⌈ Rite of Hollows ⌋
Kisah ini diikursertakan dalam event ulang tahun WIA Indonesia.
| Fantasy |
| 2470 words
Menjadi putri ketujuh adalah kesialan, kehadirannya menjadi buram di antara banyaknya saudara. Bahkan nama yang mengikat tidak terdengar istimewa. Raleigh, nama yang ayahnya ambil dari kuda milik Lord Abbington yang dijaga olehnya, adalah nama terburuk bagi gadis kecil yang sebentar lagi menginjak sebelas tahun. Lalu Shapcott, nama yang berteriak bahwa ia terlahir dalam keluarga pengembala dengan banyak mulut untuk diberi makan. Tidak salah bila ia memotong namanya demi menghindari malu, Rae.
Kini masa itu datang lagi. Ritual suci yang terjadi empat tahun sekali. Dimana satu nyawa menyerahkan diri demi keberhasilan panen kepada penjaga lahan subur Abbington, Hollows. Sebuah berkat saat salah satu putri Shapcott menjadi Anak Terpilih.
"Hollows adalah penjaga tanah Abbington, jangan takut padanya. Mereka akan menuntunmu menuju tempat abadi," jelas sang ibu sambil menyisir rambut merah Rae yang kusut.
Kalimat lembut berlalu dari satu telinga menuju telinga lain. Tidak hanya menjadi pertama kali sang ibu menyisir rambutnya, juga Rae sadar akan kemunafikannya. Sebab upah besar dari Lord Abbington baru saja mereka terima dengan tangan terbuka. Membuatnya muak dengan semua perilaku manis, terutama saat dirinya dijual dengan mudah demi memenuhi gubuk mereka.
✦ ✦ ✦
"Anak pemberani, sebuah berkah bagimu terpilih oleh penjaga suci." Pria paruh baya yang tubuhnya dibalut kain-kain mahal baru saja menaruh mahkota bunga di atas kepala Rae. Itu adalah Lord Dexels Abbington, pemilik tempat serta penguasa wilayah subur ini.
Menjadi kalimat penanda bahwa ritual di mulai. Rae mungkin masih kecil, tetapi tidak bodoh. Tanpa kata manis, ia tahu ini adalah akhir dari hidupnya.
Rae menatap setapak yang harus ia tempuh. Hutan dimana pohon keringnya terbelit tidak alami. Pekatnya kegelapan membuat siapa pun percaya ada kehidupan yang bersembunyi di balik sana. Rae mengenakan gaun sutra putih yang bersinar lembut di bawah cahaya rembulan, hadiah dari Keluarga Abbington. Baju yang meneriakkan kehadirannya di gelapnya hutan, itulah yang Rae percaya.
Hanya satu alasan mengapa ia berani mengambil langkah tanpa berbalik untuk kedua kali. Sebab baginya, pekatnya kegelapan di depan mata serta hidup yang ia tinggal di belakang punggung, cukup serupa. Tidak ada bedanya kemana ia memilih langkah.
Seiring langkah yang berhamburan, pekatnya gelap perlahan menyelimuti. Hollows yang diagungkan orang dewasa sama sekali tidak terlihat. Sebab yang Rae temukan hanya pohon kering, kegelapan, cahaya rembulan serta gagak. Gagak yang semakin dalam ia berjalan, semakin banyak yang menemani.
Hingga satu pohon menyapa dengan dedaunan hitamnya yang menari oleh angin sepoi. Bukan, itu bukan dedaunan. Melainkan ratusan gagak pada satu pohon putih besar. Tatapan salah satu menangkap mata Rae, diikuti ratusan lain.
Rae menarik langkah mundur saat satu per satu gagak melebarkan sayap. Satu kedip saja, ratusan gagak terbang menjadi satu bayang. Dimana sosok besar dengan topeng burung berparuh panjang berdiri di hadapan Rae. Tubuhnya penuh akan bulu hitam dan dari tangan yang terentang, keluar kabut tipis yang dinginnya menusuk kulit.
Ketika dua bola mata kelabu milik Rae menangkap tepi jubah sosok misterius, ia mengencangkan genggaman. Sebab yang ia dapat adalah tumpukan kerangka manusia yang ukuran tengkoraknya terlalu kecil bagi orang dewasa. Sadar bahwa rentangan tangan tajam sudah hampir sejengkal darinya, Rae mengerahkan seluruh tenaga untuk berbalik.
Ia berlari tanpa melirik, tidak peduli kemana langkah besar membawanya.
"KHAAAAAK!" Teriakan memekik bergema jauh di belakangnya. Satu sosok besar kini terpecah menjadi ratusan dan mengejar hanya pada satu. Puluhan gagak kini mengepung Rae, mencabik dan mencakar gadis kecil yang wajahnya penuh dengan teror.
Sadar bahwa kematian hanya berjarak satu tarikan napas, Rae meneriakkan doa kencang-kencang dalam hati. Doa itu dijawab dengan satu sayatan menyeramkan yang mencabik puluhan gagak sekaligus. Sang gadis berbalik dan kedua mata kembali bergetar akibat menemukan monster baru.
Tingginya mencapai pohon dimana tubuhnya tidak jauh berbeda dengan ranting kering. Ia berdiri dengan dua kaki dan mengenakan baju layaknya manusia. Namun, kedua tangan adalah jemari panjang nan tajam yang mencabik gagak dengan mudah. Lalu yang mengerikan adalah wajahnya. Sebab itu adalah permukaan mulus tanpa wajah.
Rae kembali berlari menjauhi kekacauan. Namun, puluhan gagak menyatu menjadi burung besar dan meluncur cepat menuju satu sasaran. Monster tanpa wajah ikut bergerak, ia menarik Rae dalam dekapan agar terhindar dari serangan mematikan. Keduanya berguling kemudian terjatuh ke dalam jurang pekat.
"KHAAAAAAK!" Menjadi sebuah jeritan frustasi dari monster yang kehilangan mangsa.
✦ ✦ ✦
Sangat beruntung saat akhir dari jurang adalah tumpukan dedaunan yang menyambut keduanya dengan lembut. Rae bergegas menjauh dan menemukan monster yang berhati-hati mengulurkan tangan kepadanya. Wajah itu tetap menyeramkan bagi Rae. Namun, usaha serta luka yang membekas pada sang monster membuat Rae berani menerima uluran tangan.
Setelah ratusan langkah adalah hamparan lahan subur dengan dua gubuk menetap serta satu pohon tua besar. Dari salah satu gubuk, sesuatu berjalan mendekat.
"LUE! KEMANA SAJA KA—?"
Rae menarik pandang, menatap sumber suara. Ia tidak tahu bisa menyebutnya sebagai mahkluk atau tidak. Sebab sosok gempal yang berteriak khawatir adalah sebuah karung gandum. Ia memiliki kepala, tangan serta kaki. Namun, kulitnya adalah rajutan kasar dari rami.
"LUE MEMBAWA ANAK MANUSIA!" teriak monster gempal panik.
Rae melirik monster tanpa wajah yang menolongnya. "Namamu Lue?" tanyanya yang dibalas dengan satu anggukan.
"Anak manusia?" Satu kepala ular muncul. "Manusia kecil?" Lalu satu lagi yang serupa kembali muncul.
Itu adalah dua kepala ular yang berbagi satu tubuh. Memiliki sisik hitam, putih dan merah yang berulang. Meski mereka berasal dari satu tubuh, kedua kepala adalah pribadi yang berbeda.
"Astaga! Izzy! Apa yang harus kita lakukan?" Kini monster gempal berlari panik ke sosok baru.
"Grundell tenang, tubuhmu robek." Suara wanita yang keluar dari sosok baru bernama Izzy, terdengar lembut. Ia berbentuk seperti manusia dewasa, mengenakan tudung kepala panjang seperti pendeta. Namun, seluruh tubuh terbalut perban, dari jemari hingga seluruh wajah. Seakan menutup sebuah luka atau wujud menyeramkan.
Izzy mencoba menenangkan Grundell, monster gempal yang tidak berhenti berlari panik. Sebab pada salah satu kaki sebuah lubang kecil terbuka dimana gandum yang mengisi perlahan keluar.
Satu kepala ular mengikuti Grundell sambil tertawa usil. "Lubang di pantat Grundell!—Aw!" Namun, satu lagi tetap memaku pandang kepada Rae. "Anak manusia kenapa kecil—Aw!" Hingga membuat keduanya terbelit.
"Kal, berhenti membelitku!" ujar kepala ular yang penasaran dengan Rae.
"Kita ini ular, Can. Mau bagaimana lagi!" balas yang lain dengan jengkel.
"Hmp!" Setiap pasang mata mengarah pada Rae yang sekuat tenaga menahan tawa.
"Ah, maaf. Kalian lucu," jelas Rae malu.
Meski keadaan sangat kacau, sulit untuk menahan senyum saat menatap tawa lugu anak manusia. Lue menarik jemari ramping kemudian mengarahkannya pada pohon besar.
"Kau benar, Lue. Ayo bawa dia ke Kakek Abel," jawab Izzy dengan satu anggukan setuju.
Kakek Abel adalah pohon besar tua. Sebuah wajah terbentuk dari lekukan kulit pohon pada batang utamanya. Daun terakhirnya baru saja jatuh, sebab ini penghujung musim gugur.
"Tempat apa ini?" tanya Rae yang kagum pada megahnya pohon besar itu.
"Manusia menyebut ini Neraka," jawab suara berat dari pohon. Rae sempat menahan langkah karena terkejut, tetapi senyum lebar dari pohon tua membuatnya sedikit melonggarkan awas.
"Apa aku sudah mati?" tanya Rae ngeri.
"Tidak, anak manis. Itu hanya sebutan manusia pada dunia dimana makhluk menyeramkan menetap," jelas Kakek Abel dimana salah satu rantingnya mengelus pipi Rae.
"Tapi dunia manusia lebih kejam dibanding tempat ini," bisik Rae yang kembali mengingat alasan ia berada di tempat ini.
"Anak manusia—"
"Rae," potong sang gadis.
"Baik, Rae. Apa kau ingin kembali—"
"Tidak! Tidak ada tempat untukku kembali." Rae menundukkan kepala demi menahan tangis. Abbington adalah tempat yang ia benci. Keluarga yang bersukacita pada kepergiannya, bukanlah tempat untuknya kembali.
"Apel!" Di tengah kesunyian, teriakan salah satu ular kembar, Can, menarik semua perhatian kepadanya. Sebuah apel yang warnanya menyala seperti darah tumbuh di antara ranting gersang. Buah yang hadir bagi mereka yang merayakan hari kelahiran.
"Tidak ada yang berulang tahun hari ini," ujar Kal penuh bimbang pada saudaranya.
"Aneh sekali." Kini Grundell yang pantatnya baru selesai dijahit oleh Izzy ikut berpikir keras.
"Um. Ini sebenarnya hari ulang tahunku." Suara pelan yang keluar dari mulut Rae membuat setiap pasang mata mengarah padanya. Hanya membuat gadis kecil semakin menundukkan kepala akibat malu. Sungguh sial nasibnya. Saat umur bertambah adalah hari dimana keluarga mengorbankannya demi mengisi perut.
Dua tangan yang terbalut perban menggenggam kedua tangan Rae yang selama ini saling mengait akibat gugup. Meski kulit dibalik perban terasa begitu lembab, tetapi kalimat hangat yang ia bagi menyentuh hingga ke hati terdalam. "Selamat ulang tahun, anak manis."
Hanya kedua mata yang tidak tertutup perban dan dari mata itu ia melempar senyum. Membuat mata kelabu Rae memanas. "T-terima kasih," isaknya yang sekuat tenaga menahan air mata.
Sebab menjadi pertama kali seseorang mengucapkan selamat dengan tulus. Dimana kedua orang tua selama ini hanya memberinya kaus kaki bekas setiap tahun. Kemudian jemari ramping penuh hati-hati mengelus kepala Rae, diikuti lengan gempal dari rajutan rami dan yang terakhir adalah elusan lembut di kedua pipi dari ular kembar.
"Terima kasih, semua," balas Rae pada setiap monster yang lebih hangat dibanding manusia yang ia kenal.
"Ulang tahun anak manusia. Bagaimana kita merayakannya?" tanya Grundell, menatap Rae penuh rasa penasaran.
"A-aku tidak pernah merayakannya, karena saudaraku sangat banyak," jelas Rae sedikit malu.
"Kalau begitu kita rayakan seperti biasa!" balas Grundell penuh semangat.
Berkat satu siul dari Kakek Abel, ragam makhluk muncul memenuhi pandang. Lalu semuanya berjalan cepat. Izzy, dibantu oleh ikan-ikan tembus pandang yang berenang riang di udara, bolak-balik membawa air dari sungai terdekat. Mengisi bak-bak besar penuh dengan air. Can dan Kal membakar kayu-kayu demi menghangatkan air, dengan api yang keluar dari kedua mulut mereka.
Di gubuk lain, Grundell bersama makhluk-makhluk bertubuh ranting sibuk mengaduk-ngaduk sup labu. Satu pai manis baru saja masuk dalam tungku pembakaran. Dimana setiap detik berlalu, aroma manisnya menguar dari asap yang mengepul. Sedangkan Lue baru saja kembali setelah memanen ratusan berry bersama tupai-tupai kecil.
Rae akhirnya menenggelamkan tubuh dalam bak hangat, setelah ratusan bujukan dari Izzy. Tanpa aba-aba, Lue pun melempar ular kembar ke dalam bak yang sama. Sebab mereka yang paling jarang mandi. Meski keduanya penuh akan protes, tetap sulit melepas amarah saat tawa lebar menetap pada wajah manis sang gadis.
Setelah berendam, Rae mengenakan gaun krem baru yang terasa nyaman di kulit. Dibuat dengan hati-hati oleh ulat raksasa yang bersinar lembut seperti rembulan serta kupu-kupu berwarna pastel. Tidak hanya dirinya, pohon tua besar ikut bersolek. Dimana dedaunan hijau segar memenuhi setiap dahan yang beberapa saat lalu baru saja menggugurkan daun terakhir.
Grundell berjalan tergesa bersama kelinci ragam warna. Mereka membawa nampan berisi makanan ke satu batu besar yang dibentuk dengan rapi menjadi meja. Angin lembut membawa cahaya-cahaya kecil, menari bersama bunga yang baru saja tumbuh. Mengisi pohon besar dengan tarian lembut serta cahaya.
Kini sebuah perayaan megah hadir di depan mata.
Rae menikmati pemandangan ini penuh takjub. Dimana dua mata kelabu bergetar oleh banyaknya cahaya yang tertangkap. Sebuah mahkota bunga baru saja jatuh ke kepala Rae. Membuat sang gadis menarik pandang tinggi. Wajah Lue yang tidak memiliki soket mata tidak lagi terlihat menyeramkan. Sebab hatinya yang hangat terasa lebih nyaman dibanding visi yang tampak.
Sambil menggenggam satu jemari Lue yang panjang, Rae berjalan menuju pohon besar dimana semua menunggunya.
"Apel Kakek Abel itu ajaib," bisik Grundell saat Rae melewatinya.
"Sangat!" balas ular kembar berbarengan.
"Aku akan melindungi semua yang memakan apel ini," jelas Kakek Abel.
Rae menarik pandangan jauh ke atas, menjadi pertama kali ia menatap pohon tua sangat dekat. "Apakah aku boleh memakannya?" tanya Rae, sedikit ragu.
"Kenyataan bahwa apel ini tumbuh di hari ulang tahunmu sudah menunjukkan seberapa pantas kamu mendapatkannya." Sebuah senyum lebar kembali menetap pada batang pohon besar, seakan tidak peduli pada tubuhnya yang kaku.
Satu apel besar yang secara ajaib tumbuh di akhir musim gugur kini berbinar lembut. Lue menarik tangan tinggi menuju sang apel, sebab perayaan tidak akan di mulai tanpa apel tersebut. Namun, teriakan memekik menghancurkan kemeriahan.
"KHAAAAAAAK!"
Alunan merdu yang menemani seketika berhenti, mencekik perayaan dengan pekatnya sunyi. Satu burung besar melintas dengan kecepatan menakutkan, membawa angin dingin yang menusuk. Bila tidak karena cahaya rembulan, burung besar pasti tersamar dalam gelapnya langit malam.
"RAVEN!" teriak Izzy.
Keramaian kemudian terpecah. Makhluk-makhluk ajaib menghilang cepat tersapu angin. Binatang kecil tergesa-gesa mencari lubang bersembunyi. Sedangkan yang lebih besar bersembunyi di balik gandum tinggi. Tubuh Rae bergetar mengikuti suara kepakan sayap, dimana Lue kini berdiri penuh awas menjaganya.
Detak jantung kini terdengar kencang dalam sunyinya malam. Hingga satu bayangan besar melesat cepat kepada Rae. Jemari tajam Lue menebasnya, tetapi itu hanya membuat sosok gelap berpencar menjadi ratusan gagak. Kepala Can membelit satu tangan Rae, kemudian menariknya sekuat tenaga menjauhi pertarungan sengit.
Ratusan gagak tidak mengejar Rae melainkan mengepung monster tanpa wajah. Sulit bagi Lue menghindari ratusan cabikan sekaligus, sehingga berbagai luka terbuka di tubuhnya yang ramping. Meski begitu bangkai gagak perlahan tertumpuk tinggi.
"LUE!" Teriakan frustasi dari Rae menarik wajah mulus itu kepadanya. Meski tanpa mata, Lue selalu dapat menemukan lawan bicaranya. Namun, teriakan itu pun menarik sosok lain kepada sang gadis. Setengah gagak yang tersisa berkumpul menjadi satu. Meski tidak sebesar sebelumnya, ia tetap lebih besar dibanding Rae.
Lue sadar, sulit mengejar burung besar saat puluhan yang lain menghalangi. Memaksanya mengambil pilihan terakhir. Ia menarik tangan tinggi menuju apel yang terus berbinar meski di tengah kekacauan. Menyerahkan sisanya pada keberuntungan ia melempar asal, yang ditangkap dengan mudah oleh tangan gempal Grundell.
Burung besar sibuk menghindari semburan api dari ular kembar. Membuat Grundell dengan mudah menyelinap di antara kekacauan. Ia mengulurkan tangan gempalnya yang sedikit bergetar sebab terdapat robekan panjang pada salah satu kaki.
"MAKAN APELNYA!" desak Grundell.
Teriakan Grundell menarik perhatian burung besar kepada Rae. Satu gigit, itu yang dibutuhkan. Ketika gigi beradu dengan renyahnya apel, satu gelombang cahaya keluar dari tubuh Rae. Cahaya hangat itu menghancurkan sosok gelap yang kini hanya berjarak satu rentangan tangan, tanpa sisa. Bahkan yang sudah menjadi bangkai. Menyisakan rasa lega yang terasa kental di udara.
Izzy dengan cepat menghampiri Lue yang terlihat lemah dan mengobatinya bersama ikan tembus pandang. Rae ikut membantu dengan menjahit kaki Grundell yang terbuka lebar. Meski jahitannya terlihat canggung, Grundell tidak protes dan sibuk mengunyah gandum demi mengisi bagian yang berceceran.
Ketika luka sudah dioles salep dan terbalut rapi, semua kini duduk bersama di bawah pohon besar.
"Raven adalah makhluk yang siap memberi apa pun demi menyantap anak manusia. Itulah yang ditukar pemimpin manusia demi lahan subur," jelas Kakek Abel pada sisa perkelahian.
"Lalu, apa yang akan terjadi?" tanya Rae ngeri. Sebenarnya tanpa jawaban ia paham, bahwa Abbington akan gagal panen. Namun, haruskah ia peduli pada manusia yang mengobarkan nyawa orang demi keegoisan mereka.
"Manusia kini harus berusaha seorang diri bila mereka ingin bertahan hidup," balas pohon tua.
"Bukan sesuatu yang sulit bila mereka berusaha." Sebuah senyum lebar kembali mengisi wajah Kakek Abel, memberi ketenangan pada hati Rae yang diam-diam peduli.
"Rae, anakku. Kau boleh menyebut tempat ini sebagai rumah, bila itu yang kau inginkan." Kalimat yang dibagi sang kakek membuat mata Rae berkaca. Ia menyapu pandang dan membalas setiap tatapan. Keputusannya kini sudah bulat.
"Ya. Aku ingin sekali," balasnya sambil menyeka air mata.
Kemudian tanah bersinar lembut seperti cahaya yang keluar dari tubuhnya. Sebuah sambutan hangat beserta ucapan ulang tahun dari rumah baru.
✦ FIN ✦
.
Bonus
Mari bertemu dengan Lue ☺️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro