3. Upstream
Minggu ke-5 dari 35
Ikan-ikan koi berenang melawan arus, berjuang memanjat air terjun untuk menjadi naga. Keberhasilannya dirayakan dengan koinobori.
Wening masuk ke rumah sambil mengucapkan salam keras-keras, meskipun ia tahu, tidak ada manusia lain yang akan menjawabnya. Ia sendirian, kalau lima ekor kucing domestik di beranda belakang tidak dihitung. Ibu bekerja sif sore di rumah sakit, yang berarti baru akan pulang larut malam.
Garukan pada daun pintu belakang dan eongan ramai terdengar. Begitu Wening membuka pintu, Haru, Natsu, Aki, Fuyu, dan Ame, menyerbu masuk. Ren dan Arvind menyebut mereka adik-adik Wening. Bisa dibilang begitu, karena usia mereka rata-rata satu tahun, setara manusia 15 tahunan. Wening tertawa-tawa, memeluk mereka satu per satu. Ditinggal sekolah berjam-jam, mereka rindu kepadanya.
Masih dengan ransel di punggung, Wening menambahkan makanan dan air ke dalam mangkok-mangkok mereka. "Haru, Ame, jangan berebut! Semua dapat. Itadakimasu! Makan yang banyak, ya!"
Ia kemudian turun melintasi halaman berumput, berhenti di bawah tiang bendera di dekat pagar. Tidak ada angin. Koinobori jingga yang kemarin ia kerek naik, menggantung lemas. Sarung angin lepek berbentuk ikan ... mati... di musim yang tidak jelas kemarau atau hujan, di Bandung. Mungkin karena keluar dari habitatnya, pikir Wening, geli sendiri.
Kalau dipikir-pikir, aneh juga ia ingin melihatnya berkibar. Perjuangannya untuk menjadi naga di Universitas Tokyo masih berlangsung. Belum ada yang layak dirayakan. Lagi pula, Wening meminta Ayah mengiriminya satu koinobori setiap musim semi hanya untuk menghitung tahun mereka berpisah. Awalnya, ia malah tidak mengaitkan legenda koi itu dengan perjuangannya di kelas 12. Dan fakta bahwa koinobori menjadi simbol kebahagiaan dan kesehatan anak-anak di Jepang juga tidak relevan untuknya. Ia cukup bahagia dan sehat untuk anak tunggal dengan orangtua yang terpisah lautan lebih dari separuh usianya. Sepuluh koinobori sudah. Wening menyimpannya dengan rapi di dalam kotak kayu.
Namun, makin jarang Ayah pulang, makin ia berharap Ayah tersindir oleh koinobori setiap kali melihatnya berkibar di Jepang sana. Ia berharap, Ayah memikirkan dirinya dan berusaha lebih keras untuk bisa pulang. Chatting dan berbicara lewat telepon lama-lama dilakukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Wening harus puas dengan itu, harus maklum. Sebagai ilmuwan, Ayah terikat kontrak kerja yang ketat dengan lembaga yang memberinya dana penelitian.
"Kamu tetap di situ!" Wening berseru kepada sarung angin di atas, lalu kembali ke dalam rumah.
Di meja makan, ia menemukan uang lebih banyak dari biasanya, beserta pesan Ibu. Tidak sempat masak lagi. Beli saja online. Undanglah Ren dan Arvind. Kalian sudah lama enggak kumpul di sini. Ibu usahakan pulang cepat untuk ketemu mereka.
Wening mendesah. Karier Ibu di rumah sakit terus menanjak. Dalam 10 tahun, dari seorang perawat, Ibu menjadi kepala bidang keperawatan, lalu akan dipromosikan lagi entah menjadi apa. Pokoknya harus banyak dimaklumi juga.
Namun, perhatian Ibu—tepatnya, konpensasi dari perhatiannya yang berkurang—dapat menghibur Wening kali ini. Ibu ingat pada Ren dan Arvind. Momennya tepat, di saat Wening punya misi mendamaikan kedua sahabatnya itu.
Ada konflik tak kasatmata di antara mereka. Andai Ulvi Wulansari tidak menariknya minggir beberapa hari lalu, koi bernama Wening ini akan terus memanjat air terjun, yakin bahwa Ren dan Arvind pun melakukan hal yang sama di belakangnya. Ya, murid baru itu membuatnya berhenti sejenak.
"Ning, maaf ... ini tentang Ren. Aku lihat kamu bukan cuma teman sebangkunya. Tapi lebih dekat lagi...."
Wening menyelisik wajah Ulvi. Tidak sulit menemukan tanda-tanda jatuh cinta. Lagipula, Ren—dengan segala kepolosan dan kekikukannya—adalah kembang Avicenna. Wening menyeringai. Istilah itu cocok untuk Ren yang pasif seperti kembang, bukan kumbang. "Kenapa dengan Ren?" tembaknya. "Dia belum diambil siapa-siapa, kalau kamu mau tahu. Aku sahabatnya sejak kecil."
Wajah Ulvi langsung bersemu. Gelagapan sesaat, tetapi dengan cepat ia mengendalikan diri. "Kemarin, aku enggak sengaja lihat Ren dan Arvind ribut di kelas. Habis itu, Ren ... waktu kerkom Bahasa Inggris, enggak konsen sama sekali. Aku jadi kepikiran. Kamu kan akrab dengan Arvind juga... mungkin bisa melakukan sesuatu."
Wening terbelalak, lalu tawanya pecah. Denial. Bagaimana mungkin sebagai sahabat, ia tidak tahu kalau ada masalah di antara Ren dan Arvind? Lagipula, perselisihan sudah biasa terjadi di antara sahabat, diam-diaman beberapa hari, lalu akur lagi.
Namun, kekhawatiran Ulvi menular. Wening memikirkannya, dan diam-diam mengamati Ren dan Arvind, serta interaksi di antara mereka. Ia memikirkannya lagi di rumah. Mengingat-ingat. Dan fakta itu menonjoknya telak.
Kalau dirunut, kedua sahabatnya mulai renggang sejak Om Arsha, ayah Ren, meninggal dunia setahun lalu. Bukannya tidak tahu, Wening tidak menganggap itu masalah besar, karena di depannya, Ren dan Arvind masih saling berangkulan, tendang-tendangan bercanda, dan tertawa. Fake. Seperti orang bodoh, ia percaya saja.
Wening harus melakukan sesuatu, dan Ibu memberinya jalan. Malam ini, sambil makan bersama, Wening akan turun tangan. "Ren, Arvind, sebaiknya kalian datang dan menuntaskan apa pun masalah itu. Kalian sudah buang-buang waktu dan energi untuk urusan enggak jelas."
Waktu tidak akan melambat atau memberikan keleluasaan hanya karena mereka punya masalah. Sekarang minggu ke-3 Agustus. Penilaian Harian (PH) berupa kuis dan tugas susul-menyusul. Tidak lama lagi, September datang dengan Penilaian Tengah Semester (PTS). Lalu Desember dengan Penilaian Akhir Semester (PAS). Dan di sela-selanya, ada seleksi mandiri perguruan tinggi gelombang pertama.
Tahu-tahu 20 minggu semester ganjil pun habis.
Libur sebentar untuk tarik napas, semester genap dimulai. Hanya 15 minggu, dengan kegiatan padat untuk menghadapi: Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan nilai rapor; Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK); Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN); dan aneka seleksi mandiri dari berbagai perguruan tinggi kalau belum lolos juga.
Ya, istilah dan akronimnya saja sudah bikin pening, sering berganti di sepanjang sejarah Indonesia merdeka, kemungkinan akan berganti lagi mengikuti kebijakan pemerintah periode baru. Namun, apa pun namanya, intinya sama, kelas 12 tidak bisa bersantai-santai. Persaingan akan selalu ada mengingat daya tampung perguruan tinggi terbatas, hanya 1,8 juta orang, separuh dari total lulusan SMA dan SMK. Separuhnya lagi terpaksa menganggur, ikut ujian tahun depannya, atau bekerja.
Jangan sampai Ren dan Arvind ada di antaranya.
Wening pun mengirim pesan dan menunggu balasan dari mereka. Setelah mandi dan berganti baju, ia membuka aplikasi untuk order makanan, agar ketika mereka datang selepas magrib nanti, sajian sudah terhidang.
Tunggu, ada pesan masuk. Dari Ren.
"Maaf, Ning, aku harus menemani Nazhan belajar."
Wening segera membalas, "Ajak saja ke sini, aku pesankan juga."
"Enggak bisa, Ning, Nazhan kena flu. Ibu sedang pergi. Natya... kamu tahu gimana dia. Sorry."
Natya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, pikir Wening. Siapa yang tidak? Kecewa, tetapi seperti ditampar, Wening pun tidak memaksa Ren. Dengan polos, Ren menghiburnya, masih ada Arvind yang menemani. Wening berdecak, tidak membalas lagi. Ia urung memesan makanan dan hendak memberitahu Arvind, tetapi kalah cepat. Arvind meneleponnya. Terdengar orang tertawa-tawa dan bercakap-cakap di latar belakang.
"Aku sedang di Puncak, Ning. Pulang malam."
Dahi Wening berkerut. "Dengan keluarga? Besok kan sekolah."
Pertanyaannya tidak dijawab. Arvind malah mengusulkan, agar Wening makan malam bersama Ren saja. Lalu hubungan diputuskan sepihak.
Wening mengomeli ponsel. Rencananya gagal. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang untuk Ren dan Arvind. Besok, pikirnya, dicoba lagi. Wening pun memesan makanan untuk sendiri, dan mulai belajar; persiapan untuk tes IELTS. Penerimaan mahasiswa Internasional di Universitas Tokyo lebih cepat ketimbang di Indonesia. Oktober, ia sudah harus mengirimkan berkas pendaftaran. Jadi, sejak sekarang harus mulai mencicil persyaratan. Daripada nanti terburu-buru dan malah terlambat kalau semua dikerjakan setelah PTS.
Upstream, melawan arus .... Ayah ada di puncak air terjun. Tunggu saja, ia akan menyusulnya, dan dengan menjadi naga, Wening dapat membawanya pulang.
Wening pun terserap dalam bacaan dan soal-soal. Jeda sebentar hanya untuk makan dan salat. Sampai lelah dan kantuk tak tertahankan. Ia terjaga oleh bunyi derit pagar didorong. Ibu pulang! Pukul 23.15. Sedikit lebih lambat dari biasanya. Wening keluar dari kamar, membuka tirai jendela secelah untuk melongok ke halaman. Benar, Ibu...
...dan seorang lelaki paruh baya, yang ikut turun dari sedannya dan mengantarkan Ibu sampai ke teras.
Wening mengenalnya. Dokter Hasan Elfandi Lesmana, spesialis jantung yang menjadi atasan Ibu. Mereka beberapa kali bertemu di rumah sakit.
Kenapa Ibu tidak diantar mobil jemputan karyawan?
Mungkin kebetulan saja mereka pulang bersamaan? Namun, melihat keduanya mengobrol pelan dan bagaimana Ibu tertawa, Wening menggeleng tidak percaya. Sepertinya ini bukan yang pertama. Tidak. Jangan berpikir macam-macam.
Handel pintu bergerak. Wening lari ke kamar, naik ke kasur, masuk ke dalam selimut. Biasanya juga begitu, ia nyaris lelap saat Ibu pulang. Hanya menggumam tidak jelas kalaupun Ibu mencium keningnya. Jantung Wening berdebar keras kali ini. Ia akan mendengar Ibu masuk ke kamar. Mungkin matanya bahkan membelalak saat kecupan itu mendarat di dahi. Lalu, ia akan bertanya, "Kenapa Dokter Hasan yang mengantar Ibu?"
Wening tidak sanggup memperkirakan jawabannya. Jauh di belakang kepalanya, kata-kata Ayah dan Ibu tergali keluar. Dulu, ia mendengarnya saat naik ke kelas 8, dianggap cukup dewasa untuk mengerti keputusan orang dewasa. Bahwa istilah suami istri untuk keduanya sudah tidak berlaku. Ia mengubur kata-kata mereka saat itu juga. Baginya, Ayah tetap Ayah, Ibu tetap Ibu.
Hanya dengan menjadi naga, ia bisa meyakinkan keduanya untuk kembali bersatu. Upstream ... ia sedang mendaki air terjun. Kesulitan sudah pasti, hambatan jelas bertebaran. Tambah satu, tidak masalah.
Bring it on, dr. Hell!
_________________
Note
Koinobori: sarung angin bergambar ikan koi, yang pada musim semi digantung tinggi-tinggi dalam jumlah banyak di seluruh pelosok Jepang untuk merayakan hari anak. Koinobori menjadi simbol kesehatan dan kebahagiaan masa kecil.
Itadakimasu = Selamat makan.
Kerkom = Kerja kelompok
IELTS = International English Language Testing System, tes kemampuan bahasa Inggris yang diselenggarakan bersama oleh Universitas Cambridge, British Council dan IDP Education Australia. Pada tes IELTS, bahasa Inggris yang digunakan adalah bahasa Inggris Britania atau British. Berbeda dengan tes TOEFL, tes IELTS semua jawaban ditulis tangan. Perguruan tinggi di luar negeri, seperti Universitas Tokyo, mensyaratkan minimal skor IELTS 6,5 dari maksimal 9.
Dear all,
Nah, dari prelude dan tiga bab pertama, kelihatan banget kan bedanya dengan versi POV 1 Ren?
Gimana?
Habis ini aku update sesuai kecepatan re-write ya. Doakan lancar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro