Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Distraction

Minggu ke-8 dari 35

Waktu, sekalinya terbuang, tidak dapat didaur ulang, selamanya hilang. Mottainai!




Distraction: (1) sesuatu yang menghambat seseorang dalam memberikan perhatian penuhnya kepada satu hal. (2) Gangguan ekstrem terhadap pikiran atau emosi.

Wening paling benci distraction. Gangguan konsentrasi menyebabkan hasil kerjanya tidak maksimal. Waktunya yang berharga pun tersia-sia hanya untuk mengurusi gangguan itu. Mottainai!

Dokter Hell gara-garanya. Wening terlalu meremehkan dia.

Sejak Ibu diantar pulang oleh dokter itu, Wening terus bertanya-tanya, ada apa di antara mereka. Memang baru sekali itu ia lihat, tetapi bagaimana kalau ada kali-kali lain yang tidak ia lihat? Ia bukan anak kecil lagi yang memandang kejadian itu dengan polos. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?

Pertanyaan pertamanya membuat Ibu terkejut, lalu mengalihkan topik. Ketika didesak, Ibu menjelaskan bahwa mereka hanya teman dekat, seperti Wening dengan Ren dan Arvind. Gara-gara tertinggal mobil antar-jemput karyawan, Ibu terpaksa menerima tawaran dokter Hasan pulang bersama.

Wening hampir percaya karena ingin percaya tetapi akhirnya sulit percaya. Setiap ia menyebut nama dokter itu lagi, reaksi Ibu berlebihan. Kali terakhir, Ibu malah membentaknya, menyuruhnya menjaga mulut hanya karena ia meminta Ibu berhati-hati.

Padahal kekhawatirannya beralasan. Wening sudah googling. Alamat dokter itu berlawanan arah dengan Ibu, artinya bela-belain ke sini. Ia juga sudah mengubek-ubek website rumah sakit, galerinya menampilkan beberapa foto kegiatan. Wening baru menyadari, Ibu adalah figur penting di RS, dan dokter itu sering berada dalam satu frame dengannya.

Memang tidak membuktikan apa pun, tetapi bukan berarti tidak ada apa-apa.

Reaksi Ibu paling mengganggu pikiran dan emosinya. Wening menyadari dampaknya secara langsung pada nilai ulangan Kimia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ia hanya mendapatkan 77, di bawah standar 80, di bawah nilai Ren dan Ulvi. Ia sama sekali tidak terhibur oleh canda Arvind yang menganggapnya lebih beruntung tak berhingga, 77 banding 0. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, Wening khawatir dengan IELTS yang akan dihadapi besok.

Hari ini, ia bertekad membabat gangguan langsung di akarnya. Di rumah sakit. Selagi Ibu masih di rumah karena sifnya dimulai pukul 15.00.

Di kelas, Wening sudah gelisah. Menjelang bel istirahat, Pak Herdin masih berbicara tentang jurusan yang akan dipilih melalui jalur SNMPTN. Pak Royan sudah pernah membuat daftar pilihan sekelas. Kebanyakan temannya memilih jurusan dan perguruan tinggi yang kurang diminati, agar peluang diterima lebih besar. Sementara mereka yang mengincar jurusan dan PTN idaman, optimismenya nyaris tiarap. Untung-untungan. Jangan berharap.

"Kalian harus memilih yang kalian minati, jangan asalan. Bayangkan, kalau nanti diterima, apakah kalian yakin akan kuliah di sana sampai selesai," kata Pak Herdin. "Ingat, kursi PTN terbatas. Jangan menyia-nyiakannya."

Wening tertohok. Ia tidak pernah memusingkan SNMPTN, mendaftar hanya karena semua wajib mendaftar. Tidak lolos, tidak masalah. Kalaupun lolos, akan ia tinggalkan ke Jepang. Kata-kata Pak Herdin membuatnya tersadar. Bagaimana kalau karena suatu hal, ia batal masuk ke Universitas Tokyo, bahkan sama sekali tidak pergi ke Jepang? Berarti ia harus memilih prodi dan PTN dengan penuh pertimbangan.

Namun, bukan itu masalahnya. Baru kali ini Wening cemas akan ada hambatan untuk kuliah di Jepang. Sulit ia ungkapkan dengan kata-kata, tetapi kecemasan itu berkaitan dengan Ibu. Perutnya seakan terpelintir.

Kelas ramai oleh tawa ketika Pak Herdin mencoba bercanda. Sangat berkebalikan dengan Pak Royan yang selalu melecut mereka untuk belajar, Pak Herdin menurunkan level ketegangan begitu drastis. Wening sampai khawatir, ia dan teman-temannya akan kembali bersantai-santai.

"Kelas 12 bukan ujung tanduk, dan kalian bukan telur yang ditaruh di atasnya. Pasif, tanpa daya, terancam jatuh dan pecah. Pola pikir itu harus diubah. Kalian—"

"Bagai air di daun talas!" celetuk Arvind tepat sasaran, disambut tepuk tangan sekelas. Seolah komando bagi yang lain untuk menyebutkan peribahasa dan perumpamaan juga.

"Kalian adalah pelari halang rintang." Pak Herdin melanjutkan setelah keramaian mereda. "Itu istilah yang bagus dari esai Ulvi Wulansari. Mana Ulvi?"

Nilai Kimia Ulvi 95. Wening mengomeli diri sendiri. Dilihatnya Ulvi berdiri malu-malu saat diminta Pak Herdin menjelaskan pendapatnya.

"Ujian-ujian itu adalah halang rintang seperti gawang dan genangan air. Kita berlari dan melompatinya dengan teknik yang sudah kita kuasai. Kita tahu jarak tempuh yang harus kita lalui. Andai satu gawang roboh oleh kaki, atau kita terpeleset jatuh, bangun dan lari lagi sampai mencapai garis finish. Kita bisa saja menjadi nomor satu atau paling belakang, enggak masalah. Yang penting, jangan berhenti di tengah jalan." Ulvi mengangguk dan duduk kembali, diiringi tepuk tangan dan suitan.

"Jangan berhenti di tengah jalan." Ren bergumam, tampak terinspirasi.

Wening menyikut teman sebangkunya. "Kacamatamu sampai melorot begitu!" Detik itu juga, ia mendapatkan ide cemerlang. Begitu Pak Herdin keluar dari kelas, ia menggamit Ren. "Kamu ikut aku ke rumah sakit sekarang, periksa matamu. Dokter Hilda kenalan Ibu, baik banget. Katanya, kalau aku perlu periksa mata, langsung saja datang ke klinik, gratis. Aku antar kamu ke sana. Habis istirahat, kan cuma pembahasan Kimia, izin saja. Kita bisa balik lagi untuk ikut pelajaran terakhir. Hayu!"

Ren memandanginya seakan ia berbicara dengan bahasa alien.

"Ayo!" Wening menarik tangan Ren. "Periksa mata harusnya enam bulan sekali. Kacamatamu itu belum ganti sejak kapan ... setahun lalu? Aku enggak tahan lihat kamu kesulitan baca tulisan di papan, segitu dekatnya."

"Itu karena tulisan Pak Herdin kayak tulisan dokter. Rasanya, kacamataku baik-baik saja."

"Sudah, jangan membantah. Mumpung masih ada waktu untuk ganti lensa sebelum PTS." Wening menyandang ransel.

Ren pun menurut. Mereka mendapatkan izin keluar sekolah dengan mudah. Ada gunanya juga jadi siswa baik-baik dengan nilai bagus selama ini. Lagipula mereka tidak berbohong. Di angkot, Ren mulai curiga karena Wening terlalu gelisah. "Kamu enggak berniat merampok persediaan darah mereka, kan?"

"Memangnya vampir anemia? Aku cuma mau ketemu teman Ibu secara enggak sengaja." Wening memberi tekanan pada kata-kata terakhir. "Jangan tanya alasanku. Ikhlas saja aku manfaatkan kamu sebentar."

"Oke," Ren meringis. "Sudah lama aku enggak kamu manfaatkan."

Wening tertawa, dalam hati membenarkan kata-kata Ren. Jangankan saling memanfaatkan, bertegur sapa saja sudah ala kadarnya. Kapan terakhir mereka bertiga mengobrol lama tanpa membicarakan pelajaran? Wening bahkan tidak tahu, kapan Arvind berhasil mengatasi rasa takutnya ditinggal sendirian di rumah. Dan Ren, sepertinya mulai tertarik pada seseorang. Dari caranya menggoda Ren, Arvind jelas tahu siapa gadis itu. Wening tidak dilibatkan dan anehnya tidak berkeberatan. Benar-benar tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Kelas 12 membuat mereka berfokus pada titik di depan, dan melewatkan sampingan-sampingan yang menjadikan mereka remaja.

Di klinik mata, Wening mendapatkan alibinya. Dokter Hilda mengira mereka pacaran, yang tidak mereka bantah.

"Ren, aku tunggu di luar," kata Wening. "Dokter, terima kasih."

"Hei, Ning, kalau kalian belum makan siang, ada info dari Bu Kafe, menu hari ini favoritmu. Pesan duluan sana, mumpung belum diserbu karyawan waktu istirahat nanti."

"Nasi bakar? Aih! Ren, aku ke kafe dulu, kamu nyusul saja kalau sudah beres. Dokter, makasih sekali lagi. Tolong urus dia." Wening benar-benar gembira. Pucuk dicinta ulam tiba. Kafe rumah sakit berada di sayap bangunan yang sama dengan bagian manajemen. Alasan yang bagus untuk tidak sengaja bertemu dokter Hasan.

Langkahnya mantap menuju ke sana. Dari website rumah sakit, diketahuinya lelaki itu belum lama diangkat menjadi wakil direktur. Lalu, apa yang akan dikatakannya kalau benar-benar bertemu? Wening tidak terlalu memikirkannya. Lihat saja nanti. Ia percaya dengan kemampuannya berimprovisasi.

Koridor sepi. Pintu dengan papan nama dokter Hasan Elfandi Lesmana tertutup. Ia mengeluarkan buku catatan dan mengetuk. Wawancara dadakan tanpa perjanjian mungkin akan langsung ditolak mentah-mentah. Tidak masalah. Ia hanya perlu mengajukan satu pertanyaan, tepatnya pernyataan.

"Kalau Anda ada maksud lain terhadap ibuku, lupakan. Ayah dan ibuku akan bersatu lagi. Lihat saja nanti."

Ketukan lebih keras, masih tidak dijawab. Wening mendorong pintu, ternyata tidak dikunci. Dorong lebih lebar. Ia melongok ke dalam, cukup untuk memastikan tidak ada siapa-siapa. Wening mengentakkan kaki. Belum tentu akan ada lagi kesempatan sebagus ini. Mungkin dokter Hasan sedang mengoperasi pasien? Atau rapat manajemen? Naif sekali ia mengira lelaki itu menganggur dan mudah ditemui.

Wening hendak menarik kepala ketika matanya menangkap foto keluarga di rak buku. Ada yang familier. Ia menjulurkan kepala lebih jauh. Dokter Hasan, istrinya, tiga orang anak perempuan, dan satu anak laki-laki. Buku catatannya jatuh.

Jantungnya berdebur begitu keras seperti baru tertangkap basah. Padahal tidak ada siapa-siapa. Namun, matanya tidak salah lihat, bukan pula ia berhalusinasi. Seharusnya, ia sudah menyangka dari nama mereka. Dokter Hasan Elfandi Lesmana adalah ayah wali kelasnya, Herdin Lutfi Lesmana.

Apa artinya ini?

Perasaannya terlalu campur aduk untuk berpikir lurus.

Wening buru-buru pergi dari sana, berlari menuju taman samping rumah sakit. Dikeluarkannya botol minum, diteguknya banyak-banyak, terburu-buru sampai nyaris tersedak.

Ibu benar, ia terlalu berprasangka. Baper tidak keruan.

Dua minggunya berlalu sia-sia. Wening merasa malu.

_______________

Mottainai: pernyataan penyesalan ketika sesuatu yang sangat berharga terbuang sia-sia.



----------------------------------------------------

Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series .

Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03

Wonderstruck by IndahHanaco

dan The Stairway to Unknown by puspitadesi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro