Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

004. Nightmare Like Reality

Berkali-kali kukatakan bahwa rasanya aneh. Seperti ada sesuatu yang amis pada kejadian ini. Secara tiba-tiba keluarga dengan reputasi baik, hancur dalam hitungan jam. Aku masih belum bisa memercayai semuanya, bagaimana dad diam-diam berselingkuh dengan lintah darat, serta mom merahasiakan dengan menghancurkan diri sendiri melalui obat-obatan berefek halusinasi dan kecanduan.

Sepanjang perjalanan, di dalam mobil yang dikendarai Justin, aku berusaha agar tetap terhubung dengan Aiden. Meneleponnya beberapa kali serta mengirimkan pesan dengan harapan ketiga adikku, bisa lebih tabah dan tenang selagi menungguku kembali.

Bagaimana tidak kabar bahwa mom meninggal karena over dosis, serta dad yang ditemukan bersimbah darah di salah satu kamar motel tanpa pakaian dan uang sepeserpun, membuat kami semua bagaikan disambar petir. Aiden pasti kesulitan menenangkan Daisy dan Violet yang terus-menerus menangis. Terlebih ketika para rentenir menerobos masuk untuk mengambil harta benda kemudian mengusir adik-adikku, membuatku sungguh khawatir.

"Kau sudah bertemu dengan Bibi Jasmine?" tanyaku sedetik kemudian ketika Aiden menerima panggilan di dering keempat. "Apakah ada sesuatu yang bisa diselamatkan? Bagaimana keadaanmu? Tolong kontrol emosimu, Aiden, hanya kamu yang mereka andalkan sekarang."

"Aku sudah menidurkan mereka di kamar Max. Itu saja yang paling menguntungkan karena polisi setempat akan menemuiku untuk dimintai keterangan. Jangan terburu-buru, Crystal, kami tidak ingin kehilangan kau juga."

"Aku mencemaskan kalian." Aku menggigit kuku telunjuk kananku, sambil menggoyang-goyangkan kaki akibat terlalu gelisah. "Demi Tuhan, aku seharusnya pulang. Bukannya bersenang-senang. Maafkan aku, tolong."

"Crystal, aku ingin bicara dengan Justin."

"Sekarang?" Kedua alisku mengerut kemudian menoleh ke arah Justin yang memperlambat kecepatannya. "Baiklah," kataku lagi sembari menyerahkan alat komunikasi tersebut, serta membiarkan dua lelaki itu berbicara.

Sebenarnya, aku berusaha mencuri dengar tentang apa yang mereka bicarakan. Kekhawatiran membuatku melewati batas privasi. Namun, deru angin dari laut membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang mustahil. Sehingga demi mengalihkan kekhawatiran, aku menoleh ke arah jendela kaca. Menatap bentangan laut biru, di bawah terik matahari.

Hari ini sabtu. Hari padat nasional karena siapa pun tengah berlibur, tanpa terkecuali. Jalanan dipenuhi oleh kendaraan, pedagang dengan gerobak-gerobak di pinggir jalan, pengamen jalanan, dan para pejalan kaki, hingga rasanya seperti berasa di dunia lain. Aku mengamati mereka satu per satu, sekadar menebak asal mereka melalui bahasa, meski suara klakson membuat suasana semakin bising.

... atau mungkin tidak. Aku hanya berusaha mengalihkan kekhawatiranku dengan melakukan sesuatu yang membutuhkan fokus.

Yang mana semua itu sia-sia. Pikiran negatif masih saja mengganggu, sehingga aku memejamkan mata kemudian melakukan relaksasi sederhana menggunakan pernapasan.

"Sepertinya kelompok peramal cuaca melakukan kesalahan," ucap Justin setelah meletakkan ponsel di atas dashboard kemudian menoleh ke arahku. "Mereka bilang cuaca akan cerah sepanjang musim dan hanya akan hujan ringan di beberapa tempat. Tapi ini California, Bung!"

"Peramal cuaca bukan dewa, Justin." Aku menurunkan kaca, sengaja membiarkan lebih banyak udara memasuki mobil dan menghirup napas panjang. "Asal kau tahu saja, bisakah kau mempercepat kecepatan mobilmu. Kita sudah seperti siput di sini."

"Seriosly, Crystal!" Kedua tangannya memukul pelan stir mobil. "Kau ingin aku menabrak jajaran di depan kita?"

Memutar mata, aku mengatakan--melalui pikiran--bahwa aku tidak buta dan aku tahu di depan sana tak ada pergerakan sedikit pun. Aku hanya mengungkapkan ketidaksabaranku, tetapi Justin justru kesulitan menangkap maksud dari ucapan sarkasku.

Dia benar-benar tidak mengenalku sebaik aku mengenalnya.

Aku keluar dari mobil, mengabaikan peringatan Justin dan menoleh ke kanan kiri sekadar mencari tahu, penyebab kemacetan ini. Meski merupakan lokasi terbaik untuk berlibur, kepadatannya tidak pernah separah ini karena ada polisi lalu lintas selalu ada untuk mengatur perjalanan.

"Justin, apa kau ingin memakan sesuatu?" tanyaku sambil menoleh ke arah pria berambut gelap itu. "Ini akan sangat lama. Sebaiknya aku berjalan ... Justin, kau mendengarku?"

Kedua alisku refleks mengerut ketika menyadari, Justin tidak bereaksi sedekit pun. Bahkan di saat aku menggoyang-goyangkan bahunya dan memakinya berulang kali. Dia masih tetap sama, yaitu kedua tangan menggenggam stir mobil, serta tatapan ke arah kaca spion dalam.

"Justin ...." Aku melambaikan tangan di hadapan wajahnya, sekadar mencari tahu apakah lelaki itu tengah menggodaku dengan berpura-pura menjadi patung. "Jangan bercanda, Justin!" bentakku kemudian membuka pintu mobil, serta kembali mengguncang tubuhnya.

Namun, usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Justin tetap pada posisi awalnya, seakan dirinya adalah tubuh tanpa nyawa.

"Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku akan berjalan kaki dan meninggalkanmu." Lalu aku membanting pintu mobil, hingga membuatnya tertutup rapat dalam satu hentakan.

Namun, pemandangan aneh tiba-tiba saja menyambut. Di mana tidak hanya Justin, tetapi segala hal termasuk; asap dari gerobak-gerobak makanan, musik yang sebelumnya diputar di beberapa bar, sekelompok penari jalanan, gelembung sabun di udara dan lain sebagainya seketika berhenti tanpa menunjukkan pergerakan sedikit pun.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menghampiri orang-orang yang berada di sekitarku untuk melambaikan tangan di wajah mereka. Bahkan pada salah seorang penari jalanan, di mana kedua kakinya tidak menyentuh bumi akibat melompat. Ini benar-benar aneh, seperti waktu telah berhenti dan hanya aku yang tidak terpengaruh.

"Sial! Ini pasti mimpi." Aku melangkah mundur saat jantungku seketika berdebar cepat, akibat fenomena di luar nalar ini. "Benar. Aku pasti tertidur, selagi Justin berkendara dan ... aku hanya harus segera bangun." Tawa sumbang meluncur di bibirku, demi menghibur diri yang sebenarnya putus asa.

Dapat kurasakan bahwa kini tubuhku gemetar, sampai-sampai kedua lengan memeluk diri sendiri dan mata tertutup rapat. Sekuat tenaga, aku berusaha untuk segera terjaga sebelum hal buruk kembali menimpa. Bagaimana tidak, langit telah menjadi gelap, awan hitam bergulung-gulung seiring dengan embusan angin kencang yang menerpa tubuh, dan bumi terasa bergetar hingga kedua kakiku mulai goyah.

Terus terang, ini adalah mimpi yang benar-benar buruk, hingga aku ingin segera mengakhirinya.

Namun, sekuat apapun aku mengsugestikan diri sendiri agar segera terjaga, semuanya sungguh tak berpengaruh. Mimpi yang kualami benar-benar terasa nyata, hingga tangan kananku terulur ke pipi kemudian mencubitnya sekeras mungkin.

"Damn!" Aku berteriak keras, ketika rasa sakit menjalar ke seluruh wajahku. Bahkan membuat kedua mata terbuka lebar dan keterkejutan pun menyapa, hingga kedua kaki kembali melangkah mundur. "Apa-apaan ini?! Tidak, kau tidak bisa diam saja, Crystal. Kau harus segera lari untuk menyelamatkan diri dan percayalah ini hanya mimpi."

Tapi ini terlalu menyeramkan untuk sebuah mimpi karena sudah seperti kiamat.

Aku bergegas berlari menghindari retakan di jalan raya yang bergerak cepat, serta sekuat tenaga menahan diri agar tidak menoleh ke belakang saat suara ledakan senantiasa terdengar. Namun, langkahku seketika terhenti saat angin tornado terlihat tidak jauh di depan mata, tengah melahap apa saja yang ia lalui. Sehingga aku segera berbelok ke perempatan kemudian bersembunyi di bawah truck.

Ketakutan berhasil menyelimuti, hingga suara gemelatuk terdengar di antara deburan ombak di belakangku.

"Ya, Tuhan, tolong selamatkan aku," bisikku dengan seluruh tubuh gemetar dan napas yang tak lagi teratur.

Aku berusaha untuk tidak melihat apa-apa lagi, berusaha agar tidak mendengar apapun dan berusaha melumpuhkan seluruh anggota gerakku. Biarlah aku mati, jika ini adalah mimpi karena semua yang terjadi sungguh tak masuk akal.

Akan tetapi, ketika putus asa telah menguasai, aku tidak bisa untuk tidak melakukan apapun karena tiba-tiba saja, indera pendengaranku mendengar sesutau yang menghantam truck.

Sesuatu yang terlempar dengan sangat kuat, hingga truck roda enam itu sedikit bergeser dan ....

... aku bisa melihat genangan darah segar yang semakin lama, alirannya semakin mendekati ujung jariku.

Aku menggigit bibir.

Berusaha agar tidak berteriak.

Berusaha agar tidak menciptakan suara sedikit pun.

Demi Tuhan, kali ini aku tidak bisa mengelaknya lagi.

Karena ini ....

... tolong, siapa pun itu selamatkan aku!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro