16. The Only Way Out
Minggu ke-17 dari 35
"Kehidupan itu seperti roda yang berputar; pergantian posisi atas dan bawah adalah keniscayaan."
Bagaimana kalau teknologi masa depan menghilangkan roda, menggantinya dengan kemampuan terbang?
Pepatah akan berganti, masalah tetap lekat dengan kehidupan. Sekarang pun, Ren bisa membayangkan, apa yang akan dihadapinya nanti, dengan berpatokan pada situasi dan kondisi saat ini.
Malam itu, untuk pertama kalinya, ia diajak Ibu berembuk secara mendetail. Kertas-kertas berisi hitungan keuangan terserak di meja. Pengeluaran apa lagi yang bisa dibatasi atau dihilangkan? Apa saja kebutuhan mendesak yang wajib dipenuhi dalam beberapa bulan ke depan? Dari mana dananya? Apa yang bisa diupayakan? Bagaimana pengaturan keuangan mereka untuk setahun ke depan?
Ini bukan sekadar perencanaan, lebih merupakan crash program. Perlu tindakan dan alokasi sumber daya mendesak. Karena pada akhirnya, kebutuhan hidup sudah mengejar dan melampaui pendapatan mereka-Ibu, tepatnya. Tabungan yang tidak seberapa sudah terpakai.
Waktu Ren menyerahkan honor dari membantu Kei, Ibu terkejut dan memberinya peringatan tegas. Fokus pada belajar dan kegiatan sekolah. Jangan sampai teralihkan oleh kegiatan mencari uang. Prestasi akademis dan keberhasilan Ren kuliah di PTN justru akan sangat membantu Ibu. Kuliah di swasta yang biayanya mahal jelas bukan pilihan. Namun, menganggur pun bukan solusi.
Ibu tidak marah, Ren lega dan berjanji akan lebih fokus belajar. Uang dari Kei dikembalikan kepadanya. Simpan atau gunakan untuk keperluan sekolah, kata Ibu.
Saat Ibu membenahi kertas-kertas, dan dengan telapaknya meratakan lembaran demi lembaran yang tidak kusut, Ren merasa tidak berdaya. Tidak ada ide sama sekali. Lalu Ibu memeluk kertas-kertas itu seakan masalah sepenuhnya menjadi miliknya sendiri. Ren sudah dilibatkan secukupnya. Tekad itu menyala di mata Ibu. Ren menelan ludah.
Hanya ada dua solusi. Menjual rumah ini, atau Ibu menerjemahkan buku lebih banyak dan lebih cepat, yang berarti mengurangi lagi jam tidurnya yang sudah sedikit. Ren menentang itu habis-habisan. Ibu bukan robot, bisa ambruk sakit kalau berlebihan kerja.
Ibu tersenyum. "Kita akan bisa mengatasi ini. Jangan terlalu khawatir. Lakukan saja tugasmu."
Jadi, tiga minggu berikutnya, Ren menghabiskan waktu dengan rutinitas belajar. Di sekolah, Ren mengesampingkan masalah pribadi jauh-jauh. Wening dan Arvind masih pening dengan urusan orangtua masing-masing. Ya, tidak ada keajaiban yang melepaskan mereka begitu saja dari konflik.
Wening makin enggan berbicara dengan Tante Inggit, menolak memberikan restu, tetapi mengaku tidak menghambat pernikahan ibunya dengan dokter Hasan. Silakan saja, toh selama ini, ia tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan penting di keluarga. Demikian Wening membuat pernyataan, yang ditutup dengan senyum polos. Dalam pandangan Ren, Wening tengah melakukan aksi boikot dan berhasil. Tante Inggit menunda pernikahannya sampai waktu yang tidak jelas.
Wening menunjukkan kegembiraan tanpa sungkan-sungkan. Gadis itu menjadi lebih bersemangat membantu Arvind belajar, bahkan meyakinkan Tante Agatha. Pada Try Out UTBK yang akan datang, katanya, Arvind akan bisa menjawab soal-soal minimal 70% benar.
Sayangnya, janji Wening tidak membuat Om Nurdan melunakkan sikap. Try Out awal Desember, dua minggu lagi. Papi Arvind ragu, putranya akan melejit dalam waktu singkat. Daripada gagal di TO, Arvind disuruhnya segera menyiapkan berkas pendaftaran ke perguruan tinggi swasta di luar negeri. Masuknya hanya dengan TOEFL atau IELTS. Kalau itu, Om Nurdan yakin, Arvind bisa mendapatkan nilai bagus.
Arvind meradang. Di depan Ren dan Wening, ia menentang Om Nurdan. Perang kata-kata berakhir dengan taruhan. Kalau mendapatkan 70% di TO, Arvind minta dibebaskan memilih sendiri PT dan jurusan kuliah. Ia tidak menyinggung-nyinggung soal kesos dan cita-citanya menjadi peksos. Om Nurdan pun tidak bertanya, malah menegaskan, Arvind harus bersiap-siap juga dengan tes bahasa Inggris.
Lalu, Om Nurdan dan Tante Agatha mendadak ingin terlibat langsung dalam kegiatan belajar Arvind, bergantian pulang kantor lebih awal untuk memastikan mereka bertiga benar-benar belajar. Rumah Arvind menjadi tidak nyaman lagi.
Wening menolak ketempatan selagi ibunya ada di rumah untuk alasan yang sudah jelas.
Alternatif terakhir adalah rumah Ren. Namun, sejak tulisan DIJUAL terpampang besar-besar di kaca jendela depan, Ren mengajukan seribu satu alasan menolak Wening dan Arvind datang. Solusinya, ia meminta bantuan Pak Hell agar dapat menggunakan perpustakaan. Begitulah, sudah dua minggu ini mereka bertiga belajar di sana sepulang sekolah sampai pukul 21.00.
Hari ini berbeda. Perpustakaan dipakai untuk lokakarya guru-guru sampai malam. Arvind membawa berita itu sambil masuk ke kelas.
"WAR! Tangkap!" Ia melemparkan sebungkus keripik kepada Wening tetapi sengaja mengarahkannya ke muka. Wening yang kurang sigap pun kena timpuk, dan Arvind tergelak sambil mengangkat dua jari. "Peace!"
"Enggak di rumahku," kata Wening, mengabaikan kekonyolan Arvind.
Arvind merangkul Ren. "Di rumahmu, dong. Aku kangen Nazhan. Kamu bilang, dia sudah hafal membaca dan menulis namaku. Bukan lagi Vampir, Armpit ...." Tawa Arvind pecah.
"Bagaimana kalau cari suasana baru? Kafe?" Ren mencoba berkelit. Apa pun, demi mereka tidak ke rumah.
"Wah! Sejak kapan kafe masuk dalam kamusmu, Ren?" Wening tertawa. "Lihat ekspresimu! Kayak mengusulkan Planet Mars untuk belajar."
"Kalian kakak-adik sama saja." Arvind garuk-garuk kepala. "Akhir-akhir ini, kalau aku bilang mau ke rumahmu, Natya...."
"Kenapa? Natya bilang apa?"
"Katanya enggak boleh. Dia melarang sambil gelisah kayak kamu, Ren. Memangnya ada apa sih?"
"Enggak ada apa-apa. Biasa saja. Jangan sekarang. Berantakan banget." Ren menjawab terlalu cepat.
Wening sampai menelengkan kepala. "Sebetulnya, aku pengin tahu kabar Tante Amel dan Nazhan. Sudah lama juga enggak ketemu mereka."
Arvind mengiakan.
Ren menelan ludah. Bagaimana kalau hari ini libur saja? Ah, masa depan Arvind dipertaruhkan. Tidak ada jalan lain.
"Hei!" Arvind memegang bahunya, dan berbicara dengan akting meyakinkan ala adegan telenovela. "Aku paling tidak tahan melihat kamu tertekan, Renaldo sahabatku. Kamu kan tahu, aku, Arvindo Legolas Devaro, tidak pernah keberatan dengan rumah berantakan, selama kaki dapat berpijak dan kepala berteduh. Itu juga yang kukatakan kepada saudarimu."
Tawa Ren meledak. Kekonyolan Arvind berhasil mengurai ketegangan. Wening sudah mewakilinya melampiaskan gemas dengan memukuli Arvind.
"Oke, di rumahku kalau begitu," kata Ren, dan diam-diam mengirimkan pesan kepada Natya untuk cepat pulang dan melepaskan tanda DIJUAL. Sehari ini saja, Ibu pasti tidak akan berkeberatan. Ia tidak ingin mencemari pandangan kedua sahabatnya dengan masalah keluarga pada kesempatan pertama mereka datang lagi.
Natya menjawab, oke.
Beberapa jam kemudian, Ren mengayuh sepeda, pulang dengan hati ringan. Arvind mengiringi dengan sepeda motor, Wening duduk di boncengannya.
"Duluan deh!" seru Ren.
Arvind memencet klakson dan melaju.
Ponselnya berbunyi, Ren mengabaikan. Ia sibuk membalap karena ingin cepat sampai. Harusnya, panggilan dari Natya itu ia terima, walaupun tidak ada gunanya karena Arvind pasti sudah sampai di rumah. Kalau saja ia bicara dengan Natya dulu, setidaknya ia tidak terlalu kaget.
Ketika Ren sampai, sudah ada tamu, sepasang suami istri yang sedang melihat-lihat rumah. Wening, Arvind, dan Natya berdiri bersisian di dekat tangga. Dua dengan ekpresi yang tidak bisa dipahami, satu lagi dengan mata berkaca-kaca.
Momen kikuk sepeninggal tamu. Wening dan Arvind menghindari tatapannya dengan pura-pura sibuk membaca atau memandang ke tempat lain. Itu tidak bisa dilakukan tanpa kentara. Mereka belajar di ruang duduk sempit di depan kamar Ren. Ke mana pun menoleh, pada akhirnya harus berhadapan dengannya, sampai Ren tidak tahan lagi.
Ia meletakkan pensil. "Kalau begini terus, enggak ada soal yang bisa kita selesaikan. Kalian berdua, fokus dong. Kita mau belajar, kan?"
Wening mengangkat kepala pelan-pelan, tetapi cepat menutup muka dengan ujung kerudung. Ren masih sempat melihat matanya basah.
"Ning?"
Wening malah membenamkan muka pada bantal sofa dan sesenggukan.
Arvind menyemburkan napas keras-keras. "Wening pasti malu, sama kayak aku."
Ren tertegun. Urusan penjualan rumah pasti memengaruhi Wening dan Arvind. Ia malah menduga akan diomeli karena tidak memberitahu mereka. Tidak disangka, Wening dan Arvind mengambil alih perasaannya.
"Rumah ini dijual, pasti bukan keputusan mudah dan dadakan. Tapi aku enggak tahu apa-apa. Aku sibuk dengan diri sendiri. Sahabat macam apa itu?"
Kepala Wening bergerak, mengangguk-angguk.
"Jangan bilang ini bukan masalah besar. Atau kamu sengaja menutupi, Ren." Arvind mengetuk-ngetuk meja, nadanya kesal. "Harusnya aku bisa lihat dari sikap kamu. Pasti ada apa-apanya. Ya ampun, Ren! Aku malah mengira kamu berprasangka tentang aku. Kamu curiga sama aku. Kamu enggak ngertiin aku. Me me me! Pantas kamu marah, bilang aku lahir di lumbung padi kok kelaparan. Ribut pula menyalahkan orangtua. Aku salah paham juga waktu kamu bilang, aku masih bisa membuat Papi bangga, enggak tahu rasanya kalau kesempatan itu lewat."
Ren menunduk. "Maafkan kata-kataku, Vind. Tapi soal rumah, seharusnya kalian enggak lihat ...."
"Enggak lihat dan enggak dikasih tahu, sampai kamu pindah entah ke mana?" tukas Wening, sambil menghapus air mata.
Ren menggeleng. "Bukan begitu. Aku merasa enggak ada gunanya bilang-bilang. Tahu masalah tapi enggak tahu solusi cuma bikin cemas. Aku saja enggak bisa apa-apa. Ibu sudah memutuskan, ini satu-satunya jalan keluar."
"Terus, kalian tinggal di mana? Sudah ada rencana?"
"Bagaimana adik-adikmu? Tadi Natya menangis dan Nazhan kabur masuk kamar." Wening menyambung Arvind.
Ren mendesah, memutar pensil di meja. Entah, ujungnya akan menghadap ke mana saat putaran berakhir. Sama dengan keadaan mereka sekarang. "Ibu sedang mencari rumah kontrakan yang kecil saja. Begitu rumah ini laku, kami bisa pindah, dan ada dana lebih untuk banyak hal. Ibu punya prinsip, enggak mau berutang ke bank atau siapa pun. Aku mengerti. Natya dan Nazhan memang masih susah menerima. Di sini, kami lahir dan tumbuh. Banyak kenangan dengan mendiang Ayah juga."
"Enggak bisa ya, dikontrakkan saja?" suara Arvind mengambang. Ia pasti sudah mendapatkan jawabannya sendiri. Dana kontrakan tidak cukup menutup kebutuhan kuliah Ren, terapi Nazhan, sekolah Natya, dan lain-lainnya.
Wening memandang tangga. "Aku pernah dorong kamu sampai jatuh ke lantai bawah."
Ren tertawa. "Enggak sengaja. Namanya juga kejar-kejaran. Lagian cuma empat undakan ke bawah. Paling semeter."
"Kamu bisa bilang begitu sekarang karena sudah tinggi menjulang. Coba kamu lihat anak kecil guling-guling ke bawah, terus enggak bergerak, horor banget!"
Ren tersenyum, menoleh kepada Arvind yang tengah memandang ke halaman melalui jendela. Lampu taman sudah dinyalakan, menerangi kuncup-kuncup wijayakusuma besar yang mulai mekar. Bayangan Ayah kuat di sana. Bersama Arvind, Ayah menunggu bunga membuka sempurna malam-malam, mengabadikannya dalam video time lapse. Rekor terbanyak, 65 kuntum mekar bersamaan.
"Aku enggak akan pernah lupa. Semua kenangannya ada di sini." Arvind menepuk pelipis. "Terbawa ke mana pun aku pergi."
Ren tertegun. Arvind baru saja menyadarkannya. Rumah ini akan lepas dari tangan mereka, tetapi tidak kenangannya. Ajaib, ia tidak lagi merasa malu. Apa pula alasannya merasa malu? "Kuliah yang rajin, kerja yang semangat, cari uang yang banyak, tebus lagi rumah ini nanti!" katanya, menyederhanakan permasalahan. Kalau tidak bisa menyelesaikan masalah sekarang, minimal jangan diperberat dengan pikiran macam-macam.
Wening dan Arvind memandangnya. Ren tertawa. Gelak mereka pun lepas.
"Oke, waktunya serius!" Wening menepuk tumpukan kertas bekas untuk corat-coret di meja. "Matematika dulu?"
"Demi 70%? Tentu saja. Perkuat di Matematika. Logis, lebih mudah dicapai."
Arvind mengerang, merubuhkan kepala ke meja. "Itu kan kamu, Ren. Lagian kenapa 70% sih, Ning? Kenapa enggak bilang 60%?"
Wening memukul punggung Arvind "Kalau aku bilang 60%, kamu bakal nawar 50%! Bagaimana papimu percaya?"
"Jadi, ini tentang aku juga?"
"Ya!" Ren dan Wening serempak menjawab.
"Baiklah." Arvind duduk tegak. "Kalau aku enggak bisa menaklukkan orangtuaku sendiri, bagaimana aku bisa jadi peksos yang mengurusi orangtua anak lain?"
"That's the spirit!" Ren mengulurkan kepalan tangan yang diadu Arvind dengan tinjunya.
Wening menjentikkan jemari. "Vind, latihan manajemen waktu. Aku kasih kamu 10 soal yang mudah. Harus bisa 10 menit selesai―"
"Kalau bisa 10 menit selesai, kamu kasih aku hadiah." Arvind mendadak percaya diri.
Wening memandang Arvind penuh selidik. Sementara yang dipandang hanya cengar-cengir bandel. "Aku yang pilih soalnya―"
"Ya. Dan aku yang pilih sendiri hadiahku nanti!" Lagi, Arvind menukas. Kedipan mata dan senyumnya mulai membuat Wening gemas.
Lalu keduanya saling tatap, tidak ada yang mau mengalah. Ren geleng-geleng. Arvind terlalu pede, kalaupun Wening tadi mau berbaik hati memberinya soal-soal termudah, sepertinya niat itu hilang sekarang. Arvind akan kalah, Ren yakin.
"Kalian perlu wasit." Ia menengahi. "Aku yang kasih soal dan menentukan hadiahnya."
"No way!" Arvind menggeleng tanpa menoleh kepada Ren.
"Tapi...."
"Diamlah, Ren!" Wening juga mengibaskan tangan. Lalu ia membuka halaman buku tanpa mengalihkan pandangan dari Arvind. Secara acak, ia menunjuk. "Ini. Ambil 10 soal pertama. Sepuluh menit saja."
"Deal!" Arvind bersiul, memutar buku dan mulai mengerjakan soal.
Wening menyalakan timer di ponsel. Ren angkat bahu dan membuka buku sendiri.
Alarm 10 menit berbunyi mengagetkan. Pada saat yang sama, Arvind membanting pensilnya di meja. "Tepat 10 menit. Done!"
Wening menerima kertas yang disodorkan Arvind. Alisnya terangkat. "Kamu mengerjakan matematika tanpa oret-oretan sama sekali?"
Ren melongok soal-soal yang dikerjakan Arvind. Pilihan berganda. Melihat topik dan angka-angka yang tertera, jelas sekali Arvind perlu menghitung, tetapi kertasnya bersih. Tidak mungkin melakukannya di luar kepala.
Wening sudah selesai memeriksa dan membubuhkan nilai 3 besar-besar. Tujuh jawaban Arvind dicoret. "Kamu tebak kancing atau sambil merem?"
Arvind tertawa. "Pokoknya 10 menit selesai, tepat waktu. Aku mau hadiahku."
"Mana bisa banyak salah begini minta hadiah?" suara Wening meninggi.
"Enggak ada di perjanjian harus benar, kan? Kerjakan 10 soal 10 menit."
"Ya, tapi maksudku...."
Dan keduanya berdebat seru ditingkahi seruan mengaduh Arvind saat Wening melancarkan pukulan dan cubitan. Ren bersedekap menonton, menunggu kehebohan reda. Cepat atau lambat, mereka akan butuh sekutu dan berebut dukungannya. Lima... empat... tiga... dua....
"Ren! Kamu jadi saksi tadi. Aku enggak janji apa-apa kecuali 10 menit selesai." Arvind memulai.
"Tapi, Ren, itu kan licik."
"Janji is janji. No ngeles ngeles! Bilang gitu, Ren!"
"Mengerjakan artinya menuntaskan artinya jawaban harus benar. Ren pasti setuju."
"Ren, lihat kamus!"
Ren terbahak.
Wening cemberut. "Fine. Mau hadiah apa?"
"Simpan saja dulu, aku tagih kapan-kapan. "
Dalam dua jam berikutnya, Wening dan Ren bergantian menjelaskan kepada Arvind, mencoba berbagai cara menjelaskan agar lebih mudah dipahami.
"Vind, kalau separuh saja kecerdasanmu difokuskan di pelajaran, aku yakin kamu bisa. Tapi kamu lebih suka pakai otakmu buat nyeletuk dan ngeyel." Wening mulai mengomel.
Ren menyodorkan kue dan minuman yang disediakan Ibu kepada Wening. Lapar bisa membuat gadis itu makin galak.
Arvind membenturkan jidat ke buku. "Masalahnya buat apa mempelajari ini? Enggak praktis banget."
"Tapi soal Fisika ini basic banget. Tinggal masuk-masukin ke rumus." Wening membacakan lagi soal terakhir. "Muatan A dan B terpisah sejauh 1,5 m. Lihat gambarnya nih, Vind. Sebuah titik di antara kedua muatan tersebut memiliki medan listrik sama dengan nol. Jika muatan A bernilai +3 C dan muatan B bernilai +12 C, jarak titik tersebut dari muatan A adalah... kamu pasti tahu. Kalau di titik ini medan listriknya nol, maka medan listrik A sama dengan medan listrik B. Coba tulis dulu rumusnya, Vind."
Arvind mengetuk-ngetukkan bolpen ke meja. "Kenapa kayak menghitung peluang cinta segitiga, ya? Si Titik ada di antara Alan dan Boy yang sama-sama punya daya tarik. Tapi daya tarik Alan lebih kecil daripada Boy. Si Titik yang masih bingung cari posisi aman dulu, agar daya tarik dua cowok ini enggak ngaruh ke dia. Nah, di mana posisinya itu? Berapa jaraknya dari Alan? Gitu kan?"
Ren dan Wening berpandangan sebelum akhirnya meledak tertawa.
"Benar banget. Begitu logikanya." Wening menunjuk rumus. "Coba hitung pakai ini. Kebayang, kan?"
Arvind uring-uringan. "Iya, sih. Tapi tetap saja, kenapa Titik maksa berada di antara Alan dan Boy? Jauh-jauh sekalian kenapa? Kalau emang enggak suka dua-duanya, kenapa harus ada di tengah mereka? Siapa yang memaksa? Enggak zamannya lagi cinta dipaksa-paksa. Terus terang saja."
Ren terlongo, tetapi kata-kata Arvind masuk akal. Wening sudah lebih dulu tergelak-gelak sambil memegangi perut. Setelah tawanya reda, Wening bakal mengomel, menganggap Arvind kurang serius. Selalu begitu, setiap mereka belajar bersama.
"Aku sudah serius, kok. Nih lihat, lima soal kelar dan benar."
"Lima soal dalam dua jam! UTBK nanti 195 menit dengan soal jauuuh lebih banyak dan sulit."
"Optimis, Ning. Optimis."
"Optimis itu kalau kamu sudah melakukan persiapan matang."
Arvind manyun. "Matang bagaimana? Terlalu banyak yang harus kita siapkan. USBN, UNBK, dan UTBK. Materi masing-masing berbeda pula. Enggak bisa sekali dayung tiga pulau terlampaui. Kenapa sih, kita bukannya diarahkan untuk belajar menghadapi ujian hidup alami? UNBK contohnya, andai dapat 100%, apa bisa bikin kita survive kalau alam berniat menguji kita? Kalau UNBK memang penting banget buat hidup, enggak bakal ada wacana penghapusan, kan?"
"Selalu ada pro dan kontra. Kadang penghapusan hanya namanya saja, diganti bentuk lain." Ren memijat pelipis. Pusing adalah kesimpulannya dari membaca berita-berita seputar ujian nasional.
"Kuharap wacana itu jadi kenyataan. Hapus sungguhan, bukan cuma ganti nama."
"Kalaupun benar dihapus, enggak mungkin mendadak, Vind," sahut Ren. "Diputuskan sekarang pun, paling Natya yang bakal menikmatinya. UNBK kita Maret tahun depan, kurang dari empat bulan lagi. Cuma keadaan darurat saja yang bikin pemerintah menghapus ujian yang sudah di depan mata."
Arvind menggeleng. "Just wait and see."
"Bukan! Fight and study!" Wening berkacak pinggang.
--------------------------------
Dear all
Ren, Arvind, dan Wening datang lagi, setelah authornya hibernasi cukup lama karena satu dan lain hal.
Seperti aku, mungkin kalian agak lupa bab-bab sebelumnya. Skimming saja, sekadar untuk menyegarkan ingatan.
Selamat membaca,
doakan akan lancar setelah ini.
Salam sayang,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro