Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Premonition of Chaos

Masih minggu ke-11 dari 35

Koi no Yokan, perasaan kuat yang timbul ketika bertemu seseorang untuk pertama kalinya, bahwa kelak akan saling jatuh cinta.



"Dalam rangka apa ini?" Wening duduk di depan Ibu, memandang sekeliling restoran. Interiornya sederhana, tetapi terkesan berkelas. Ia satu-satunya pengunjung yang berseragam sekolah. Sepertinya, mereka satu-satunya juga yang datang ke sini dengan kendaraan umum. Di parkiran tadi, berjajar mobil-mobil mewah. Belum lagi penampilan buku menu itu, pasti makanan dan minumannya di luar jangkauan anggaran harian Ibu.

"Sesekali mentraktir putri sendiri yang sudah belajar keras dan berprestasi, apa salahnya?" Ibu tertawa kecil.

Wening memandangnya. Wajar saja sesekali melakukan sesuatu di luar kebiasaan, tetapi masih banyak tempat makan lain yang lebih terjangkau. Ia mencondongkan tubuh dan berbisik. "Bagaimana kalau kita pindah ke fastfood saja, dan sisa dana traktiran aku minta mentahannya?"

Ibu mencubit lengannya di atas meja. Wening menjerit kecil, hendak memprotes, tetapi meja mereka sudah didatangi seorang pramusaji. "Kami pesan minuman saja dulu," kata Ibu kepada pelayan, dan memilihkan dua jenis minuman dari buku menu.

Wening tidak masalah dengan itu. Ibu tahu apa yang disukainya. Siapa tahu pula ia berubah pikiran, tidak makan di sini. Wening meletakkan ranselnya di kursi sebelah. Ada meja untuk berdua, tetapi Ibu memilih meja berempat.

"Kapan hasil tes IELTS keluar?" tanya Ibu.

"Dua hari lagi. Begitu hasilnya datang, semua persyaratan lengkap, aku akan emailkan ke Ayah untuk digabungkan dengan surat pernyataan pendanaan darinya, lalu Ayah yang akan masukkan berkas pendaftaranku. Dan aku tinggal mengikuti EJU bulan November." Wening berbicara cepat terdorong semangatnya.

"Kamu enggak sabar pengin segera ke Tokyo," kata Ibu.

Nadanya netral, tetapi tak urung membuat Wening tertegun. Sudah berkali-kali mereka membicarakan konsekuensi pilihannya, yang paling menyesakkan adalah meninggalkan Ibu sendirian. Namun, demi keutuhan keluarga, lima tahun berpisah adalah harga yang layak dibayar. Dalam lima tahun, ia berjanji akan berhasil meluluhkan hati Ayah. Karena merujukkan dua orang yang sudah tahunan berpisah tidak mungkin dilakukan dalam satu atau dua minggu, dan Ibu selalu bilang, kunci masalah mereka sebagai pasutri ada di Ayah. "Jangan khawatir, Bu. Aku akan pulang minimal setahun sekali."

Ibu mengangguk, segera mengalihkan topik. "Oh ya, Ren dan Arvind mau kuliah di mana?"

Wening menyemburkan napas. Prihatin karena keduanya belum juga bisa menentukan pilihan. Ia bahkan tidak tahu apa sebetulnya yang tengah dihadapi Ren dan Arvind. Sekalinya ada kesempatan bicara dari hati-hati, malah timbul ketegangan di antara dua anak itu. "Ren dan Arvin belum memutuskan apa pun. Aku menduga, Ren terbentur masalah dana, tapi enggak pernah mau berbagi cerita. Waktu Ren ditagih-tagih bendahara untuk iuran buku tahunan, aku lunasi diam-diam. Eh, Ren mengembalikan uangku sambil ngomel-ngomel."

"Hmm, Ren persis ibunya. Amel pernah menolak bantuan Ibu juga. Kita enggak bisa memaksa. Barangkali sudah cukup kalau mereka tahu kita siap kapan saja diperlukan."

Wening mengangguk. "Ren sering moody akhir-akhir ini, apalagi kalau menghadapi Arvind. Aku juga suka sebal sama Arvind. Nilai-nilainya jongkok, tapi enggak niat belajar. Kukira, Arvind sengaja membandel karena Tante Agatha dan Om Nurdan makin menekannya."

Minuman mereka datang. Wening menyesap jus lecinya pelan-pelan.

"Tambah usia, tambah tantangan buat kalian." Ibu hanya mengaduk-aduk minumannya. "Waktu masih TK dan SD, kamu dan Ren main berdua kayak enggak ada waktu esok. Sampai banyak tetangga yang bilang kalian berjodoh."

Wening tertawa, menggeleng. "Ren kayak adikku."

"Cuma beda dua bulan, kan?"

Wening memandang Ibu, mencoba menangkap maksudnya. Ibu hanya tersenyum. Wening pun angkat bahu. "Sampai sekarang, persahabatan kami enggak tercemar. Ren naksir cewek DIHS, aku sama sekali enggak keberatan."

Ibu menggangguk. "Arvind bergabung waktu kalian masuk SMP, dan bertiga enggak terpisahkan juga."

"Lalu di kelas 11, semua mendadak berubah. Sejak ayah Ren wafat." Wening menyambung, sumbang. "Kayak ada yang menukar jiwa Ren dan Arvind. Aku enggak berbuat apa-apa karena kupikir, nanti mereka akan kembali kayak dulu lagi. Sekarang, setelah setahun, sepertinya sudah terlambat untuk melakukan sesuatu."

Ibu menjangkau tangan Wening, menepuk-nepuknya. "Ada perubahan permanen, enggak bisa ditolak, kita cuma perlu menerima dan beradaptasi. Ada juga perubahan yang sifatnya sementara, tapi kalau menjadikan kita lebih baik, kenapa enggak dilanjutkan? Di awal, perubahan apa pun memang bikin takut, tetapi itu cara semesta untuk mendewasakan kalian. Lagipula, berubah adalah keniscayaan."

Ada sesuatu dalam suara Ibu yang membuat Wening heran. Ia mulai merasa, pembicaraan tentang Ren dan Arvind hanya batu loncatan. Ditambah tempat ini... tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Semacam firasat bahwa Ibu hendak mengatakan sesuatu yang sangat penting... dan tidak akan menyenangkan hatinya. Namun, alih-alih bertanya blak-blakan, Wening pura-pura bersikap biasa.

"Aku lapar. Kalau enggak jadi makan di sini, kita cari kebab saja, yuk!"

"Eh. Di sini saja. Ibu pikir, karena kamu sudah jajan di sekolah, kita makan agak telat." Ibu melirik arloji dan menoleh ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa yang datang. Ia meraih ponsel, tetapi segera meletakkannya lagi. Disodorkannya buku menu kepada Wening. "Kamu pesan kudapan saja dulu."

Wening membuka buku menu. Ibu menunggu seseorang, pikirnya. Kenapa tidak berterus terang? Siapa orang itu?

"Ning, antara Ren dan Arvind, kamu pilih siapa?" tanya Ibu, sekarang meraih minuman dan menyedotnya lebih dari separuh. Ibu gelisah. "Sekarang, mungkin kamu enggak punya perasaan apa-apa selain persahabatan dengan mereka. Tapi bisa saja, ada firasat, salah satunya bakal jadi bagian hidupmu kelak."

What? Pertanyaan tidak terduga yang membuat Wening tersandar di kursi. Ibu menyinggung koi no yokan. Ke mana arah pembicaraan Ibu sebetulnya? Ia jadi berpikir keras. Bukan tentang perasaannya terhadap Ren atau Arvind. Itu sih sudah jelas. Mereka bersahabat sampai kapan pun. Ibu memberinya kode. Tipikal Ibu, berkebalikan sekali dengannya yang lebih suka blak-blakan.

Pertama kali Wening mendengar istilah itu dari Ayah, bertahun-tahun lalu, ketika mereka masih menjadi keluarga normal di bawah satu atap. Namun, koi no yokan Ayah tidak berkaitan dengan Ibu, melainkan Jepang. Ayah bilang, sejak kecil sudah merasa akan menghabiskan hidupnya di negeri matahari terbit itu. Kuliah, bekerja, dan membangun keluarga di sana.

Wening menelan ludah. Dulu ia senang-senang saja mendengar itu. Ayah akan memboyong mereka ke Jepang. Wening ingat, ia berjanji kepada Ren akan mengajaknya serta. Nama Ren (bukan lengkapnya, karena Naren dari bahasa Sanskerta) sudah cocok untuk lidah orang Jepang.

Akan tetapi, pindah ke Jepang bukan ide yang mudah diterima Ibu. Keluarga besar Ibu, dengan orangtua yang sudah uzur, ada di sini. Ibu juga harus menjalani ikatan dinas dengan rumah sakit. Ayah pun pindah sendirian. Awalnya pulang satu semester sekali. Setahun sekali. Lalu tidak pulang lagi ketika talak satu dijatuhkan entah kapan, karena Ayah Ibu memutuskan berterus terang kepadanya baru-baru ini saja, ketika Wening masuk SMA. Apa mereka mengira, kalau usianya bertambah, akan lebih mudah menerima keadaan itu? Bagaimana dengan kebohongan sekian tahun yang pernah dilaluinya?

"Koi no yokan...," akhirnya Wening menjawab, karena Ibu masih menunggu dengan antusiasme yang membuatnya jengkel. "Firasat cinta. Ya, aku merasakannya. Bukan sama Ren atau Arvind. Tapi berkaitan dengan keutuhan keluarga kita. Aku yakin, enggak akan lama lagi."

Ibu menaikkan alis. "Wening, kamu memilih kuliah di Tokyo bukan untuk itu, kan?"

"Memangnya untuk apa lagi?" Wening menantang. Matanya mulai terasa perih. Sudah lama ia menantikan konfrontasi ini. Ibu tidak pernah benar-benar mau duduk dan bicara tentang apa pun yang berkaitan dengan Ayah. Sekarang, begitu ada kesempatan, tangan Wening malah bergetar hebat. Ia sembunyikan cepat-cepat di bawah meja.

"Ibu enggak menyangka niat kamu bergeser. Kamu harus prioritaskan masa depan, Ning." Ponsel Ibu tiba-tiba berbunyi. "Kita bicarakan lagi nanti di rumah."

Yang berarti tidak akan terjadi. Wening menghabiskan jusnya. Ibu yang memulai, Ibu juga yang akan terbirit-birit lari ketika pembicaraan memanas. Diperhatikannya Ibu mengetik pesan dengan pipi bersemu dan senyum tiba-tiba mekar. Perasaan Wening makin kacau. Ini bukan premonition of love, tetapi of chaos. Sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Siapa yang kontak Ibu?" tanyanya, menyelidik. Ia sudah tidak tahan lagi.

Ibu meletakkan ponsel. "Sahabat Ibu waktu kecil. Kami lama berpisah. Bertemu lagi di tempat kerja, dan sejak itu...."

Kalimatnya menggantung. Namun, Wening sudah merasa lanjutannya akan terlalu mengerikan untuk didengar. Itu sebabnya Ibu mencari-cari cara memasukkan seseorang itu dalam pembicaraan alami, pakai Ren dan Arvind segala. "Dia bukan koi no yokan Ibu kan?" Nada Wening tajam, memangkas sejak awal apa pun yang akan berkembang kemudian.

Ibu gelagapan, lalu ekspresinya berubah terluka. Tidak perlu konfirmasi, Ibu sudah menjawab dengan sikapnya. Kemarahan Wening dengan cepat menggelegak. Dadanya terlalu sesak, ia khawatir membuat ledakan memalukan di restoran. Segera, ia menyambar ransel. "Aku pulang."

"Wening!"

This can't be happening! Wening menutup kedua telinga, berlari ke pintu. Di ambangnya, ia hampir bertubrukan dengan dua lelaki yang baru datang. Wening terbelalak. Dokter Hasan dan Pak Herdin, wali kelasnya. Tiba-tiba saja pijakan Wening serasa runtuh dari bawah kakinya.

"Wening?" Pak Herdin menyapa, ekspresinya khawatir.

Jadi, Pak Hell juga sudah tahu? Untuk apa dia menemani dokter Hasan ke sini kalau bukan untuk membantu membujuknya? Air mata Wening sudah tumpah saat ia menyeruak di antara kedua orang itu. Ia melintasi tempat parkir dengan pandangan kabur. Tak heran, Pak Herdin dengan mudah menyusul dan menangkap tangannya.

"Wening, tenanglah. Kita bicarakan baik-baik."

"Apa yang perlu dibicarakan?" Wening menghapus mata dengan lengan baju, lalu memandang wali kelasnya tanpa menutup-nutupi kebencian. "Dari awal aku enggak dianggap ada. Sejak kapan Bapak tahu hubungan mereka?"

Pak Herdin melepaskan Wening, sama kikuknya dengan waktu mengajar di kelas. "Tiga bulan ini. Maafkan aku. Bukan bermaksud menutupi. Tapi ibumu juga baru memutuskan menerima Bapak awal Oktober lalu, bersamaan kamu PTS. Aku yang meminta mereka menunggu sampai PTS selesai."

Wening tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Ia merasa sedang meluncur deras ke bawah menuju sesuatu yang tidak berdasar. Sekelilingnya mengabur. Segala sesuatu yang ia lakukan, semua persiapan ke Jepang, sudah mendahuluinya jatuh berantakan. Tanpa makna.

Begitu saja ia meninggalkan Pak Herdin, naik ke dalam angkot yang berhenti di depannya tanpa peduli jurusan. Baru disadarinya getar ponsel di saku setelah beberapa lama. Ia biarkan saja. Masa bodohlah!

Ia tidak ingin pulang. Tidak ingin bertemu orang dewasa, siapa pun itu. Kelayapan dengan angkot juga hanya menambah kusut pikirannya. Jadi, ketika angkot memasuki daerah dengan jalan-jalan yang diberi nama pohon, Wening mengantisipasi Jalan Matoa. Rumah Arvind. Kecil kemungkinan Arvind ada di rumah, tetapi ada saung di halamannya yang luas. Pak Ujang, tukang kebun, sudah mengenalnya, pasti akan membolehkan ia beristirahat di sana.

Wening turun tepat di depan kavling nomor 3. Rumah besar dua lantai berdiri anggun di tengah taman asri. Pemandangan siang juga tidak kalah keren dengan malam hari sewaktu ia ikut Pak Herdin mengantarkan Arvind. Wening cepat-cepat menepis nama wali kelas dari lidahnya, dari pikirannya. Ia memencet bel, menunggu, dan terkejut karena Arvind sendiri yang keluar.

"Tumben!" Kata yang sama diucapkan mereka berdua. Gelak Arvind lebih keras. Wening menyeringai, suasana hatinya sedikit membaik. "Aku datang untuk membantu kamu mengejar ketinggalan," lanjutnya, sambil mengikuti Arvind masuk ke rumah. Langit-langit yang tinggi, lantai dan dinding marmer, perabot pun jarang, membuat ruangan terasa sejuk, kontras dengan udara panas di luar.

Arvind mengambilkan segelas air es dari kulkas, dan meletakkannya di depan Wening yang duduk di sofa ruang keluarga.

"Terima kasih." Wening menenggaknya dengan rakus. "Sekarang, aku punya banyak waktu, jangan sia-siakan kesempatan langka ini, Vind! Ambil bukumu!"

"Kamu enggak disuruh Mami, kan?" Arvind menyelisik.

"Enggak. Tante Agatha enggak akan sanggup bayar aku. Ini persembahan khusus dari lubuk hatiku terdalam buat kamu. Cepat, sebelum aku menyesal datang ke sini. Ganti juga celana dan kaus belelmu itu."

Arvind tertawa. "Tadinya kan aku mau tidur," katanya sambil menaiki tangga melingkar. Kamar Arvind paling ujung pada deretan pintu di atas. Kamar lainnya kosong. Sarang yang sudah ditinggalkan sebagian besar penghuninya. Sunyi.

Wening menghela napas, memandangi kolam ikan di taman dalam yang penghuninya ramai saling menyapa. Bagaimana perasaan Arvind melihat ikan-ikan itu? Sahabatnya juga punya masalah pribadi yang berat, belum tentu ia sanggup menghadapinya kalau ada di posisi Arvind. Tiba-tiba saja, Wening merasa tidak sendirian. Ia tidak perlu curhat kepada Arvind. Cukup menghabiskan waktu bersamanya dengan belajar. Mungkin akan sama-sama mengalihkan fokus, atau bahkan saling meringankan beban.

Bunyi buku-buku dijatuhkan di meja mengejutkan Wening. Arvind berjongkok di karpet, memandang tepat ke matanya. "Aku enggak pengin menari di atas penderitaanmu, Ning. Tapi bagaimana kalau nilai-nilaiku jadi 100 setelah kamu tutori dengan energi gelap yang menguar dari kepalamu itu?"

Dramatis ala Arvind.

Tawa Wening pecah berderai. Saat ini, ia tidak ingin menukar kesempatan bersamanya dengan apa pun.





------------------------

Catatan:

Koi no Yokan adalah istilah unik dalam bahasa Jepang untuk mendeskripsikan firasat bahwa seseorang yang ditemui pertama kali akan menjadi pendamping hidup. Bukan cinta pada pandangan pertama, di awal justru tidak ada perasaan tertarik, apalagi cinta. Namun, perasaan itu kuat, di masa depan nanti, akan saling jatuh cinta.

EJU: Examination for Japanese University Admission for International Students, ujian masuk universitas Jepang bagi mahasiswa internasional.



----------------------------------------------------

Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series.

Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03

Wonderstruck by IndahHanaco

dan The Stairway to Unknown by puspitadesi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro