Mungkin ini kutukan yang tidak disadari.
Mungkin aku hanya berhalusinasi karena ....
... ini sungguh tidak mungkin nyata.
***
"Crystal ...."
Samar-samar aku mendengar suara Daisy memanggil, bersamaan dengan tubuku yang tiba-tiba terasa terguncang, saat aku baru saja ingin berciuman dengan Suppasit Jongcheveevat di puncak menara Eiffel. Membuatku menarik apa saja yang mampu diraih, hanya demi mempertahankan bayangan pria tampan asal Thailand tersebut. Demi Tuhan, aku tidak ingin kehilangannya sekarang, apalagi sebelum merasakan sapuan panas dari bibir paling menggoda di dunia.
Namun, sekuat apapun aku berusaha mempertahankannya, guncangan di tubuhku juga sama kuatnya. Sehingga secara perlahan bayangan Suppasit Jongcheveevat menghilang dan aku meraih kesadaran, dengan keterkejutan yang sangat menyakitkan seiring suara dentuman akibat bokongku mencium lantai, tanpa bisa dikontrol.
"Goddamned!" Aku meringis kesakitan sambil mengusap bokong, serta dengan tangan satunya mengucek kedua mata secara bergantian. "Padahal tinggal beberapa senti, aku dan Suppasit Jongcheveevat akan berciuman lalu--"
"Jangan konyol, Crystal!" Suara Daisy kembali terdengar. Seperti hantu di siang bolong karena rasanya aku masih berada di hotel, tapi ....
... aku kembali mengusap kedua mata kemudian mengedipkannya berulang kali dan dua adik kembarku, memang berada di sana. Sedang melompat-lompat di tempat tidur yang entah milik siapa.
Jesus! Bukankah sebelumnya aku masih Santa Cruz. Bagaimana bisa ini terjadi secara tiba-tiba dan ....
"Di mana Justin?" tanyaku kepada Daisy dan Violet, saat kesadaran seratus persen berhasil mengusai. "Aku ke sini bersamanya, 'kan?"
"Dia sudah benar-benar gila dan merepotkan." Violet melilitkan kedua lengan kecilnya di bawah dada, mengatakan hal tersebut kepada Daisy sembari tetap melompat di atas kasur.
"Sepertinya, Crystal harus melakukan sesuatu hingga kesadarannya benar-benar pulih," timpal Daisy sembari mengangguk kecil kemudian menoleh ke arahku, yang mana sampai saat ini masih mencerna obrolan mereka.
"Benarkah. Apa yang harus kita lakukan, Daisy?"
"Bagaimana jika melompat ke arahnya, seperti tembakan meriam yang kita lihat di film barusan."
"Setuju!"
"Baiklah, aku hitung sampai tiga," ujar Daisy sembari menarik tangan Violet, serta melompat hingga ke tepi kasur kemudian aku mendengarnya menghitung.
Namun, sebelum angka tiga terucap dari bibir mungilnya, seseorang tiba-tiba saja menghentikan perbuatan tersebut sehingga kami bertiga sama-sama menoleh, untuk mengetahui siapa pemilik suara bariton itu, dan sedetik kemudian memperlihatkan reaksi yang berbeda.
Si kembar menyambutnya dengan senang hati. Mereka melompat dari atas kasur kemudian berlari dan memeluk tubuh ramping menjulang itu, serta mengatakan betapa mereka merindukannya. Berbeda jauh denganku yang justru menjatuh rahang bersamaan dengan kedua mata yang membola. Terutama saat pertanyaan mengusik benakku tentang, bagaimana pria ini bisa ada di sini?!
"Crystal," panggilnya, sambil tersenyum dan melepaskan topi koboi berwarna cokelat, kemudian memberikannya kepada Violet. "Kau sudah bangun rupanya. Apakah tidurmu nyenyak? Kau benar-benar menolak bangun ketika kita sampai."
Oh, God! Apakah yang dikatakan Hyunjin itu benar? Aku yakin sekali bahwa peristiwa buruk tersebut adalah kenyataan karena ... tunggu!
"Crystal, sebaiknya kita segera keluar dan bertemu dengan Bibi Jasmie."
"K-kau tahu nama wanita itu?" Nada suaraku terdengar tidak percaya dan telunjukku pun gemetar, ketika menunjuk ke arah wanita yang terlihat di seberang sana. "Ba-bagaimana bisa?" Aku yakin aku--"
"Kau benar-benar merepotkan kekasihmu, Crystal." Suara Daisy memotong ucapanku. "Kami melihatnya sendiri, kau berada di mobil yang sama dan mengorok di kursi penumpang."
"Lalu ketika kami dan Hyunjin membangunkanmu," ujar Violet menimpali ucapan saudara kembarnya, sambil memegangi topi Hyunjin yang terlalu besar di kepalanya. "Tapi kau selalu mengelak bahkan tak segan memarahinya. Kau payah sekali, tidak tahu cara menjaga diri."
"Apa?!" Kedua mataku melotot kemudian bangkit dari tempat dudukumku, serta bergegas menghampiri si kembar lalu memeluknya erat. "Persetan dengan apa yang terjadi, tapi ... apa kalian baik-baik saja? Ya, Tuhan, aku sungguh mengkhawatirkan kalian." Sambil meneteskan air mata, aku mengusap kepala mereka kemudian mengecup keningnya dan kembali memeluk.
Diam-diam menengadah lalu mengucapkan terima kasih kepada Hyunjin, meski hanya menggunakan bahasa bibir.
"Max dan Aiden menjaga kami dengan sangat baik, tapi ...." Violet menggantungkan kalimatnya dan ia memelukku dengan sangat erat.
"Katanya rumah kita terbakar." Daisy menangis kencang dan turut memelukku erat, begitu pula dengan Violet.
Mereka tampak benar-benar terluka. Membuatku tidak tega, jika turut menangis. Seorang kakak harus terlihat kuat, bagaimana pun keadaannya.
Akan tetapi, semua ini akan menjadi sulit jika berhubungan dengan kenangan yang kami ciptakan. Rumah itu adalah satu-satunya tempat paling aman bagi kami, bagaimana mungkin dalam hitungan jam bisa berubah menjadi neraka? Bahkan membuat kami harus berlindung di rumah tetangga.
Pelan-pelan aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak menangis dan fokus menenangkan, sekaligus menghibur kedua adikku.
"Tidak apa-apa kini aku sudah bersama kalian." Aku mengusap lembut punggung kedua adikku, serta mengabaikan suaraku yang serak akibat menahan tangis. "Aku akan menjaga kalian. Ini adalah janjiku."
Aku menggigit bibir. Seiring dengan pertahananku yang mulia runtuh. Aiden bahkan tidak terlihat di mana pun, sehingga rasanya tak memiliki sandaran. Hingga lengan besar itu tiba-tiba saja memelukku.
"Tidak apa-apa, kau tidak perlu menahannya. Aku ada di sini untukmu," ucap Hyunjin kemudian mengusap kepalaku, hingga tidak ada yang bisa dikatakan lagi selain membalas pelukan Hyunjin.
Membiarkan air mata yang mengalir deras, serta suara isakan pun terdengar jelas, Hyunjin senantiasa menghibur meski hanya dengan bahasa tubuh. Itu sudah lebih dari cukup. Ketika kehilangan seseorang dan segala yang kita miliki, kita hanya perlu didengarkan.
Dipeluk.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Tangan dan kaki bahkan tak sanggup lagi berpijak.
Duniaku terasa hancur hanya dalam hitungan detik.
Mereka yang tidak memiliki belas kasihan, nyatanya tak pernah puas hanya dengan membunuh orang tuaku.
Mereka harus mengakhirinya, setidaknya dengan membuat anak-anaknya menderita dan tidak akan berbuat nekat lagi.
Tapi ... ini sungguh keterlaluan.
Aku bahkan tidak sempat bertemu dengan mereka.
Tidak sempat mengungkapkan besar cintaku kepada mereka.
Tidak sempat membalas kebaikan mereka yang telah merawatku.
Dan aku tidak sempat membahagiakan mereka dengan kesuksesanku.
Aku ... seandainya waktu bisa kembali berputar.
"Apa yang kau ingin, Crystal?" tanya Hyunjin sembari menyeka air mataku dan menatapku lamat-lamat.
Tatapannya yang begitu dalam, hingga tanpa pikir panjang aku menjawab bahwa aku ingin ....
"Membalas mereka."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro