2. Bad Things Are Hard to Forget
Minggu ke-4 dari 35
Semalaman menghafal, paginya sudah ambyar.
Semalaman menghafal, beda lagi soal yang keluar.
Enzim merupakan biokatalisator atau senyawa protein bermolekul besar yang berfungsi sebagai katalis dalam metabolisme tubuh. Lima jenis enzim: renin di dinding lambung mengurus protein dari produk olahan susu; lipase di usus membantu mencerna lemak; katalse pada hati menetralisir racun; lisozim terdapat di banyak tempat dalam tubuh, bertugas membunuh bakteri; dan pepsin, di dalam lambung untuk membantu penyerapan nutrisi lainnya.
Itu bisa dipahami, masih mudah dihafal. Sementara cara kerja enzim? Rumit. Hilang minat Arvind melihat bagan-bagan proses.
Satu jam menjelang kuis Biologi, fotokopi ringkasan materi dari Wening masih di tangan. Arvind duduk di atas sepeda motornya di tempat parkir yang sepi. Sampai di sekolah terlalu pagi, kebiasaan bertahun-tahun mengikuti jadwal Mami pergi bekerja. Keluar dari rumah berlomba dengan matahari untuk menghindari macet. Akhirnya, tamat juga zaman prasejarah diantar orangtua. Mulai kelas 12, Arvind membawa kendaraan sendiri.
Matanya berkunang-kunang. Konsentrasinya seperti seember kelereng ditumpahkan ke lantai. Apakah ada enzim khusus di otak untuk mudah menghafal, mencerna pelajaran, dan menyerap ilmu? Mungkin namanya berakhiran —ase juga. Kalau ada, otaknya jelas kekurangan enzim itu. Mungkin juga enzimnya seenak jidat sendiri memilih hal-hal selain pelajaran untuk diabadikan di otak.
Arvind menggeleng sebal. Buktinya, ia ingat betul kata-kata Papi seminggu lalu, sebelum berangkat ke Eropa untuk bisnis. Lengkap dengan intonasi ala presdir yang baru tahu saham perusahaannya jeblok.
"Bagaimana bisa, ulangan harian saja jelek begini? Ngapain saja kamu di sekolah? Berangkat pagi pulang petang, akhir pekan pun ngilang. Mau jadi apa kamu nanti? Aneh juga, kamu bisa naik kelas dengan nilai-nilai standar dan remedi. Gurumu terlalu baik. Tapi kamu enggak boleh mengandalkan kebaikan orang selamanya. Persaingan di kampus dan dunia kerja bakal lebih keras lagi. Kalau nilaimu kayak gini terus, Papi saja enggak rela menyerahkan perusahaan ke tanganmu."
"Tujuh topik dalam satu tarikan napas. Mana dulu yang harus aku jawab, Pi?" sahut Arvind, geleng-geleng. "Papi kebanyakan retorika."
Papi membanting buku yang dibacanya ke meja, mengguncang mug, menumpahkan kopi. Mata dan telunjuknya mengarah muka Arvind, jakunnya bergerak-gerak, tak ada kata terucap.
Mami menepuk-nepuk tangan Papi, menenangkan. Lalu menunjukkan pada siapa ia berpihak. Arvind hafal juga kata per kata Mami lengkap dengan intonasi defensifnya. "Mami sudah sering mengingatkan, tapi Arvind enggak seperti kakak-kakaknya."
Ya, tiga kakakku perempuan, Mami yang baik.
Itu hanya diucapkan dalam hati. Berdebat dengan Mami hanya memperpanjang perdebatan. Sudah cukup ucapan mereka, bergema di rumah besar yang kosong, tumpang tindih dengan omelan sebelumnya. Atau jangan-jangan, gema itu hanya ada di otak Arvind, dipertahankan oleh enzim sotoyase, sehingga terdengar ke mana pun ia pergi.
Dimasukkannya fotokopian ke dalam ransel. Masih banyak waktu sebelum bel masuk. Mana yang lebih asyik: di kelas coret-coret whiteboard, atau ke warung belakang sekolah?
Gorengan gehu pedas! Tentu saja!
Sambil bersiul, Arvind melintasi lapangan, mengitari bangunan tiga lantai, dan sampai di benteng belakang. Tembok rata licin setinggi dua meter, hanya kucing, siswa nekat, dan Ren yang bisa naik. Lupakan contoh dari kucing dan traceur karena mereka benar-benar berlari memanjat tembok. Cara siswa nekat adalah dengan memanfaatkan pagar, rantai pengikat, dan engsel-engselnya untuk pijakan kaki. Itu dari dalam ke luar. Kalau dari luar ke dalam, ada cara paling mudah: pinjam tangga pada Ibu Warung.
Ingat Ibu warung, Arvind terpaku. Lagi, enzim anonimase di otak malah menguatkan memori buruk dari minggu lalu ketika Ren menegurnya. Apa sebetulnya masalah anak itu. Ren jelas tahu, Arvind biasa datang terlalu pagi dan menghabiskan waktu di warung belakang untuk jajan. Selama ia masuk kelas tidak terlambat, Ren sepertinya tidak peduli. Sialnya, sekali itu, ia tidak hanya telat, tetapi juga berbau asap rokok. Lolos dari guru, bukan berarti lolos dari Ren. Ketika semua orang keluar untuk beristirahat, Ren mengadangnya di pintu kelas, mengendus-endus.
"Kamu mengira aku merokok, kan?" cetus Arvind, setengah bercanda, setengah menantang Ren. Sudah terlalu lama, mereka berjalan masing-masing. Arvind masih mengamatinya, diam-diam. Apakah Ren juga memperhatikannya?
Dari balik kacamata minus, Ren hanya menatap tajam. Tidak berkata apa-apa. Arvind menjadi kesal. Apa susahnya mengiakan, agar ia bisa menjelaskan. Namun, Ren sekarang tidak seperti Ren setahun lalu. Ada yang menahan lidahnya. Ada jarak tak kasatmata di antara mereka. Ekspresinya sulit dibaca dan itu paling mengganggu Arvind. Lalu begitu saja, Ren berbalik.
"Hei!" Arvind menahan bahunya. "Kamu kenapa, sih?"
Ren berdiri kaku, tidak menoleh. "Apa pun yang kamu lakukan, aku enggak berhak melarang."
"Apa maksudmu?" Arvind terlalu terkejut. Ren bukan mengira, tetapi sudah menuduhnya melakukan sesuatu yang buruk. Kalaupun benar, sahabat macam apa pula membiarkannya terjerumus? Arvind menggertakkan gigi, baru sadar, pegangannya pada bahu Ren menguat.
Ren melepaskan diri sambil berbalik. "Kamu sudah buang-buang waktu."
Itu menyulut Arvind lebih dari yang disadarinya. Sama saja dengan Ren menganggap usahanya selama ini tidak berguna. Ia maju, mengejutkan Ren sampai mundur menabrak daun pintu. Dengan kepalan tangan, Arvind mendorong dada Ren. Mentok. "Jadi, kamu mau apa?"
Ren menepis tangannya. "Mau apa? Papimu saja sudah angkat tangan, memangnya aku bisa apa?"
Arvind terbelalak. "Papi bilang apa sama kamu? Kapan?"
"Mungkin sama dengan yang beliau katakan langsung, tapi kamu enggak mau dengar."
Arvind terlalu syok untuk menanggapi. Papi tidak meneleponnya selama bepergian, tetapi sempat-sempatnya menghubungi Ren. Untuk apa? Menyuruh Ren mengawasinya? Arvind membuka mulut tanpa satu kata pun keluar. Terlalu marah.
"Kamu masih bisa membuat papimu bangga!" Ren berkata, tajam. "Kamu enggak tahu rasanya kalau kesempatan itu lewat!"
Kedua tangan Arvind yang terkepal tegang, mengendur dengan sendirinya. Ia masih sempat melihat mata Ren basah sebelum anak itu bergegas meninggalkannya.
Ren yang ingat mendiang ayahnya, kenapa Arvind yang merasa lehernya tercekik? Menyakitkan. Tangannya bergerak meninju papan tulis. Tidak cukup, ia menendang tempat sampah.
Sekarang, gara-gara enzim memorase-baperase di otaknya, kejadian itu terputar ulang dengan detail sempurna. Efeknya pun masih sama. Arvind pun menendang pagar. Ambyar minatnya ke warung. Ia berjalan ke kelas. Sekolah sudah ramai.
Andai Ren bertanya, ia dengan senang hati menjelaskan, bau asap rokok itu dari bapaknya Ibu Warung. Sudah sepuh, bapak itu bersikeras, padahal beberapa kali Arvind sopan memintanya untuk mematikan rokok. Pak Tua hanya menjauhkan rokok, asapnya tetap ke mana-mana. Lalu kenapa Arvind bertahan di sana sampai terlambat masuk kelas?
Pak Tua belum lama kehilangan istri, dan menurut Ibu Warung, baru kali itu ayahnya terlihat bersemangat lagi, karena Arvind mengajaknya mengobrol. Bukankah setengah jam bersama Pak Tua lebih berarti ketimbang terkantuk-kantuk di kelas? Pak Tua tertawa karena leluconnya. Lebih merdu daripada omelan guru yang tidak suka ia mencarikan ketegangan dengan celetukan.
Andai Ren bertanya.
Sudah seminggu, Ren tidak juga bertanya. Menyinggung masalah itu pun tidak. Sikapnya kembali biasa, terutama di depan Wening. Arvind sepakat tanpa kata, Wening tidak perlu tahu.
Di kantin, mereka bertiga membahas hasil kuis Biologi. Arvind mendapatkan nilai 60. Luar biasa. Hanya selisih 20 dari Ren. Tidak perlu dibandingkan dengan nilai Wening.
"Jangan puas dulu, masih jauh dari KKM," kata Wening, meletuskan balonnya. "Dari jawaban ini, kelihatan kamu belum paham."
Arvind mengerang. "Aku belajar kok. Semalaman aku menghafal—"
"—tanpa paham, namanya bukan belajar," tukas Wening. "Ren, coba jelaskan jawaban nomor 3."
Ren sudah berdiri, seperti tidak mendengar Wening. Bahasa tubuhnya siap perang. Arvind mengikuti pandangannya ke pintu. Kenzie baru saja masuk, langsung menuju meja di dekat jendela yang ditempati empat cewek kelas 10. Ren menyambar jus buah naga milik Wening. Dan kejadian selanjutnya begitu cepat tak terduga. Ren menabrak Kenzie, menumpahkan cairan ungu pada kemejanya.
"Oops, sorry, Ken," katanya, polos.
Kenzie memelotot. Makiannya terlontar cukup keras, memadamkan keramaian dalam radius dua meter.
Arvind dan Wening saling berpandangan. Jelas, Ren sengaja melakukannya. Untuk apa cari gara-gara dengan Kenzie yang terkenal bersumbu pendek? Berdiri di hadapan si kekar itu, Ren yang berperawakan tinggi langsing jadi terlihat lemah.
Lalu, Arvind melihat penyebabnya. Ada Natya di meja yang dituju Kenzie. Kenapa Ren tidak tegas saja bilang, "Kenzie, jauhi adikku!" Selesai dalam satu langkah ketimbang pura-pura menabraknya.
Arvind sudah berdiri, siap turun tangan kalau dibutuhkan. Namun, Kenzie memilih memelesat ke wastafel untuk membersihkan diri. Penampilan adalah segalanya bagi Ken-Ken. Sementara Ren berjalan melewati meja adiknya tanpa menoleh, langsung menuju counter minuman
"Natya enggak mau orang tahu, Ren kakaknya," bisik Wening.
"Pasti karena sering dibanding-bandingkan," kata Arvind, meringis. Need one to know one. Memaklumi Natya, karena ia sendiri sudah kenyang pengalaman diukur dengan standar Arietta, Ardilla, dan Aruna.
Stupid Ren! Bagaimana melindungi adiknya dari Kenzie sambil merahasiakan statusnya sebagai kakak? Kali ini Natya aman, bagaimana besok, lusa, dan seterusnya?
__________
Note
Gehu = singkatan dari taoge-tahu, tahu isi taoge berbumbu pedas, dibalut tepung, dan digoreng kering.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro