5. Secrets
Minggu ke-7 dari 35
Banyak belajar, banyak yang terlupa
Sedikit belajar, sedikit yang terlupa
Tidak belajar, tidak ada yang terlupa.
Juga tidak tahu apa-apa. Ulangan harian Kimianya nol besar. Bu Hanifa tiba-tiba rese pula meminta tandatangan orangtua di kertas ulangan. Tradisi baru di kelas 12, katanya. Di masa kritis, orangtua harus lebih terlibat.
Mana ada tradisi dibentuk dadakan, Arvind mengomel sendiri. Dipandanginya lingkaran hijau di sudut bawah kertas. Bu Hanifa ingin berbeda, pakai hijau untuk nilai jelek, simbol untuk terus maju belajar. Karena merah identik dengan setop, dapat mematikan minat memperbaiki.
Whatever.
Merah atau hijau, ia tidak mau meminta tandatangan Papi dan Mami. Alih-alih hukuman nyata seperti potong uang saku, kurungan kamar, sita ponsel, Papi dan Mami akan memberinya neraka. Kesalahannya yang lalu-lalu akan diungkit lagi. Plus, kesalahan masa depan, yang bahkan tidak terpikirkan olehnya.
Arvind harus cari akal. Ketiga kakaknya tersebar di tiga negara berbeda, tidak mungkin dimintai paraf digital sekalipun. Ren dan Wening? Lupakan. Mereka sudah punya masalah sendiri. Dibantingnya badan di kasur. Menerawang langit-langit. Mungkin ada hantu di rumah ini yang berbaik hati mau mewakili? Bisakah pegang bolpen? Bagaimana kalau pura-pura lupa? Bu Hanifa akan terus mengejarnya.
Arvind menghela napas. Hanya satu cara. Ia duduk lagi menghadap meja. Tiru tandatangan Mami. Dengan beberapa kali latihan, 90% mirip. Beres.
Tidak. Sesudahnya ia malah resah. Bergulingan di kasur atau mondar-mandir atau merobek-robek kertas doodle. Segalanya terasa salah sampai ia tidak tahan lagi. Pukul 21.10, Papi-Mami belum pulang. Disambarnya jaket dan kunci motor. Ia keluar, otomatis saja menuju rumah Ren. Sampai di depan pagarnya yang tertutup, barulah Arvind sadar, ini ide buruk.
Bukan karena sudah larut, tetapi sejak Om Arsha wafat, Arvind tidak nyaman lagi menjadi dirinya di depan Ren dan keluarga. Karena ia akan mengatakan hal-hal yang salah pada waktu yang salah. Dan apa pun yang dilakukannya atau tidak dilakukannya hanya menambah kesedihan mereka. Setahun lebih, ia tidak bertemu Tante Amel dan Nazhan, kecuali di sekolah saat pembagian rapor.
Arvind tidak ingin membuat masalah baru pula dengan Ren. Dipandanginya jendela-jendela kamar di lantai dua yang masih terang-benderang. Tante Amel dan Ren masih bangun. Tangannya terangkat, melambai untuk berpamitan pada bayangan mereka di balik tirai. Lalu diputarnya motor, berlalu dari sana, tanpa tujuan. Tidak ingin memikirkan apa pun, terutama soal Ren.
Nyatanya, otak suka membandel. Begitu saja ia teringat ekskul futsal pagi tadi. Arvind menikmati permainan meski berada di kubu lawan Ren. Ia bahkan lupa jarak di antara mereka.
Sebagai pivot, Ren cerdik bukan main dalam mengecoh kiper. Arvind harus ekstra waspada melindungi gawangnya. Pada menit-menit terakhir, timnya kena penalti, tendangan Ren yang susah dibendung akan menjadi penentu. Ren membungkuk, memperbaiki posisi bola di depan kakinya. Arvind waspada, mengamati gerak-geriknya. Tiba-tiba pandangan Ren beralih ke belakang gawang. Penasaran, Arvind menoleh cepat. Di bangku penonton, tampak Natya bersama teman-temannya dari ekskul seni rupa. Kepala Ren kemudian bergerak ke kiri. Arvind mengikuti pandangannya. Kenzie sedang melenggang menuju Natya.
Tiba-tiba, "REEEEEEN!" Seruan itu mengagetkan semua orang. Sumbernya dari posisi lebih tinggi.
Arvind mendongak dan melihat seorang gadis berdiri di puncak undakan, melambaikan tangan. Ren balas melambai. Pak Tatan meniup peluit, mengembalikan konsentrasi mereka.
"Ada cewek, tendangan bakal melenceng," ledek Arvind.
Ren hanya tersenyum, tidak terprovokasi. Ia mundur sedikit. Tahu-tahu bola ditembakkan deras, sama sekali tidak mengarah gawang. Arvind bengong.
Pekik peringatan dari sana-sini. Kenzie menoleh sedetik, lalu melompat ke samping. Refleks yang bagus. Bola melewatinya, menghantam tembok. Ren tampak kecewa. Kenzie berhasil menghindar tetapi boot kanvasnya masuk genangan lumpur.
Yes! Kepalan tangan Ren teracung ke udara.
Arvind geleng-geleng, sadar apa yang terjadi. Kakak yang baik, mengorbankan skor hanya untuk menyelamatkan adiknya. Natya bisa melihat, betapa konyol Kenzie meributkan sepatu kotor.
Peluit panjang dibunyikan, pertandingan berakhir. Dilihatnya Ren mendekati gadis yang baru datang. Mereka mengobrol akrab. Kejutan. Ren sudah punya gebetan dari sekolah lain, pikir Arvind. Berjalan melewati mereka, ia tidak tahan untuk menggoda. "Ren, enggak sopan banget sih, badan keringatan gitu, nemuin cewek cakep rapi. Kebanting, tahu?"
Ren langsung mundur dengan kikuk.
"Kamu pasti Arvind." Gadis itu menganjurkan tangan. "Aku Jesara."
"Wah, Chandrawinata Jesara? Akhirnya kita ketemu." Arvind menyambutnya riang. "Eh, kamu kok tahu namaku. Ren suka cerita, ya? Apa katanya? Aku yang dulu nemani dia cari-cari rumah kamu? Atau...." Mulutnya sudah dibungkam Ren.
Jesara tertawa. "Ren, aku tunggu di parkiran, ya?"
Arvind melepaskan diri, balik merangkul leher Ren. Anak itu seperti tidak sadar, hanya memandangi Jesara berlari naik tangga. Senyum-senyum sendiri.
"Apa itu yang cemerlang di matamu? Apakah itu bintang yang terlepas dari senyumnya?" Arvind bernyanyi, menggoda Ren lagi. "Kamu jadian sama Jesara? Sejak kapan?"
Keakraban mereka seperti lapisan es tipis yang pecah saat Ren mengendus-endus bajunya. Ekspresi itu lagi. Arvind menatapnya kesal. Say it! Agar ia bisa menceritakan apa yang dilakukannya di warung belakang sebelum ekskul dimulai.
Namun, Ren hanya mengibaskan tangan. "Jadian sama Jesara? Otakmu harus disapu! Aku cuma mau bantu kakaknya."
Arvind mendesah. "Segitunya kamu ingin dapat perhatian Jesara?"
"Bukan buat itu," bantah Ren. Lalu, suaranya dipelankan. "Lumayan ada duitnya, Vind. Tambahan uang jajan."
Arvind tercengang. "Kamu kerja? Kenapa? Kamu bilang, kelas 12 mau konsentrasi belajar. Kenapa mendadak cari duit? Kalau cuma uang jajan, aku yakin Tante Amel bisa kasih kamu full."
"Sudah kubilang, tambahan uang jajan. Kurang jelas apa?" Tanpa menunggu reaksinya, Ren berlari masuk ke ruang ganti.
Arvind menendang kerikil, paling sebal kalau Ren sudah menumpuk prasangka terhadapnya, sekaligus menutup diri sehingga ia hanya bisa menebak-nebak. Ia menyusul masuk, tepat waktu untuk melihat Kenzie sedang menggosokkan sepatu pada pinggiran loker Ren. Tanah merah bercampur rumput berpindah dari sol sepatunya.
"Hei! Yang benar saja!" Ren berteriak, mendorong Kenzie minggir. "Bersihkan lagi lokerku!"
"Lokermu? Oops, aku enggak tahu. Enggak ada namanya sih. Tapi kalau ada namamu, mungkin aku gosokkan di sini." Kenzie melepaskan sebelah sepatu dan mengoleskan solnya di tengah-tengah pintu loker Ren. "Akhir-akhir ini kalau ada kamu, aku selalu ketiban sial. Kamu tahu kenapa?"
"Maksudmu apa?" Ren mundur.
Kenzie merasa di atas angin dan mendorong Ren sampai punggungnya membentur pintu loker. "Sudah dua kali kamu permalukan aku!"
Ren paling tidak terima diperlakukan begitu, pikir Arvind. Benar saja, Ren sudah balas mendorong. Oh, gawat. Ren sudah kehilangan sabar. Arvind berpikir cepat. Ia melongok ke pintu. "Ken-Ken! Suaramu kedengaran sampai ke lapangan! Lihat, cewek-cewek itu menunggumu di luar. Jaga image-mu dong!"
Berhasil. Kenzie mendengkus, melepaskan Ren dan buru-buru keluar.
"Thanks, Vind," kata Ren, tersenyum samar.
Arvind malas menjawab, langsung masuk ke salah satu bilik shower. Ada baiknya Ren sadar, robekan di antara mereka akan tetap ada karena prasangkanya. Tidak akan rapat sendiri hanya dengan olahraga dan canda.
Pulang ekskul, Arvind bergabung dengan teman-teman yang suka nongkrong di warung belakang. Tidak ada rencana khusus. Hanya saling sapa karena beberapa kali mereka bertemu di sana. Arvin tidak mendukung kebiasaan mereka membolos dan merokok, tetapi ketika ia tidak menghakimi, obrolan lebih mudah nyambung. Dalam urusan pelajaran, Arvind bahkan mendapatkan rekan senasib.
Saat itulah, mobil yang dinaiki Jesara dan Ren berhenti. Pengemudinya pemuda yang tidak Arvind kenal. Mungkin kakak Jesara. Mereka mengajaknya ikut serta. Tidak jelas mau ke mana. Arvind menolak. Tidak jelas juga alasannya. Just because.
Arvind menepikan motornya sebentar, menengok arloji. Sudah satu jam lebih ia berkeliaran. Ponselnya yang dibisukan pasti sudah dibanjiri notifikasi panggilan. Arvind membiarkannya tetap di saku. Dirapatkannya jaket. Dingin berangin meski tidak hujan. Ia mulai merindukan kasur dan selimutnya. Baik, isi bensin penuh-penuh dulu, habis itu pulang. Masih ada sisa uang di dompet. Alih-alih menuju jalan rumah, ia mengambil arah berlawanan untuk membeli martabak kesukaan Papi.
Membawa oleh-oleh sepulang dari rumah Ren. Cukup masuk akal. Mungkin mereka akan terharu dengan perhatiannya, dan membiarkan malam ini lewat dengan damai.
Di jalan sepi, sebuah sepeda motor mendesing melewatinya. Begitu dekat, mengejutkan Arvind sampai kemudinya oleng. Ia mengurangi kecepatan, menenangkan hati. Motor yang mendahuluinya masih terlihat jelas, begitu juga saat pengemudinya menoleh ke belakang, terlalu lama, kehilangan keseimbangan, dan tiba-tiba jatuh sendiri.
Arvind terkesiap kaget. Ia segera mendekat, tidak terlalu dekat. Sekitar empat meter dari orang yang tergeletak di jalan, Arvind berhenti, tidak gegabah turun dari motor. Bagaimana kalau itu jebakan? Sudah terlalu banyak cerita pembegalan dan perampokan menggunakan modus pura-pura jatuh agar ditolong calon korban.
Di sisi lain, Arvind khawatir, orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan. Ia celingukan. Hanya mereka berdua di sepanjang jalan. Jajaran lampu menerangi, dan di sebelah kanannya, perumahan. Kalau orang itu berniat jahat, Arvind akan mengebut ke rumah-rumah itu. Namun, orang itu tetap di sana. Arvind mengeluarkan ponsel.
"Jangan telepon polisi!" Orang itu duduk, berseru kepadanya. Suara laki-laki. Saat ia mencoba bangkit, tampak wajahnya babak belur.
Jantung Arvind seakan berhenti berdetak beberapa saat. Lebih cermat, ia melihat baju lelaki itu robek-robek. Sepertinya bukan akibat jatuh barusan. Jangan-jangan, pemabok habis berkelahi.
"Pergi sana!" serunya lagi.
"Abang kenapa?"
Lelaki itu tidak menjawab. Terhuyung-huyung, ia berusaha memberdirikan kendaraannya. Belum tegak sempurna, ia sudah jatuh lagi dan motornya roboh menimpanya. Terdengar sumpah serapahnya.
Arvind bergegas mematikan mesin dan turun untuk membebaskannya dari impitan motor.
Lelaki itu duduk. Napasnya tersengal. Memandang Arvind. "Aku cuma sedang sial. Mereka bersepuluh. Banci semua. Main keroyokan. Jangan takut... paling luka-luka luar dan tulang retak-retak. Jay enggak mudah tumbang." Ia menepuk dada dan meludah ke samping. "Tapi lama-lama mereka akan sadar dan mengejar ke sini. Kamu enggak perlu ikut campur... pergi sana! Jangan berteriak. Jangan telepon polisi. Itu saja sudah cukup menolongku."
Dari tempat ia berdiri, Arvind dapat melihat lelaki itu masih muda, mungkin seumur Pak Hell. "Adakah keluarga Abang yang bisa kutelepon?"
Jay terkekeh. "Banyak. Satu saja tahu, se-Bandung bakal ramai. Geng banci itu enggak akan hidup lagi. Untuk malam ini saja, aku ampuni mereka. Sudah, sudah, cepat pergi!"
Arvind mengangguk. Kembali ke motornya. Melibatkan diri dengan urusan tidak jelas dan penuh kekerasan bukan ide bagus. Baru jalan dua meter, ia berhenti lagi. Bagaimana kalau pengeroyok Jay datang dan menghabisinya? "Bang, aku panggil ambulans, ya?"
Jay meludah lagi. "Enggak akan keburu. Kalau benar-benar mau bantu, dorong saja motorku ke balik pohon-pohon itu. Mungkin aku bisa sembunyi."
"Dari sini pasti kelihatan, Bang." Arvind berpikir keras. Jelas, ia tidak bisa sendirian menangani masalah ini. "Berapa lama kira-kira musuh Abang sampai ke sini?"
"Setengah jam, paling cepat. Mereka bodoh."
Memang tidak cukup waktu untuk memanggil ambulans atau taksi. Namun cukup untuk memanggil dua anak nongkrong yang tinggal tidak jauh, hanya 10 menit dari sini. Tanpa memedulikan protes lemah Jay, Arvind menelepon Sam dan Dennis. Mereka datang berboncegan.
"Kami bawa Abang ke IGD. Jangan khawatir. Ada ibu temanku di sana. Aku bisa bantu Abang jelaskan situasinya."
Lewat tengah malam, urusannya baru selesai. Tante Inggit, ibu Wening, berjanji akan menangani Jay sesuai prosedur. Arvind meminta kejadian ini dirahasiakan dari Wening dan Ren. Ia hanya menemukan korban kecelakaan dan membawanya ke IGD. Tidak perlu dibesar-besarkan.
Arvind memberikan martabak untuk Papi kepada Jay sebagai tanda perpisahan. Mereka tidak akan pernah bersinggungan lagi. Setelah berterima kasih kepada Sam dan Dennis, ia memisahkan diri untuk pulang.
Di rumah, Papi dan Mami duduk di ruang keluarga menunggunya. Ajaib, mereka bergeming, hanya memandanginya. Arvind buru-buru naik tangga, masuk kamar. Setelah membersihkan diri, ia mengintip ke bawah. Gelap. Papi dan Mami sudah masuk kamar juga.
Tidak mungkin ia lolos begitu saja. Atau mungkin karena ia sudah menerima banyak omelan di muka? Atau mereka hanya membendung reaksi dan menunggu waktu yang tepat untuk memuntahkan air bah?
----------------------------------------------------
Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series.
Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03
Wonderstruck by IndahHanaco
dan The Stairway to Unknown by puspitadesi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro