Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Dance through the Storm

Masih Minggu ke-8 dari 35

"Badai pasti berlalu."

Kalau ada yang ketinggalan, dia bakal balik lagi.


Ren mengantongi resep kacamata. Wening benar, ia perlu ganti lensa, pertambahan minus seperempat kanan-kiri tidak bisa diabaikan. Satu lagi yang harus ia pikirkan dananya. Ren enggan meminta uang kepada Ibu di luar kebutuhan rutin primer. Sudah bersyukur, SPP bulanannya masih lancar dibayarkan dan makanan selalu tersedia di meja.

Ya, Ibu sudah membantah kekhawatirannya tidak bisa kuliah. Ren harus melanjutkan pendidikan apa pun yang terjadi, katanya. Berkonsentrasi saja mengejar PTN dan prodi yang diminati. Setidaknya, satu tahun dana kuliah tersedia. Selanjutnya, Ibu percaya akan ada jalan keluar.

Ren belum sepenuhnya teryakinkan. Sejak mereka berbicara tentang masalah asuransi, memang tidak pernah lagi ia melihat Ibu menangis diam-diam. Ibu bekerja lebih keras dengan energi dan keriangan baru. Namun, senyumnya justru membuat Ren patah hati. Ia berjanji dalam hati, tidak akan menambah beban Ibu.

Alih-alih menunggu saja badai mereda, yang entah kapan, Ren bertekad menerobosnya dengan kelenturan traceur sejati, menjadikan segala hambatan hidup sebagai pijakan untuk melenting tinggi, bersalto, dan terus berlari maju.

Tekad yang entah bagaimana telah memunculkan keberaniannya akhir-akhir ini. Kalau Wening mengajaknya ke rumah sakit sebelum itu, Ren pasti akan menolak mati-matian. Di sini, Ayah mengembuskan napas terakhirnya. Aroma khas rumah sakit menguatkan ingatan itu sampai ke detail terkecil. Dadanya nyeri, tetapi ia masih bisa tersenyum untuk Wening.

Ren hafal watak sahabatnya. Wening menyembunyikan kecemasan sendiri. Kecemasan yang begitu besar sampai gadis itu lupa alasan Ren tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke sini. Wening bahkan tidak menerima panggilan teleponnya sekarang. Ren mencari-cari di kafe.

Lewat jendela kaca, dilihatnya seorang gadis berkerudung putih duduk di bangku di taman. Ren membatalkan panggilan dan bergegas keluar. Beberapa langkah di belakang Wening, Ren mendengar isak tertahan.

Kalau Wening perlu waktu, Ren akan berikan. Ia berdiri saja karena khawatir mengejutkan. Mendung membayang di kejauhan. Hujan akan membuat macet lalu lintas dan mereka akan terlambat kembali ke sekolah. Apakah Arvind kehilangan mereka? Begitu bel istirahat tadi, Arvind sudah memelesat entah ke mana. Wening dan Ren tidak sempat berpamitan, tidak mengirimkan pesan juga sampai detik ini. Wening fokus dengan masalahnya. Ren sendiri merasa aneh kalau tiba-tiba kontak Arvind lagi, apa pun alasannya.

Arvind lebih memilih teman-teman nongkrongnya waktu diajak Jesara ikut bersama mereka. Ren merasa penolakan Arvind personal terhadap dirinya, karena Arvind sudah kenal Jesara dan ajakannya bukan basa-basi.

Jujur saja, ia mulai khawatir karena Arvind sering terlambat masuk kelas dengan bau rokok menguar. Arvind sudah kehilangan kepolosan ala papan tulis sebelum digambari doodle-nya sendiri.

Ren menarik napas panjang. Ia segera mengeluarkan ponsel.

Gerakannya membuat Wening terkejut. Gadis itu buru-buru mengusap muka dengan ujung kerudung. "Aku baik-baik saja," katanya sebelum ditanya.

Ren mengangguk, melanjutkan menelepon Arvind. Seharusnya, pada jam belajar, ponsel wajib masuk loker. Namun, siapa tahu .... Dan Ren memaki diri sendiri karena membayangkan Arvind ada di warung belakang, membolos. Ia lega, panggilannya tidak tersambung. "Ning, mau balik ke sekolah?"

"Kamu enggak lapar?" balas Wening, sudah tersenyum lagi. "Aku traktir nasi bakar. Sayang banget kalau dilewatkan. Toh, kita sudah izin sampai jam tiga."

Mereka duduk berhadapan di kafe, menikmati makanan dan obrolan ringan dari topik ke topik seperti bendungan jebol. Sama sekali tidak menyinggung keresahan masing-masing. Lepas tertawa mengingat kejadian-kejadian di TK dan SD, saat Wening dan keluarganya masih tinggal di depan rumah Ren. Pukul 15.00, seharusnya mereka sudah tiba di sekolah lagi, bukan baru keluar dari rumah sakit. Wening malah memesan minuman panas, dan Ren menyesap jusnya sedkit-sedikit.

"Jadi, siapa cewek itu?" Wening menembaknya tak terduga.

Ren nyaris tersedak. Tidak ada gunanya berkelit. Dengan muka panas, ia menjawab, "Masih yang dulu."

"Jesara dari Darmawangsa? Wah! First love never dies."

"Tapi dia enggak tahu. Enggak perlu tahu. Bikin malu saja, one-sided crush."

Wening mengangkat alis. "Kok yakin enggak berbalas? Tahu dari mana?"

Ren angkat bahu. Urusan gebetan bukan prioritasnya sekarang ini. Harusnya ia tidak impulsif menelepon Jesara hanya karena gadis itu bilang nomornya masih sama. Sudah kepalang, dan tahu-tahu saja, mengobrol dengan Jesara terasa seperti membuka jendela di pagi hari. Siapa yang menolak udara segar di tengah kesesakan?

"Ibu!" Wening tiba-tiba berseru, melambaikan tangan ke arah pintu.

Ren berdiri untuk menyapa Tante Inggit yang mendekati meja mereka. Wening menggelayuti lengan ibunya.

Tante Inggit merengkuh bahu Wening. "Dokter Hilda tadi kasih tahu Ibu, kalian ada di sini. Ren, apa kabar ibumu? Terakhir kami mengobrol waktu ibumu minta rekomendasi terapis untuk Nazhan."

"Ibu baik-baik saja, Tante," sahut Ren. Tak urung ia memperhatikan penampilan Tante Inggit. Agak pangling, karena wanita itu seperti lebih muda dan lebih cantik dari yang Ren ingat. Apakah karena setelan formal dan riasannya? Ren tahu, Ibu lebih muda tiga tahun dari Tante Inggit. Kenapa sekarang kondisinya terbalik? Seakan Ibu menua tiba-tiba. Ren merasakan tusukan di dada.

"Sudah jam tiga lebih, sebentar lagi Ashar. Salat dulu di sini sebelum kembali ke sekolah." Tante Inggit mengingatkan, lalu meninggalkan mereka untuk lanjut bekerja.

Hujan turun seakan tumpah saat Ren dan Wening sudah berada di dalam angkot. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh dalam dua puluh menit, mulur sampai satu jam. Mereka tiba setengah jam setelah sekolah bubaran. Tinggal sekelompok siswa yang menunggu jemputan. Keduanya menemui guru piket untuk melapor. Pak Adung bahkan tidak menanyai alasan mereka terlambat.

"Arvind sedang ditahan di kantor Bu Raina," bisiknya. "Kena razia mendadak di warung belakang."

Ren dan Wening saling berpandangan, detik berikutnya sudah memelesat ke kantor kepala sekolah. Pintunya tertutup. Pak Hell mondar-mandir di selasar, tampak gembira melihat mereka.

"Untung kalian datang. Bisa hubungi orangtua Arvind?" Pak Hell menunjukkan ponselnya. "Bapak tidak bisa menghubungi mereka. Lihat ini, apakah nomornya benar? Admin sudah pulang, jadi Bapak minta sama Arvind tadi."

Ren menerima ponsel Pak Hell, melihat dua nomor yang masing-masing sudah ditelepon tujuh kali. Ia kemudian membandingkannya dengan kontak Tante Agatha dan Om Nurdan di ponselnya sendiri. Dimakinya Arvind dalam hati. Dua digit terakhir ditukar letaknya.

Pak Hell sedang menjawab pertanyaan Wening. "Sam dan Dennis dari kelas 11 juga kena, tapi sudah dijemput orangtua masing-masing. Tinggal Arvind. Bu Raina tidak mau melepaskannya kecuali orangtuanya datang. Sampai malam pun akan ditunggu, katanya."

"Memangnya Arvind salah apa, Pak?" Nada Wening sudah menyiratkan ketidakpercayaan.

"Bolos jam pelajaran terakhir dan di saku jaketnya ada sebungkus rokok."

Ren mendengkus. Arvind sudah keterlaluan.

"Enggak mungkin Arvind merokok! Pasti ada kesalahan." Wening ngotot. "Lagian kenapa sih, pakai razia-raziaan segala? Warung belakang itu sudah lama ada. Banyak siswa nongkrong di sana waktu istirahat dan jam kosong. Kenapa dibiarkan? Sudah tahu juga kalau gerbang dimatikan itu bukan solusi."

"Ssssh!" Pak Hell menenangkannya. "Arvind cuma dapat peringatan, enggak akan diapa-apakan. Kalau orangtuanya datang, boleh pulang."

Ren tahu, Arvind lebih rela ditahan di sekolah daripada memanggil papi-maminya. Kali ini saja, atas nama persahabatan, pikir Ren, sambil mengepalkan tangan. Diserahkannya kembali ponsel Pak Herdin. "Mungkin orangtuanya sedang tidak bisa menerima telepon, Pak. Papi Arvind kan presdir dan maminya dekan, sudah biasa enggak bisa dikontak. Bagaimana kalau saya bersaksi untuk Arvind?"

"Ya, Pak. Saya juga bersaksi, seumur hidup kenal Arvind, enggak pernah lihat dia merokok." Wening sudah beranjak ke pintu kepala sekolah dan mengetuknya.

Pak Hell tidak punya pilihan kecuali membiarkan Ren dan Wening masuk. Sekali menyapukan pandangan, Ren menangkap suasananya. Arvind berdiri menghadap Bu Raina, dengan bahasa tubuh yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Ketika menoleh, anak itu malah melemparkan senyum bandelnya. Kepala sekolah, duduk di balik meja, membaca dengan santai seolah siap menunggu kedatangan orangtua Arvind sampai kapan pun.

Wening sudah mulai bicara tanpa diminta, memberikan kesaksian, dan menambahkan, "Ibu kan pernah mengajar di SMPGEM, jadi pasti tahu kami bersahabat dengan Arvind."

Bu Raina tidak melepaskan mata dari bukunya, tidak pula menyahut. Bibirnya saja yang berkedut menahan marah.

Gawat, pikir Ren. Ia berdeham. "Bu, atas nama Arvind, saya meminta maaf dan berjanji, setelah ini dia tidak akan mengulang kesalahannya. Saya sendiri yang akan mengawasinya."

"Kesalahan apa?" Arvind berbalik, memandangnya dengan mata menyipit. "Bisa-bisanya kamu juga menuduhku padahal enggak tahu apa-apa. Bertanya pun enggak. Aku kecewa sama kamu, Ren."

Ren terperangah.

Bu Raina membanting buku di meja. "Arvind! Jadi, kamu masih bersikeras bilang, rokok di jaketmu bukan milikmu?"

"Ya," sahut Arvind, tenang.

"Kalau kamu sebutkan nama pemiliknya, kamu boleh pulang. Tidak perlu panggil orangtua ke sini."

Arvind menggeleng. "Saya enggak bisa bilang. Ibu hukum saja saya."

Ren tertegun. Arvind melindungi seseorang. Tiba-tiba saja ia merasa malu. Bukankah seperti Wening, ia tidak pernah melihat sendiri Arvind merokok? Tanpa bertanya, ia mengambil kesimpulan dari aroma rokok di badan Arvind. Padahal kalau Ren naik angkot dan ada penumpang merokok, baunya menempel pula di baju.

"Dengan menutup-nutupi kesalahan temanmu, kamu tidak membantunya. Dia akan keenakan dan terus berbuat salah." Bu Raina membujuk.

Arvind menghela napas dramatis. "Bagaimana kalau sebaliknya yang terjadi? Karena saya lindungi, dia berterima kasih dan enggak berbuat salah lagi?"

Bu Raina memelotot, lalu beralih mengagetkan Pak Hell. "Pak Herdin, bagaimana dengan orangtuanya, sudah bisa dihubungi?"

Wali kelas mereka bergumam tidak jelas sambil mengacungkan ponsel, lalu hendak keluar dari ruangan.

"Tunggu, Pak Her." Ren nekat, karena tidak melihat jalan keluar lain. "Orangtua Arvind sedang menengok anak satu lagi. Kak Ardilla kuliah di Honolulu, Hawaii. Di sini pukul 17.15, berarti di sana sekitar pukul 01.00, dini hari waktunya orang tidur." Setelah berkata begitu, Ren tidak berani bergerak. Hanya dengan ujung mata, ia menangkap reaksi orang-orang di ruangan.

Wening tercengang. Arvind membuka mulut, tetapi segera menutupnya lagi, hanya mengangguk-angguk mantap. Bu Raina menelengkan kepala, seperti berpikir keras. Pak Herdin hanya memandangi ponselnya, gelisah.

Dari jendela di belakang Bu Raina, Ren melihat gelap turun dengan cepat. Segala kelelahan seharian ini sudah bertumpuk, setiap orang pasti ingin pulang segera. Hanya ego dan gengsi yang sudah kadung menahan mereka. Adu kekuatan tidak jelas.

Ren sudah memberikan jalan keluar untuk kedua pihak. Arvind dibebaskan dengan sederet syarat. Ren dan Wening pun diwanti-wanti untuk mengawasinya.

Setelah salat magrib, mereka bertiga berdiri saja di lobi, memandangi hujan yang menderas lagi. Dance through the storm tidak termasuk menembus hujan naik kendaraan roda dua, pikir Ren, sambil memilin-milin tali kulit pengikat kunci sepedanya. Diliriknya Arvind yang memainkan kunci motor. Anak itu pasti tidak tega membonceng Wening hujan-hujanan.

Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Ketika kaca jendela diturunkan, tampak Pak Hell di belakang kemudi. "Arvind, Ren, masukkan motor dan sepeda ke dalam lobi. Bapak antar kalian pulang. Hujan sepertinya bakal awet."

Ketiganya saling berpandangan, dan tanpa kata bersepakat menurut. Ren menduga akan diceramahi di sepanjang jalan. Pak Hell tidak bodoh, pasti sudah menyadari kebohongan mereka. Namun, ia salah kira.

Tidak ada pembicaraan di mobil. Arvind diantarkan lebih dulu. Dengan takzim, Pak Hell meminta maaf kepada Tante Agatha dan Om Nurdan, karena membuat Arvind terlambat pulang dengan urusan mendadak di sekolah. Tidak disebutkan spesifik, tetapi orangtua Arvind sepertinya menganggap urusan itu dalam rangka belajar.

Wening diturunkan berikutnya. Pak Hell tampak khawatir mengetahui gadis itu akan sendirian di rumah. Wening meyakinkannya, ia akan baik-baik saja.

Terakhir, Ren. Sebelum turun, Ren bertanya, "Kenapa Bapak melindungi Arvind? Apa Bapak berharap ia berterima kasih lalu berusaha menjadi lebih baik?"

Pak Hell tertawa. "Anak cerdas, Arvind itu. Pasti mengerti konsekuensi kata-katanya sendiri. Tapi sebetulnya Bapak cuma tidak melihat ada gunanya melaporkan masalah tadi kepada orangtuanya yang juga baru pulang dan dalam keadaan lelah."

Ren mengangguk. "Maafkan saya, Pak. Maafkan Arvind juga."

Pak Hell menepuk bahunya. "Salam saja untuk keluargamu."

Ren masuk ke rumah, disambut keramaian di meja makan. Nazhan dan Natya sedang bertengkar. Ibu sibuk melerai, tetapi langsung meninggalkan keduanya begitu melihat Ren. "Mau Ibu buatkan susu jahe?"

"Nanti saja, Bu. Mau mandi dulu." Ren naik ke kamarnya. Melewati ruang kerja Ibu yang terbuka, ia melihat novel baru di meja. Tebal sekali. Ia menimangnya. Membaca novel berbahasa Inggris tidak sulit baginya karena sudah terbiasa. Menerjemahkannya agar enak dibaca selalu jadi tantangan, kata Ibu.

Hmm ... Bagaimana kalau ia mengambil jurusan sastra, agar bisa membantu Ibu menerjemahkan? Bisa dilakukan sambil kuliah. Ya, itu satu alternatif. Ren membuka-buka novel, penasaran dengan isinya, dan selembar kertas meluncur jatuh. Ren membungkuk. Kertas yang ia kira pembatas buku ternyata berisi coretan tangan Ibu. Draf iklan jual rumah. Rumah ini.

Ren terperenyak.

Badai tidak hendak menyisakan apa pun sebelum berlalu.

------------------------------

Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series.

Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03

Wonderstruck by IndahHanaco

dan The Stairway to Unknown by puspitadesi

Keep on reading, and you'll get something ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro