Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Let's Do It!

Minggu ke-13 dari 35

Kalau masalahmu ada di rumah,

apakah menghindarinya berarti kalah dan pasrah?

Kalau teriakanmu tidak pernah didengar,

mungkinkah diammu membuat mereka sadar?

Arvind sungguh-sungguh mempertanyakan hal itu.

Diawali dengan Wening datang ke rumah untuk membantunya belajar. Arvind merasa ada yang aneh. Kalau itu dilakukan di kelas 10 atau bahkan kelas 11, Arvind bakal percaya spontanitas dan niat Wening. Akan tetapi, kelas 12 sudah mengubah semua orang. Wening begitu fokus pada Universitas Tokyo seperti anak panah terlepas dari busur, lurus mengarah pada target. Kalau tiba-tiba berbelok, pasti ada energi besar yang memukulnya. Sesuatu yang tidak menyenangkan.

Tiga jam bersama Wening, Arvind tidak berusaha mengorek-ngorek masalah. Ia membuat Wening nyaman dengan belajar sungguh-sungguh. Rela jadi sasaran gebukan setiap kali salah mengerjakan soal. Selepas Magrib, Arvind menawarkan diri untuk mengantar Wening pulang. Gadis itu tampak enggan, tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin menginap di sini.

"Mau kuantarkan ke rumah Ren? Ada Natya dan Tante Amel di sana." Arvind mengerti, masalah Wening ada di rumah. Pasti skalanya tidak main-main karena selama ini, Wening bukan gadis cengeng yang sedikit-sedikit baper. Hanya ada ibunya dan para kucing, sudah jelas siapa penyebabnya.

Wening memikirkannya sejenak, lalu menggeleng. "Pulang saja."

Arvind mengangguk. Wening berusaha bersikap biasa, belum siap terbuka. "Tante Inggit malam ini ada di rumah atau ngesif?"

"Ada di rumah." Wening menepuk-nepuk rok seragam dari remahan kue. Lalu dikemasinya gelas dan piring ke dapur, berlama-lama mencuci.

"Ning, aku belum lancar benar menghitung jarak dua bidang sejajar. Tambah dua jam lagi di tempatmu?" Arvind angkat bahu sendiri, toh tidak ada yang bisa dikerjakannya sendirian di rumah, kecuali tidur. Sudah lama ia tidak menunggui Mami dan Papi, sejak ia tidak lagi menjadi faktor penentu mereka pulang dan pergi.

Wening berbalik dengan ekspresi mendadak cerah. "Tiga jam juga boleh. Bidang Ruang kan banyak jenis soalnya. Jam sepuluh belum terlalu malam buat pulang, kan?"

Jadi, begitulah. Di rumah Wening, Arvind melanjutkan belajar Matematika sambil diam-diam mengamati interaksi antara nona dan nyonya rumah. Sang putri sengaja menyibukkan diri dengan tamu. Sang ibu berusaha keras melibatkan diri tetapi dianggap angin lalu. Wening bahkan tidak pernah memandang ibunya. Dan beberapa kali Arvind mendapati Tante Inggit menghela napas, menggeleng-geleng, bahkan matanya berkaca-kaca, sebelum akhirnya berpamitan untuk masuk kamar.

Dan itu berulang dalam seminggu berikutnya, karena Wening mewajibkan Arvind datang ke rumahnya setiap malam. Arvind tahu, ia dimanfaatkan sebagai tembok pemisah, tetapi bersabar saja menunggu Wening bercerita sendiri. Sampai suatu malam, tiga orang pemotor memepet Arvind di jalan menuju rumah Wening. Mengira mereka begal, Arvind ketakutan dan berusaha melarikan diri. Namun mereka tidak memberinya jalan. Lalu, orang terdepan membuka helm.

Jay.

Arvind hampir lupa wajah lelaki itu. Sejak meninggalkan Jay di rumah sakit, tak sekali pun Arvind memikirkannya. Penampilan Jay sekarang lebih bersih dan rapi. Kalau bukan karena dua pesepeda motor bertampang sangar yang mengapitnya, Arvind akan mengira orang itu hanya mahasiswa yang begitu gembira bertemu kawan lama.

"Susah benar mau ketemu penolongku saja," katanya, sambil turun dari motor dan mendekat. "Aku sampai menyebar orang untuk cari kamu. Ada yang mengikuti Suster Inggit ke rumahnya. Aku ingat, kamu bilang, anaknya temanmu, jadi ada juga yang mengikuti dia ke sekolah. Mereka enggak beruntung menemukanmu. Bagaimana bisa, nama kamu juga, enggak tahu. Tapi akhirnya, kamu mulai ngapel setiap malam ke rumah cewek manis itu."

Arvind memperhitungkan situasi. Ia duduk di sadel motornya dengan mesin masih menyala. Pinggir jalan itu sepi, berbatasan dengan kebun dan tanah kosong. Lalu lintas cukup ramai. Mengebut ke jalan raya akan berbahaya karena ia yakin tiga orang itu tidak akan membiarkannya lepas begitu saja. "Apa sebetulnya yang Bang Jay inginkan dariku?" cetusnya kesal. Terbayangkan judul berita di media: Anak SMA Babak Belur Dipukuli Ketua Geng Motor yang Pernah Ditolongnya. Sial benar. Kalau menolong orang berakibat buruk begini, dunia akan kehabisan orang baik.

"Hei, tenang, jangan takut. Aku mencari kamu untuk berterima kasih. Jay pantang melupakan jasa orang." Lelaki itu menepuk dada. "Aku juga harus membalas budi dengan melindungi kamu."

Arvind cepat-cepat menjelaskan, ia menolong tanpa pamrih dan tidak perlu perlindungan. Namun, Jay bersikeras. Lelaki itu memberinya kartu plastik tebal. Dengan penerangan lampu jalan, Arvind mengamati desainnya yang begitu norak, banyak tulisan, banyak gambar, dan beberapa nomor ponsel.

"Enggak sembarang orang dapat kartu itu. Kalau kamu ketemu orang-orang berbahaya, tunjukkan kartu itu. Mereka bakal mundur."

Arvind ingin menyeletuk, bagaimana kalau justru bertemu musuh Jay, bukannya malah lebih berbahaya? Namun, ia menelannya lagi. Makin cepat bebas dari Jay, makin baik. Arvind tidak ingin memasuki dunia mereka yang ia duga penuh kekerasan. Maka ia mengantongi kartu dan berpamitan. Kali ini Jay membiarkan. Arvind pun memutar motornya pulang. Tidak berminat lagi belajar.

Suasana hatinya makin buruk karena Papi dan Mami ternyata sudah di rumah dan membuat pengaturan tidak terduga. Entah kesambet apa, mereka memutuskan Arvind tidak perlu ikutan seleksi masuk perguruan tinggi lokal, kuliah saja di luar negeri. Lebih bergengsi daripada gagal dan menganggur setahun. Urusan nilai tidak masalah. Banyak perguruan tinggi di luar negeri yang untuk masuknya cuma perlu kemampuan bahasa Inggris dan uang. Mau kuliah di Dublin ada Arietta, di Hawaii ada Ardilla. Atau di Helsinki sekalian seperti waktu Arvind SD dulu, ada Aruna dan suaminya di sana.

Merasa tidak mampu mendidiknya, Mami dan Papi menyerah. Hanya dengan jauh dari orangtua, Arvind akan lebih mandiri dan bertanggung jawab, begitu kata mereka. Arvind ingin mendebat, kapan Mami dan Papi bersikap sebagaimana orangtua untuknya? Sejak lahir sampai kelas 1 SD, ia dibesarkan Nenek di pinggiran Bandung. Kelas 2 sampai lulus SD, ia diboyong Mami-Papi ke Findlandia dan diasuh oleh nanny berkebangsaan Ceko. Balik ke Bandung, Mami dan Papi malah lebih sibuk lagi dengan segala persiapan menjadikan Arvind waris perusahaan keluarga. Seolah menyulap putra satu-satunya menjadi kebanggaan mereka lebih penting ketimbang keberadaan Arvind sendiri.

Namun, semua protesnya lesap di tenggorokan. Ia sadar, berteriak pun tidak ada gunanya. Dengan lesu, ia hanya angkat bahu dan masuk kamar. Barangkali dengan tidur awal, esok ia terbangun menjadi kembaran Ren sungguhan. Mendadak ia merasakan lagi tusukan rasa kehilangan. Dulu, ia menjadi bagian dari keluarga itu. Lebih muda tiga hari saja dari Ren, ia diperlakukan seperti anak kedua. Tante Amel hafal makanan kesukaannya dan Om Arsha paling suka mendengarkan celotehnya, mengimbangi lelucon-leluconnya. Panggilan A-Vind dari Nazhan dan Natya melengkapi. Ren tidak pernah tahu, kehilangan Om Arsha bagi Arvind berarti kehilangan semuanya. Ia mendesah, menutup mukanya dengan bantal.

Adakah keajaiban di dunia ini? Ia hanya ingin kembali menjadi Arvind yang diterima lagi di tengah-tengah mereka.

Namun, bukan keajaiban yang terjadi esoknya, masalah malah mengejar. Dua anak buah Jay mengadangnya di jalan sekitar sekolah. Sekali ditemukan, akan mudah ditemukan di mana pun. Padahal Arvind hanya ingin bermain basket dengan Sam dan Dennis di hari libur ini. Ya, itu alasan sampingan. Utamanya, ia ingin menjaga Natya yang mengikuti kegiatan ekskul seni rupa, karena di hari Sabtu, Kenzie biasa beredar di sekolah untuk mencari gebetan.

Dua lelaki yang diutus Jay itu menawarinya keanggotaan resmi dan posisi terbaik di lingkaran mereka. Arvind berusaha menampik dengan tetap ramah dan sopan. Bahkan ia berikan namanya untuk disampaikan kepada Jay. Ia juga mengabaikan ajakan Ren dan Jesara karena pembicaraan mereka belum selesai, khawatir menyinggung perasaan dua orang itu kalau ia tinggalkan.

Panggilan dari Weninglah yang kemudian menyelamatkannya. Dua lelaki itu tertawa-tawa menggodanya ketika ia menyebutkan siapa yang menelepon. Pacar memang harus dinomorsatukan, kata mereka.

Berasumsi anak buah Jay masih mengawasinya, Arvind benar-benar pergi ke rumah Wening. Tante Inggit bekerja. Mereka mengobrol di teras, ditemani kucing-kucing. Wening berterus terang, Ren yang memintanya memanggil Arvind. Melihat perubahan ekspresinya, Wening buru-buru menambahkan, "Jangan kesal dulu. Ren cuma khawatir dengan orang-orang itu. Aku juga heran, kenapa tiba-tiba kamu punya teman-teman aneh."

"Mereka bukan temanku. Kalian enggak usah khawatir. Aku tahu apa yang kulakukan dan bisa jaga diri," tukas Arvind, dan segera menyadari nadanya terlalu ketus. Defensif, jelas. Ren dan Wening sering menganggapnya bodoh dan naif. Padahal Nilai buruk tidak ada kaitannya dengan kecerdasan dan wawasan, percayalah.

"Bagaimana mendamaikan lagi kalian berdua?" Wening mendesah. "Apa sebetulnya yang dilakukan Ren sampai kamu gampang banget tersinggung?"

Arvind mengangkat Haru tinggi-tinggi di depannya. Kucing hitam itu mengeong. "Ren enggak melakukan apa-apa, enggak bilang apa-apa juga, tapi sudah menghakimi aku. Itu yang bikin aku bete."

"Menghakimi bagaimana, kalau dia enggak ngapa-ngapain kecuali mencemaskan kamu?" Wening mengelus Natsu di pangkuannya. "Atau kamu pengin dia bertindak? Misalnya menginterogasi, memarahi, atau menyeret kamu belajar? Kalau begitu, kamu bakal bilang dia sok ngatur."

Arvind tertegun sesaat. "Ren memandangku kayak aku sudah melakukan hal-hal buruk saja."

"Hmm. Aku enggak bisa bilang itu cuma pikiranmu saja. Ren memang suka menunjukkan ekspresi yang mudah dibaca. Tapi diam bukan solusi, Vind. Kasih tahu Ren, kamu enggak suka diprasangkai. Langsung saja jelaskan, apa sebetulnya yang kamu lakukan. Duh, aku suka gemas sendiri sama kamu dan Ren. Sadar enggak, kalian tuh lebih cewek dari aku? Sama-sama baperan tapi memendam sendiri."

"Aku enggak pengin jadi masalah tambahan buat kalian."

Wening melemparnya dengan kulit kacang. "Nah, itu asal mulanya. Kamu diam dan menjauh. Jangan salahkan Ren kalau salah paham. Omong-omong, kapan terakhir kamu main ke rumahnya? Seharian, kadang sampai menginap, kayak dulu?"

Arvind mengingat-ingat. Sudah lama sekali. Ia menghela napas.

"Ren juga bete kamu berubah drastis. Lebih memilih anak-anak nongkrong ketimbang dia. Sekarang malah dekat dengan geng motor. Dia sebenarnya kehilangan kamu, tahu enggak?"

Arvind berdecak. "Kamu yakin sesedehana itu?"

Wening tertawa. "Ya. Memangnya ada apa lagi? Kamu enggak percaya Ren?"

Arvind terdiam agak lama, menjawab pertanyaan Wening dalam hati. Ia kesal Ren berprasangka, tetapi ia juga berprasangka kepada Ren. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?"

"Karena ini bukan krisis pertama, dan aku menduga kalian bakal menyelesaikan sendiri dengan adu tinju, minimal saling teriak kayak biasanya. Tahunya berlarut-larut dan aku lalai. Maaf."

"Kamu juga punya masalah sendiri." Arvind mengangguk, maklum. "Tapi pendaftaran ke Universitas Tokyo sudah beres, kan?"

Ekspresi Wening berubah. Arvind jadi yakin telah memencet tombol yang tepat. "Kamu menyuruh aku enggak memendam sendiri. Aku balikkan, deh!"

Wening menyandarkan punggung di kursi. Beberapa saat seperti mempertimbangkan. Tiba-tiba ia menoleh dengan ekspresi penuh harap. "Kamu mau bantu aku?"

"Tentu. Apa pun semampuku."

"Aku harus ke Tokyo secepatnya. Tabunganku cukup untuk tiket pesawat sejalan. Untuk lain-lainnya, pinjam dulu sama kamu, boleh?" Wening sampai turun dari kursi dan berlutut di lantai.

Arvind terbelalak. Seumur persahabatan mereka bertiga, tidak pernah ada istilah pinjam atau meminta uang di antara mereka. Saling traktir hanya waktu ulang tahun dan jumlahnya dibatasi sesuai standar uang saku anak sekolah. Kesepakatan tidak tertulis itu sama-sama mereka junjung tinggi. Wening melanggarnya dua kali. Partama, membayarkan iuran buku tahunan Ren, yang jelas membuat Ren marah. Dan sekarang, meminjam uang untuk tiket ke Jepang? Orangtua Wening mampu menerbangkannya ke mana pun kalau mau.

"Aku enggak salah dengar, kan? Kamu mau minggat?" Arvind sampai ikut turun ke lantai, duduk bersila di depan Wening. Gadis itu menunduk, menyembunyikan air mata.

"Aku enggak bisa ceritakan semua. Cuma bisa bilang, ini masalah keluarga. Ibu membuat keputusan mahapenting. Aku harus ketemu Ayah langsung dan bawa dia pulang untuk membatalkannya. Enggak ada solusi lain dan enggak bisa lewat telepon. Please, Arvind."

"Dan kamu mau pergi tanpa bilang-bilang?"

Wening menggeleng. "Aku akan minta izin pada orang yang tepat. Bukan Ibu. Ke Ibu, cukuplah aku bilang mau menginap di rumah Nini, ibunya Ayah, di Jakarta. Dari sana saja, aku pergi. Nini enggak akan melarangku menjemput Ayah. Ibu percaya sama Nini tapi jarang kontak. Aman, kan? Aku cuma perlu seminggu di Tokyo, awal November sudah balik lagi. Paspor baruku sudah pakai chip, enggak perlu visa."

"Semuanya mendukung, kecuali dana...." Arvind setengah bergumam.

"Ya. Tolong aku, Vind. Aku bisa minta Ayah kembalikan nanti."

Arvind menghela napas. Wening bukan cuma meminjam uang, tetapi mengajaknya bersekongkol mengelabui Tante Inggit. Melihat tekad di mata gadis itu, Arvind yakin, kalau ia menolak membantu, Wening akan mencari pinjaman dari orang lain. Bagaimana kalau sampai nekat menghubungi loan shark alias lintah darat? Wening punya apa untuk jadi jaminan? Arvind bergidik sendiri. Kalaupun Wening mendapatkan dana dari orang baik, bagaimana kalau terjadi apa-apa pada gadis itu dalam perjalanan? Tidak seperti dirinya, Wening jarang pergi ke luar negeri, dan tidak pernah sendirian.

Wening sudah memegangi lengannya, membuat Arvind terharu biru. Ia paham benar karena berada di posisi yang sama dengan Wening, berseberangan dengan orangtua. Siapa lagi yang bisa diandalkan kalau bukan sahabat? Solusi Wening pun bisa menjadi solusinya. Arvind mengangguk mantap. Dikeluarkannya dua kartu ATM dari dompet. "Satu ini isinya cukup untuk beli tiket berdua bolak-balik. Satu lagi untuk akomodasi dan makan berdua selama seminggu. Aku juga punya e-paspor."

Tekanan pada kata berdua dan kalimat terakhirnya membuat Wening tercengang.

"Kamu boleh pakai uangku dengan syarat aku ikut." Arvind mengangkat tangan, menghentikan protes Wening. Ditepuknya kepala gadis itu sambil tertawa. "Bakal seru pergi sama kamu ke Tokyo. Penyegaran sebelum ujian akhir semester. Kamu menjemput solusi, dan aku... memberikan apa yang diharapkan Mami dan Papi."

"Kenapa lagi orangtuamu?"

"Mereka enggak sabar pengin aku pergi dari rumah, kuliah di belahan dunia lain. So, let's do it."

Duuuh Arvind, itu celana diapain?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro