Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. A House Is Not a Home

Minggu ke-11 dari 35

Sekolah adalah rumah kedua, bukan slogan bohong.

Bolos adalah pilihan logis daripada di kelas bengong.

Masa-masa indah SMA dimulai dengan jam kosong.


Tidak menjual rokok pada anak sekolah. Begitu bunyi spanduk baru di warung belakang, menggantikan spanduk iklan obat. Atas desakan Bu Raina, Bu Isma menandatangani kesepakatan itu dan harus memastikan juga siswa tidak nongkrong di warungnya pada jam belajar. Kabarnya, kalau melanggar kesepakatan, Bu Isma akan dilaporkan kepada polisi. Sebaliknya, untuk menunjukkan niat baik, pihak sekolah membuka pintu kecil pada benteng di waktu istirahat, dan menugaskan seorang satpam untuk berjaga. Siswa tidak perlu lagi memanjat gerbang, kecuali yang telat dan nekat.

Arvind menganggap solusi itu cukup adil untuk Bu Isma. Rezekinya tidak berkurang, bahkan warungnya sekarang ramai dikunjungi anak-anak perempuan juga. Aki Idang, ayah Bu Isma, mendapatkan lebih banyak teman mengobrol yang ceriwis. Efek sampingnya, Aki menahan diri untuk tidak merokok di depan mereka.

Semua perubahan itu terjadi dalam dua minggu sejak razia. Lalu, apa pengaruhnya buat Arvind sendiri, terutama dalam hubungannya dengan Ren?

Kalau sebelum razia, Ren memandanginya dengan prasangka, tidak bertanya, dan membuat Arvind uring-uringan sendiri, maka setelah kejadian, ekspresi Ren tidak terbaca, tetap tidak bertanya dan membuat Arvind uring-uringan sendiri.

Namun, karena Ren sudah berbohong demi melepaskannya dari Bu Raina, Arvind menyiapkan jawaban jujur andai Ren bertanya.

Jadi, punya siapa rokok itu? Kenapa kamu lindungi dia?

"Dennis. Sudah buruk Dennis kena razia karena membolos, kalau sampai ketahuan merokok juga, anak itu bisa lebih babak belur lagi dipukuli bapaknya. Aku tahu dari Sam bagaimana Dennis diperlakukan di rumah. Detailnya bikin Papi dan Mami seperti macan ompong dibandingkan dengan bapak Dennis."

Sudah tahu bapaknya begitu, kenapa Dennis membuat masalah di sekolah?

"Hmm.... Sulit menjawab ini. Tapi bayangkan begini. Kamu terseret jeram, timbul tenggelam tanpa harapan. Ular pun bakal kamu raih untuk pegangan."

Sudah tahu Dennis begitu, kamu malah terlibat dengannya. Atau dia juga ular yang kamu raih daripada hanyut?

"Apa aku kelihatan seperti hanyut? Lagian Dennis bukan ular. Dia temanku yang cari-cari pegangan, dan aku lebih baik ketimbang ular. Rokoknya kukantongi. Terbukti hukuman untuk Dennis dari bapaknya lebih ringan."

Jadi, Dennis berterima kasih, lalu berhenti merokok?

"Dia mau berusaha."

Kenapa Dennis tidak melaporkan bapaknya?

"Kamu pikir melaporkan pelaku KDRT semudah melaporkan maling ponsel? Dennis dan ibunya bergantung sama si bapak. Si bapak percaya kekerasan harus dilakukan untuk mendidik anak, dan itu katanya atas dasar cinta. Kalau dilaporkan, apa si bapak bakal diam saja? Siapa yang kira-kira jadi sasaran marahnya? Itu saja sudah bikin urusan ruwet. Aku harus memikirkan cara aman membantu Dennis."

Kamu terlalu mengurusi orang lain sampai lupa tugasmu sendiri. Ingat, di kelas 12, tidak ada waktu buat main-main.

"Maksudmu, karena sudah kelas 12, maka kita boleh egois dan enggak peduli? Apa kalau siap ujian dan nilai-nilaiku bagus, aku bakal bisa membantu Dennis?"

Tidak ada yang menyuruh kamu jadi egois. Tapi pasti ada cara lebih pintar membantu orang tanpa terbawa arus. Pagi-pagi kan kamu sudah nongkrong di warung, kadang telat masuk kelas, apa masih perlu ditambah bolos juga? Kamu sudah kayak mereka, nongkrong untuk menghindari pelajaran.

"Hidup itu pilihan, Ren. Kalau pagi-pagi, rumah sudah kosong, kamu pasti memilih pergi ke rumah kedua yang ramai. Di antara sahabat yang enggak butuh kamu dan teman yang harus dibantu, di mana kamu menempatkan diri? Kalau kelas malah bikin suntuk, ke mana kamu akan pergi?"

Apa maksudmu? Siapa sahabat yang enggak butuh kamu?

"Haruskah aku sebut? Memangnya berapa banyak sahabatku?"

Aku dan Wening. Itu perasaan kamu saja. Sama seperti anggapan kelas bikin suntuk. Kalau benar begitu, bukankah seharusnya kamu perbaiki situasi? Ini bukan pilihan, tapi kamu lari menjauh dari masalah alih-alih menyelesaikannya.

Arvind tertegun sendiri, tidak tahu lagi bagaimana merespons. Bahkan dalam percakapan bayangan, Ren selalu menjadi yang terakhir berbicara dengan kata-kata menohok. Namun, Ren tidak tahu bagaimana rasanya memergoki Dennis melepas baju olahraga di tempat sepi, bukan di ruang ganti. Bilur dan lebam yang membiru ungu pada bahu, lengan, dan punggung anak itu tidak mudah Arvind lupakan.

Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, tidak ada bagusnya menceritakan masalah Dennis kepada Ren dan Wening. Biarkan dua anak itu tidak terlibat, fokus saja menjadi siswa kelas 12 yang baik. Arvind bahkan memudahkan tugas mereka mengawasinya dengan masuk kelas tepat waktu, anteng di bangkunya mengikuti pembahasan soal-soal PTS dalam seminggu ini.

Ajaib, nilainya tidak buruk-buruk amat. Mungkin apa yang pernah ia pelajari akhirnya diserap enzim dan berguna juga pada waktunya. Atau, jangan-jangan PTS kali ini sengaja dirancang mengikuti standar siswa kalangan bawah. Apa pun itu, ia bisa meminta tandatangan Papi tanpa khawatir.

"Cuma 70 untuk bahasa Inggris? Apa gunanya 5 tahun tinggal di Eropa? Kamu kan WNI, kenapa bahasa Indonesia 65 saja? Papi enggak habis pikir. Terus Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia rata-rata masih mentok di 60?"

Arvind tercengang. Lancar berbicara bahasa Inggris belum tentu bisa menjawab pertanyaan tentang grammar-nya. Tanyakan pada semua WNI, apakah hanya karena WNI lalu bahasa Indonesianya selalu 100. Terus, tentang semua matpel jurusan IPA... ya ampun, itu jauh lebih baik ketimbang nol!

Papi tidak menerima argumennya. Kalau Arvind belajar lebih keras, nilai-nilainya pasti jauh lebih baik, begitu tegasnya. Lalu, seakan solusinya begitu mudah, Mami telepon sana-sini mencarikan guru privat.

"Kenapa enggak Mami atau Papi saja yang mengajari aku?" tantang Arvind, yang ditanggapi dengan pandangan aneh seolah ia mengusulkan mereka berhenti bekerja sepenuhnya.

Barusan, Arvind curhat kepada Wening soal sikap Papi dan Mami. Ren tahu-tahu bergabung dan menimbrung.

"Mungkin ada baiknya kamu ikut bimbel," katanya, sambil merangkul Arvind.

Arvind menegang. Tiga minggu ini, Ren bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Percakapan bayangan itu tak pernah menjadi kenyataan. Sekarang, Ren memberikan saran normatif seakan tidak mengenalnya dengan baik. Bimbel adalah jalan pintas menuju stres, Arvind paling benci itu. Ren harusnya tahu. "Serius kamu menyarankan aku ikut bimbel?"

Ren duduk di kursinya, memperbaiki letak kacamata sebelum menjawab. "Ya. Apa yang kamu harapkan? Kita bertiga belajar bareng lagi? Mau seintensif apa? Kamu sudah ketinggalan jauh. Aku enggak tahu lagi bagaimana bantu kamu. Dan Wening sudah jauh di depan...."

"Enggak masalah, kok. Aku bisa bantu." Wening menyela.

Ren mengabaikannya. "Vind, hitung waktu yang tersisa dan berapa banyak yang harus kamu pelajari? Kamu perlu lebih dari 24 jam sehari!"

Arvind menggertakkan gigi. Tak disangkanya akan mendengar kata-kata Papi dari mulut Ren. "Kamu berubah."

Ren berdecak. "Semua orang berubah mengikuti tuntutan hidup. Kamu juga! Di antara kita bertiga, kamu yang paling berubah, cuma enggak mau mengaku saja."

Arvind turun dari meja Wening tempatnya duduk, berbalik menghadap Ren, menatapnya tajam. "Apa contohnya?"

"Contohnya, Arvind yang dulu kalau bicara enggak pakai nada seketus itu." Wening yang menyahut. "Dan Ren yang dulu enggak menyebalkan kayak gini. Kalian berdua sama-sama membuatku enggak nyaman. Kalau enggak diam-diaman, kalian pura-pura enggak ada apa-apa. Lantas sekarang, saling give up. Oh, come on! Coba lihat tampang kalian! Arvind, percayalah, Ren pasti akan bantu kamu, enggak akan diam saja lihat kamu gagal." Wening beralih kepada Ren. "Ren, jangan bicara kalau mood-mu lagi jelek."

"Dia yang merusak mood-ku." Ren berdiri. "Lahir di lumbung padi kok kelaparan. Ribut pula menyalahkan orangtua."

Mata Arvind memanas. Ia merapatkan bibir, menyudahi perdebatan yang membuat dadanya sakit. Ren keluar dari kelas tanpa berkata apa-apa lagi.

Hari terakhir PTS, sekolah dibubarkan lebih awal. Arvind mengamati, Ren langsung pergi dijemput Jesara dan kakaknya. Ketika ia bertanya-tanya kepada Wening, gadis itu tidak tahu apa yang dilakukan Ren bersama mereka. "Kenapa enggak ikut saja tadi? Kan kamu diajak," kata Wening, sebelum terburu-buru pergi bersama Tante Inggit.

Arvind kecewa. Seharusnya, hari ini mereka bertiga punya lebih banyak waktu untuk mengobrol atau melakukan apa pun yang biasanya dilakukan. Belajar bertiga di sekolah pun lebih baik ketimbang pulang ke rumah yang kosong. The house is not his home. Bahasa Inggris dapat menggambarkannya dengan tepat. Arvind mendesah dan mengikuti saja kaki membawanya. Di lapangan basket, tampak anak-anak kelas 11 sedang bermain. Sam dan Dennis tidak terlihat. Arvind tidak berminat bergabung, meskipun ia cukup populer di kalangan adik kelas.

Tanpa disadarinya, ia sudah sampai di tempat parkir sepeda motor. Ke mana ia harus pergi? Kesal, ditendangnya kerikil keras-keras sampai melayang jatuh ke parkiran mobil di bawah yang sudah sepi juga. Kecuali di ujung sana. Tampak mobil sport putih Kenzie, dan pemiliknya tengah bersandar di pintu sopir. Kenzie sedang mengobrol dengan tiga orang gadis. Arvind mengenali sosok Natya di antara mereka.

Bahaya! Begitu saja ia melompat ke bawah dan bergegas mendekat. Kenzie sepertinya sedang mencoba mengajak Natya pergi. Dua gadis lainnya mendorong-dorong Natya agar menerima ajakan. Sahabat macam apa? Natya tampak ragu, sepertinya tidak berani menolak juga. Kenzie makin bersemangat membujuk. Nanti diantarkan pulang, katanya. Kenzie bodoh. Kalau dia mengajak teman-temannya juga, pasti Natya mau.

Arvind mengambil kesempatan sebelum Natya luluh. Ia menyeruak di antara mereka dan mengambil tangan Natya. "Kenapa ponselmu? Tante Amel sampai telepon aku, cari kamu. Ayo, aku antar pulang."

"Hei!" Kenzie mengadang.

"Ini urusan keluarga, Ken-Ken," kata Arvind, menarik Natya menghindari playboy cap botol itu.

"Nat?" Kenzie tidak percaya.

Natya mengacungkan ponselnya. "Maaf, Kak. Ibu pasti cemas karena aku enggak jawab. Aku harus pulang." Natya mengikuti Arvind naik tangga menuju parkiran motor. Setelah cukup berjarak dengan Kenzie, ia berhenti. "Ponselku baik-baik saja, Ibu enggak menelepon. A-Ren yang menyuruh A-Vind, ya?"

A-Vind ... panggilan akrab yang sudah lama tidak didengarnya dari Natya dan Nazhan. Kerinduan yang baru disadarinya ada. Arvind menyeringai. Hatinya mendadak ringan. "Aku malah enggak tahu Ren ke mana. Dia bilang sama kamu mau ke mana?"

Natya menggeleng. "Kalau di sekolah kan enggak kenal."

Arvind terbahak.

Natya cemberut. "Kenapa jadi ikut-ikutan A-Ren? Apa salahnya Kenzie?"

"Kalau kamu yakin dia baik-baik saja, pasti enggak ragu ikut sama dia. Kamu memilih bersandiwara sama aku karena sebetulnya nurani kamu tahu mana yang benar."

"Persis A-Ren juga bilang gitu. Kalian kompak enggak percaya orang bisa berubah." Natya cepat-cepat menyambung. "Termasuk Kenzie, dan enggak harus menunggu kucing bertelur."

Arvind angkat bahu. "Terserah kamu menilai dia bagaimana. Asal jangan sampai Kenzie mengira kamu cewek gampangan."

Natya terdiam, menggigit bibir.

Arvind menelengkan kepala. Ternyata gadis ini lebih tinggi dari yang diingatnya. Wajahnya masih ada sisa kebayi-bayian, tetapi tidak berlepotan ingus dan tanah. Sejak kapan Natya tampak begitu imut dan manis?

"Kenzie mengajak aku ke kolam ikan milik keluarganya. Lagi panen, katanya. Tapi yang ditawari cuma aku, karena dia masih harus jemput dua adiknya, jadi enggak cukup mobilnya untuk ajak Rasyena dan Meiza juga. Kan aku enggak enak, biarpun mereka ikhlas."

Kedengaran khas Kenzie. Arvind mengomel dalam hati. Lega, telah bertindak cepat. Kalau awalnya ia berniat membantu Ren, kini ia juga tidak rela Natya dekat-dekat Kenzie. Ia menoleh ke tempat parkir mobil. Kenzie masih di sana, mengawasi. Cepat-cepat, ia mengambil tangan Natya lagi. "Ayo, aku antar. Sekalian pengin ketemu Tante Amel dan Nazhan."

Sepanjang jalan membonceng Natya, Arvind mendadak menyesal karena menyebut urusan keluarga di depan Kenzie. Itu tidak menyelesaikan masalah. Ia 'hanya keluarga' Natya, dan Kenzie masih akan cari-cari kesempatan lagi. Namun, untuk mengakui Natya lebih dari itu... Arvind menelan ludah, mukanya terasa panas. Bagaimana mungkin tiba-tiba terpikirkan status lain, padahal beberapa saat lalu, status keluarga adalah hal paling wajar dan apa adanya?

Sampai di tujuan, Natya masuk ke rumah. Arvind melepaskan helm, memandangi bagian depan rumah dengan kerinduan menyesak. The house is still a home, even for him. Natya sudah keluar lagi sebelum Arvind turun dari sepeda motor. "Ibu dan Nazhan sedang ke supermarket, sebentar juga pulang. A-Vind mau menunggu? Kita bisa main scrabble."

"Enggak," sahutnya cepat dan tegas, sampai mengejutkan Natya. Ya ampun, dulu main berdua dengan Natya sama sekali tidak masalah. "Eh, maksudku, lain kali saja. Aku baru ingat harus membeli sesuatu buat Mami. Salam saja buat Tante Amel dan Nazhan, ya."

"Oke," kata Natya. "Terima kasih... untuk semuanya."

Arvind terkesima. Ia sering mendengar cewek-cewek memuji Ren karena tampang imutnya, senyum yang memesona, dan posturnya yang tinggi langsing. Bukan cuma bosan mendengar komentar fangirls, Arvind juga tidak sependapat. Di matanya, wajah Ren cocok untuk jadi adik siapa pun. Kalau ada pemilihan adik nasional, Ren pasti menang. Sosok Ren secara umum juga biasa saja kalau dibandingkan dengan tubuh Arvind yang lebih tegap berisi.

Namun, melihat adik Ren sekarang, Arvind jadi percaya kekuatan genetik, dan berarti pelajaran Biologi itu ada benarnya. Oh ya, ampun. Natya memandanginya dengan senyum yang....

Arvind menggeleng. Sebelum perasaannya makin aneh, ia segera mengenakan helmnya lagi, dan berlalu dari sana.






----------------------------------------------------

Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series.

Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03

Wonderstruck by IndahHanaco

dan The Stairway to Unknown by puspitadesi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro