Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

001. First Meeting When I Was Unlucky

Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun juga sama menyebalkannya.

Cinderella hidup menderita setelah sang ayah menikahi Lady Tremaine, tetapi mendapatkan pertolongan dari ibu peri. Beast menerima kemurahan hati dari seorang penyihir atas cinta sejatinya bersama Belle. Kemudian Aladdin berhasil menjadi kaya raya, serta menikahi Putri Jasmin berkat bantuan Genie. Hidup terlihat terlalu mudah di dunia dongeng.

Seperti namanya, kenyataan adalah hal terkejam bagi sebagian orang dan aku berada di tempat tersebut bukan di dunia dongeng. Terik matahari yang biasanya hangat, kini terasa sangat menyengat. Jajaran gerobak penjual es krim, minuman dari buah-buahan tropis, serta pernak-pernik khas pantai laris manis karena sekarang adalah musim panas. Musim yang sangat dinanti, tetapi kali ini menjadi petaka untukku.

Justin mengusirku secara halus dengan mengatakan, bahwa Steven ingin memiliki privasi berdua selama liburan musim panas. Pasangan kekasih itu bahkan tak segan memberikan akomodasi berupa sedikit uang, tiket perjalanan, dan penginapan selama seminggu di Pantai Santa Monica.

Sayangnya, liburan gratis yang awalnya dianggap sebagai anugerah kini berubah menjadi neraka. Entah ini memang sudah direncanakan--Steven adalah pelaku utama karena terang-terangan cemburu padaku--atau hanya kebetulan. Namun, melihat Edward tidur dengan dua wanita lain membuat hatiku hancur berkeping-keping, hingga teler tanpa seorang teman di salah satu klub berhasil menciptakan kesialan lainnya.

Yaitu, dompet dan ponselku benar-benar raib tanpa jejak sedikit pun. Ugh!

"Jalang sialan," bisikku, sambil meringis dan kedua tangan meremas rambut, ketika pengar masih menguasai kepala. Sebenarnya aku ingin menghindari perbuatan seperti ini, tetapi untuk sekarang kurasa hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit.

Aku mengembuskan napas panjang kemudian bangkit dari bangku taman, tempatku tertidur kemudian melakukan peregangan sederhana. Orang-orang setengah telanjang berjalan berseliweran di depan mata, dengan kulit mereka yang mengkilap akibat sunscreen dan keringat akibat terik matahari.

Mereka tertawa seakan liburan musim panas merupakan waktu yang tepat untuk bersenang-senang, sedangkan beberapa lainnya sibuk mengejek manusia menyedihkan sepertiku atau memamerkan puting, serta penis. Seharusnya ini akan menjadi tindakan illegal, tetapi siapa yang peduli. Musim panas--di setiap pantai California--tidak akan hukum yang berlaku. Wanita adalah milik bersama, begitu pula sebaliknya.

"Apa kalian masih bersenang-senang di hari kedua? Hidupku benar-benar brengsek." Menggunakan tangan kanan, aku menyentuh perut yang sungguh tidak tahu diri. Perut yang terus-menerus keroncongan, padahal tidak ada selembar uang di dalam kantong.

Netraku secara refleks menatap ke arah gerobak yang menjual makanan khas Mexico. Dari jarak sekitar lima meter, asapnya terlihat mengepul ke udara. Samar-samar suara berisi kalimat ajakan dari speaker terdengar, diantara lautan manusia di jalan beraspal sebelah pantai. Kali ini, rasanya benar-benar menyiksa. Padahal sebelumnya--saat diet--aku sungguh tak bermasalah dengan hanya mengonsumsi air mineral, serta salad di malam hari.

Menyesal? Benar, aku tidak akan membuang kesempatan untuk menikmati makanan lagi.

Diam-diam mengusap saliva di sudut bibir, aku memutuskan mengalihkan perhatian dengan berjalan kaki menuju hotel yang menjadi satu-satunya harapan karena masih ada tabungan pribadi di dalam koper.

Demi Tuhan, aku benar-benar berharap tidak akan ada kesialan berikutnya.

Akan tetapi, belum sempat melangkah lebih jauh, keseimbanganku menghilang akibat tersandung kaki sendiri dan ....

... tentu saja, dalam hitungan detik wajah dan tubuhku menghantam punggung seseorang.

Punggung lebar yang tampak kokoh, serta dilapisi kemeja putih beraroma cokelat.

Aku berharap kami tidak jatuh. Berharap pria itu memiliki keseimbangan, sehingga ia menangkapku. Namun, semua itu hanyalah sebuah harapan karena kedua telapak tanganku menghantam trotoar, serta wajahku yang mendarat tepat di dadanya.

Seharusnya, ini akan jadi adegan romantis, tapi--

"What the hell?!" Dia mendorongku, dengan perlahan menjauhkan tubuhku di atas tubuhnya kemudian bergegas bangkit, sambil membersihkan kemeja putihnya. "Apa kau teler? Aromamu benar-benar busuk dan seharusnya pesan taksi saja, daripada mengganggu orang lain."

"Goddamned, apa kau pikir aku juga tidak ingin, eh?" Rasanya tidak adil, jika pria itu menghakimiku tanpa tahu kebenarannya. "Aku juga menolaknya, berjalan kaki sendirian seperti seorang idiot!"

"Apa kau ada masalah?" tanyanya sambil bertolak pinggang, setelah selesai menepuk-nepuk kedua lengan yang dikotori serpihan corn es krim. "Kau menangis."

"Apa?" Aku mengerjapkan kedua mata dengan sangat cepat. Khawatir jika yang dikatakan pria asing keturunan Asia itu memanglah benar. "Jangan terlalu memperhatikanku, aku tidak ingin kau kesulitan." Lalu aku segera berbalik, sembari mengusap kedua mata dan benar saja, beberapa cairan membasahi area tersebut tanpa kuketahui dengan jelas alasannya.

Mungkin karena lelah. Seumur hidup tidak pernah, mengalami kemalangan beruntun. Hidup dari keluarga sederhana di kawasan pertanian, ternyata tak menjamin mental yang kumiliki.

Dan kali ini, akhirnya aku merindukan orang tuaku, Aiden, serta si kembar Daisy dan Violet.

"Seharusnya pulang saja, daripada tergiur dengan liburan gratis yang hanya bisa menyakitiku." Sengaja kupelankan suara karena tidak ingin siapa pun mencuri dengar.

"Hai, aku bisa menghiburmu jika kau membutuhkan seseorang." Pria itu menyentuh bahuku, hingga refleks membuatku menoleh. "Hyunjin, kau?"

Kedua alisku refleks mengerut, menatap pria Asia yang rambutnya dicat dirty blonde, serta dibiarkan panjang sebahu. Ia menguncir beberapa bagiannya, hingga musim panas membuat bulir-bulir keringat tampak bergulir mulus dari pelipis sampai ke leher.

"Aku tidak yakin kita harus berkenalan dalam situasi seperti ini," ujarku kemudian kembali menghadap Hyunjin. "Dan aku juga tidak tahu kau pria yang baik atau hanya ingin memanfaatkanku."

"Excuse me?"

"Yeah, seperti hubungan singkat di atas ranjang." Aku menggigit bibir, sambil menaikkan kedua alis setelah mengutarakan isi kepala yang berlandaskan pengalaman.

Hyunjin tidak menimpali ucapanku. Ia hanya memfokuskan netra cokelatnya, seakan ingin membunuh melalui tatapan. "Kau memikirkannya?"

"Tentu saja!" ujarku meninggikan suara, sambil melilitkan kedua lengan di bawah dada, dan menengadah. "Apa lagi yang dilakukan di sini, di saat seperti sekarang, selain pesta berhari-hari, teler, serta seks. Semua orang memiliki alasan seperti itu dan jika kau mendekatiku dengan alasan demikian, maka kau salah."

Berbalik membelakangi Hyunjin, aku berniat untuk segera pergi, demi menghindari sikap tak masuk akal barusan. Sikap yang terlihat jelas, seperti seorang pacar yang cemburu karena kekasihnya berbohong dan tidur dengan wanita lain. Entah apa yang ada di pikirannya waktu itu, tapi Hyunjin tidak pantas menjadi tempat pelampiasan sehingga sebelum benar-benar pergi, aku berkata, "Crystal. Senang bertemu denganmu, Hyunjin."

Lalu aku melangkah lebar, membelah manusia berpakian renang dan melewati beberapa kendaraan yang tak kunjung berhenti menyalakan klakson. Perutku masih keroncongan, bahkan bertambah parah akibat aroma menggiurkan dari potongan daging yang dipanggang, bersama lelehan butter serta campuran rempah-rempah di salah satu restoran.

Sial! batinku menggerutu, sembari terus berjalan--setengah berlalu menuju hotel yang hanya tersisa seratus meter. Diam-diam aku berharap Hyunjin akan mengejar atau minimal menahan kepergianku, meski kami baru saja berkenalan dalam kondisi yang kurang tepat. Aku tidak punya teman di sini, sehingga kehadirannya ....

... aku membutuhkannya untuk sekadar menemani stress karena kesialan beruntun ini.

Akan tetapi, aku telah mengakhirinya dengan sangat buruk sehingga yang bisa kulakukan hanyalah melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan, meski hanya dalam bentuk imajinasi dan--

"Shit," desisku sambil memejamkan mata, saat sedetik kemudian cairan dingin yang menejukkan menyentuh dadaku bersamaan dengan noda merah di crop top warna kuning. "Apa-apaan ini? Tidak bisakah aku tenang sedikit saja?" Aku berbisik pada diri sendiri ketika kedua tanganku saling mengepal akibat menahan amarah. 

Yang ia kotori adalah hadiah dari Justin ketika ia berlibur ke Barcelona. Dengan ukuran yang sangat pas dan membuat kulitku terlihat lebih seksi, aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengotori apalagi merusaknya sehingga setelah membuka kembali kedua mata, aku mendapati seorang gadis berambut ungu tengah menatapku dengan cara memuakkan.

"Oh, my God," katanya sambil menggenggam dua gelas berbahan plastik dan sorot matanya tak lepas dari kekacauan yang ia perbuat. "I'm so sorry girl, aku sungguh mengacaukannya, bukan?" Ia bertanya, tetapi terkesan tidak sepenuhnya bertanya hanya basa-basi seperti kelompok manusia populer pada umumnya. "Well honey, sebaiknya kau bergabung dengan kami saja sebagai bentuk permintaann ma--"

"Sabrina!" Kami berdua menoleh ke arah asal suara ketika gadis berambut ungu itu dipanggil oleh seseorang. "Jangan buat kami menunggumu lebih lama lagi, Jalang!" serunya dari atas pick up yang memperdengarkan musik rock dari salah satu band terkenal di dunia. "Ajak saja dia, daripada kalian mengobrol di tengah-tengah arus sibuk seperti itu."

"Shut up, Dick, aku juga sudah tahu tanpa kau beritahu!" Dia mengibaskan jari yang tangannya masih menggenggam gelas ke arah teman lelakinya.

Sedangkan di sisi lain, pusat perhatianku sebenarnya beralih pada seorang pemuda di bagian kemudi yang kini, tampak sedang memamerkan otot dada, bisep, dan perut, serta kulit tanned yang sebelumnya menjadi kesukaanku.

Terus terang saja, menatapnya membuat hatiku kembali berdenyut nyeri. Apalagi ketika rekaman pengkhianatan tersebut kembali berputar di benak, serta sikap tidak pedulinya sekarang. Aku sudah seperti seonggok daging busuk yang sudah tak lagi berarti di matanya, sehingga ketika perasaan dan akal sehat mulai bertengkar sebuah anggukan pun menjadi jawaban untuk ajakan Sabrina.

Aku butuh penjelasan yang masuk akal, sebelum kami benar-benar mengkahirinya.

"Aku juga ingin bergabung dengan kalian." Tanganku digenggamnya, sehingga membuatku menoleh dan pria bernama Hyunjin tersenyum asimetris. "Ngomong-ngomong, kami adalah sepasang kekasihnya jadi akan sangat aneh, jika berpisah sekarang."

"Oh, tidak masalah, Dude," ujar Sabrina, sambil memberikan satu gelas plastik ke arah Hyunjin. "Kami masih memiliki dua kursi kosong. Kemari dan bergabunglah di pick up." Lalu tanpa permisi, Sabrina menggandeng tanganku tanpa peduli bahwa aku masih berbicara melalui tatapan mata bersama Hyunjin.

Namun, sejak awal kami memang tidak memiliki kontak batin karena tak saling mengenal, sehingga sekeras apapun aku memberikan kode protes hal tersebut hanyalah sia-sia. Hyunjin tidak akan mengerti dan di lain sisi, Edward juga terkesan tak peduli.

Terlebih sebelum menaiki pick up, aku menyempatkan diri untuk melirik ke arah Edward dan fakta menyakitkan pun, berhasil meninju ulu hati. Yaitu pria yang sebelumnya mengatakan akan pulang ke Brazil, ternyata terdampar di Santa Cruz sambil menjejalkan lidahnya di mulut seorang gadis dan tangan kanannya ....

... sial! Bagaimana bisa dia sekejam itu!

"Jangan." Hyunjin mencekal pergelangan tanganku, ketika aku baru saja ingin melangkah menghampiri Edward untuk meninju wajahnya. "Aku tahu kau terluka, tapi jangan sekarang. Kau bisa melakukan hal lain untuk memberinya pelajaran, seperti mempermalukannya karena kau adalah satu-satunya yang paling mengenalnya."

"Bagaimana kau ...."

"Sorot matamu memancarkan laser ke arahnya," ujar Hyunjin, "dan semua orang di sini terlalu sibuk untuk memerhatikan kesedihanmu, sehingga hanya aku yang tahu. So ... come on now and trust me."

Hyunjin tersenyum, sehingga membuat kedua mata kecilnya tampak terpejam dan tanpa ragu ia juga menggenggam tanganku, sembari membantuku naik ke atas pick up kemudian menyampirkan kemeja putihnya di bahuku.

"Hanya sementara, sampai kau baik-baik saja dengan noda di pakaianmu," kata Hyunjin lagi, sembari tetap menggenggam tanganku kemudian mengangguk-anggukkan kepala mengikuti hentakan musik.

Sedangkan aku ....

... hanya menatapnya, dengan memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.

Diam-diam mengamati pria berdarah Asia tersebut, hingga menciptakan pertanyaan mengapa dia bisa sebaik ini denganku. Bahkan ketika kami baru saja berkenalan dan ....

... mengapa rasanya seperti tidak asing lagi?

Benakku terus bertanya-tanya, tentang apa yang terjadi sekarang dan siapa Hyunjin sebenarnya hingga membuatku tidak merasa canggung sedikit pun atas segala sikap perhatiannya.

"Aku tahu ini konyol, tapi apa kau dewa pendamping yang diutus semesta untukku karena seseorang membuatku memercayai hal tersebut."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro