Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Free Running (2)

Sampai detik ini, Ren masih tersipu mengingat pujian Jesara yang berapi-api. Ia sudah bersyukur dapat mengenal para mahasiswa itu.

Begitu ia turun dari mobil di atas bukit, Salman menyambutnya langsung dengan pemaparan tugas. Ia memang selalu serius. "Ren, skenario uji coba kali ini adalah menemukan pendaki yang hilang. Lembah dan sungai di bawah enggak ekstrem. Kamu bisa turun ke sana tanpa alat. Sesampai di bawah, kamu nyalakan GPS tracker ini. Sebentar saja... lalu matikan. Pura-puranya itu jadi jejak kamu terakhir. Lalu kamu bergeser ke lokasi yang sedikit tersembunyi. Terserah, ke mana saja. Kita uji daya lacak SKiF. Saat ia berhasil menemukanmu, nyalakan lagi tracker. Kei akan menangkap sinyalmu, dan memerintahkan SKiF menjatuhkan paket yang dibawanya. Itu berarti misi SKiF berhasil."

Ren mengamati alat pelacak GPS. Bentuknya seperti kotak bedak Ibu. Saat tombol di sampingnya ditekan, tablet yang dipegang Kei berbunyi. Dalam tiga jam berikutnya, ia berfokus membantu tim. Di luar dugaan mereka, Ren mampu memberikan tiga titik lokasi uji coba dengan bergerak cepat. Masing-masing lokasi berjarak sekitar dua kilometer dari titik kendali.

Senja sudah turun ketika Salman menghentikan uji coba. Kepuasan jelas terlihat pada ekspresi lelaki itu. Sikapnya pada Ren lebih ramah. Mungkin karena pada percobaan terakhir ini, Ren menyelamatkan SKiF yang tersangkut di pohon dan nyaris jatuh.

Mereka memutar video kejadian itu berulang-ulang. Kamera SKiF merekam gerakan Ren berlari, melompat, menjadikan batang pohon sebagai pijakan untuk melenting dan menangkap benda mahal itu sebelum terempas ke tanah.

Ren mendapatkan tepuk tangan, rangkulan, dan ucapan terima kasih. Lalu mereka berdebat sendiri, gerakan Ren mirip kucing, monyet, atau tupai.

"Aku bilang sih, Ren kayak stuntman profesional." Jesara menghentikan mereka dengan solusi adil. Ren senang mendengarnya. Lebih keren daripada hewan apa pun.

Saat itu, seorang perempuan cantik berwajah indo datang. Jesara memperkenalkannya sabagai calon ipar, dan ia kena jitak Kei. River panggilannya, adalah mahasiswi kedokteran. Satu lagi contoh orang yang berhasil mendapatkan jurusan favorit dalam persaingan ketat.

Ren mendesah. Berada di antara lima mahasiswa memunculkan dua perasaan bertentangan secara bersamaan: minder dan optimistis. Minder karena ia baru kelas 12 dan ternyata ilmu yang dipelajari di SMA masih sangat dangkal. Berhenti sekolah jelas bukan pilihan. Optimistis karena mereka juga pernah diterjang badai kelas 12 dan selamat. Tentunya dengan memanfaatkan segala sumber daya: otak, kreativitas, informasi, dan kegigihan. Sumber daya yang juga Ren miliki, jadi tak ada alasan untuk takut. Ia pasti bisa.

River menanyakan minat dan rencana Ren. Mau kuliah apa dan di mana? Ren hanya menggeleng. Keraguannya memancing yang lain untuk mempromosikan prodi masing-masing.

Wah, keren, asyik, seru, hanya itu tanggapan Ren. Begitu pula saat obrolan tentang masa depan lulusan SMA dilanjutkan sambil makan malam bersama di sebuah rumah makan Padang.

"Setop, setop. Kalian bikin Ren tambah bingung!" Jesara menengahi.

Ren memandangnya, berterima kasih lagi. "Terus terang, aku memang bingung. Nilai-nilaiku enggak buruk, tapi banyak yang lebih baik lagi. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saja yang nyaris sempurna. Apa masuk sastra saja, ya?"

Kei menepuk punggungnya. "Sebaiknya jangan memilih prodi berdasarkan mata pelajaran SMA yang paling besar nilainya atau yang paling kamu suka. Ada temanku yang jagoan kimia waktu SMA. Dengan yakin, dia pilih prodi kimia. Tahunya, kimia di SMA hanya permukaan. Sementara di perkuliahan, segala aspek kimia, bahkan kaitannya dengan fisika dan matematika, dikulik mendalam. Dan dia enggak tahan, nilai-nilainya jatuh, lalu kehilangan minat dan motivasi. Untungnya, dia segera ikut ujian lagi dan mengambil hukum sebagai gantinya."

"Wow," komentar Ren, seperti tidak punya kosakata lain. "Bagaimana dia yakin ambil hukum? Padahal SMA-nya IPA, kan?"

"Itulah. Temanku itu sejak awal sebetulnya pengin jadi advokat. Tapi orangtuanya pengin dia masuk IPA. Memaksakan diri, akibatnya malah buruk, dan dia harus mulai dari awal lagi," sahut Kei.

"Selain dorongan orangtua, banyak anak SMA enggak mikir jauh juga. Tahunya, IPA itu keren, dan IPS itu kayak warga kelas dua," sambung Izkia. "Kamu pilih IPA kenapa, Ren?"

Ren garuk-garuk hidung. "Mendiang Ayah menyarankan aku masuk IPA, beraharap aku jadi sarjana saintek seperti Ayah. Menurutnya, IPA memungkinkan aku pilih prodi soshum juga."

"Ada benarnya, ada juga salahnya." Ferris menganggapi. "Kalau kamu mengambil prodi saintek, beban kamu sudah jelas segitu. Tapi kalau kamu merambah soshum juga, bebanmu dua kali lipat. Kamu harus menguasai materi dua jurusan. Kalau otakmu encer, mungkin enggak masalah. Tapi biasanya, anak SMA yang mendua, terjebak solusi instan. Mereka mempelajari soal-soal dan jawaban hanya untuk lolos tes masuk. Itu enggak membangun pondasi kuat pada soshum. Kamu juga bakal bersaing ketat dengan anak-anak IPS. Kalaupun kamu beruntung masuk ke soshum, perjuangan masih panjang untuk menumbuhkan cinta agar enggak putus tengah jalan."

Ren mengangguk. "Sepertinya aku bakal fokus di saintek saja, Kak. Lupakan jurusan bahasa dan sastra."

"Eh, jangan begitu." River mengacungkan telunjuk, seperti menegur anak kecil. "Siapa tahu memang bahasa dan sastra bakal jadi tambatan kamu. Jajaki saja dulu. Cari informasi sebanyak mungkin. Bagaimana sistem perkuliahannya, matkulnya, dan peluang kerjanya. Itu yang penting. Jadi, kamu bisa bayangkan, empat atau lima tahun ke depan, dengan ijazahmu, kamu bakal ada di mana."

"Kamu bisa juga pilih prodi yang sejalan dengan hobimu." Izkia menyambung. "Aku suka menjelajah alam, makanya pilih Geologi. Dengan parkour, kamu juga bisa ke sana. Atau jadi atlet, tentara, stuntman, aktor, dan tenaga medis untuk SAR."

"Bisa aku bayangkan Ren jadi semua itu," kata Jesara, sambil bertepuk tangan girang, membuat Ren geli sendiri. Membayangkan memang paling mudah.

Setelah makan, mereka berpisah. Ren pulang membawa dua hal. Amplop berisi honor hari ini, yang tidak ia buka. Dan badai pikiran yang belum berlalu, atau mungkin sudah balik lagi gara-gara pembicaraan dengan mereka.

Pukul 22.00. Ibu masih bekerja di meja makan. Natya sepertinya belum tidur, terdengar musik lembut sewaktu ia lewat kamarnya. Nazhan pulas di depan televisi. Pasti karena menunggu ia pulang. Setelah mandi, Ren menggendong adiknya ke kamar. Lalu, ia duduk di depan Ibu.

Novel yang harus diterjemahkannya sudah berganti judul lagi. Buku kedua bulan ini. Sewaktu Ayah masih ada, Ibu menerjemahkan satu buku dengan santai, kadang sampai dua bulan.

"Kamu sudah makan?"

"Bu, Ibu pengin Ren ambil prodi apa?"

Kalimat mereka bertabrakan. Ren menjawab dulu. "Sudah, Bu."

Ibu memandangnya. "Kamu sendiri pengin apa?"

"Apa saja. Asal gampang dan cepat lulus, lalu kerja."

Ibu tertawa. "Semua pasti ada tantangannya, dan akan terasa ringan kalau kamu benar-benar suka. Masih ada waktu untuk memikirkan dan memilih. Ibu senang kamu enggak punya pikiran untuk langsung kerja. Satu keraguan sudah dicoret dari kepalamu."

Ren mengangguk, menunggu sejenak kalau-kalau Ibu hendak berbicara tentang rumah. Namun, Ibu malah menyuruhnya beristirahat. Berbaring di kamar, Ren menatap langit-langit. Ia tidak berani membayangkan Jesara, tetapi justru itulah yang dilakukannya sekarang. Memutar ulang hari ini sejak kakak-beradik Chandrawinata menjemputnya di sekolah. Tersenyum-senyum sendiri.

Lalu begitu saja pemikiran lain menyela. Dalam novel, agar menarik untuk terus dibaca, setiap bab diakhiri dengan cliffhanger berupa ketegangan dan misteri. Bagaimana kalau hari ini dianggap satu bab dalam kisah hidupnya? Bukankah adegan tiduran sambil cengar-cengir sama sekali tidak menarik? Apa yang akan terjadi malam ini? Tiba-tiba saja ia resah tidak keruan.

Ren menarik selimut hingga menutup muka, mencoba menenangkan diri dengan berdoa. Beberapa saat kemudian, ia terduduk lagi. Pikirannya benar-benar menyebalkan. Seperti bola liar memantul ke sana kemari.

Lalu ponselnya berdering. Ren tersentak dan memandangi saja nama Tante Agatha di layar. Dering berikutnya menyadarkan Ren untuk segera menerima. Mami Arvind meminta maaf karena menelepon selarut ini.

"Enggak masalah, Tante. Aku belum tidur, kok. Apa yang bisa aku bantu?"

"Ren, Arvind ada di situ? Kalau ada, enggak apa-apa sih, Tante lega...."

Ren terbelalak, lalu menelan ludah susah payah. "Tan, Arvind enggak di sini. Pagi aku ketemu dia di sekolah. Coba aku tanya Wening, ya?"

"Sudah. Wening bilang, Arvind memang sempat mampir ke rumahnya siang tadi. Tapi sebentar saja, karena Arvind ada acara, ngakunya mau pergi sama Tante. Padahal seharian ini Tante di Jakarta, baru saja pulang. Tante enggak bisa kontak Arvind dari tadi, ponselnya dimatikan atau kehabisan baterai." Suara Tante Agatha bergetar. "Aduh, ke mana ya?"

Ren melirik beker di meja. Pukul 23.20. Besok memang hari Minggu, tetapi anak sekolah harusnya tidak berkeliaran selarut ini. "Aku akan telepon semua teman, Tante. Mungkin Arvind cuma ketiduran di tempat salah satunya." Ren memutuskan hubungan setelah menenangkannya dan berjanji akan segera memberi kabar. Ia tahu, kekhawatiran Tante Agatha tidak akan berkurang sampai Arvind ditemukan. Dan lamat-lamat, suara hatinya berbisik, menemukan anak itu tidak akan mudah.

Tidak, kalau Arvind sengaja lari dari rumah.

Ren gagal membaca tanda-tandanya. Ini baru kilat, ia harus waspada dengan gelegar petir setelah itu.


Take My Hand adalah bagian dari Graduation Series.

Judul lainnya, The Haze Inside by aiuahra03

Wonderstruck by IndahHanaco

dan The Stairway to Unknown by puspitadesi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro